Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Jumat, Juni 12, 2009

Bekal Hidup Ketika Pasangan Harus Berpulang



Bagi seorang yang telah mandiri secara spiritual, kebahagiaannya tidak bergantung pada seberapa besar cinta yang diberikan pendamping hidupnya di dunia, tapi kebahagiaan baginya adalah bila ia bisa dekat pada Allah Swt.

Alkisah ada seorang istri yang baru ditinggal mati suami tercintanya, sementara ketiga anaknya masih kecil-kecil. Di tengah kerumunan orang yang datang berta’ziyah, seorang ibu yang merasa prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan oleh suami tersebut berkomentar, “Kasihan istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Bagaimana nasib mereka sepeninggal suami yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian keluarga tersebut?” Tiba-tiba istri almarhum yang mendengar pernyataan ibu itu langsung berkata, “Ibu, suamiku sama seperti saya. Ia hanya pemakan rizki, bukan pemberi rizki. Allah lah yang Maha Pemberi rizki pada semua hamba-Nya.”. Ibu tersebut langsung tertunduk malu menghadapi ketabahan dan ketegaran seorang istri yang ditinggal mati suaminya.
**

Pendamping hidup, baik istri maupun suami, dalam Bahasa Jawa disebut “Garwo”, atau “Sigaraning Nyowo”, yang berarti “Belahan Jiwa”. Seorang suami adalah “belahan jiwa” untuk istrinya, begitupun sebaliknya. Sehingga mereka merasa saling membutuhkan. Maka, wajar bila salah seorang dari mereka baik suami atau istri meninggal dunia atau bercerai, mereka akan merasa seperti limbung, hilang keseimbangan. Seolah ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Bahkan ada yang kemudian menjadi tidak bersemangat dalam hidup. Idealnya, kalau boleh memilih, tentu mereka ingin sehidup semati bersama. Tapi realita hidup tidaklah selalu demikian.

Menghadapi kenyataan seperti ini, menurut Ustadzah Mimin Aminah, pengisi Acara Rumahku Syurgaku MQFM, perlu kiranya kemandirian pada masing-masing pasangan hidup. Kemandirian tersebut mencakup tiga hal; kemandirian finansial, kemandirian emosional, dan kemandirian spiritual.

Kisah seorang istri yang ditinggal mati suaminya seperti di atas, menunjukkan kemandirian yang paripurna pada seorang hamba. Secara emosional, ia mampu menunjukkan kematangan pribadinya; ia mampu menghadapi kenyataan kehilangan pendamping hidup dengan ketabahan dan kesabaran. Secara finansial, ia juga mandiri, karena tidak bergantung kepada suaminya. Kemandirian secara finansial yang dimilikinya ternyata lahir dari kemandirian spiritual. Keyakinannya yang kuat bahwa Allah-lah satu-satunya Pemberi rizki -bukan suaminya- membuatnya tidak gentar dan siap berjuang membesarkan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil.

Dari ketiga kemandirian tersebut, menurut Ustz. Mimin, yang mutlak harus ada pada diri seseorang adalah kemandirian spiritual. Karena ketidakmandirian spiritual akibatnya akan lebih fatal daripada ketidakmandirian secara finansial atau emosional. Resiko terburuk dari ketidakmandirian secara finansial adalah miskin. Sedang bagi orang yang tidak mandiri secara emosional, resikonya ia akan merasa dipengaruhi oleh orang lain di lingkungannya. Ia merasa kebahagiaannya bergantung pada orang lain. Seorang istri akan merasa tidak bahagia, bila tidak berada dekat suaminya, atau sebaliknya suami merasa begitu menderita tanpa kehadiran istri di sisinya.

Seseorang yang kehilangan kemandirian secara spiritual, ia akan kehilangan segalanya. Karena Allah-lah pemberi rizki, pemberi pendamping hidup terbaik dan segala hal yang membuat kita bahagia di dunia ini. Bila tidak yakin akan kasih sayang Allah, maka pada siapa lagi kita berharap mendapat kasih sayang abadi. Karena bagaimanapun kasih sayang dari makhluk; baik orangtua, kekasih (suami/istri), dsb. tentu ada batasnya. Minimalnya sampai pendamping hidup kita dijemput kembali oleh Sang Pemilik sejati yaitu Allah Swt. Sedang kasih sayang Allah abadi, bahkan hingga tubuh kita menyatu dengan tanah. Lalu kita dibangkitkan kembali dari alam kubur untuk kemudian mempertanggungjawabkan semua amal kita di dunia, hingga tiba saatnya bertemu dengan Pencipta diri kita, yaitu Allah Swt. Bagi seorang yang telah mandiri secara spiritual, kebahagiaannya tidak bergantung pada seberapa besar cinta yang diberikan pendamping hidupnya di dunia, tapi kebahagiaan baginya adalah bila ia bisa dekat pada Allah Swt.

Manusia sebagai makhluk sosial, memang secara fitrahnya membutuhnya orang lain dalam hidup. Toh kemandirian bukan berarti tidak butuh orang lain, apalagi bila sampai merasa diri lebih dari orang lain hingga muncul perasaan sombong. Bagi seseorang yang mandiri secara emosional, orang lain di sekitarnya hanya mempengaruhinya, tidak menentukan. Kemandirian emosional di sini harus dibarengi keyakinan secara spiritual, bila yakin Allah akan menolong setiap hamba-Nya, maka kemandirian akan muncul dari sana.

Seseorang yang telah memiliki ketiga bentuk kemandirian di atas, tidak akan merasa menderita bila suatu saat berpisah dari pendamping hidupnya karena kematian atau perceraian. Ia tidak takut miskin meski selama ini suaminya-lah yang menopang perekonomiannya, ia tetap tegar karena yakin Allah akan menolongnya. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untaian kata darimu selalu kunantikan.