Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Jumat, Juni 12, 2009

Asah, Asih, Asuh





 Oleh Indah Ratnaningsih


Dengan terus meng’asah’ kemampuan mendidik anak, dilandasi dengan ’cinta dan kasih sayang’ dalam peng’asuh’an yang tepat, insya Allah harapan memiliki anak yang shaleh dan shalehah akan terwujud.

“Asah, Asih, Asuh”, kata yang begitu manis, terangkai menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan, saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai simbol kasih sayang. Rangkaian kalimat yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun pernahkah kita merenungkan lebih jauh akan makna yang tersirat di dalamnya? Terutama dalam hubungannya dengan pendidikan anak.

Sahabat...
Pernahkah kita memerhatikan anak kita ketika sedang mengasah pinsilnya dengan serutan? Awalnya ia akan melihat-lihat pensil dan serutan yang kita berikan, dibolak-baliknya sedemikian rupa. ”Gimana cara make alat ini?”, pikirnya. Ketika ia menemukan lubang pada serutan, ia pun memasukkan pinsilnya ke lubang itu. Mulailah ia memutar pinsil dalam lubang serutan. Sedikit demi sedikit pinsilnya terasah, semakin lama semakin runcing. Giranglah hatinya melihat hasil kerjanya.

Sahabat...
Seperti seorang anak yang mengasah pinsil dengan serutan, begitupun kita memaknai kata ’asah’ dalam mendidik anak-anak kita. Di balik kata ’asah’ ada pembelajaran, ada ilmu yang harus digali. Bila pinsil dan serutan adalah alat, maka alat untuk mendidik anak adalah ilmu. Ada suatu pernyataan bahwa pendidikan anak dimulai jauh sebelum seseorang menikah. Karena disadari atau tidak, meski belum menikah, sudah terangkai dalam pikirannya tentang bagaimana ia kelak mendidik anak-anaknya. Hingga bacaan-bacaan tentang pendidikan anak pun ia lalap. Sampai kemudian melalui proses ta’aruf, dalam penyatuan visi dan misi rumah tangga, soal pendidikan anak pun dibahas di sana. Dalam hal ini Ibu Lutfiah Sungkar mengingatkan, ”Kesalahan memilih suami berarti salah memilihkan bapak bagi anak-anak kita, sebaliknya kesalahan memilih istri berarti salah memilihkan ibu bagi anak-anak kita”. Proses menggali ilmu sebagai cara untuk menambah kemampuan mendidik anak, harus terus berjalan sampai ajal menjemput kita. Karena semakin anak beranjak dewasa sampai beranak cucu, semakin bertambah pula potensi masalah. Menuntut orang tua untuk semakin arif dalam mensikapinya. Sedang kearifan hanya didapat dengan ilmu.

Sahabat...
Menguasai ilmu tentang mendidik anak secara teori belumlah cukup. Ada hal lain yang harus digali dari dalam diri kita, yaitu cinta, kasih sayang dan ketulusan. Allah yang bersifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Pengasih dan Penyayang), telah menurunkan setitik sifat-Nya yang satu ini pada manusia. Ketika kita memerhatikan anak perempuan kita sedang bermain boneka, apa yang bisa kita gali dari sana? Digendongnya boneka yang dianggapnya sesosok bayi mungil, didekap dan diajaknya bercengkrama layaknya bayi sungguhan. Seolah terpancar rona penuh kasih di wajah mungil anak kita. Ternyata Allah telah menanamkan rasa ’asih’ dalam jiwa sejak kita masih balita, bahkan mungkin sejak dalam kandungan. Nampak ketika bayi lahir ke dunia, tangisnya pun dirindukan orang-orang di sekitarnya, melihat wajahnya membuat rasa ’asih’ seketika merasuki relung hati kita. Rasa ’asih’ inilah yang harus dikembangkan ketika mendidik anak-anak kita. Sebagus apapun metoda pendidikan anak yang kita terapkan, bila tanpa ’asih’, akan terasa hambar. Karena anak bukanlah sebuah boneka atau robot yang dapat dibentuk semau kita. Harus didukung dengan cinta, dibina dengan kasih, dan dibentuk dengan rasa sayang. Namun demikian, bukan berarti harus memanjakan anak.


Sahabat...
Asah dan asih belumlah lengkap tanpa asuh. Pembinaan, pengarahan, dukungan baik secara langsung atau tidak, mutlak diperlukan. Penerapan metode pembinaan bisa sesuai teori yang kita dapat, namun akan lebih mengena bila pembinaan dibarengi dengan contoh kongkrit. Kembali pada seorang anak yang mengasah pinsil, ketika proses pembelajaran dari memerhatikan suatu benda (pinsil dan serutan), sampai akhirnya ia memutuskan mengasah pinsil dengan cara demikian, akan lebih cepat dan tepat bila sebelumnya ia sering melihat cara mengasah pinsil dari orang tua atau orang-orang di sekitarnya. Karena itu berilah contoh terbaik bagi anak kita.

Sahabat...
Dengan terus meng’asah’ kemampuan mendidik anak, dilandasi dengan ’cinta dan kasih sayang’ dalam peng’asuh’an yang tepat, insya Allah harapan memiliki anak yang shaleh dan shalehah akan terwujud. Namun harus tetap memasrahkan urusan kita pada Allah. Seandainya Ia berkehendak mengambil anak kita atau mendidik anak kita dengan cara-Nya, kita pun harus ikhlas menerimanya. Wallahu a’lam (Tabliod MQ, Juni 2004)

1 komentar:

  1. "jika kau ingin mengetahui perwatakan seseorang, maka tanyakanlah pada teman-temannya".

    dan, kayaknya sal bilang, "kalau kau hendak menilai kedewasaan jiwa seseorang,maka, pantulkanlah dari perilaku anak-anak hasil didikannya".

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.