Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Kamis, Desember 01, 2011

Saat Curhat Sahabat Membuat Penat



“Ada yang curhat minta solusi masalah, tapi begitu dikasih tahu solusinya malah ‘keukueh’ dengan pendapatnya. Ya udah, terserah kamu sajalah. Itu masalah ya masalahmu. Kamu yang menikmati, kamu yang menjalani, kamu juga yang punya solusinya. Tapi kalau tahu gitu gak usah curhat ke aku, buat apa? Nggak ada gunanya.” Begitu tulis sebuah status dari sahabat lama saya di Facebook. (Dengan redaksi yang sedikit diubah)

Kekesalan seperti itu mungkin bukan hanya dialami sahabat lama saya ini, beberapa orang yang lain mungkin juga pernah mengalaminya, termasuk saya. Hanya saja saya tidak sampai merasa kesal dan marah sih. Namun, setelah saya membaca buku tentang konseling, mindset berfikir saya berubah 180 derajat. Konseling merupakan sistem dan proses bantuan untuk mengentaskan masalah yang terbangun dalam suatu hubungan tatap muka antara  dua orang individu (klien yang menghadapi masalah dengan konselor yang memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan). Kerangka kerja konseling perorangan dilandasi oleh beberapa prinsip dasar, antara lain bahwa klien adalah individu yang memiliki kemampuan untuk memilih  tujuan, membuat keputusan, dan secara umum mampu menerima tanggung jawab dari tingkah lakunya. Intinya, klien bukanlah boneka atau robot yang bisa kita setir semau kita. Hal ini selaras dengan salah satu asas konseling, yaitu “Asas Keputusan Diambil oleh Klien Sendiri”.

Dalam banyak teori konseling, PRINSIP DASAR inilah yang selama ini menjadi “titik poin” pengubahan mindset  berfikir saya. Hal inilah yang selama ini tidak saya ketahui, saya cenderung memaksakan kehendak saya kepada teman curhat saya seolah sayalah orang yang paling tahu solusi masalah sahabat saya itu. Merasa dia yang butuh saya (dengan datang mencurahkan isi hatinya kepada saya), saya pun seolah berhak mengatur kehidupannya. Kalau ternyata dia tidak menjalankan masukan solusi dari saya, rasa “kesal” pun merayapi hati ini. “Sudah capek-capek mendengarkan curhatnya dan memberikan solusi dari masalahnya malah nggak dijalankan.” Begitu gerutu dalam hati saya.

Sejak saya belajar konseling meski hanya dari membaca buku, cara saya menyikapi teman curhat pun berubah. Saya tidak lagi memaksakan “solusi terbaik menurut saya” (yang belum tentu terbaik untuk sahabat saya itu), tetapi membantunya memahami titik permasalahannya sendiri lalu memberinya beberapa alternatif pilihan solusi dengan berbagai risikonya. Solusi A akan menghadirkan risiko seperti ini dan ini, solusi B menghadirkan risiko seperti ini, dan seterusnya. Lalu, saya memberikan kebebasan kepada sahabat saya untuk memilih solusi terbaik menurutnya dan yang paling mudah dijalankan olehnya. Namun, sebagai sahabat saya harus memotivasinya kalau dia pasti bisa mengambil keputusan terbaik untuk dirinya karena hanya dialah yang paling tahu solusi terbaik untuk dirinya sendiri. Saya juga harus men-support dirinya kalau dia mampu keluar dari masalah yang membelitnya. Bukankah Allah Swt. sudah berjanji bahwa Dia tidak akan memberikan ujian kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba-Nya? Itu berarti Allah Swt. sudah memberikan software kepada setiap hamba-Nya untuk mampu menghadapi masalahnya sendiri. Orang lain hanya bersifat sebagai partner, teman sharing karena bagaimana pun sebagai makhluk sosial kita memang tidak bisa lepas dari orang lain. Selalu ada tarik-menarik rasa saling membutuhkan antara satu orang dengan yang lainnya. Salah satunya melalui curahan hati (curhat).

Ada satu catatan peting lain bahwa tidak selamanya teman curhat kita itu sebenarnya membutuhkan masukan solusi dari kita. Ada kalanya dia hanya butuh teman sharing untuk menumpahkan emosi jiwanya saja. Ada yang bilang, dengan kita mencurahkan isi hati (emosi jiwa) kita kepada orang lain maka separuh dari masalah kita sudah mulai teratasi. Setidaknya hati kita sedikit lega karena unek-unek yang mengganjal di hati sudah keluar. Hanya saja kita harus selektif mencari teman curhat. Kita pasti akan merasa nyaman kalau orang yang kita curhati bisa menyimpan masalah kita cukup di hatinya, tidak dibeberkan kepada orang lain. Jadi, prinsip kerahasiaan ini yang harus kita jaga apabila kita menerima curhatan orang lain sekalipun kita bukanlah seorang konselor. Membuat sahabat kita nyaman dan bahagia dengan kehadiran kita dalam kehidupannya bukankah itu berpahala? Salah satunya dengan membuatnya nyaman saat melakukan curhat dengan kita dan mampu menjaga kerahasiaan masalahnya dari orang lain (hanya kita yang tahu).

Mengapa Saya Harus Belajar Konseling?

Saya bukanlah mahasiswa jurusan psikologi atau orang yang bekerja dalam bidang yang berkaitan dengan dunia psikologi. Lalu, mengapa saya harus repot-repot belajar konseling? Sebuah proses panjang bila akhirnya saya tertarik mempelajari konseling dan masalah-masalah psikologi. Sejak SMA saya sudah mulai sering membaca buku-buku psikologi umum, terutama yang berkaitan dengan dunia remaja. Awalnya hanya untuk mencari solusi dari masalah yang menghimpit diri saya sendiri. Maklum, sejak SMP saya boleh dibilang termasuk anak yang pendiam dan introvert, sangat tertutup. Ketika menghadapi masalah, saya cenderung diam dan menyimpannya dalam hati, bahkan kepada kedua orang tua saya sendiri. Saya biasanya menumpahkan unek-unek melalui buku harian (kebiasaan ini alhamdulillah malah menjadi jalan bagi saya memasuki dunia tulis-menulis). Dengan cara ini setidaknya cukup membuat hati saya lega. Sedangkan untuk mencari solusinya saya mencari dari buku-buku bacaan psikologi remaja. Dari sanalah saya mulai keranjingan membaca buku-buku psikologi. Saya bahkan jadi tidak terlalu tertarik dengan buku-buku pelajaran sekolah, itu sebabnya prestasi akademik saya dari dulu biasa-biasa saja. 

Saya merasakan betapa tidak mudah mencari orang yang bisa dipercaya sebagai teman curhat. Itu sebabnya saya mencoba membuka diri kepada sahabat-sahabat saya yang sekiranya sedang dihimpit masalah. Dari satu teman yang suka curhat, akhirnya bertambah pula teman lain hingga akhirnya saya sering menerima curhatan mereka. Kadang saya berfikir, “Mereka kok begitu mudahnya mencurahkan isi hatinya sedangkan saya serasa sulit terbuka kepada orang lain?” Kadang saya bahkan berfikir, “Buat apa curhat sama orang lain, toh mereka juga curhatnya sama saya.” Apalagi saya juga pernah dikecewakan seorang teman yang tidak amanah menyimpan masalah saya. Dia malah menceritakan masalah saya kepada orang lain. Sampai akhirnya saya menemukan tempat curhat yang paling aman, yaitu kepada Allah Swt. melalui doa-doa usai shalat. Insya Allah jauh lebih aman karena Dialah yang memberi kita masalah sehingga kepada-Nya pula kita meminta solusi dari masalah kita. Saya pun tidak takut masalah saya bakal dibeberkan kepada orang lain.

Namun, kepada orang lain terutama sahabat saya, saya tetap memberi peluang mereka menumpahkan unek-uneknya kepada saya. Saya hanya berfikir, “Betapa tidak enaknya menghadapi masalah sendirian di dunia ini. Akan lebih baik bila kita bisa menemukan teman berbagi dalam hidup agar kita tidak merasa sendiri dalam menghadapi pahit-getirnya kehidupan ini. Saya pernah merasakan betapa pahitnya sendirian menghadapi pahitnya masalah kehidupan, saya tidak ingin orang lain pun merasakan hal yang sama.” Itu sebabnya saya membuka diri kepada orang lain untuk menjadi tempat curhatnya.

Menjadi tempat curhat satu-dua orang mungkin biasa. Apalagi bila profesi kita memang seorang konselor atau psikolog, menerima klien banyak sekalipun tidak masalah, bahkan akan semakin menguji profesionalitas dalam bidang yang digelutinya. Namun, apabila kita bukan seseorang yang mengambil bidang tersebut lalu banyak menerima curhat dari orang lain, tentu akan membuat penat kepala kita, apalagi bila tidak ditunjang dengan ilmu dan tingkat emosionalitas yang memadai. Saya sering sekali menerima curhatan bahkan dari orang yang baru saya kenal. Pernah suatu ketika saat masih kuliah, saya pulang kampung di Banyumas. Dalam perjalanan kembali ke Bandung dengan mengendarai bis, saya sebangku dengan seorang pria yang mungkin usianya lima tahun lebih tua dari saya saat itu. Penampilannya sedikit cuek dengan postur tinggi besar, pantas jadi seorang preman. Rambutnya gondrong dengan kuncir di belakang. Tidak berapa lama duduk, entah bermula dari mana tiba-tiba dia curhat masalahnya tentang sahabat karibnya yang selalu naksir cewek yang sedang ditaksirnya. Lama bercerita dia mungkin baru sadar, “Saya kok enak saja ya curhat sama Teteh? Padahal kita belum kenal sebelumnya,” katanya. Saya tidak menjawab dan hanya tersenyum. Ya, mana saya tahu jawabannya kan dia sendiri yang memulai curhatnya. Dia turun lebih dulu dari saya. Anehnya, sampai dia turun dari bis saya tidak tahu siapa namanya dan dia juga tidak tahu nama saya karena kami memang tidak sempat berkenalan. Namun, saya tahu apa masalahnya. Anah bukan?

Ketika saya menjadi santri di Pesantren Daarut Tauhid (DT) Bandung, saya sering menerima curhat dari para jamaah yang iktikaf di masjid pesantren tersebut meski kami tidak saling kenal sebelumnya. Bahkan ada yang baru sekali bertemu tapi dia langsung enak saja curhat sama saya. Ada teman santri yang biasa curhat sama saya lalu menjadi dekat dengan jamaah yang biasa hadir di DT dan sering curhat sama saya juga.
“Kamu kenal Teh Indah?” tanya jamaah tersebut.
“Ya kenal, saya malah biasa curhat sama Teh Indah,” jawab santri tersebut.
“Oh sama, saya juga sering curhat kok sama Teh Indah,” kata jamaah itu lagi.
Sejak saat itu mereka seolah jadi sehati dan saling kenal lebih dekat. Aneh memang, tapi nyata.

Intensitas menerima curhat semakin bertambah ketika saya bertugas menjadi pengurus santri selama sembilan bulanan. Hampir setiap hari ada saja santri bimbingan yang curhat dengan masalah-masalah yang beragam dan berat-berat. Kadang di kepala ini sampai terasa penuh. “Mau ditaruh di kepala bagian mana lagi, nih?” keluhku dalam hati. Namun, meski kadang terasa penat saya masih tetap menerima curhat mereka. Tidak sampai hati rasanya kalau menolak mereka. Di sinilah saya merasa butuh ilmu khusus tentang menangani curhatan, salah satunya dengan belajar konseling. Saya sampai harus meminjam buku konseling sama teman yang kuliah di jurusan Bimbingan dan Konseling. Meski hanya belajar dasar-dasarnya saja, lumayanlah.

Sejak belajar konseling, saya tidak pernah memaksakan solusi tertentu kepada teman curhat saya. Kadang saya bahkan hanya mendengarkan curhatan mereka tanpa memberi solusi tertentu karena saya lihat dia sebenarnya sudah tahu solusinya. Dia hanya butuh teman sharing untuk menumpahkan unek-uneknya. “Saya yakin, kamu pasti bisa mengatasi semua ini. Saya turut mendoakan,” hanya itu support yang saya berikan.

“Saya curhat sama Teh AB dan dia ngasih solusi seperti ini, tapi saya kok kurang sreg dengan solusi yang dia tawarkan, yah. Saya jadi nggak enak, kalau nggak ngejalanin sarannya takut dia marah,” curhat salah satu teman saya. Rupanya dia sebelumnya juga curhat masalah yang sama dengan teman lain. 

“Teteh merasa nyaman mana, dengan menjalankan masukan solusi dari Teh AB yang katanya “harus begini dan begini” atau diberi kebebasan memilih seperti cara saya dengan hanya memberikan alternatif solusi A dengan risiko ini dan itu atau solusi B dengan risiko lain?” tanya saya balik kepada sahabat saya tersebut.

“Ya enakan cara Teh Indah,” jawab sahabat saya.
“Kenapa saya tidak mau memaksakan Teteh untuk menjalankan solusi tertentu menurut saya? Karena hanya Teteh sendiri yang tahu solusi terbaik masalah Teteh. Orang lain seperti saya hanya mencoba membantu memetakan masalah Teteh dan mencarikan alternatif solusinya, selanjutnya Teteh sendiri yang harus mengambil keputusan. Teteh kan bukan robot milik saya yang bisa saya setir sesuai keinginan saya. Teteh adalah jiwa bebas yang bisa menentukan mana yang terbaik menurut Teteh,” terang saya panjang lebar.

Ternyata “memaksakan” orang lain menjalankan solusi tertentu menurut kita meski itu terbaik (menurut kita) malah membuat orang lain tertekan. Mungkin kita tidak sengaja memaksanya, tetapi dengan kita “merasa dongkol” ketika dia tidak menjalankan masukan solusi dari kita akan membuat teman curhat kita “merasa dipaksa”. Semoga Allah Swt. membimbing kita untuk lebih bijak menyikapi masalah di kehidupan ini, termasuk dalam menyikapi masalah orang lain. Amin.

Akhirnya Curhat Jadi Obat

Ini efek samping dari seringnya menerima curhat. Hal ini saya rasakan setelah saya menggeluti dunia penulisan, terutama setelah menjadi wartawati di sebuah media Islami di Bandung. Saya baru merasakan manfaat curhat teman-temanku dulu karena saya banyak mendapatkan ide tulisan dari curhat-curhat mereka, termasuk tulisan ini juga bagian dari inspirasi curhat teman-teman. Satu hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dulu saya kadang merasakan curhatan teman sebagai beban yang bikin penat kepala, sekarang malah menghadirkan banyak hikmah. Namun, ada efek samping lain. Sejak saya dikenal sebagai penulis malah jarang teman-teman yang mau curhat sama saya. “Takut ditulis ah, kalau curhat sama Teh Indah,” begitu alasan mereka. Ada-ada saja. Meski ada juga yang malah minta curhatannya ditulis. Hm…itu semua terserah saya, lah yau…..mau saya tulis atau tidak curhatan mereka tergantung mood di hati. @

Senin, November 28, 2011

Memilih atau Terpaksa Menjadi Ibu Rumah Tangga?




“Aku sekarang tinggal di Brebes, Mbak. Suami kerja di Bekasi. Habis bosen di rumah, gakda kerjaan. Paling ketemuan seminggu sekali, kadang suami yang ke Brebes atau aku yang ke Bekasi,” kata seorang adik tingkatku dulu di kampus tentang kabar terbarunya setelah menikah.

Dia baru beberapa bulan menikah, otomatis belum punya anak sehingga waktunya di rumah nyaris santai, hanya menunggu suami pulang kerja sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang relatif ringan. Akhirnya malah memilih pulang ke kampung halamannya. Wah, apa nggak bikin budget bulanan membengkak tuh?

“Aku pengen kerja lagi nih, Mbak. Bosen di rumah cuma nungguin suami pulang. Tapi nggak diizinin sama suami,” sms dari teman lain yang juga baru beberapa bulan menikah.

Saya sampai nggak habis pikir kalau ada yang bilang nggak ada kerjaan dan bosen di rumah. Pekerjaan rumahku perasaan nggak habis-habis, deh. Memasak kadang butuh waktu 1  ̶  2 jam, bersih-bersih rumah 1,5 jam. Mencuci baju butuh waktu setidaknya dua jam, tapi hanya dua atau tiga kali dalam seminggu, itu pun masih dibantu suami kalau dia libur. Mencuci piring paling 15 menit, tapi tidak cukup sehari sekali. Sisanya aktivitas pribadi, dari mulai shalat, mandi, dandan, nonton TV, makan, istirahat, dan lain-lain.

Menyetrika sering membutuhkan waktu minimal dua jam, kalau banyak bisa sampai tiga jam, tapi risikonya punggung langsung pegel-pegel. Tapi toh itu tidak setiap hari. Belum nyapu dan ngepel rumah, seharusnya setiap hari karena kalau tidak debu bakal luar biasa mengotori lantai. Maklum Cikarang cukup panas hingga debu lumayan banyak. Awal-awal menikah, saya juga nggak langsung mengasuh anak. Hanya seminggu sekali mengunjungi anak di pesantren (anak dari suami, tentunya). Meski rutinitas seperti itu terus berjalan setiap hari, rasanya saya nggak pernah bosen di rumah meski jarang keluar rumah. Seminggu sekali kadang pergi ke pasar, tapi lebih sering hanya membeli sayuran dari tukang sayur yang lewat di depan rumah. Sesekali mengunjungi tetangga yang sakit. Gimana mau keluar rumah, pekerjaan rumah saja rasanya nggak selesai-selesai. Kalau lagi kambuh rasa males buat ngerjain pekerjaan rumah, paling diisi dengan main internet.

Bedanya dengan mereka, saya punya pelampiasan mengisi waktu luang, yaitu menulis. Untung ada laptop yang menemaniku menuangkan pemikiran dan perasaan. Apalagi sebulan kemudian suami memasilitasi rumah dengan internet, jadi lebih berwarna deh hari-hariku di rumah. Aku bisa chatting-an dengan teman-teman lama, bisa mudah mengakses pekerjaanku (editan) ke pengorder, dan lain-lain.

Namun, lebih dari semua itu, pasti sangat berbeda perempuan yang “terpaksa menjadi ibu rumah tangga” karena tidak ada pilihan lain dengan perempuan yang “memilih menjadi ibu rumah tangga”.

#1 “Kalau sudah menikah ya tinggal di rumah, mau ngapain lagi. Cari kerja susah.”  Atau

#2 “Ya, gimana lagi, suami nggak ngizinin aku kerja.”

Begitu kata perempuan yang terpaksa menjadi ibu rumah tangga. Coba bandingkan dengan kata-kata ini.

#3 “Aku ingin mengoptimalkan peran sebagai ibu rumah tangga dengan baik, ingin menjadi ibu sepenuhnya buat anak-anak yang bisa setiap saat hadir ketika mereka membutuhkanku.” 

#4 “Aku ingin meraih surga dalam peranku sebagai ibu rumah tangga dan mengantarkan anak-anak menuju kesuksesan dunia-akhirat.” Serta berbagai alasan lain.

Pernyataan #1 dan #2 tentu nuansanya terasa berbeda dengan pernyataan #3 dan# 4. Bisa dibayangkan bagaimana booring-nya ibu rumah tangga #1 dan #2 dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Apalagi pekerjaan ibu rumah tangga banyak menyita aktivitas fisik dan kesabaran hati. Mengurus pekerjaan rumah dari mulai memasak, menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring dan baju, menyetrika, merapikan rumah. Semua butuh tenaga ekstra. Bagi perempuan yang tidak biasa mengerjakan semua itu pasti bakal ngedumel. Apalagi kalau suami ternyata tidak mau pengertian untuk turut berbagi meringankan pekerjaan rumah karena menganggap semua itu pekerjaan perempuan.

Namun, akan sangat berbeda bagi ibu rumah tangga #3 dan #4 yang memang menjadikan “ibu rumah tangga” sebagai pilihan hidupnya. Dia akan punya planning dan sasaran yang pasti tentang apa yang akan dilakukannya di rumah. Meski di rumah dan mengerjakan segala aktivitas yang bagi sebagian orang dianggap “pekerjaan pembantu” akan dilakukannya dengan ikhlas dan ringan karena di sanalah peluang surganya didapatkan. Dia akan rela menanggalkan titel kesarjanaan ataupun tawaran karir setinggi langit demi menjadi “ibu rumah tangga sepenuhnya” karena itulah “pilihan hidupnya”. Tentu semua itu akan menjadi lebih ringan dijalani bila didukung pengertian dari suami. Suami yang baik tidak akan membiarkan istrinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat di rumahnya sendiri. Apalagi kalau sudah ada anak. Mengurus anak saja sudah mengeluarkan energi dan waktu tersendiri. Hendaknya suami tahu mana yang bisa dilakukannya sendiri dan mana yang khusus dilakukan istri. 

Saya bersyukur dikaruniai kemampuan menulis sehingga tetap bisa berkreasi di rumah sambil tetap mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. Namun, bagi ibu rumah tangga lain yang mungkin merasa tidak berbakat menulis, bukan berarti tidak punya wadah untuk berkreasi. Kuncinya adalah KEMAUN UNTUK TERUS BELAJAR. Bagi ibu rumah tangga baru yang belum memiliki anak, aktivitasnya bisa diisi dengan belajar memasak, misalnya. Saya sendiri waktu awal-awal menikah belum mahir memasak. Waktu suami meminta saya masak untuk menjamu teman kantornya, saya harus menelepon kakak saya di kampung untuk minta resep membuat ayam goreng dan kluban (sayur urab). Itu pun masih butuh tenaga tambahan dari adik ipar. Meski perdana, alhamdulillah tidak mengecewakan suami.

“Masakan Mama sukses,” puji suamiku. “teman-teman Mas sampai habis banyak tuh makannya,” sambungnya.

Padahal ayam gorengnya masih terlalu keras, maklum ngegorengnya terlalu kering, kurang asin lagi. Mereka kan datang pas siang hari, ya pasti laparlah. Makanya habis banyak. Mau makanan apa saja pasti disikat.

Jujur, sebelum menikah, saya hanya bisa masak sayur tumis dan sayur sop. Hehehe …. Teman-teman dan saudara bahkan meragukan kemampuan saya dalam memasak. “Sudah bisa masak belum?” begitu selalu pertanyaan mereka begitu tahu saya sudah menikah. Setelah menikah, suami juga sering meminta dimasakin makanan tertentu, minta bikinin sayur asem, sayur lodeh, dan lain-lain. Setelah ada internet di rumah, saya tinggal tanya sama Mbah Google. Jadi deh. Mau masakan apa saja juga ada resepnya di google.

Bagi ibu muda yang sedang menunggu kelahiran anak juga bisa belajar banyak tentang mengurus bayi dan menangani balita, baik dari kursus-kursus atau dari buku bacaan. Sekarang banyak buku-buku tentang merawat bayi dan balita. Kalau ada internet di rumah, lebih mudah lagi, bisa tanya sama Mbah Google.

Intinya, tidak ada waktu luang yang percuma kok kalau kita mau kreatif memanfaatkan setiap detik demi detik di kehidupan kita, kuncinya itu tadi “KEMAUAN untuk terus BELAJAR”. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Begitu pun saat kita menikah. Pasti banyak hal yang belum kita ketahui dan pelajari dalam hidup berumah tangga. Itu sebabnya kita harus terus belajar. Belajar bisa dari mana saja, bisa dari bacaan, dari pengalaman orang lain, dari apa yang kita lihat di lingkungan, dan lain sebagainya. 

Membangun Ritme Hidup yang Berbeda 180

Kehidupan saya sebelum menikah boleh dibilang sangat berbeda 180 derajat dengan setelah menikah. Sejak kuliah saya terbiasa mengisi waktu dengan seabreg aktivitas selain kuliah, yaitu dengan berorganisasi di beberapa organisasi sekaligus, baik intra maupun ekstra kampus. Organisasi boleh dibilang sebagai kampus kedua bagi saya. Apalagi sejak didaulat sebagai ketua umum di suatu organisasi dan sebagai bendahara umum di organisasi lain dalam waktu bersamaan. Nyaris waktu saya habis di kampus. Kamar kos hanya sebagai tempat numpang tidur dan menyimpan barang-barang doang.

Begitu masuk dunia kerja, terutama sejak menjadi wartawati di sebuah media Islami di Bandung, waktu saya pun nyaris habis hanya untuk menulis dan menulis. Demi mengejar deadline tulisan, kadang saya sampai camping di kantor hingga pagi, baik dengan rekan-rekan kerja lain maupun sendiri. Habis shalat shubuh di kantor terus pulang buat istirahat sejenak. Pukul 10.00 atau 11.00 baru nongol lagi di kantor. Begitu seterusnya hingga kerjaan kelar. Hari Minggu pun kadang harus rela kerja kalau ada jadwal wawancara dengan nara sumber yang hanya punya waktu di hari Minggu. Hampir sebulan sekali keluar kota, terutama ke Jakarta, untuk mewawancarai nara sumber yang sebagaian besar berdomisili di Jakarta. Kadang sampai menginep 2  ̶  3 hari di sana. Pernah juga hingga ke Pangandaran untuk meliput tsunami, ke Jogja untuk meliput gempa, dan lain sebagainya. Boleh dibilang, pekerjaan wartawan memang tidak mengenal waktu. Harus siap 24 jam. Saya bahkan pernah mewawancarai Menteri Pertanian, Pak Anton Apriantono, pukul 06.00. Saat itu saya bahkan belum sempat mandi, hanya sikat gigian, ganti baju, dan semprot wewangian sedikit. Berangkat deh.

Setelah menjadi Senior Editor di sebuah penerbit buku, baru ritme hidup saya sedikit santai karena ruang kerjanya sudah "di kandang" sepenuhnya. Maksudnya selalu berada di kantor dan jarang keluar kota. Meski demikian, lembur-lembur kadang masih menyusupi hari-hari saya.

Saat ini, ketika status “Ibu Rumah Tangga” saya sandang, waktu saya justru hampir sepenuhnya dihabiskan di rumah. Keluar rumah hanya Sabtu-Minggu karena menunggu suami libur. Waktu masih lajang saya terbiasa kemana-mana sendiri, sekarang nggak enak rasanya kalau pergi-pergi tanpa didampingi suami. Begitu anak ikut dengan kami, baru saya lebih sering keluar rumah, tetapi untuk bermain bola dengan anak lelaki saya atau bermain sepeda dengannya keliling kampung.

Mungkin, bagi teman-teman yang tahu bagaimana kehidupan saya sebelum menikah, akan merasa heran dan bertanya-tanya, “Kok bisa?”, “Apa nggak sayang ilmu yang selama ini dimiliki kalau akhirnya hanya mengendap di rumah?”, “Apa nggak booring setiap hari di rumah?”. Begitu mungkin di antara sekian banyak pertanyaan yang keluar.

Bapak saya sendiri sempat protes waktu tahu saya sudah tidak bekerja lagi dan memilih tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga saja. “Dikuliahin tinggi-tinggi, dapat IPK bagus, kok cuma tinggal di rumah,” begitu protes Bapak.

Setiap insan pasti akan selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan dalam hidup, termasuk pilihan yang saya ambil sekarang. Setiap pilihan pasti akan menghadirkan risiko tertentu. Dengan ritme hidup yang berbeda memang membutuhkan penyesuaian-penyesuaian baru. Bagi saya, hidup adalah SEBUAH PROSES BELAJAR. Kalau sebelum menikah saya banyak belajar tentang segala hal di luar rumah, maka setelah menikah saya belajar tentang segala hal di dalam rumah. Bukankah hal ini justru membuat hidup saya menjadi seimbang? Alhamdulillah, proses belajar yang saya jalani ini tetap terasa ringan dengan didasari niat tulus untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga kecil saya yang saya cintai ini. Hingga detik ini saya tidak pernah merasa bosan tinggal di dalam rumah. Kalau sesekali harus menyesap rindu dengan suami saat dia di kantor, saya pikir itu wajar, toh tidak sampai membuat saya merasa kesepian. Justru rasa rindu ini yang akan semakin mengeratkan cinta kami. 

Bagi perempuan yang menjadikan “ibu rumah sebagai pilihan” berbahagialah karena insya Allah dari Andalah akan lahir generasi bangsa yang lebih baik dan berkarakter. Meski oleh sebagian orang “ibu rumah tangga” dianggap bukan pekerjaan yang “keren” dan “bergengsi”, tetapi insya Allah di hadapan Allah justru menjadi pekerjaan yang sangat mulia. Hampir tidak pernah terbayangkan sebelumnya saat kita kecil dulu untuk bercita-cita menjadi “ibu rumah tangga” bukan? Ketika seorang anak ditanya apa cita-citamu? Hampir semua bilang ingin jadi dokter, insinyur, wartawan, pilot, tentara, guru, ilmuwan, dan lain sebagainya. Hampir tidak ada yang menyatakan diri, “ingin menjadi ibu rumah tangga seperti ibuku”. Namun, bila kini hal itu menjadi pilihan kita, yakinlah bahwa kita telah memilihnya dengan tepat. Yakinlah bahwa “ibu rumah tangga” pun merupakan karir terbaik untuk kita. Di tangan ibu sejati masa depan seorang anak menjadi gemilang sehingga nasib bangsa pun menjadi lebih baik. Dari sebuah keluarga kecil dengan ketulusan seorang istri yang bersedia menyediakan waktu sepenuhnya untuk keluarga insya Allah kebahagiaan akan lebih dekat merasuk ke dalam sanubari penghuninya.

Bagi perempuan yang merasa terpaksa atau bahkan merasa “terjebak” sebagai ibu rumah tangga, mulailah ikhlas menerima hal itu sebagai pilihan yang mulia. Bagaimanapun di tangan seorang ibu yang siap sedia dan ikhlas mengemban amanah keibuan, insya Allah akan lahir keluarga yang harmonis dan anak-anak yang memiliki dunia keceriaan dengan penuh kehangatan kasih seorang ibu.

Bagaimanapun, memilih dengan keikhlasan akan lebih meringankan langkah kita ke depan dengan hasil yang lebih baik, daripada “terpaksa memilih”.

Salam hangat buat para ibu rumah tangga yang berbahagia, yang dengan kebahagiaannya akan menghangatkan rumah dengan tebaran kasih sayang.@

Selasa, Agustus 16, 2011

Indahnya Hidup tanpa Mengomel



Kutatap wajah cintaku, kuberikan dia senyuman lalu kukecup keningnya.

“Mama kok tetap bisa tersenyum walaupun lagi nggak punya uang?” tanya suamiku, cintaku.

“Trus mo ngapain? Marah? Ngapain juga marah-marah, ngabisin energi. Rugi amat, udah nggak punya uang, marah-marah lagi. Mending tetap senyum,” jawabku enteng yang langsung disambut dengan pelukan oleh suami.

Setiap rumah tangga pasti pernah mengalami masa-masa sulit seperti yang sedang kami alami sekarang. Uang belanja menipis, tinggal Rp10.000. Pada saat yang sama, bensin motor suami juga sudah minta diisi, air mineral galon di rumah habis. Baru dua hari lagi kami kemungkinan mendapatkan suntikan dana tambahan. Dua bulan ini boleh dibilang kami harus menguras dana yang kami miliki untuk kebutuhan anak-anak. Untuk daftar ulang sekolah anak saja menghabiskan sekitar 2 jutaan, begitupun untuk acara liburan mereka. Maklum, kami mengajak anak-anak liburan di dua tempat, di Banyumas (kampung halamanku) dan di Jogja (kampung halaman suami). Untuk transportasi dari Bekasi ke kampung saja sudah cukup menguras dana, apalagi buat kebutuhan selama liburan di sana. Asal anak-anak senang kami pun turut senang karena bagi kami kebahagiaan anak-anak adalah prioritas. Masa kecil mereka tidak akan terulang, sedangkan kami baru bisa berkumpul bersama-sama hanya pada saat liburan. Jadi, berapa pun biayanya liburan bersama ini harus tetap kami jalani. Namun, risikonya ya seperti sekarang ini. Kami harus mengirit pengeluaran belanja setelahnya.
***

“Liat rumah berantakan kayak kapal pecah kok gak marah?” kata suamiku pada awal-awal pernikahan kami.

“Ngapain ngomel dan marah-marah. Kalo rumah berantakan ya tinggal dibersihin. Emang kalo ngomel-ngomel rumah bisa jadi bersih dan rapi?” jawabku sambil memberesi rumah.

“Bagus,” kata suami menyunggingkan senyum.

Pada awal menikah, kami memang masih tinggal berjauhan, saya di Bandung sedangkan suami di Bekasi. Saat weekend, kadang suami yang ke kosan saya di Bandung atau saya yang ke Bekasi. Jadi, otomatis saya belum bisa sepenuhnya mengurus rumah suami saya ini. Sedangkan suami, karena kesibukan kerja kantor juga tidak terlalu telaten untuk bersih-bersih rumah. Walhasil, begitu saya ke Bekasi sering mendapat sambutan kondisi rumah yang super kotor.

Mungkin, perempuan identik dengan “cerewet dan suka ngomel” kali, yah? Makanya suamiku aneh ngeliat istrinya ini malah nyante menyikapi kondisi rumah tangga kami yang bagi sebagian wanita dapat menaikkan sedikit emosinya.

Yah, saya hanya nggak mau dibuat pusing saja sama keadaan. Kalo soal materi, alhamdulillah saya sudah terbiasa hidup sederhana. Meskipun keluarga kami tidak terlalu kesulitan dari sisi ekonomi, tapi sedari kecil ibu saya sudah mengajarkan hidup sederhana kepada anak-anaknya. Jadi, saya tidak terlalu kaget atau stres menghadapi kondisi seperti ini. Tinggal bersabar sedikit apa salahnya. Masa sih, Allah akan menelantarkan hamba-Nya tanpa diberi makan? Di luar sana pasti banyak orang yang lebih sulit kondisinya dari kami.

Mungkin ada istri yang suka marah dengan suaminya ketika uang belanjanya kurang atau habis sebelum waktu gajian tiba. Menurut saya, marah dalam kondisi seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kita akan rugi sendiri dan hanya buang-buang energi. Bagi suami, hanya akan membuatnya stres sehingga sulit berpikir jernih. Intinya, marah dan ngomel sama sekali tidak memberikan dampak positif untuk memperbaiki keadaan. Daripada ngomel dan marah-marah, saya lebih suka mengingat perjuangan suami dalam mencari nafkah. Dia sudah menguras tenaga dan pikirannya di kantor demi menafkahi kami, istri dan anak-anaknya. Apalagi rumah kami jauh dari tempat kerjanya. Dia harus menempuh sekitar dua jam perjalanan untuk sampai ke kantornya. Pulang-pergi berarti memakan waktu empat jam setiap hari. Peluh dan lelah tidak dia pedulikan asal bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apa jadinya kalau saya sebagai istrinya malah marah-marah saat uang belanja kami habis sebelum waktunya? Padahal dia sudah menyerahkan semua uang gajinya kepada saya.

Sabar dan berpikir jernih, insya Allah ada jalan keluar yang mungkin tidak kita sangka-sangka datangnya. Saya yakin dengan hal itu. Seperti kondisi kami kemarin, meski akhirnya kami harus menjual barang yang mungkin tidak terpakai lagi di rumah, setidaknya bisa kami gunakan untuk menyambung hidup. Daripada barang itu teronggok mengotori dan menyempitkan ruangan, dijual ternyata malah lebih bermanfaat.

Salam penuh takzim buat para istri dan calon istri yang sedang berjuang untuk memberikan kebahagiaan bagi keluarga. Apa pun yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita, semoga kita tetap tidak kehilangan senyum termanis kita untuk keluarga. Percayalah, “ngomel” dan “marah-marah”─yang membuat perempuan dicap “cerewet”─tidak akan menyelesaikan masalah. Sepahit apa pun hidup yang kita alami, itulah cara kehidupan menyentuh kita. Saat manisnya hidup menyapa kita, berarti kehidupan sedang “mengelus” kita. Bila kepahitan yang menyapa maka berarti kehidupan sedang “mencubit” kita. Kebahagiaan/kesengsaraan hadir bukan bergantung pada “elusan” atau “cubitan” kehidupan, tetapi bergantung dari bagaimana cara kita menyikapinya. “Elusan kehidupan” akan terasa menyakitkan bila ada bisul di tubuh kita. Sebaliknya, “cubitan kehidupan” bisa jadi lebih terasa nikmat bila kita menyikapinya dengan penuh kearifan, kita anggap itulah cara kehidupan “mencandai” kita. Ayo, kita “candai” lagi kehidupan ini agar terasa lebih berwarna!

Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah anak-anak tetap bisa diajak menjadi baik.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita tetap bisa menyampaikan keinginan kita dengan baik kepada suami.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita tetap bisa memperbaiki keadaan rumah tangga kita.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita akan tampil menjadi ibu yang lebih bijaksana.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita bisa menjadi istri yang lebih disayang suami.

Bagi para suami yang memiliki istri yang kadung “cerewet”, bersabarlah. Ada baiknya kita mengambil hikmah dari kisah Khalifah Umar bin Khathab r.a.

Dikisahkan, suatu hari ada seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khathab r.a. Dia ingin mengadu pada khalifah karena tidak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel dan marah-marah. Cerewetnya melebihi istrinya. Akan tetapi, tidak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja sambil terus mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya, lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melaporkan istrinya kepada Umar.
          Apa yang membuat seorang Umar bin Khathab yang disegani kawan maupun lawan berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa dia hanya mendengarkan, padahal di luar sana dia selalu tegas kepada siapa pun?
          Saat Umar diam mendengarkan keluhan istrinya, ternyata dia sedang mencoba berempati kepada istrinya, “Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya,” ungkapnya.
          Menurut Umar, seorang istri telah berperan besar dalam lima hal: (1) istri telah berusaha membentengi suami dari api neraka (saat godaan syahwat menghampiri), (2) memelihara harta suami saat suami tidak berada di rumah, (3) menjaga penampilan suami, (4) mengasuh anak-anak, dan (5) menyediakan hidangan untuk keluarganya.
          Untuk segala kemurahan hati sang istri itulah Umar rela mendengarkan keluh kesah buah lelah istrinya. Umar lebih memilih untuk mengingat kebaikan-kebaikan istrinya daripada mencela kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah dia menasihati dengan cara yang baik, kadang malah dengan bercanda sehingga terhindar dari caci maki yang tidak terpuji. 

Semoga dengan meneladani sikap Umar bin Khathab ini, para suami bisa lebih bersabar menghadapi kecerewetan istri dan melihat sisi lain kelebihan istrinya. Dengan demikian, rumah tangga akan dilingkupi kedamaian dan tenteram. Apa jadinya kalau istri yang bertabiat cerewet dihadapi dengan emosional pula? Bisa terjadi perang dunia ketiga deh dalam rumah tangga kita.@

Rabu, Agustus 10, 2011

Menakar Kewibawaan Suami



Dulu, sebelum menikah, saya selalu berdoa kepada Allah Swt., “Ya Allah, pertemukan hamba dengan seorang suami yang taat kepada-Mu agar ketaatan hamba kepadanya bermuara kepada-Mu. Buatlah dia memiliki wibawa di mata hamba agar mudah bagi hamba untuk menaatinya.”

Kenapa saya berdoa seperti itu? Karena bagaimana pun tugas utama seorang istri adalah menaati suami. Seperti sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadits berikut ini.
"Seandainya aku boleh menyuruh seseorang agar sujud kepada orang lain, niscaya aku akan menyuruh seorang istri agar sujud kepada suaminya." (HR At Tirmidzi, sanadnya sahih)

Lalu, mengapa saya meminta kepada Allah Swt. seorang suami yang memiliki wibawa di mataku? Karena seorang suami yang berwibawa akan membuat seorang istri mudah untuk tunduk menaatinya.

Mendengar kata “wibawa” mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah seorang yang tinggi besar seperti SBY, atau berpendidikan tinggi dengan titel serenceng, atau orang yang memiliki harta berlimpah dan keturunan keluarga terpandang, atau orang yang memiliki pekerjaan bagus dengan gaji selangit, atau seorang pejabat yang berpengaruh dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat, atau seorang yang memiliki tubuh berotot dan kuat seperti Ade Ray, atau bahkan seorang pemberang seperti preman sehingga orang lain tunduk takut kepadanya.

Membahas masalah “wibawa suami” sering berbanding terbalik dengan bahasan “Suami Takut Istri”. Tidak sedikit artikel yang membahas masalah “Suami Takut Istri” yang mengaitkan dengan tidak adanya wibawa suami. Saya tidak ingin berteori tentang apa yang membuat seorang suami menjadi takut dengan istrinya sendiri sehingga tidak memiliki wibawa di hadapan istrinya. Saya hanya ingin sharing tentang bagaimana wibawa seorang pria (baca: suamiku) di mataku. Bukan untuk menguliti dirinya, tapi semoga tulisan ini akan membuka cara pandang kita tentang “wibawa suami” yang sebenarnya.

Hal apa saja yang membuat seseorang tampak berwibawa?
  • Harta dan kedudukan?
Apakah kekayaan dan kedudukan yang membuat suamiku tampak berwibawa di mataku? Realitasnya, dia lahir dari keluarga biasa yang secara ekonomi boleh dibilang masih di bawah keluarga saya. Pekerjaan dan penghasilan bulanannya sekadar cukup untuk kebutuhan keluarga dan pendidikan anak. Namun, dia menjadi berwibawa di mataku karena dia seorang yang bertanggung jawab dan memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana seharusnya menafkahi keluarganya. Dia sangat all out memberikan waktu, tenaga, dan materi yang dia miliki untuk keluarganya. Dia tidak pernah gengsi memberikan tangannya untuk membantuku mencuci baju dan menyetrikanya dengan suka rela tanpa diminta. Dia juga tidak gengsi pergi ke dapur membuatkan mie instant untuk kami makan sepiring berdua. (Satu pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap menurunkan derajat kaum pria). Namun, bagiku ini bentuk rasa sayang dan perhatian suamiku kepada saya sebagai istrinya. Pemberian materi kepada keluarga memang penting, tetapi pemberian waktu dan kasih sayang untuk keluarga jauh lebih penting. Terima kasih untuk suamiku yang telah memberikan semua yang kau miliki dan mampu kau lakukan untuk keluarga kita.

Satu hal yang saya suka darinya, dia tidak pernah tampak minder di hadapan keluargaku meski secara ekonomi keluargaku boleh dibilang lebih mapan. (Pede itu penting, bro. Itulah yang dimiliki suamiku. Pede abis dan sedikit nekat itu pula “modal”-nya saat menikahiku). Minder hanya akan membuat “wibawa” seseorang hilang.

  • Berpendidikan tinggi dengan titel serenceng?
Karena kondisi ekonomi, suami saya hanya sempat menyelesaikan pendidikan terakhirnya di tingkat SMA. Meski saya bolah dibilang berpendidikan lebih tinggi hingga sarjana, tetapi kami tetap bisa nyambung dalam berkomunikasi. Bukankah inti dari komunikasi adalah “bisa nyambung” dengan lawan bicara? Meski kita berbicara dengan seorang doktor sekalipun, tetapi kalau kita tidak bisa “nyambung” dan paham dengan apa yang dia bicarakan─dan dia juga tidak paham dengan apa yang kita bicarakan─itu berarti komunikasi tidak berjalan efektif. Meski tidak berpendidikan tinggi, tetapi suamiku seorang yang sangat cinta ilmu, mau terus belajar dan memperbaiki diri. Dia juga hobi membaca. Koleksi bukunya bisa jadi lebih banyak dari koleksiku. Kami bisa sharing apa pun sesuai tema yang kami inginkan. Meski bukan lulusan pesantren, tetapi dia sangat giat belajar agama di berbagai majelis taklim (dan mengamalkannya). Bagiku, ini cukup membuatnya tampak berwibawa di mataku karena menurutku orang seperti dialah “pembelajar sejati”. Seorang sarjana sekalipun belum tentu bisa disebut “pembelajar sejati” bila proses belajarnya berhenti hanya sampai ketika dia mendapatkan selembar ijazah kesarjanaan. Apalagi bila ilmu yang didapat selama ini tidak diamalkan. 

  • Kekuatan fisik?
Orang sering menyetarakan wibawa dengan kondisi fisik seseorang; tinggi besar seperti SBY mungkin, atau sekuat Ade Ray, atau segarang preman. Realitasnya, suami saya hanya pria biasa yang berperawakan sedang meski tetap lebih besar dan tinggi dibanding saya (maklum saya kan imut. hehehe). Konon ceritanya waktu kecil dia malah sering sakit-sakitan. Dia tidak pernah tampil garang dan pemarah di hadapanku hingga membuatku tunduk dalam ketakutan. Dia juga tidak pernah menyuruhku dengan tegas dan otoriter. Bahkan, kadang rengekan dan kemanjaannya malah mudah membuatku luluh untuk menurutinya.

Tidak sedikit pria yang menggunakan ototnya untuk menguasai perempuan (baca: istrinya). Bila istrinya tidak taat dia gunakan tangannya untuk menampar dan menyakiti istrinya sendiri secara fisik. Padahal, istri seharusnya dilindungi dan disayangi. Mungkin itulah cara yang dianggap efektif untuk membuat istrinya tunduk patuh kepadanya. Kekuatan fisik mungkin ampuh membuat seorang istri tunduk kepada suaminya, tetapi “ketundukan” yang menakutkan. Padahal, yang dibutuhkan seorang suami sebenarnya adalah “ketaatan yang penuh ketakziman” dari istrinya. Ketaatan seperti ini pula yang seharusnya diberikan oleh istri, bukan “ketundukan yang membuatnya terkungkung dalam rasa takut”.

Seorang suami yang memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya akan membuat istri pun tergerak hati untuk memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. Pemimpin yang penuh kasih sayang akan membuat orang yang dipimpinnya memberikan ketaatan kepadanya dengan sukarela penuh ketakziman. Bagaimanapun, seorang istri memiliki hak untuk dipimpin oleh suami dengan penuh kasih sayang seperti yang Rasulullah saw. ajarkan.

Rasulullah saw. pernah ditanya tentang apa hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami? Lalu, beliau menjawab, "Kamu memberi makan kepadanya, jika kamu makan. Dan kamu memberi pakaian untuknya, jika kamu memakai pakaian. Dan janganlah kamu memukul wajah, menjelek-jelekkannya, dan jangan pula kamu mendiamkannya kecuali di dalam rumah." (HR. Ahmad dan Abu Daud)

  • Kekuatan psikis?
Bila tugas utama seorang istri adalah “taat” kepada suami sesuai hadits yang telah saya sebutkan sebelumnya, maka tugas utama seorang suami adalah menjadi “imam” atau “leader” bagi keluarganya. Seseorang yang memiliki jiwa “leader” (pemimpin) secara psikis akan memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti perintahnya tanpa membuat orang tersebut merasa disuruh. Kekuatan mempengaruhi ini bisa jadi dipengaruhi oleh “wibawa” atau “kharisma” yang dimiliki seseorang.

Seorang pria (baca: suami) boleh saja lemah secara fisik, cacat atau lumpuh sekalipun seperti Ahmed Yassin (pemimpin Palestina), tetapi dia tidak boleh lemah secara psikis. Dia boleh miskin materi tapi tidak boleh miskin hati. Dia boleh tidak punya kedudukan berarti di mata manusia, tetapi tidak boleh menjadi hina di mata Allah Swt.

Bila poin-poin sebelumnya tidak berlaku bagi saya, tetapi untuk yang terakhir ini sangat berpengeruh bagi saya tentang kesan seorang yang berwibawa. Suamiku memang tidak sekaliber Ahmed Yassin dalam memimpin umat, tetapi dia mampu memimpin hatiku dalam ketaatan kepada-Nya, bisa menjadi imam shalat yang baik, siap menegurku ketika lalai dalam ibadah sesuai yang disyariatkan Rasulullah saw. Bagiku, ini cukup membuatku untuk “menaatinya”. Ketaatan yang membuatku semakin menyayanginya, bukan ketaatan yang mengungkungku dalam ketakutan. Ketaatan yang semoga bermuara pada ketaatan kepada Allah Swt.

Tidak peduli apa kata orang lain tentang suamiku, yang penting bagiku dia tetap seorang suami yang penuh wibawa di mataku. Saya bersyukur Allah Swt. telah mengabulkan doa hamba-Nya yang lemah ini.

Tidak ada manusia sempurna di dunia ini, begitupun suamiku. Namun, kekurangannya justru membuatku sadar dan bersyukur karena berarti aku menikahi manusia biasa, bukan malaikat. Kalau dia mampu menerima kekuranganku yang jauh lebih banyak daripada kekurangannya, kenapa saya tidak mampu menerima kekurangannya yang mungkin hanya sepele?

Kalau saya menulis materi ini bukan berarti telah sempurna ketaatanku kepada suami. Saya sadar bahwa saya masih harus berusaha keras untuk menjadi istri yang taat kepada suami dalam ketaatan kepada-Nya sambil terus berdoa, “Ya Allah, bimbing hamba agar mampu menaati suami dalam koridor ketaatan kepada-Mu.”

Tulisan ini sekadar sharing. Semoga mampu menggugah para istri atau calon istri untuk semakin menguatkan “ketaatan” kepada suami dalam syariat-Nya. Bila mungkin memiliki suami yang tampak belum “berwibawa”, mintalah kepada Allah Swt. agar dia dibimbing oleh Allah menjadi suami yang memudahkan Anda untuk menaatinya dalam syari’at-Nya, atau ditunjukkan “wibawa”-nya kepada Anda sehingga memudahkan Anda untuk menaatinya.

Bagi para suami atau calon suami, semoga tulisan ini memotivasi Anda untuk menjadi “imam” yang sebenarnya bagi istri dan anak-anak. Apa pun kondisi istri Anda, apakah dia lebih dari Anda secara materi, pendidikan, status sosial, dan sebagainya, kendali tetaplah di tangan Anda sebagai “leader”. Bimbinglah istri dalam ketaatan kepada-Nya. Bila mendapati istri Anda belum taat, janganlah terburu-buru menyalahkan istri Anda, tetapi introspeksilah, apakah Anda termasuk suami yang “patut” untuk ditaati?Jadikan Anda seorang yang taat kepada Allah Swt. sehingga pantas untuk ditaati oleh istri Anda dan dia pun akan menaati Anda karena-Nya. @


Kamis, Agustus 04, 2011

Menentukan Prioritas Rumah Tangga



Setiap orang yang membangun rumah tangga─kalau bisa─pasti ingin memiliki kehidupan sempurna; memiliki pasangan hidup yang saling mencintai dan setia, anak-anak manis yang pintar dan saleh dengan pendidikan tinggi, berkecukupan secara materi (memiliki rumah megah, mobil mewah, dan uang setampah). Dari sisi pribadi bisa terus meningkatkan pendidikan dan karier dengan kedudukan atau status sosial tinggi di masyarakat.

Namun, realitasnya kehidupan tidaklah sesempurna itu. Bila semua itu tidak mungkin diraih secara bersamaan, mana yang harus diprioritaskan? (1) Mengejar pemenuhan materi rumah tangga terlebih dahulu sehingga bisa segera memiliki rumah bagus sesuai harapan, memiliki mobil yang nyaman sebagai sarana mobilitas, serta tabungan yang cukup untuk hari tua, (2) Mengembangkan karier setinggi mungkin, termasuk membekali diri dengan terus meningkatkan strata pendidikan, (3) Memiliki anak-anak yang pintar dan saleh dengan menyekolahkan di sekolah terbaik meski dengan biaya yang tidak sedikit (tentu kasih sayang dan pendidikan orang tua tetap diprioritaskan), (4) atau prioritas lain.

Semuanya sah-sah saja kita lakukan. Namun, perlu diingat bahwa akan ada risiko lain yang kadang harus ditanggung bila mengejar salah satu prioritas tersebut. Saya tidak akan menyalahkan siapa pun dengan apa pun prioritas seseorang dalam membangun rumah tangganya. Saya hanya akan mengajak berfikir bersama kira-kira risiko apa yang akan kita tanggung bila mengambil satu prioritas tersebut, atau mungkin prioritas yang lain.

Prioritas pertama, Mengejar pemenuhan materi rumah tangga terlebih dahulu sehingga bisa segera memiliki rumah bagus sesuai harapan, memiliki mobil yang bagus dan nyaman sebagai sarana mobilitas, serta tabungan yang cukup untuk hari tua. Kebutuhan inilah yang menjadi prioritas utama pada banyak rumah tangga, apalagi keluarga baru. Bukankah sedari SD dulu kita diajarkan tentang prioritas kebutuhan manusia? Ada kebutuhan primer, sekunder, dan tertier. Kebutuhan primer (seperti yang selama ini kita kenal) adalah sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan sandang dan pangan sejak sebelum menikah pun biasanya sudah terpenuhi. Karenanya, saat menikah, kebutuhan lain yang sering menjadi prioritas adalah “rumah sebagai tempat berteduh”. Bisa ngontrak rumah, tinggal di mertua indah, dan bila materi mencukupi bisa langsung mengambil kredit rumah atau bahkan membeli secara cash.

Pada awalnya, rumah memang merupakan kebutuhan pokok karena bagaimana pun kita harus memiliki tempat berteduh yang layak. Namun, dalam perkembangannya, memiliki rumah sering diiringi dengan kebutuhan akan prestice atau kebanggaan. Kalau ada teman, saudara, atau keluarga yang berkunjung ke rumah kita, bangga rasanya bila mereka terkagum-kagum dengan desain rumah dan keunikan furniture rumah yang kita miliki. Tidak cukup hanya dengan memiliki rumah, kebanggaan lain yang sering menjadi pemikat prestice seseorang adalah memiliki mobil mewah sehingga kalau kita pergi kemana-mana akan ada orang yang berdecak kagum dengan kendaraan kita. (Padahal, apakah kebanggaan seperti ini yang sebenarya kita cari dalam hidup?) 

Memang, sah-sah saja kita memiliki semua itu asal halal. Saya hanya ingin memberikan satu ilustrasi kisah yang semoga bisa membuka kesadaran kita akan prioritas kebutuhan rumah tangga yang sebenarnya. Semoga kita tidak salah dalam memilih prioritas dalam rumah tangga kita. Kesalahan menentukan prioritas bisa jadi akan menghilangkan tujuan menikah yang sebenarnya, yaitu untuk mendapatkan "kebahagiaan". Jangan sampai kita mengejar prioritas yang hanya sebatas "prestice", tetapi kebahagiaan yang sesungguhnya kita butuhkan malah melayang jauh dari jangkauan kita. Na'udzubillahi min dzalik.



Fahri dan Rifa (sebut saja begitu), pasangan suami-istri yang baru beberapa bulan menikah ini memiliki impian untuk punya rumah dengan desain tertentu dan dirasa unik. Setelah melakukan kalkulasi kebutuhan dana untuk pembangunan rumah itu, tersebutlah angka yang tidak sedikit. Demi memenuhi “nominal angka” tersebut, kedua pasangan ini berpikir keras bagaimana cara untuk segera mendapatkan sejumlah uang yang mereka anggarkan demi mewujudkan rumah impian mereka. Akhirnya diambillah keputusan mereka untuk bahu-membahu mencari alternatif sumber-sumber ekonomi tambahan. Fahri sebagai suami, selain bekerja kantoran sebagaimana biasa, juga mencoba membuka peluang usaha rekanan dengan temannya. Sementara Rifa melamar kerja ke beberapa perusahaan dan akhirnya diterima sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar di kotanya dengan gaji lumayan.

Sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, waktu terus berjalan dan mereka masih mengejar mimpi untuk membangun rumah impian mereka. Rupiah demi rupiah pun terkumpul hingga mereka bisa membeli tanah yang dirasa strategis untuk membangun rumah tersebut. Sampai akhirnya mereka bisa mulai membangun rumah. Tidak langsung sempurna sesuai keinginan mereka, tetapi setidaknya rumah itu sudah bisa ditempati sambil terus melakukan pembangunannya. Mereka pun tidak sabar ingin segera menyelesaikan rumah impian mereka. Karenanya, mereka terus memacu diri lebih keras dalam mengumpulkan rupiah hingg tanpa sadar ada sesuatu yang hilang dalam rumah tangga mereka, yaitu kebersamaan dan perhatian antarpasangan.

Fahri mulai merasakan perhatian Rifa kepadanya sudah berkurang, tidak ada lagi kopi dan sarapan pagi buatan istri tercintanya, tidak ada lagi ciuman tangan istri saat menyambutnya pulang dari kantor. Pagi-pagi sekali Rifa sudah pergi ke kantor hingga urusan masak dan menyiapkan makanan beralih ke tangan pembantu. Saat pulang kerja, istrinya kadang belum pulang ke rumah karena ada lembur di kantor, atau ada di rumah tapi sudah lelap dalam tidurnya.

Rifa pun ternyata merasakan hal yang sama. Keromantisan Fahri seperti hilang entah ke mana. Tidak ada lagi candaan suaminya ketika menjelang tidur, tidak ada lagi ciuman hangat suami yang selama ini selalu dirindukannya. Suasana panas selalu melingkupi hati mereka ketika berada di rumah. Masalah kecil saja bisa memantik kemarahan dan pertengkaran.

Rifa justru merasakan kenyamanan ketika mendapatkan perhatian dari bosnya. Pria yang juga sudah menikah ini seolah memberikan perhatian dan kasih sayang lebih daripada Fahri, suaminya. Akhirnya, jalinan kasih terlarang itu pun terbina di antara mereka. Tanpa sepengetahuan Rifa, Fahri pun ternyata punya "hubungan gelap” dengan rekan kerjanya di kantor. Sinta, wanita single yang terkenal seksi di kantornya ini begitu mengagumi kinerja Fahri yang rajin dan ulet. Di matanya, Fahri adalah lelaki impiannya selama ini. Dia bahkan tidak malu-malu untuk menyatakan kekagumannya ini kepada Fahri. Sebagai pria yang tidak lagi mendapat penghargaan apalagi sanjungan dari istri merasa begitu melambung ketika mendapat sanjungan dan perhatian dari wanita lain.

Berbilang bulan, “hubungan gelap” masing-masing pasangan ini pun terus berlanjut hingga membuat mereka terperosok begitu jauh. Mereka tidak lagi menganggap pasangan sahnya─sebagai suami-istrimenjadi pasangan yang menyenangkan lagi. Rumah sudah menjadi seperti neraka bagi mereka ketika pertengkaran demi pertengkaran terus membakar rumah mereka. Atau bisa menjadi seperti kuburan bila mereka sedang melakukan perang dingin. Rumah impian mereka “belum jadi sempurna” seperti yang mereka inginkan, mungkin tinggal sedikit melakukan renovasi tambahan lagi. Namun, ironisnya rumah tangga mereka malah hancur sebelum mereka bisa menikmati rumah impian itu. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak mengalami hal demikian.


Prioritas kedua, mengembangkan karier setinggi mungkin, termasuk membekali diri dengan terus meningkatkan strata pendidikan. Banyak alasan mengapa seseorang harus mengembangkan karier termasuk meningkatkan pendidikannnya. Alasan utama biasanya untuk mandapatkan penghasilan lebih demi memenuhi kebutuhan hidup sehingga perlu meningkatkan strata kariernya, bisa juga untuk mengejar prestice. Begitu pun dalam meningkatkan strata pendidikan, biasanya karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan karyawannya memiliki strata pendidikan tertentu. Meski ada juga yang murni karena ingin menuntut ilmu.

Banyak yang memulai bekerja dengan bekal ijazah SMA, dengan lamanya waktu bekerja, posisinya pun sedikit demi sedikit meningkat hingga perusahaan menuntutnya untuk memiliki ijazah sarjana atau minimal D3, bagi yang S1 dituntut memiliki ijazah S2, dan seterusnya. Pada saat yang sama kebutuhan rumah tangga, terutama pendidikan anak, terus meningkat. Dia seolah dihadapkan dengan pilihan untuk memilih meningkatkan strata pendidikannnya sendiri sehingga dapat memuluskan peningkatan kariernya (termasuk meningkatkan gajinya), tetapi di sisi lain dia harus berbagi atau mengurangi jatah dana pendidikan anaknya.

Dengan dana yang ada, dia harus membiayai kuliahnya dan juga pendidikan anaknya. Kalau dia memakai dana itu sepenuhnya untuk pendidikan anak, dia bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang bagus (yang notabene berbiaya mahal). Namun, bila harus berbagi untuk membiayai juga kuliahnya, otomatis dia hanya bisa menyekolahkan anak di sekolah seadanya, bila perlu di sekolah negeri yang gratis. Bila ditunjang dengan pendidikan orang tua di rumah yang memadai, tentu tidak masalah, anaknya bisa tetap berprestasi meski dia bersekolah di sekolah biasa. Namun, bila anak bisa bersekolah di sekolah yang banyak memberikan keunggulan dibanding sekolah umum, biasanya potensi anak pun akan lebih terasah. Apalagi sekarang banyak sekolah yang menawarkan pengembangan potensi anak bukan hanya sisi kognisi atau intelektualnya semata, tapi juga sisi religi, leadership, dan lain-lain. Namun, harganya tentu berbeda jauh dengan sekolah umum.


Saya punya kisah nyata seorang sahabat seputar masalah karier ini. Sebut saja namanya Zahra. Dia bekerja di sebuah perusahaan makanan dengan modal ijazah SMA. Pada awalnya dia bekerja sebagai Cleaning Service. Kinerjanya yang rajin mulai dilirik atasannya sehingga dia menjanjikan untuk menaikkan posisi kerja yang otomatis akan menaikkan pula gajinya. Namun, dengan syarat dia harus memiliki ijazah D3. Tergiur dengan posisi yang menjanjikan dan keinginan untuk menaikkan taraf hidup dan pendidikan, dia pun mengambil kuliah program D3. Berbagi waktu dengan pekerjaan kantor, kuliah, dan mengurus anak, membuat kuliahnya sedikit tersendat hingga baru bisa menyelesaikan kuliah empat tahun kemudian.
Pada saat yang sama, di perusahaan tempatnya bekerja terjadi restrukturisasi karyawan. Bosnya yang dulu pernah menjanjikan sebuah posisi yang lebih baik malah terkena PHK. Jadi, meski saat itu dia sudah mengantongi ijazah D3, tetapi tetap tidak bernilai apa-apa di perusahaannya. Dia bisa naik posisi, tapi harus dipindahkan ke perusahaan cabang yang lebih jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya, dia malah memilih keluar dari pekerjaan. Dengan ijazah D3 yang dimiliki akhirnya dia bisa diterima sebagai pengajar di sebuah SMK di kotanya. Namun, gajinya masih jauh dari yang diharapkan. Akhirnya, dia hanya bertahan satu semester lalu kembali keluar. Kini, dia malah nyaman menjadi ibu rumah tangga. Usahanya untuk meningkatkan taraf pendidikan memang tidak sia-sia karena dia mendapatkan ilmu dari sana. Namun, bila tujuannya untuk meningkatkan posisi dalam kariernya, realitasnya itu malah jauh dari genggamannya. Sementara, dia sudah kehilangan banyak waktu yang seharusnya dipergunakan untuk mendidik anak-anaknya.

Prioritas ketiga, memiliki anak-anak yang pintar dan saleh dengan menyekolahkan di sekolah terbaik meski dengan biaya yang tidak sedikit. Bila dana yang kita miliki cukup atau bahkan berlebih mungkin tidak menjadi masalah. Namun, bagaimana bila dana yang dimiliki sebenarnya terbatas?

Saya pernah melihat sebuah keluarga sederhana, tetapi menurut saya sangat terpelajar. Suaminya seorang guru PNS dengan gaji tergolong biasa. Maklum, ijazahnya hanya SPG. Sementara istrinya seorang ibu rumah tangga biasa tanpa memiliki penghasilan tambahan lain. Namun, mereka ternyata mampu menyekolahkan kelima anaknya hingga menjadi sarjana. Bila mereka memiliki penghasilan besar, tentu memiliki lima anak yang bertitel sarjana merupakan hal mudah. Namun, dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas mereka tetap mampu menyekolahkan kelima anaknya hingga perguruan tinggi adalah hal yang luar biasa. Tentu saja ada risiko yang harus mereka tanggung. Hingga kelima anaknya menjadi sarjana, rumah mereka masih sangat sederhana, hanya rumah berdinding kayu dan lantai berkalang tanah. Subhanallah. Anak-anak mereka pasti bangga memiliki orang tua seperti mereka yang rela hidup sederhana demi memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.

Prioritas ketiga inilah yang sekarang sedang dibangun dalam rumah tangga kami. Saya menikah dengan seorang duda beranak dua. Rumahnya sangat sederhana, tipe 21 dengan cicilan masih beberapa tahun lagi. Namun, beberapa bagian rumah sudah minta direnovasi. Saya saja sampai harap-harap cemas kalau hujan tiba karena ada bagian rumah kami yang bocor. Namun, saya tetap bangga dengan suamiku, terutama dengan caranya mendidik anak-anak. Demi menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik sesuai kemampuan, dia rela menunda pembangunan rumahnya ini. Padahal, rekan-rekan kerja seangkatannya yang gajinya kurang lebih sama sudah memiliki rumah bagus.

Bukan hanya itu, dia juga rela mengesampingkan kesempatan peningkatan karier di kantornya demi fokus memberikan sarana pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Dengan ijazah SMA yang dimilikinya memang agak sulit untuk mencapai posisi di atas staf. Bila ingin mencapai jenjang karier lebih tinggi dia harus memiliki ijazah S1. Namun, pada saat yang sama anak pertamanya membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit. Maklum, dia memilih menyekolahkan anaknya di SDIT yang biayanya tidak sedikit. Uang masuknya saja waktu itu sudah mencapai 4,5 juta.

“Biarin Mas begini saja asal anak-anak bisa sekolah di tempat terbaik. Kini masanya untuk perbaikan pendidikan mereka, bukan pendidikan Mas. Yang penting Mas masih bisa membiayai mereka.” begitu jawaban suamiku kalau ditanya tentang alasannya.

Namun, pengorbanannya menurut saya tidaklah sia-sia. Kini, anak pertama kami itu sudah duduk di kelas II MTs (setingkat SMP) dengan prestasi yang bisa dibanggakan. (Semoga ini bukan untuk tujuan riya' atau sum'ah, tapi sharing saja) Sedari SD rangkingnya tidak kurang dari 3, bahkan pernah 2x rangking 1. Semester kemarin dia juga rangking pertama. Alhamdulillah. Meski kini anak kami jauh dari kami karena tinggal di pesantren, tetapi kami masih terus memantau perkembangannya dengan mengunjunginya seminggu sekali. Alhamdulillah, kini dia sudah memiliki hafalan Al Qur’an 5 juz. Semoga dia bisa istiqamah menjadi hafidzah. Amiin.

Kini tinggal membimbing anak kedua kami yang masih sekolah di TKIT. Kalau kakaknya mulai serius menghafal Al Qur’an sejak SMP, kami berharap anak kedua bisa menjadi penghafal Al Qur’an lebih dini, yakni sejak sekolah dasar. Bagi kami, anak-anak inilah prioritas utama dalam rumah tangga kami. Saya akan dengan sukarela menyimpan ijazah sarjana saya demi fokus mendidik mereka. Allah…bimbing hamba menjadi ibu terbaik bagi anak-anak kami, anak-anak yang akan menjadi generasi penentu masa depan bangsa.

Setiap rumah tangga pasti memiliki prioritas tujuan yang berbeda-beda. Namun, satu hal yang perlu diingat, masa depan bangsa bisa jadi berawal dari prioritas setiap rumah tangga ini. Apakah prioritasnya sebatas pemenuhan ekonomi (sukses materi), prestice diri (sukses diri pribadi), atau menyukseskan anak-anak untuk membangun generasi bangsa ke depan yang salih, tangguh, dan berkepribadian utuh?

Semoga tulisan kecil ini memberikan sumbangsih besar bagi bangsa ini. Amiin.

Selasa, Juni 14, 2011

Keseimbangan Hidup





“Salut ngeliat Si A, getol banget nyari duitnya. Salut dengan kerja kerasnya yang pantang mengeluh. Setiap hari kerja di kantor, hari Minggu masih dagang baju bareng istrinya.” Cerita suamiku tentang rekan kerja sekaligus tetangga kami di kompleks.

Orang yang kami sebutkan ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Bekasi. Meski sebagai karyawan staff biasa, tetapi gajinya masih lebih baik daripada karyawan bagian produksi yang otomatis tenaganya diperas sedemikian rupa meski dengan penghasilan pas-pasan. Sementara istrinya, setelah di-PHK dari perusahaan yang sama dengan suaminya, mengelola usaha fasion di rumah. Setiap hari Minggu mereka menjual baju-bajunya di sebuah pasar kaget di kompleks perumahan kami. Di perumahan kami memang ada pasar kaget yang digelar setiap hari Minggu karena banyaknya orang yang jalan-jalan atau olah raga di hari libur tersebut. Sebulan sekali mereka membawa dagangannya ke sebuah pesantren di Karawang yang menggelar pengajian umum di sana. Biasanya mereka berangkat siang hari setelah berjualan di pasar kaget. Setiap Sabtu-Minggu konon ceritanya mereka menggelar dagangannya ke beberapa tempat. Usahanya ini terus berkembang meski sempat turun-naik. Kini mereka mulai membuka toko busana muslim.

“Kita ikutan jualan aja, Mas, di pasar kaget.” Kataku iseng berkomentar.

“Ngapain ngoyo-ngoyo nyari duit. Mending buat pacaran. Sabtu-Minggu kan waktu buat keluarga, bukan buat kerja.” Jawab suami.

Hari libur suamiku memang hanya Sabtu-Minggu. Setiap hari dia berangkat kerja mulai pukul 07.00 (seharusnya pukul 06.00 sih), biasanya sampai di kantor pukul 09.00. Jarak perjalanan Bekasi (rumah kami) ke Ancol (kantor suami) memang cukup jauh. Bisa dua jam perjalanan. Dia pulang kantor pukul 17.00., biasanya sampai rumah saat adzan Isya atau setelahnya. Dengan mengendarai motor, dia lebih bebas berhenti untuk jamaah shalat Maghrib  dan Isya di masjid yang dilewati. Otomatis waktu kebersamaan kami hanya malam hari. Itu sebabnya Sabtu-Minggu bener-bener diopmalkan buat keluarga. Sabtu biasanya kami pakai buat jalan-jalan berdua, nonton film di bioskop, ikut kajian, dan sebagainya. Setiap hari Minggu kami mengunjungi anak kami yang bersekolah di pesantren di daerah Karawang, sekitar satu jam perjalanan dari rumah kami.

Bukan kami tidak butuh banyak uang untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Kami ingin bisa segera melunasi cicilan rumah dan motor, bayar tagihan rutin bulanan, ingin punya dana buat renovasi rumah, pengen punya tabungan yang cukup buat pendidikan anak (kami ingin menyekolahkan  anak di tempat terbaik), kami juga pengen punya tabungan haji. Namun, waktu kebersamaan dengan keluarga, menemani anak, juga menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.


“Usia kanak-kanak kan hanya sebentar. Itu berarti masa bermain-main dengan mereka juga tidak lama, paling-paling hanya sampai sekolah dasar. Setelah itu mereka sudah punya dunia sendiri yang kadang tidak terlalu membutuhkan orang tua di sampingnya. Masak sih kita mau melewatkan masa-masa itu begitu saja hanya karena sibuk nyari uang. Masak untuk bermain dengan anak nunggu sampai punya banyak uang dan terpenuhi segala kebutuhan materi keluarga. Saat ingin bermain-main dengan anak-anak, tahu-tahu mereka sudah besar dan tidak mau bermain seperti anak kecil lagi. Saat itu kita sudah tidak bisa menimang mereka lagi.” Kata suami berdiskusi tentang prioritas kebutuhan saat ini.

Saya sangat setuju dengan prinsip suami. Hal ini pula yang membuat saya semakin kagum kepadanya. Bagi kami, anak adalah harta yang tidak ternilai harganya dan harus menjadi prioritas. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan materinya, tetapi juga kebutuhan psikologisnya. Mereka harus benar-benar bisa merasakan kehadiran kedua orang tuanya di hatinya, harus benar-benar merasakan perhatian dan kasih sayang kami.

“Keluarga itu prioritas. Kalau waktu habis buat nyari duit, kapan bermesraan sama istri? Masak mau bermesraan dengan istri aja nunggu nanti kalau sudah tua. Sudah jadi aki-aki dan nini-nini baru mesra-mesraan. Mana nikmatnya?” kata suami lagi.

Bagaimana pun kami sudah sangat bersyukur dengan kondisi kami. Meski banyak cicilan yang harus dipenuhi, tapi kami masih bisa makan layak, bisa punya rumah meski kondisinya sudah minta direnovasi di sana-sini, punya motor untuk memudahkan mobilitas kami, dan bisa menyekolahkan anak di tempat yang layak meski biayanya tidak sedikit. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahmân)

Tanpa mengurangi hormat kami kepada orang-orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja membanting tulang memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, kami salut dengan mereka. Namun, tidak sedikit orang yang kemudian lupa untuk memenuhi kebutuhan psikologis mereka. Sibuk mengejar “kesuksesan” dalam ukuran materi, tetapi kemudian sering mengabaikan kebutuhan lain, seperti kebersamaan dengan keluarga, kebutuhan untuk menuntut ilmu agama (mengikuti kajian), dan sebagainya.

Idealnya, kita bisa seimbang menikmati dan menjalani hidup. Saya jadi teringat dengan kisah yang banyak ditulis di internet tentang seorang nelayan dengan pengusaha. Cerita ini banyak ditulis dalam berbagai versi. Saya akan merangkum dengan versi saya.


Senja di pinggir sebuah pantai saat itu tampak begitu indah. Semburat merah jingga mentari di ujung pantai melukiskan keindahannya. Semilir angin lembut khas pantai menyentuh kulit seseorang yang sedang santai berlibur di pantai itu. Dia seorang pengusaha yang dibilang “sukses” di kotanya. “Bersantai” seperti itu baginya merupakan suatu hal yang “mewah” dan jarang didapatkan. Maklum, waktunya selama ini banyak dihabiskan untuk bekerja keras karena dia yakin bahwa kekayaan dan kesuksesan hanya dapat diperoleh dengan bekerja keras. Tiada hari tanpa bekerja.
Dia menyapu pandangannya ke seluruh penjuru pantai untuk menikmati keindahannya. Dia kemudian melihat seorang nelayan yang sedang duduk santai di atas kapal nelayan sambil menikmati pemandangan pantai. Terusik dengan kesantaian orang tersebut, pengusaha ini pun mendekatinya.
“Pak, mengapa bapak tidak melaut?” sapa pengusaha kepada nelayan itu.

“Saya sudah melaut semalam dan saya perlu beristirahat,” jawab nelayan singkat.

“Kalau bapak melaut lagi, Bapak akan menghasilkan banyak ikan sehingga Bapak bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah perahu. Dengan perahu itu. Bapak tidak perlu lagi menyetorkan sebagian keuntungan Bapak kepada pemilik perahu.”

“Lalu?” kata nelayan menyela.

“Bapak bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk membeli perahu kedua, perahu ketiga, perahu keempat, perahu kelima, dan seterusnya.”

“Lalu?”

“Jika perahu Bapak sudah banyak. Bapak bisa menyewakannya kepada nelayan lain sehingga Bapak tidak perlu lagi melaut.”

“Lalu?”

“Bapak bisa hidup tenang dan bersantai.”

Nelayan itu tersenyum dan berkata, “Menurut bapak, apa yang sedang saya lakukan sekarang?”

Nasihat pengusaha itu baik. Namun, apa yang dilakukan nelayan itu justru mengajarkan kita satu hal, HIDUP HARUS SEIMBANG.
Semoga kisah ini memberikan pencerahan bagi kita akan pentingnya keseimbangan hidup. Jangan sampai kita sibuk (yang biasanya untuk mengumpulkan pundi-pundi materi), tetapi kehilangan kenikmatan dan kebahagiaan yang seharusnya bisa dinikmati kapan pun, tidak harus menunggu kaya dan dibilang “sukses” oleh orang lain yang biasanya ukurannya hanya sebatas materi.

Terima kasih untuk suamiku yang mengajarkan aku untuk menikmati keseimbangan hidup. U are d’best. Aku bangga padamu. @