Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Rabu, Januari 27, 2010

Bocah 13 Tahun Jadi Ayah; Inikah Tanda Akhir Zaman?




Apa yang terlintas dalam pikiran kita melihat ketiga anak di atas? Mungkin itu ketiga kakak-beradik yang sedang main game yang tampak begitu akrab. Ternyata salah. Mereka adalah sepasang ayah-ibu untuk bayi yang sedang digendong oleh bocah lelaki itu. Yah, bocah kecil usia 13 tahun itu telah menjadi ayah, sedang perempuan yang berada di sampingnya adalah ibu biologis dari anak yang sedang digendongnya. Usia mereka hanya terpaut dua tahun.

Alfie Patten sempat menghebohkan Inggris dan seluruh dunia ketika kekasihnya, Chantelle Steadman, mengandung dan mengatakan Alfie adalah ayah dari anaknya. Bagaimana tidak, Alfie ketika itu baru berusia 12 tahun dan Chantelle 15 tahun.

Kasus Alfie ini kemudian menjadi pemicu perdebatan tentang tingginya tingkat kehamilan di kalangan remaja Inggris. Bocah yang suaranya belum lagi pecah sebagaimana lazimnya seorang anak yang beranjak dewasa, mengaku belum tahu bagaimana dia dan kekasihnya akan mengurus putrinya, Maisie Rixane yang lahir pada tanggal 2 Februari 2009 lalu. Namun begitu, Patten berjanji akan menjadi ayah yang baik.

Chantelle mengetahui bahwa dirinya hamil setelah mengaku mengalami sakit perut parah.

"Aku dan Chantelle ke dokter. Dokter menanyakan, apakah kami pernah melakukan hubungan sex. Aku menjawab “ya”. Chantelle kemudian dites dan ternyata memang hamil. Aku bingung taktahu apa yang harus aku perbuat, aku pun menangis," Alfie mengisahkan.

Saat itu usia kandungan Chantelle berumur 12 minggu. Akan tetapi, mereka merahasiakannya sampai enam minggu kemudian ketika ibu Chantelle, Penny, 38, curiga dengan pertambahan berat badan anaknya yang berbeda dari anak seusianya.

Chantelle mengaku bahwa mereka berdua sangat beruntung karena mendapat dukungan dari kedua orang tua mereka walaupun mereka sadar akan mendapat tuduhan tidak bertanggung jawab. Kata Chantelle, "Kami tahu ini kesalahan kami, tapi kami tidak akan mengubah apa pun, kami akan menjadi orang tua yang baik!"

"Ketika ibu saya tahu, saya kira saya akan dimarahi. Saya taktahu bagaimana rasanya menjadi ayah. Namun begitu, saya akan bersikap baik dan merawatnya," ujar Alfie polos.

Kasus ini mengundang tanggapan serius dari Perdana Menteri Gordon Brown, sebaliknya seorang pemimpin oposisi dari Partai Konservatif menyatakan masalah ini merupakan contoh dari kehancuran kehidupan sosial di Inggris.

Ayah Patten, Dennis (45 tahun) dan putranya mengaku akan bertanggung jawab penuh atas peran barunya sebagai orang tua.

"Sebetulnya dia bisa saja menolak dan duduk tenang di rumah sambil main playstation. Akan tetapi tidak, dia ada di rumah sakit setiap hari," kata Dennis.

Menurut laporan Sun, seperti dilansir Antara, bayi yang berbobot 3,27 kilogram tersebut merupakan hasil hubungan tanpa alat kontrasepsi pada suatu malam. Saat itu Alfie baru berusia 12 tahun. Hubungan yang dilakukan hanya sekali itu ternyata membuahkan janin di perut Chantelle, pacar yang juga tetangganya. Mereka memang kerap tidur sekamar di rumah Chantelle atas sepengetahuan orang tua mereka. Alfie bahkan sering meninggalkan seragam sekolahnya di rumah Chantelle sehingga bisa langsung berangkat sekolah keesokan paginya.

Bingung dan tidak tahu apa yang harus diperbuat tentu saja menggelayuti bocah kecil ini. Dia tidak tahu risiko besar yang harus dihadapi seorang ayah, dia bahkan tidak tahu berapa harga popok bayi. Yah, Alfie tetaplah seorang anak usia 13 tahun yang hobi main komputer, tinju, dan penggemar berat Manchester United.

Meski awalnya mengaku takut, tapi ketika dinobatkan sebagai ayah termuda, Alfie seperti merasa bangga. Dia bahkan merasa kecewa ketika ada dua pria lain yang mengaku pernah tidur bareng dengan Chantelle dan meyakini kalau kemungkinan Maisie Rixane adalah anak mereka. Hal inilah yang kemudian memaksa Alfie melakukan tes DNA. Na’uzubillahi min dzalik. Benar-benar dijungkir-balikkan norma sosial masyarakat yang ada.

Kasus bocah yang menjadi ayah ini sebenarnya bukan yang pertama terjadi di Inggris. Sebelumnya pada tahun 1998, Inggris juga diguncang kasus kehamilan Emma Webster yang baru berusia 15 tahun yang dihamili tetangganya sendiri, Ian Stewart, yang tiga tahun lebih muda darinya. Keduanya akhirnya berpisah enam bulan setelah bayi mereka lahir.

Inikah Salah Satu Tanda Kiamat?

Di satu sisi saya merasa salut dengan kedua bocah ini yang mengambil keputusan untuk tetap melahirkan anak mereka meski rasa takut akan dimarahi oleh orang tua sempat menghinggapi hati mereka. Setidaknya mereka tidak terjerumus dalam dosa kedua kalinya dengan melakukan aborsi. Tetapi, tetap saja perbuatan mereka menunjukkan telah memudarnya tatanan moral masyarakat, bahkan mungkin menuju kehancuran. Apakah ini tanda-tanda akhir zaman?

Kiamat yang berarti berakhirnya kehidupan dunia adalah satu hal yang pasti terjadi, seperti tertulis dalam Al Quran surat Al Hajj, 22:7.

“Dan sungguh, (hari) kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya; dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa pun yang di dalam kubur.”

Allah merahasiakan kapan terjadinya kiamat, seperti firman Allah:

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang kiamat, ‘Kapan terjadi?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu, kecuali secara tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’”(QS. Al A’raf, 7:187)

Meski demikian, Allah memberikan tanda-tanda kapan waktu kiamat itu akan tiba. Menurut berbagai sumber, tanda-tanda kiamat ada dua: tanda-tanda kiamat besar dan tanda-tanda kiamat kecil.

Tanda Kiamat Kecil

Tanda kiamat kecil adalah tanda yang datang sebelum kiamat dengan waktu yang relatif lama dan kejadiannya biasa. Kejadiannya ada yang sudah muncul dan sudah selesai; seperti diutusnya Rasulullah saw., terbunuhnya Utsman bin ‘Affan, terjadinya fitnah besar antara dua kelompok orang beriman. Ada juga yang sudah muncul tetapi belum selesai, bahkan semakin bertambah, seperti,

1. Banyak terjadi perang dan kekacauan hingga menimbulkan banyak kematian, hancurnya kota-kota besar akibat perang, pembuatan senjata yang mematikan.
2. Banyak terjadi gempa bumi dan bencana alam lain.
3. Kemiskinan merajalela, kekayaan hanya dikuasai oleh sebagian manusia sedang manusia lain terpuruk dalam kemiskinan dan penderitaan.
4. Perbuatan zina merajalela; seks di luar nikah meningkat, merebak penyakit kelamin, diterimanya perilaku homo dan lesbian sebagai hal wajar dan biasa.
5. Pengingkaran terhadap agama dan ajaran Al Quran.
6. Kehancuran tatanan masyarakat; banyak terjadi perceraian, perpecahan keluarga, banyak lahir anak di luar nikah, banyak terjadi tindak kerupsi, pemakaian narkoba menjadi biasa, hilangnya tata nilai dalam berdagang, orang khianat dipercaya hingga kebohongan/kecurangan menjadi hal biasa pula, suap dianggap halal, banyak bermunculan kesaksian palsu, dan lain-lain.
7. Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak; seperti di bidang kedokteran/genetika hingga memungkinkan manusia berumur panjang, manusia berlomba-lomba membangun bangunan tinggi pencakar langit, waktu berlalu dengan cepat karena teknologi memungkinkan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat dengan hasil yang lebih baik, jarak yang jauh dapat ditempuh dengan waktu singkat, berita bisa diakses dalam waktu singkat secara luas melalui teknologi telekomunikasi dan internet, dan lain-lain.
(sumber : www.harunyahya.com)

Sumber lain menyebutkan tanda-tanda lain;
1. Sungai Efrat berubah menjadi emas.
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan terjadi kiamat sampai Sungai Eufrat menghasilkan gunung emas, manusia berebutan tentangnya dan setiap 100 terbunuh 99 orang. Setiap orang dari mereka berkata, ”Barangkali akulah yang selamat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Baitul Maqdis dikuasai umat Islam.
”Ada enam dari tanda-tanda kiamat: kematianku (Rasulullah saw.), dibukanya Baitul Maqdis, seorang lelaki diberi 1000 dinar tapi dia membencinya, fitnah yang panasnya masuk pada setiap rumah muslim, kematian menjemput manusia seperti kematian pada kambing dan khianatnya bangsa Romawi sampai 80 poin dan setiap poin 12.000.” (HR Ahmad dan At-Tabrani dari Muadz).

Beberapa hadits yang membahas tentang tanda-tanda kiamat kecil, di antaranya:

Dari Ali bin Abi Talib, Rasulullah Saw. berkata, “Akan datang di suatu masa di mana Islam itu hanya akan tinggal namanya saja, agama hanya bentuk saja,
Al-Qur’an hanya dijadikan bacaan saja, mereka mendirikan masjid, sedangkan masjid itu sunyi dari zikir menyebut Asma Allah. Orang-orang yang paling buruk pada zaman itu ialah para ulama, dari mereka akan timbul fitnah dan fitnah itu akan kembali kepada mereka juga. Semua itu adalah tanda-tanda hari kiamat.”


Sabda Rasulullah saw., “Apabila harta orang kafir yang dihalalkan tanpa perang yang dijadikan pembagian bergilir, amanat dijadikan seperti harta rampasan, zakat dijadikan seperti pinjaman, jauh dari ilmu agama, orang lelaki taat kepada istrinya, mendurhakai ibu, lebih dekat dengan teman dan menjauhkan ayahnya, suara-suara lantang dalam masjid, pemimpin kaum dipilih dari orang yang fasik, orang dimuliakan karena ditakuti akan tindakan jahat dan aniayanya bukan kerana takut kepada Allah. Semua itu adalah Tanda-Tanda Kiamat.”

Tanda Kiamat Besar

Tanda kiamat besar adalah perkara besar yang muncul mendekati kiamat yang kemunculannya tidak biasa terjadi.

Hudzaifah bin Asyad al-Ghifary berkata, sewaktu kami sedang berbincang, tiba-tiba datang Nabi Muhammad saw. kepada kami lalu bertanya, “Apakah yang sedang kamu semua perbincangkan.?” Lalu, kami menjawab, “Kami sedang membincangkan tentang hari Kiamat.” Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kiamat itu tidak akan terjadi sebelum kamu melihat sepuluh tanda :
1. Asap
2. Dajjal
3. Binatang melata di bumi yang dapat berbicara
4. Terbitnya matahari sebelah barat
5. Turunnya Nabi Isa as.
6. Keluarnya Yakjuj dan Makjuj
7. Gerhana di timur
8. Gerhana di barat
9. Gerhana di Jazirah Arab
10. Keluarnya api dari kota Yaman menghalau manusia ke tempat pengiringan mereka.

Hikmah di Balik Peringatan Kiamat

Tanda kiamat kecil berupa peringatan agar manusia sadar dan bertaubat. Sedangkan kiamat besar jika sudah datang, maka tertutup pintu taubat.

Kasus Alfie hanya salah satu tanda kiamat kecil, yaitu bobroknya nilai sosial dengan merajalelanya perzinahan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Na’uzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak mengalami dahsyatnya hari akhir itu meski kita semua pasti akan menjemput ajal. Satu hal yang kita harapkan adalah menjadi khusnul khatimah. Semoga. Amin.@

Jumat, Januari 15, 2010

“The Miracle of Love” from Dian Syarif Pratomo




Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Bila seseorang diuji dengan masalah tertentu, itu berarti Allah menganggapnya mampu untuk menghadapi masalah tersebut. Setiap insan di dunia ini akan diuji oleh Allah Swt. dengan ujian yang berbeda-beda. Maka, nikmatilah ujian itu sebagai proses meningkatkan kualitas diri dan keimanan.

Seperti ujian hidup yang dialami oleh Dian Syarif, seseorang yang mengidap penyakit Lupus bertahun-tahun lamanya. Satu penyakit yang luar biasa sakitnya. Kata seorang teman yang mengidap penyakit ini, saat Lupus menyerang, selembar kain yang menempel di kulit pun menimbulkan rasa sakit yang mendalam, seperti pisau yang mengiris-iris kulit. Itu pun katanya adalah penyakit teringan dari Lupus. Tidak terbayangkan bagaimana rasanya seseorang yang mengalamiLupus akut seperti yang dialami Dian Syarif yang pernah menjalani operasi hingga 15 kali karena penyakitnya ini. Subhanallah. Kisah hidupnya juga sudah dibukukan secara lengkap dengan judul “The Miracle of Love: Dengan Lupus Menuju Tuhan”.

Berikut wawancara saya dengan Dian Syarif sekitar tahun 2006 lalu. Kisah Dian pernah dimuat di Tabloid MQ.


Ingin Bahagia Dunia-Akhirat

Dian Syarif Pratomo, dalam kesehariannya selalu murah senyum dan nampak segar. Sekilas, orang tidak menyangka kalau wanita cantik, berkulit putih, dan berpostur tinggi langsing ini telah tujuh tahun mengidap penyakit Lupus atau SLA (Sistemic Lupus Erythematosus). Penyakit langka dan belum ada obatnya ini bahkan telah menyebabkan penglihatannya berkurang hingga tinggal 5%. Saat berbicara dengan orang lain, sorot matanya tetap terarah kepada lawan bicaranya. Sama sekali tidak menunjukkan kalau penglihatannya terganggu. Tapi, itulah kenyataannya. Sejak 1999 lalu, mantan Corporate Comunication Manager sebuah bank swasta nasional ini telah divonis Lupus oleh dokter.

Lupus yang Mengubah Hidup

Wanita yang terkenal aktif dan mandiri ini, selama 33 tahun hidupnya boleh dibilang tidak pernah sakit. Ia selalu nampak sehat dan fit. Gejala awal Lupus yang dideritanya pun hampir tidak ia rasakan. Justru teman-teman sekerjanya yang melihat gejala sakit di wajahnya yang nampak pucat. Saat melihat bintik-bintik merah di kulitnya, Dian pikir itu hanya penyakit kulit biasa. Ketika berobat ke dokter kulit, dokter menyarankan untuk cek darah. Dari hasil laboratorium, ternyata trombosit darahnya tinggal 10% dibanding trombosit normal. Bintik-bintik merah di kulitnya, diduga akibat demam berdarah. Dokter pun menyarankan untuk opname.

Hanya dalam beberapa jam, trombositnya semakin menurun hingga di ambang gawat. Akhirnya Dian opname di RS Pondok Indah. Ketika sumsum tulang belakangnya diambil, baru ketahuana kalau ternyata Dian terkena Lupus. Sejak itu Dian mulai mengonsumsi obat-obatan sejenis kortikosteroid dosis tinggi. Dalam sehari ia harus menelan 20 tablet Prednison. Obat itu memang ampuh menormalkan kembali trombositnya dalam waktu sebulan. Namun efek sampingnya, kulit Dian menjadi keriput seperti nenek-nenek, kaki mengecil seperti belalang, muka menjadi bulat seperti bakpao, mulutnya dipenuhi sariawan yang parah.

Hilangnya Penglihatan

Akibat terparah dari penyakit Lupus yang dideritanya adalah hilangnya penglihatan. Cornea matanya memang normal, tapi akibat Prednison dosis tinggi yang dikonsumsinya, Dian mengalami infeksi otak atau abses sehingga merusak syaraf penglihatannya.

Bagi sebagian besar orang, hilangnya penglihatan setelah menikmati indahnya dunia melalui mata adalah pukulan yang sangat berat, begitupun bagi Dian. Wanita kelahiran Bandung, 21 Desember 1965 ini merasakan hilangnya nikmat melihat saat pernikahan adik lelakinya. Waktu itu Dian dan suaminya, Eko Priyo Pratomo, ditugasi membacakan Al Quran dan saritilawah. Karena ingin tampil optimal, sebelum acara, Dian mencoba latihan. Saat membuka Al Quran terjemah, yang terlihat hanya tulisan yang membayang samar dan tak terbaca. Dicobanya membuka mata lebih lebar, dikucek-kucek, didekatkan, tapi tetap tak terlihat. Lalu ia mengganti dengan Al Quran yang lebih besar, tetap tak terbaca.

Merasa hal itu hanya kebetulan, Dian tetap berniat mengisi acara itu. Dalam perjalanan menuju masjid tempat dilangsungkannya pernikahan, Dian melihat gedung-gedung di sekitarnya nampak seperti bayang-bayang yang tak jelas. Sampai tiba menjelang prosesi akad nikah, Dian menjadi was-was, takut tidak bisa menunaikan tugas karena terganggu penglihatannya. Tapi keajaiban kemudian terjadi. Saat Mas Eko selesai membacakan beberapa ayat dari surat An Nisa, tiba-tiba matanya mampu menangkap dengan jelas huruf demi huruf di Al Quran terjemah yang ia pegang. Akhirnya Dian pun mampu membaca saritilawah Al Quran itu dengan lancar. Tapi, setelah itu penglihatannya kembali kabur, hanya berupa siluet dan bayangan hitam. “Alhamdulillah, untunglah tulisan terakhir yang bisa kubaca itu adalah ayat-ayat Al Quran”, ungkap Dian penuh syukur.

Melakukan Operasi

Kondisi penyakit Dian saat itu semakin kritis, sehingga harus berpacu dengan waktu. Karena harus segera mengambil keputusan, atas saran dari orangtua Dian yang juga seorang dokter, akhirnya Dian dibawa ke RS Mount Elizabeth, Singapura. Selama sebulan Dian dirawat di sana, ia harus menjalani enam kali operasi di kepala.

Karena penyakit ini tidak bisa disembuhkan kecuali mengurangi rasa sakitnya, proses pengobatan terus dilakukan Dian Setelah kembali dari Singapura. Selama lima tahun Lupus menggerogoti tubuhnya, total Dian mengalami operasi sebanyak 17 kali. Terakhir, Dian harus operasi pengangkatan rahim. Bagi wanita, kenyataan ini sungguh berat. Menjadi ibu dari anak yang dikandung dan dilahirkan dari rahimya adalah impian setiap wanita. Tapi, impian ini pun harus kandas. Meski berat, toh Dian tetap harus merelakan rahimnya demi keselamatan jiwanya.

Dukungan Orang-orang Terkasih

Tepat tanggal 24 Desember 2006 kemarin, Dian-Eko merayakan ultah perkawinannya yang ke-16. Perjalanan panjang penuh liku sebuah pernikahan telah mereka lalui bersama. Penuh romantika, banyak kejutan, dsb., apalagi saat diuji sakit. Enam belas tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Kondisi sakit yang dialami Dian, ternyata malah semakin mempererat tali suci pernikahan mereka.

Mas Eko sangat berperan besar dalam menyemangati Dian saat menghadapi masa-masa kritisnya. “Sakitmu ini adalah penggugur dosa-dosamu,” hibur Mas Eko. Begitupun saat Dian selesai operasi pengangkatan rahim. Satu kehilangan yang sangat berat bagi wanita. Mas Eko malah bercanda, “Selamat ya, hari ini kamu telah melahirkan si uterina (rahim, red).” Ungkapan-ungkapan seperti ini cukup membuat hati Dian terhibur. “Kalau saja tujuan utama kami menikah hanya untuk mendapatkan keturunan, mungkin sekarang kami sudah bubar,” tegas Dian.

Lalu, apa arti pernikahan bagi mereka? “Dalam pernikahan, hal yang penting adalah toleransi, keterbukaan, komunikasi, dan tentu saja cinta. Menurut saya, kekuatan cinta dapat menimbulkan keajaiban, mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin, bisa menjadi sumber energi, menimbulkan semangat serta gairah hidup,” ungkap Dian dengan hati berbunga.

Dian memang boleh berbangga dan berbahagia memiliki suami yang setia seperti Mas Eko. Setia, bukan hanya pada saat senang, tapi juga saat Dian sedang terpuruk dalam hidup. Presiden Direktur PT. Fortis Investment ini pun merasa bersyukur dititipi Dian sebagai istrinya, karena melalui Dian, tujuan hidupnya pun semakin terarah.

Mas Eko, yang menurut Dian agak introvert dan kurang romantis, ternyata pria yang sabar dan penuh pengertian. “Saya mulai memahami, bahwa sebenarnya keikhlasan Mas Eko merawatku adalah untuk kebaikannya juga. Saya bahagia menjadi ladang amal baginya”, ucap Sarjana Farmasi ini bahagia. Hal yang paling membahagiakan bagi Dian adalah ketika suaminya menghadiahi buku berjudul 15 tahun Perjalanan Cinta yang ditulis Mas Eko khusus untuk Dian di ultah perkawinan mereka yang ke-15. Mungkin inilah sisi romantis Mas Eko. Hal ini pula yang membuat Dian menganggap Mas Eko sebagai soulmate, belahan jiwanya yang sejati.

Selain suami, orang yang berperan besar dalam mensupport hidupnya adalah ibu kandungnya. Satu kalimat penyemangat dari ibunda tercinta yang masih terus terngiang di benaknya adalah saat Dian harus menghadapi kenyataan menurunnya fungsi penglihatan. “Dian, kalau sekarang mata kita tidak bisa digunakan lagi, kelak fungsinya akan digunakan oleh yang lain. Bisa oleh telinga, oleh hidung, oleh kulit, oleh rambut, oleh perasaan dsb.” Tentu saja masih banyak orang-orang terkasih yang mensupport Dian, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Dari merekalah Dian merasa ada. Dan mungkin juga, mereka ada untuk Dian.

Mendirikan Syamsi Dhuha Foundation

Sakit yang dialami Dian, tidak membuatnya terpuruk atau mengasingkan diri dari lingkungan. Saat sakit menyerang, ada saatnya ia harus istirahat. Namun, ketika fisiknya bisa kembali difungsikan, ia tetap siap bergerak mengabdikan kemampuannya untuk kebaikan bagi orang lain. Sakit fisik tidak menjadi penghalang baginya untuk berbuat sesuatu. “Kalau seseorang masih memiliki jiwa yang sehat, berarti ia masih bisa berbuat sesuatu yang berguna,” tegas Dian.

Melihat banyaknya penderita odapus (orang dengan Lupus) yang akhirnya meninggal karena kurang tertangani secara medis, atau kurang dukungan moral dari orang-orang terdekat, mengetuk hati Dian untuk berbuat sesuatu bagi mereka. Dian merasa beruntung dapat berikhtiar maksimal dari sisi medis, padahal biaya pengobatan odapus cukup tinggi, antara 3,5 juta - 7,5 juta per bulan. Sementara odapus tidak hanya menyerang orang kaya, tidak sedikit para penderita OKM (Odapus Kurang Mampu). Rasa syukur dan kepedulian ini ia wujudkan dengan mendirikan Syamsi Dhuha Foundation, sebuah yayasan yang peduli terhadap para odapus.

Sesuai misinya, “Sebagai sarana ladang amal untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”, saat ini Syamsi Dhuha (SD) memiliki empat program; pertama, care for lupus and care for low vision. Kegiatannya antara lain support group, kunjungan ke tempat-tempat odapus dan LoVi (low Vision), olahraga dan rekreasi, dll. Kedua, MIRSa. Sebuah tempat sharing dan diskusi untuk pengayaan wawasan di dari sisi spiritual. Ketiga, MEDISa. Selain melakukan pengobatan, memberikan pendidikan tentang Lupus, juga melakukan kegiatan sosial. Keempat, FINSa. Membuat kegiatan berkaitan dengan keuangan keluarga Islami, zakat dll.

Hikmah di Balik Ujian

Sebelum sakit, Dian menjalani kehidupan bak air mengalir, semua berjalan lancar tanpa kesulitan yang berarti. Nuansa keindahan selalu mengiringi hari-harinya, dari mulai masa kecil, sekolah, kuliah, bekerja, dan manikah. Namun, Dian mengakui, kesibukan dunia sempat melalaikannya dari kewajiban beribadah kepada Pencipta-Nya. Shalat sering dijalaninya sebagai sisa waktu, bahkan kadang terlewat karena kesibukan.

Ujian sakit ini, bagi Dian adalah bentuk kasih sayang Allah Swt. untuk kembali mengingat-Nya. Dian seolah tersadarkan akan tujuan hidup yang sebenarnya. Ia terus menggali hikmah di balik setiap kejadian yang dialaminya. Sambil tersungkur dalam sujud di sepertiga malam, Dian memohon ampunan Ilahi Rabbi, lalu berusaha menata kembali hidup dan kehidupannya. Doa dalam setiap shalat yang dilakukannya begitu tersemat di hati, mengiringi setiap langkahnya. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Swt.”

Dian pun semakin akrab dengan ayat-ayat Al Quran, terutama yang berkenaan langsung dengan masalah hidupnya. Seperti Q.S. Al Baqarah, 2: 153, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". Atau Q.S. Al Insyirah, 94: 5. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."

Setelah berikhtiar maksimal, Dian pun menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Allah-lah penggenggam setiap makhluk, Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Betapapun berat menjalani hidup dengan keterbatasan penglihatan, tapi justru kondisi inilah yang memotivasi Dian untuk mengoptimalkan panca indranya yang lain. Ia mulai menikmati keindahan dunia ini melalui indra pendengaran, indra penciuman dst. Ia mulai melatih kepekaan melalui alam, merasakan hangatnya mentari, hembusan angin. Bila Dian sempat mengunjungi pantai, mungkin Dian pun akan merasakan suara deburan ombak, bau anyir ikan yang kadang tersangkut di tepian pantai, pasir di kaki yang kadang terasa menggelikan, atau mengenali bau pasir.

Indra peraba pun ia optimalkan dengan belajar huruf braille, meraba serat baju dan membayangkan modelnya, dst. Dan satu lagi aset yang tak ternilai adalah pikiran. Melalui visual memory, menuntun Dian berasosiasi dan membayangkan apa yang seharusnya terlihat.

Satu lagi yang nampak secara fisik adalah lahirnya Syamsi Dhuha Foundation. Kalau Dian tidak sakit Lupus, mungkin saat ini Dian sedang menikmati karier puncak di bidang perbankan. Kalau Dian tidak sakit Lupus, mungkin Syamsi Dhuha Foundation tidak pernah ada. Mungkin inilah skenario Allah untuk Dian. Mungkin inilah tugas yang diamanahkan Allah kepada Dian. Dengan sakitnya, ia bisa care terhadap sesama odapus, bisa berempati sehingga mudah masuk untuk mensupport mereka. (Indah/MQ)***

Eko Priyo Pratomo (Suami Dian Syarif)


"Dian, Jalan Meraih Syurga Bagiku"

Dulu Dian tidak pernah sakit, sangat sehat dan aktif sekali. Tiba-tiba dalam tiga bulan pertama, mulai bulan puasa tahun 1999, kondisinya semakin droup. Saya sendiri nggak tahu apa itu Lupus. Maka ikhtiar pertama yang saya lakukan adalah mencari informasi melalui internet. Selain mencari informasi, ikhtiar pengobatannya dimaksimalkan. Makanya Dian sempat pindah dari satu rumahsakit ke rumahsakit yang lain. Meski merasa sedih, tapi kami tidak bisa diam, karena harus berpacu dengan waktu. Jadi harus cepat mencari info dan melakukan ikhtiar pengobatan.

Saat Dian berobat di Singapura, sekitar Februari-April, menurut saya dia sangat luar biasa. Keinginannya untuk sembuh, besar sekali. Apalagi ketika Dian harus mengalami operasi di kepala berkali-kali. Saya yang melihatnya saja merasa miris, karena saya bisa merasakan seperti apa sakitnya. Tapi Dian tetap mau menjalaninya.

Selama sebulan berobat di Singapura, saya terus berdoa untuk Dian agar cepat sembuh. Tapi, kenyataannya bukan malah sembuh, tapi tambah parah. Akhirnya saya sampai berfikir, “Wah kayaknya saya salah nih minta sembuh ke Allah.” Tapi, Dian tetap semangat menjalani operasinya. Saya bersyukur bahwa dia punya semangat yang begitu tinggi. Pada saat bersamaan, saya juga sudah menyiapkan diri menerima apa yang terbaik menurut Allah, apakah dia sembuh atau tidak. Jadi, saya sudah lebih pasrah. Mungkin semangatnya yang besar itulah yang memberinya kekuatan, sehingga keadaannya berangsur membaik.

Sebelum Dian diuji dengan sakit, saya dulu juga pernah mengalami cobaan dan sempat down. Saat itu saya menyadari bahwa setiap orang akan punya ujian yang sudah ditentukan oleh Allah. Tidak mungkin Allah memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Karena saya sudah pernah mengalami ujian sebelumnya, ketika Dian yang mengalami, mungkin satu-satunya yang bisa saya lakukan untuknya adalah bagaimana membuatnya tetap kuat. Saya katakan pada Dian, bahwa ujian hidup berupa sakit, adalah bagian dari cara melebir dosa. Itu support yang kasih ke dia secara spiritual.

Wajar kalau setiap pasangan ingin memiliki keturunan. Saat Dian divonis sakit, kami sebenarnya sedang dalam proses ikhtiar untuk mendapatkan keturunan. Tapi, akhirnya Dian sendiri sakit dan kondisinya seperti itu. Maka konsentrasi saya pun lebih terfokus untuk merawat Dian. Jadi, saya pikir, mungkin Allah tidak memberikan kami keturunan karena Allah punya ujian yang lain. Karena orang yang memiliki keturunan pun punya ujian. Memang anak adalah karunia. Tapi, semua itu tergantung bagaimana orangnya, bisa mendidik atau tidak. Kalau tidak bisa mendidik, akhirnya bisa menjadi cobaan yang mungkin lebih berat. Maka, semua kembali lagi kepada Allah, bahwa Allah punya rencana yang berbeda-beda bagi setiap orang.

Kalau ditanya apa yang membuat saya bisa sabar menyikapi sakitnya Dian, sebetulnya sederhana. Kalau saya lihat kembali proses selama Allah memberi ujian, menurut saya, ini adalah kesempatan bagi saya untuk belajar. Alhamdulillah saya diberi kesempatan, bahwa justru dengan sakitnya Dian, saya jadi termotivasi untuk belajar agama lebih banyak, belajar untuk membaca ayat-ayat Allah dari sisi sakitnya Dian. Dari situlah saya mendapatkan formulasi tujuan hidup yang lebih benar karena dulu, hidup seolah mengalir begitu saja; sekolah, bekerja, dst.

Allah selama ini telah memberikan banyak kemudahan kepada kami. Dengan segala kemudahan, belum tentu kami bisa berada di jalan yang benar. Tapi, setelah mendapatkan ujian ini, kami mencoba mencari hikmah yang sebenarnya di balik semua ini, sampai akhirnya menemukan tujuan hidup yang disepakati, yaitu bahagia di dunia dan di akhirat masuk syurga. Sekarang tinggal berfikir, apa yang bisa menjadi jalan bagi kami untuk bahagia di dunia dan akhirat? Dan saya menganggap, Dian ini sebagai jalan bagi saya untuk meraih syurga. Insya Allah. (Indah)***

Tentang Buku  
“The Miracle of Love: Dengan Lupus Menuju Tuhan”

 

Penulis : Eko P. Pratomo (Suami Dian Syarif)
Penerbit : Grup Syaamil, Bandung
Terbit : Tahun 2007
Tebal Buku : 228 Halaman

Sinopsis Buku:

Penyakit itu, yang kemudian dikenal sebagai LUPUS, adalah penyakit yang asing bagiku. Jangankan mengenalnya, mendengar nama itu sebagai penyakit pun baru aku ketahui ketika istriku tiba-tiba menjadi tidak berdaya dan harus menerima kenyataan bahwa dia harus hidup dengan penyakit Lupus. Padahal sebelumnya, kondisi kesehatan istriku cukup prima dan dia sangat aktif dalam berbagai kegiatan.

Barulah aku tahu, Lupus adalah penyakit autoimun, sejenis alergi terhadap diri sendiri. Zat anti yang dibentuk sistem kekebalan tubuh yang biasanya berfungsi melindungi tubuh melawan kuman, virus, dan benda asing, malah berbalik menyerang jaringan tubuh itu sendiri.

Ya…waktu itu istriku sempat bertanya, mengapa ini terjadi kepadanya, apa salah dan dosa yang pernah dia lakukan, mengapa harus Lupus, dan sederet pertanyaan lain. Inilah awal dari perjuangan panjang…perjuangan bukan hanya untuk mengatasi segala kesakitan dan kesulitan yang timbul, tetapi juga perjuangan mencari makna hidup di balik “musibah”.

Namun, Tuhan tidak pernah salah. Apa pun yang Tuhan berikan untuk hamba-Nya dalam setiap kejadian, ternyata selalu ada maksud baik-Nya, termasuk ujian dan “musibah” yang ditimpakan kepada kami berdua. Melalui sakitlah Tuhan hadir. Melalui sakit pula kami bias merasakan keajaiban cinta, kasih saying, dan kedekatan dengan-Nya.@

Kamis, Januari 14, 2010

In Memoriam Wahyu Ajeng Suminar



Ketika saya melihat buku "Endless Life: KIsah Perjuangan Hidup Seorang Marfan's Symdrome", saya teringat beberapa tahun lalu saat mewawancarai penulisnya, Wahyu Ajeng Suminar. Saat ini beliau telah tiada, namun semangatnya dalam menjalani hari-hari bersama Marfan's Symdrome menjadi inspirasi tersendiri bagi saya, mungkin juga buat orang-orang yang mengenalnya.

Berikut tulisan saya tentang Ajeng yang pernah dimuat di Tabloid MQ.

Bersahabat dengan Marfan's Syndrome
“Alhamdulillah, teman-teman terus memberi dukungan. Baik melalui telepon, SMS, atau menjenguk langsung. Ada teman dari luar kota, luar wulau juga wartawan. Mereka ingin saya tetap hidup”.

Sekilas, sosoknya yang tinggi kurus itu tidak nampak sebagai seorang pesakitan. Padahal ia mengidap Marfan Syndrome yang setiap saat bisa merenggut nyawanya. Cara bicaranya tegas dan penuh semangat. Pembawaannya penuh rasa percaya diri serta mudah akrab dengan siapa pun. Setiap diskusi dengannya, akan muncul bahasan-bahasan yang cukup intelek seperti anak kuliahan. Padahal ia tidak pernah sekali pun mengenyam pendidikan formal layaknya remaja seusianya. Dialah Wahyu Ajeng Suminar.

Divonis Mati

Penyakit Marfan's Syndrome, sebenarnya sudah bisa dideteksi sejak dalam kandungan. Tapi Marfan's yang diderita Ajeng, baru diketahui setelah dia menginjak usia tujuh tahun. Padahal, Wijayaning Wahyuni, ibunda Ajeng, seharusnya sudah bisa melihat “kejanggalan” pada putrinya ini sejak bayi. Pada waktu lahir, tinggi badan Ajeng sudah mencapai 56 cm dengan berat 4,3 kg. Untuk ukuran seorang bayi, tinggi badannya ini tergolong tidak normal.

Baru, setelah Ajeng mengalami gangguan pada penglihatannya, orangtuanya memeriksakan kelainan Ajeng itu ke poli mata RSUD Dr. Sutomo. Anehnya, setelah diperiksa oleh dokter spesialis mata, semua alat yang digunakan untuk memeriksa tidak mampu menembus mata Ajeng. Akhirnya dokter menyarankan untuk melakukan general check-up. Pemeriksaan terakhir dari rangkaian general check-up dilakukan di genetikal klinik. Di sana, Prof. dr. Amitaba memberi vonis Marfan's Syndrome pada Ajeng.

Sejak itu, baru diketahui mengapa selama ini tulang dan syaraf Ajeng mengalami pertumbuhan yang abnormal. “Tubuh saya gagal membentuk lemak. Akibatnya menjadi kurus dan tinggi,” ungkap gadis kelahiran Surabaya, 17 Maret 1985 ini. Pertumbuhan tulang yang abnormal itu mengakibatkan semua sendi tertarik. Lambat laun, hingga 1992, tertariknya semua sendi ini membuat aorta atau pembuluh darah besar jantungnya mengalami pembesaran. Kondisi ini juga membuat penglihatan Ajeng semakin menurun akibat banyaknya jaringan pengikat lensa mata yang lepas. Dokter memerkirakan dirinya akan mengalami kebutaan dan mati muda.

Sebagai upaya menangani penyakit Ajeng, RSUD Dr. Sutomo membentuk satu tim yang terdiri 27 dokter spesialis. Tetapi, akhirnya tim dokter ini angkat tangan. “Seluruh ilmu medis di dunia belum menemukan obat bagi penyakit yang saya derita,” ungkapnya.

Ditolak Sekolah

Akibat penyakit tersebut, Ajeng ditolak masuk SD. Alasannya, pihak sekolah tidak dapat memberi fasilitas khusus buatnya. “Waktu itu, jangkauan penglihatan saya hanya 3 cm dan jarak pandang hanya 3 m. Itu alasan pihak sekolah menolak saya,” papar Ajeng.

Untuk mengejar ketertinggalan dengan teman-teman seusianya, Ajeng belajar otodidak dengan membaca buku-buku pelajaran kakaknya. Kegiatan ini, setidaknya membuatnya tidak “kuper”. Apalagi Ajeng memang suka bergaul, sehingga membuatnya tidak terasing dari anak-anak lain.

Ketika berumur 8 tahun, atas saran dokter, Ajeng belajar huruf braille di Yayasan Pendidikan Anak Buta di Tegalsari, Surabaya. Namun, kondisi tubuhnya yang sakit-sakitan, membuatnya hanya bertahan tiga bulan. Akhirnya dokter menyarankan Ajeng kembali belajar di rumah.

Dengan metode home schooling yang diciptakannya sendiri, Ajeng mampu mengembangkan kreativitasnya. Dia ikut lomba cerdas cermat, lomba baca Al Quran, membuat perpustakaan mini, menulis cerpen dan puisi, ikut grup shalawat, bahkan pernah menjadi dai cilik yang memberi ceramah di kampungnya, kawasan perumahan Rungkut, Surabaya. “Rasanya seperti anak yang tidak sakit. Kondisi itu berjalan sampai saya berumur 12-13 tahun,” ungkapnya.

Ketika berusia 15 tahun, Ajeng mulai aktif mengembangkan potensi dirinya dengan mengikuti pelatihan fans club gratis untuk berlatih teater, menulis puisi, dan menjadi penyiar radio. Inilah yang membuatnya jadi lebih pede. Pelatihan itu dijalaninya tujuh bulan lamanya. “Terkadang ada perasaan minder. Namun alhamdulillah, banyak orang yang mendukung saya,” lontarnya. “Sehingga saya berkesempatan membaca puisi di gedung kesenian Cak Durasim,” lanjutnya kembali.

Dirikan Drugs Free Family

Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-18, Ajeng mendirikan kelompok gerakan moral anti narkoba dengan nama Drugs Free Family. Dia tergerak mendirikan gerakan moral ini setelah kakaknya meninggal akibat kecanduan narkoba. Melalui program PERDANA (Peduli Remaja dan Dewasa Anti Nerkoba), Ajeng dan timnya mencoba mengajak masyarakat untuk menanggulangi narkoba mulai dari keluarga. Tapi sayang, perjuangannya hanya berjalan beberapa bulan saja. Pasalnya, di akhir 2003, beberapa relawan mengundurkan diri, kondisi keuangan makin menipis, ditambah kesehatan Ajeng yang terus menurun.

Membuat Puisi yang Memotivasi

Tahun 2005, ketika kesehatannya mulai membaik, Ajeng kembali menekuni hobinya menulis puisi. Karya puisinya berjudul I Wait The Sun dan I See The Sun, berhasil memikat perusahaan asing, High Desert, yang mematenkan puisi Ajeng sebagai milik perusahaannya. Puisi tersebut dihargai dua setengah juta rupiah.

Tidak hanya sampai di situ, High Desert memberinya kesempatan menjadi motivator tingkat nasional dalam sebuah seminar yang mereka adakan. “Waktu itu sambutannya luar biasa. Saya memecahkan rekor standing offision terlama seminar tingkat nasional,” lontarnya. “Yang membuat saya bangga, sebagian besar peserta bilang, Ajeng saya terinspirasi oleh kamu. Alhamdulillah, ternyata saya dipakai Allah untuk tujuan yang bermanfaat,” sambungnya bangga.

Ajeng semakin sering diundang oleh radio-radio swasta di Surabaya untuk menjadi pembicara seputar motivasi. Dia pun kadang menjadi konselor. “Banyak yang minta motivasi dan konsultasi seputar keluarga, pribadi, dan kadang masalah rumahtangga. Padahal, saya sendiri belum nikah,” papar Ajeng sambil tertawa.

Dengan potensi yang dimilikinya, Ajeng pun berani membuat metode terapi super. Bahkan untuk mengembangkan potensinya, pengagum Aa Gym ini menawarkan kata-kata motivasi kepada Aa Gym untuk dipakai di salah satu produknya. Aa malah menyarankannya untuk membuat buku melalui penerbit MQS.

Selain ingin menerbitkan buku terapi super, Ajeng juga ingin mendirikan trainning centre motivasi yang diberi nama IQ (Inspiration of Qudwah) yang bertujuan memberikan inspirasi kepada orang untuk menjadi lebih baik.

Semalam Berjuang dengan Kematian

Januari 2006 lalu, kesehatan Ajeng kembali drop, bahkan sempat kritis beberapa kali. Pada saat itu, Prof. Dr. Teddy Ontoseno, SpA(K), Sp.JP. sampai berdiskusi dengan tiga dokter, yaitu Prof. JRG Kulpers (Belanda), Prof. Alberto (Brasil) dan Prof. Nakamura (Jepang). Mereka menyarankan operasi dengan menggantikan aorta jantung dengan bahan elastis. Tapi diperkirakan, keberhasilannya di bawah 50 persen. Pasalnya, Marfan Syndrome yang diderita Ajeng sudah akut.

Di saat kritis itu, Ajeng yang cerdas, penuh semangat, dan ceria itu benar-benar tak berdaya. “Leher saya seperti tercekik. Rasanya sakit banget. Nafas saya megap-megap (tersenggal-sengal, red). Jantung sering sakit, nyeri, dan badan kayak rapuh seperti orang sakau. Waktu itu keluarga saya sudah tidak punya uang untuk berobat ke rumahsakit. Jadi saya tetap bertahan di rumah, meski ibu memaksa saya ke rumahsakit,” katanya. “Alhamdulillah, banyak teman yang memberi dukungan. Baik melalui telepon, SMS, atau menjenguk langsung. Ada teman dari luar kota, luar pulau, juga wartawan. Pokoknya, yang datang ke sini tak pernah sepi. Mereka ingin saya tetap hidup,” kenangnya haru.

“Dari situ, motivasi saya untuk hidup bangkit kembali. Dalam hati saya katakan, saya harus bisa! Kalau kemarin saya bisa melewati masa kritis, sekarang pun saya harus bisa!,” ungkapnya penuh semangat. “Saya berjuang semalaman untuk tidak mati,” sambung Ajeng kembali.

Dengan izin Allah, masa-masa kritis itu berhasil dilewatinya. Bahkan, pada 3 Januari 2007 kemarin, diameter jantungnya menurun, dari 4,27 cm menjadi 2,6 cm. Jantung normal biasanya berdiameter sekitar 2 cm. Itu berarti jantung Ajeng sudah mendekati normal. Subhanallah. (Indah/MQ, laporan DIS) ***


Tanggapan Pakar;   

"Marfan's Syndrome, Termasuk Penyakit Langka" 

Oleh Prof. Dr. dr. Teddy Ontoseno, SpA(K), SpJP

Marfan's Syndrome adalah suatu kumpulan gejala klinis yang pertama kali ditemukan oleh Marfan. Sejenis penyakit kelainan genetik yang bersifat familiar. Kelainan genetik ini sebagai akibat terjadinya masalah pada gen fibrillin 1 yang terletak pada kromosom nomor 5 yang mengalami mutasi, sehingga kelainan ini mengandung sifat outosoma dominant (bersifat mempengaruhi sel-sel penyusun tubuh meski hanya terdapat di satu kromosom)

Gen ini bertugas mengendalikan fungsi dan pertumbuhan jaringan ikat di seluruh tubuh. Jaringan ikat itu menempati hampir seluruh organ tubuh, terutama pada sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah). Dari sistem jantung dan pembuluh darah ini, akan menimbulkan berbagai kelainan jantung. Dan yang paling rawan terserang adalah pembuluh darah aorta yang mengakibatkan dinding jantung menjadi tipis, sehingga tidak mampu untuk menahan aliran dan tekanan darah yang normal. Akibatnya, aorta jantung mengalami pelebaran, menipis, dan menggelembung yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan aneurisma atau pecahnya pembuluh darah yang bisa mengakibatkan penderitanya mati mendadak.

Di Indonesia, penderita Marfan's Syndrome termasuk langka, perbandingannya 1:10.000 bayi yang lahir. Manifestasi klinisnya, Marfan's Syndrome bisa muncul sejak bayi baru lahir, atau setelah dewasa. Tergantung derajat kelainannya.

Selain jantung, Marfan's Syndrome juga menyerang jaringan ikat yang ada di seluruh tubuh, di antaranya yang terdapat pada tulang dan syaraf mata. Ciri-ciri penderita Marfan Syndrome, mereka memiliki tubuh yang tinggi, lengan dan tangannya panjang dan lentur sekali, sehingga bisa ditekuk-tekuk. Badannya akan mengalami kebongkokan, sendi-sendi seluruh pergelangan tangan dan kaki mengalami kontraktur (adanya ketidakseimbangan antara jaringan otot dan jaringan ikat) sehingga menimbulkan kecacatan. Sedang pada syaraf mata, yang mengalami gangguan adalah daya akomodasi lensa dan retina mata, sehingga memengaruhi kemampuan melihat dan membaca. Bahkan bisa berakibat kebutaan.

Kemungkinan sembuh bagi penderita Marfan Syndrome sangat tipis. Pengobatan yang dilakukan pada mereka, tidak untuk menyembuhkan, tapi hanya mengurangi gejalanya saja. Marfan's Syndrome yang diderita Ajeng ini menarik perhatian saya untuk melakukan penelitian dengan mencari pedegri atau silsilah dari keluarga Ajeng yang menderita Marfan's Syndrome. Tetapi, itu sulit dilacak, karena Marfan's Syndrome ini bisa dialami oleh enam atau delapan generasi dari keluarga Ajeng yang lalu. Ajeng sekarang, mungkin terkena dampak dari kakek-neneknya dulu yang menderita Marfan's Syndrome.

Saya merawat Ajeng sudah sejak umur empat tahun. Ini adalah Marfan's Syndrome yang paling lama saya ikuti. Selama mengikuti perkembangannya, saya melihat Ajeng memiliki semangat untuk hidup mandiri, tidak mau bergantung dengan orang lain, pantang menyerah, dan selalu ingin mengoptimalkan kemampuannya.

Dulu Ajeng bisa membaca, tapi akhir-akhir ini dia sering sms ke saya dan mengatakan kalau penglihatannya menurun. Meski begitu, saya sangat respek sekali terhadap Ajeng, karena semangat hidupnya yang luar biasa. Saya menyarankan Ajeng agar tidak beraktifitas terlalu keras, karena pembuluh aorta jantungnya sudah sangat tipis.@

Tentang Buku Endles Life


"Pernahkan kau melihat seseorang yang hampir sepanjang hidupnya diberi kesehatan cuma sekian persen, dan sisanya adalah kesakitan namun dia ingin terus memberi manfaat pada orang lain?" begitu kata penulis pendamping Ajeng di buku Endless Life-nya.

Endless Life-Segala Sesuatu yang Tidak Membuatku Mati, Akan Membuatku Semakin Kuat


Kehidupan sering menghantarkan kita pada sebuah kenyataan dimana kita takdapat memilih. Kita tak mampu menghindari apalagi melawannya. Kita hanya bisa menjalaninya dengan ikhlas. Apakah itu takdir? Mungkin saja, tetapi bukankah kita sebagai manusia harus terus berusaha?

Kisah demi kisah kehidupan kerap menyentuh dan menginspirasi siapa saja. Begitu juga dengan kisah ini. Ketika anak manusia berikhtiar untuk kesembuhan dan mengisi harinya dengan berkarya secara nyata. Di antaranya adalah menulis sebuah buku yang kini ada di tangan Anda.

Buku ini merupakan sebuah biografi seorang Wahyu Ajeng Suminar, seorang pengidap Marfan’s Syndrome, sebuah penyakit yang tak biasa. Ketika buku ini diterbitkan, Ajeng tidak smepat menikmati hasilnya. Takdir menentukan lain. Suatu siang hari ke-18 bulan Ramadhan 1429 H (18 September 2008), Ajeng meninggalkan kefanaan di belakangnya untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.

Ajeng memiliki harapan yang luar biasa besar dengan terbitnya buku ini. Buku ini merupakan salah satu impiannya untuk mengantarkan pada impian-impiannya yang lain. Impian yang paling sering dia ungkapkan dalam setiap sesi wawancara dengan penulis adalah dia ingin menjadi seorang inspirator. Ajeng menganggap buku ini adalah sebuah milestone pencapaian prestasi hidupnya yang sarat dengan pengikatan hikmah dan makna. Dia percaya setiap orang adalah inspirator bagi yang lain, bahwa kebaikan kecil seseorang pada yang lain akan selalu berbalas, dan nilai luhur terbaik manusia adalah adanya kesadaran untuk menjadi lebih bermanfaat bagi sekelilingnya.

Menarik untuk disimak, perjalanan panjang seorang pengidap Marfan’s Syndrome yang takmenyerah kalah sampai detik terakhir kehidupannya. Ajeng memilih untuk berdamai dengan penyakitnya yang langka, berdamai dengan ujian kehidupan yang seakan tak kunjung reda menerpa, serta berdamai dengan mimpi-mimpinya sebagai manusia normal yang memiliki keinginan, cita, dan cinta. Menelusuri kisah kehidupan gadis yang tubuhnya terus ini membawa kita pada satu kesimpulan; hidup harus serta layak diperjuangkan, seberat dan sesulit apa pun jalannya. Hubungan yang sangat harmonis serta kompak antara Ajeng dengan Bu Yuni, ibunya, membuat sebagian diri kita menjadi malu dan meninjua ulang hubungan kita dengan orang tua, khususnya ibu. Tidak penting apa dan bagaimana hidup memberikan berbagai macam ujian pada kita, namun yang terpenting adalah bagaimana kita tidak menyerah olehnya.@

Rabu, Januari 13, 2010

Severn Cullis-Suzuki, Pengguncang KTT Bumi dengan Pidatonya



Severn mungkin bukanlah siapa-siapa, kalau dia tidak pernah memberanikan diri berpidato di depan para utusan dari berbagai negara di dunia pada usia 12 tahun. Saat itu dia diundang untuk menghadiri Konferensi Lingkungan Hidup PBB (World Summit) tahun 1992. Pidatonya yang disampaikan secara tegas dan lugas telah memukau para hadirin dan memberikan pengaruh besar. Isi pidatonya yang begitu kuat, bermakna sangat dalam hingga membuat para pemimpin dunia yang hadir saat itu bungkam taksanggup berkata-kata.

Apa yang disampaikan oleh seorang anak kecil berusia 12 tahun hingga membuat RUANG SIDANG PBB hening? Bahkan, setelah pidatonya selesai, ruang sidang yang penuh dengan orang-orang terkemuka berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah kepada anak berusia 12 tahun itu? Materi pidatonya bisa dibaca di sini.

Siapa Severn Cullis-Suzuki?

Server lahir di Vancouver, Kanada tanggal 30 November 1979. Ibunya seorang penulis bernama Tara Elizabeth Cullis dan ayahnya adalah David Suzuki, seorang aktivis lingkungan hidup. Dari ayahnya inilah pengetahuannya tentang lingkungan terpupuk dengan baik. Dia bahkan telah menjadi aktivis lingkungan sejak usia 9 tahun dengan mendirikan Environmental Children’s Organization (ECO), sebuah organisasi yang didedikasikan untuk belajar dan mengajar anak-anak tentang masalah lingkungan hidup. Dia mendirikan organisasi ini beserta teman-teman sekolahnya di Lord Tennyson Elementary School.

Pada tahun 1992, dia bersama teman-teman ECO mengumpulkan dana untuk bisa menghadiri World Summit di Rio De Jeneiro. Bersama anggota ECO lainnya, Michelle Quigg, Vanessa Suttie, dan Morgan Geisler, Severn Suzuki menyajikan pidato tentang masalah lingkungan hidup dari perspektif anak-anak di depan delegasi negara-negara. Pidato yang disampaikannya selama lima menit membuatnya dijuluki sebagai "Gadis yang Membungkam Dunia Selama 5 Menit".

Tahun 1993, dia mendapatkan penghargaan dari United Nations Environment Programme, yaitu Global 500 Roll of Honour. Prestasi lain, yaitu diterbitkannya buku Servern yang berisi 32 halaman oleh Doubleday berjudul Tell The World. Buku ini berisi panduan lingkungan untuk keluarga. Suzuki berhasil meraih gelar kesarjanaannya di bidang ekologi dan biologi revolusioner di Universitas Yale tahun 2002. Pada tahun yang sama, dia juga menjadi pemandu Acara Suzuki’s Nature Quest, sebuah acara anak-anak yang disiarkan oleh Discovery Channel.

Sampai saat ini, Severn Suzuki masih aktif terlibat dan mengembangkan proyek-proyek lingkungan hidup, seperti The Skyfish Project walaupun dibubarkan tahun 2004 karena kesibukan kuliahnya. Saat itu dia mengambil kursus sarjana di Universitas Victoria untuk studi etnobotani di bawah Nancy Turner.

Dia juga sempat berbicara di forum lingkungan hidup seperti di KTT Dunia Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg pada bulan Agustus 2002.

Bila dunia ini lahir lebih banyak lagi para Servern sejati, insya Allah dunia ini akan lebih nyaman kita tinggali, isu pemanasan global pun bisa lebih dikurangi. @

Pidato Severn Suzuki di World Summit 1992




Salah satu prestasi besar Severn Suzuki adalah membawakan pidato atas nama ECO di depan peserta World Summit tahun 1992. Pidato ini berhasil membungkam para delegasi karena anak 12 tahun memiliki pemikiran yang jauh ke masa depan tentang masalah lingkungan hidup. Berikut adalah terjemahan pidato Severn Suzuki di World Summit 1992 (sumber The Collage Foundation).

Halo, nama saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O – Enviromental Children Organization.

Kami adalah kelompok dari Kanada yang terdiri dari anak berusia 12 dan 13 tahun yang mencoba membuat PERBEDAAN: Vanessa Suttie, Morga, Geister, Michelle Quigg, dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk bisa datang kesini sejauh 6000 mil untuk memberitahukan pada Anda sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara Anda,

Hari ini di sini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja.

Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada di sini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang.

Saya berada di sini mewakili anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar.

Saya berada di sini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya di seluruh planet ini karena kehilangan habitat nya. Kami tidak boleh tidak didengar.

Saya merasa takut untuk berada di bawah sinar matahari karena berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernapas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yang dibawa oleh udara.

Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker. Sekarang kami mendengar bahwa binatang-binantang dan tumbuhan satu per satu mengalami kepunahan setiap harinya −hilang selamanya.

Dalam hidup, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar binatang-binatang liar, hutan rimba, dan hutan tropis yang penuh dengan burung dan kupu-kupu, tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal itu masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.

Apakah Anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini ketika Anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang?

Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahannya, tetapi saya ingin Anda sekalian menyadari bahwa Anda juga sama seperti saya!
Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita.
Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya.
Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah.
Anda juga tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di tempatnya yang sekarang hanya berupa padang pasir. Jika Anda tidak tahu bagaima cara memperbaikinya.
TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!

Di sini Anda adalah deligasi negara-negara Anda. Pengusaha, anggota perhimpunan, wartawan atau politisi –tetapi sebenernya Anda adalah ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi– dan Anda semua adalah anak dari seseorang.

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar yang beranggotakan lebih dari 5 miliar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air, dan tanah di planet yang sama –perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut.

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama, seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama.

Walaupun marah, namun saya tidak buta, walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.

Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan, kami membeli sesuatu dan kemudian membuangnya, beli dan kemudian buang. Walaupun begitu, tetap saja negara-negara di Utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan.

Bahkan, ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.

Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman dengan sandang, pangan, dan papan yang berkecukupan –kami memiliki jam tangan, sepeda, computer, dan perlengkapan televisi.

Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami menghabiskan waktu dengan anak”-anak yang hidup di jalanan. Salah satu anak tersebut memberitahukan kepada kami, “Aku berharap aku kaya. Jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan makanan, pakaian, obat-obatan, tempat tinggal, serta cinta dan kasih sayang ” .

Jika seorang anak yang berada di jalanan yang tidak memiliki apa pun bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih begitu serakah?

Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran Anda dapat membuat perbedaan yang begitu besar. Saya bisa saja menjadi salah satu dari anak-anak yang hidup di Favellas di Rio, bisa saja saya menjadi anak yang kelaparan di Somalia, seorang korban perang Timur Tengah atau pengemis di India.

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa jika semua uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemisikinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indah jadinya dunia ini.

Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, Anda mengajarkan kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain, mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang kita timbulkan, tidak menyakiti makhluk hidup lain, berbagi, dan tidak tamak.

Lalu, mengapa Anda kemudian melakukan hal yang Anda ajarkan untuk tidak boleh kami lakukan?

Jangan lupa, mengapa Anda menghadiri Konfrensi ini? Mengapa Anda melakukan hal ini? Kami adalah anak-anak Anda semua, Anda sekalianlah yang memutuskan dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharusnya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan mengatakan, “Semuanya akan baik-baik saja”. Kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan dan ini bukanlah akhir dari segalanya.

Tetapi, saya tidak merasa bahwa Anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas Anda semua?

Ayah saya selalu berkata, “Kamu akan selalu dikenang karena perbuatanmu, bukan oleh kata-katamu.”

Jadi, apa yang Anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari. Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami.

Saya menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut.
Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.

Servern Cullis-Suzuki telah membungkam ruang sidang Konfrensi PBB, membungkam seluruh orang penting dari seluruh dunia hanya dengan pidatonya. Setelah pidatonya selesai, serempak para hadirin di ruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah kepada anak berusia 12 tahun ini.

Setelah itu, ketua PBB mengatakan dalam pidatonya:
”Hari ini saya merasa sangatlah malu terhadap diri saya sendiri karena saya baru saja disadarkan betapa pentingnya lingkungan dan isinya di sekitar kita oleh anak yang baru berusia 12 tahun yang maju berdiri di mimbar ini tanpa selembar naskah pun untuk berpidato, sedangkan saya maju membawa berlembar–lembar naskah yang telah dibuat oleh asisten saya kemarin. Saya dan kita semua dikalahkan oleh anak yang berusia 12 tahun.”

Selasa, Januari 12, 2010

Dijual Sel Tahanan Kelas VIP




“Tersedia kamar tahanan ukuran 8 x 8 dengan fasilitas TV layar datar, kulkas, dan ruang ber-AC. Kalau mau fasilitas ruang karaoke khusus yang mewah, juga boleh.”

Sekilas, mungkin kita mengira itu iklan penawaran kamar hotel atau kamar kontrakan. Tetapi, ternyata itu bukan iklan penawaran kamar kontrakan atau kamar hotel. Itu adalah kamar tahanan kelas VIP di negara kita yang notabene dihuni oleh para koruptor kelas kakap. Entah berapa harga per kamarnya, yang pasti fasilitas itu benar-benar tersedia. Enak, dong ya….jadi tahanan seperti mereka. Makanan terjamin, tempat tinggal nyaman, hanya kebebasan saja yang tergadaikan.

Sementara di ruang tahanan lain kelas ekonomi, para tahanan harus berdesakan dalam satu kamar dengan kondisi memprihatinkan. Alasannya cukup klise, “Memang ruang tahanan kita sudah tidak cukup lagi menampung para NAPI yang semakin bertambah jumlahnya tanpa dibarengi penambahan ruangan.” Lagi-lagi dana menjadi kambing hitam. Tetapi, ironisnya, kok bisa ya membuat ruang tahanan mewah yang hanya dihuni oleh segelintir NAPI?

Akhir-akhir ini mencuat kabar mengejutkan kalau terpidana kasus suap dari Ratu Lobi Artalita Suryani (Ayin) menikmati ruang tahanan yang begitu mewah seperti yang saya gambarkan di atas. Masyarakat bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi? Kasus seperti ini sebenarnya sudah lama berlangsung di negeri ini, hanya saja selama ini seolah aman takterjamah pemberitaan publik. Kasus-kasus seperti inilah yang semakin menambah coreng-moreng dunia hukum kita. Kasus orang kecil yang hanya mencuri tiga buah kakau dipermasalahkan begitu heboh hingga pelakunya harus ditahan dalam hitungan bulan dengan fasilitas yang sangat kurang memadai. Padahal, kesalahan mereka hanya karena lapar. Tetapi, orang yang yang jelas-jelas mencuri uang negara miliaran malah difasilitasi tempat yang nyaman. Hm….miris.

Belum lagi dengan stigma lain yang muncul di kalangan para tahanan kasus narkoba, bahwa mereka justru semakin bebas mendapatkan barang haram di tempat mereka ditahan. Bukan hanya itu, mereka juga bisa bebas berpesta putaw, ganja, dan narkoba jenis lain di sana. Na’udzubillahi min dzalik. Muncullah stigma lain bahwa para tahanan justru menjadi semakin ahli dalam kejahatan yang mereka lakukan. Kalau dulu mereka hanya menjadi pemakai narkoba, setelah disel malah bisa menjadi bandarnya. Kalau dulu mereka disel karena mencuri ayam, setelah keluar mereka lihai mencuri kambing, sapi, dan sebagainya.

Kalau mau mengkritisi kondisi Lapas dan para tahanannya, sebenarnya banyak sekali catatan yang harus menjadi agenda perbaikan (meski saya bukan orang yang secara langsung berurusan dengan Lapas, kecuali sekali saja waktu diminta mengisi pengajian di Lapas khusus perempuan di Bandung). Mafia peradilan bolah dibilang telah menjadi ujung persoalan masalah ini. Tetapi, saya tidak akan membahas soal mafia peradilan ini karena saya bukan ahli hukum, politikus, pengamat hukum, atau pengamat politik. Saya hanya rakyat kecil yang merasa prihatin dengan persoalan yang menimpa negeri ini.

Saya mencoba melihat masalah para tahanan ini dari sisi dampak sosialnya. Apa jadinya negeri ini kalau para tahanannya justru merasa betah tinggal di tahanan? Nyatanya mereka sering keluar-masuk tahanan, berarti kan mereka betah. Kalau tidak betah, seharusnya mereka tidak sudi kembali ke balik jeruji besi. Butuh makan dan sulitnya mencari pekerjaan di luar tahanan menjadi alasan mendasar mereka kembali ke penjara.

Dipesantrenkan Saja

Sel tahanan ternyata tidak memberi efek jera bagi para NAPI. Di sana mereka bisa bertemu dengan orang-orang senasib, bisa sharing tentang keahlian mereka dalam dunia kejahatan. Tanpa pembekalan ilmu agama yang cukup (meski katanya guru ngaji/penceramah, pendeta, dan pemuka agama lain telah didatangkan untuk mengisi ruhiyah sesuai keyakinan mereka), mereka pun bisa semakin liar.

Tidak adanya “pola pembinaan” yang tepat yang mengarahkan mereka kepada pertobatan, mungkin inilah penyebabnya. Mereka hanya dikurung di suatu tempat agar tidak melakukan kejahatan di luar, tapi di dalam sel tidak diberi pengertian dan dan arahan untuk memerbaiki perbuatan mereka. Seharusnya tim “Tujuh Hari Menuju Tobat” yang pernah ditayangkan di TV masuk ke sel-sel tahanan agar para napi insyaf dan bertobat. Atau buat pola pembinaan ala pesantren masuk dalam kegiatan keseharian mereka. Tentu saja dengan fasilitas yang jauh dari kemewahan. Lha wong para santri saja dididik untuk hidup sederhana dengan makan seadanya, tidur hanya beralaskan tikar seperti Rasulullah Saw. Masak para tahanan yang seharusnya benar-benar dididik minimal menjadi pribadi lebih baik dari sebelum masuk rutan harus hidup bermewah-mewahan. Kapan mereka akan jera dan menyadari kesalahannya?

Kalau para anggota lapas ini sibuk ngaji, saya pikir tidak akan ditemukan lagi tahanan yang mengisi kegiatan di sana dengan luluran atau perawatan kecantikan lain seperti yang sering dilakukan Ayin, tahanan yang selalu tampak ayu dan kenes saat hadir di persidangan. Biarkan orang-orang seperti mereka mengisi kesehariannya dengan pertobatan. Hm….mungkin nggak, yah? Mimpi, kali ye…..@

Senin, Januari 04, 2010

Ternyata Dia Memang "Bidadari"




Hari ini dia sengaja datang ke kampus lebih pagi. Selain karena takingin terlambat di kuliah pertama, dia ada janji bertemu dengan Ustdz. Faridz di mushala kampus. Dia tegakkan dua rakaat shalat Tahiyatul Masjid, disusul dengan 4 rakaat shalat Dluha. Lalu, dia tengadahkan tangan melantunkan doa.
Dia menyambung ibadah paginya dengan tilawah tartil sambil menunggu ustadz datang. Seorang kawan menghampirinya. Dia tutup tilawahnya setelah menyelesaikan satu pojok.

“Assalamualaikum, Akh Ilham…,” sapa sang kawan ramah.
“Waalaikum salam warahmatullah… apa kabar, Akhi?” jawabnya sambil taklupa bertanya kabar.

“Alhamdulillah ana bikhoiir… antum sendiri gimana? Kabarnya udah siap nikah, nih…” mata sang kawan mengerling menggodanya. Dia cuma tersenyum, takberniat menanggapi gurauannya.
“Akh, di sini ada bidadari.”

Bidadari? Darahnya berdesir. Ah, bidadari, kesannya indah.

“Sini, ana tunjukkan orangnya. Ini akhwat luar biasa, anak kedokteran, prestasinya brilian, aktivis kampus, ketua pembinaan dan kaderisasi akhwat, akhlaknya mengagumkan, ibadahnya tidak diragukan. Dia pembina adik ane. Cocok banget sama antum!” kawannya menjelaskan panjang lebar, membuatnya penasaran.

Lalu, telunjuknya mengarah ke sosok seorang akhwat. Taklama, yang dibilang bidadari itu sudah terlihat jelas.

“Masya Allah… itu yang dibilang bidadari? Mana ada bidadari hitam legam? Yang kubaca dalam Ibnu Katsir, bidadari itu cantik sekali, kulitnya putih transparan seperti putih telur. Eh, mana ada di dunia yang begitu ya.. paling gak, kuning langsatlah. Masa black begitu. Black sweet, sih masih banyak yang mau, ini aku belum lihat sweet-nya.” Dia menggerutu dalam hati. Takberminat meneruskan percakapan.

“Akh, ane ke perpustakaan dulu, yaa….Bidadari itu, buat Antum, aja.” Dia berpamitan.
“lho… sama ane mah ga sekufu, akh!”
“Ya udah, assalamualaikum.”

Ilham beranjak meninggalkan kawannya. Baru beberapa langkah, seorang marbot memanggilnya dan menyerahkan amplop putih titipan dari Ustadz Faridz. Ustadz tidak bisa datang, makanya dia meniitpkan amplop itu.

“Hmm… ini biodata akhwat yang dijanjikan Ustadz,” langkahnya mantap menuju perpustakaan, tempat paling aman untuk membuka dan membaca biodatanya.

Dia duduk di sana, mengatur nafasnya yang terengah, bukan karena capek, tapi sibuk menahan deburan dalam dada. Perlahan dia membuka amplop itu, sengaja dia tinggalkan selembar foto di dalamnya, dia akan melihatnya nanti.

“Bismillahirrahmaanirrahiim…,” dia kuatkan hati membaca susunan huruf demi huruf dalam biodata. “Akhwat luar biasa, usianya, dua tahun dibawahku, lumayan. Pendidikan, kedokteran umum XX (sedang koas), Alhamdulillah… ayah dan ummi pasti senang sekali. Sepertinya pas untukku.” Gumannya bahagia. Dia berbunga-bunga. Lalu, diambilnya selembar foto di dalam amplop, ah… sebentar, biar kutenangkan diri… Bismillah…

Ah… kenapa akhwat ini?? Keluhnya. Bunga-bunga yang tadi bermekaran luruh satu persatu, beterbangan diterpa angin. Lunglai tubuhnya seolah tidak bertenaga. Sesak memenuhi rongga dada.

Kenapa akhwat ini yang disodorkan padaku? Dia kembali mengeluh. Terbayang kembali akhwat berkulit legam dan sama sekali tidak cantik menurut ukurannya. “Semoga dia bukan jodohku…” doanya lancang. Ustadz… masa sih, nyariin aku kayak gini? Kalau kayak gini sih, aku juga bisa nyari sendiri. Congkak mulai merasuk.

Dikeluarkannya selembar foto. Foto diri yang sangat dibanggakan. Dia menatap mata elang yang mengagumkan. Hidung yang mancung, bentuk muka yang menawan. “Apakah salah jika aku menginginkan akhwat sholihah yang cantik?” Dia mendesah resah.

Dia Memang Bidadari

Ilham berusaha menyerahkan semua keputusan pada Allah. Dia akan berikhtiar dengan wajar dan berdoa dengan kesungguhan. Walau dia belum punya kemantapan, namun dia akan mengosongkan perasaan buruk di hatinya. Dia akan berangkat dengan perasaan netral. Dia ingin semua langkah dimulai dengan kebersihan hati, kelurusan niat, ketergantungan yang besar pada Allah, dan kesungguhan ikhtiar. Dia takingin mengedepankan nafsu apalagi diiringi segala penyakit yang mengusamkan kalbu.

Taaruf yang dijalaninya bersama ukhti Dede--nama akhwat yang disodorkan Ustadz Faridz--sangat wajar dan biasa saja. Dia didampingi Ustadz Faridz, sedangkan Dede didampingi istri beliau. Komunikasi berjalan dengan baik, penyatuan persepsi lancar, pengungkapan kondisi keluarga dan latar belakangnya juga lancar.

Ilham merasakan ada yang menarik hatinya. Wajah berkulit hitam itu memendarkan cahaya. Benar kata adiknya, jika berbicara sedap dipandang dan didengar. Inilah relativitas kecantikan, meski ada kecantikan yang diakui semua orang.

Ilham sempat deg-degan dan merasa was-was ikhtiarnya akan gagal ketika orang tua Dede mengujinya.

“Abah sudah dengar tentang kebaikan akhlak dan aktivitasmu. Sekarang Abah ingin mendengar langsung bacaan Quranmu. Abah takkan menyerahkan putri Abah pada seseorang yang tidak bagus bacaan Qurannya.” Begitulah ujiannya. Alhamdulillah semua lancar dan dia diterima meski banyak catatan.

Hingga tibalah waktu yang dinanti. Hari ini seharusnya Ilham dan keluarganya datang untuk mengkhitbah Dede. Hari ini seharusnya rombongan berangkat dengan wajah berseri. Namun, Allah membuat rencana yang sangat berbeda. Ilham yang semalam penuh diliputi senyum simpul, kini banyak menunduk dan beristighfar.

Sungguh siapa sangka, lamaran kali ini gagal. Dede, sang aktivis dakwah yang telah menjual diri dan jiwanya untuk berjihad fii sabiilillah, pulang ke rumah orang tuanya, bukan untuk dilamar, melainkan untuk dimakamkan.

Takdir Allah terjadi atasnya. Selama ini dia giat berdakwah di sebuah desa tertinggal. Desa yang dahulu nyaris kehilangan keislamannya, bergairah kembali dengan pembinaan rutin dari Dede dan kawan-kawannya. Rupanya, hal itu tidak disenangi oleh misionaris yang selama ini hampir berhasil memurtadkan penduduk desa itu.

Dia dibunuh dalam perjalanannya sepulang dari baksos di desa itu karena mempertahankan akidahnya. Mereka tidak berhasil memaksanya untuk menukar keyakinannya dan meninggalkan aktivitas dakwahnya.

Ilham tercenung menatap tanah merah basah di pekuburan itu. Di dalamnya bersemayam jasad sang mujahidah. Bidadari yang hendak disuntingnya. Semilir angin menghembuskan wangi kesturi, wangi para syuhada.

Dalam desahnya dia bergumam, “Kau ternyata wanita agung. Kau lebih mulia daripada bidadari. Seorang Ilham tidak diizinkan Allah untuk sekadar mengkhitbahmu, apalagi memilikimu. Maafkan aku yang dulu sempat sombong terhadapmu.” Wajahnya tertunduk dalam.

“Subhanallah… aku takmengira bahwa kau adalah bidadari yang diturunkan Allah untukku. Allah menurunkanmu bukan untuk kumiliki, tetapi untuk menegurku dari segala kesombongan,” Gumamnya penuh penyesalan.

(Lembaga Muslimah Wahdah Bandung)