Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Rabu, Oktober 30, 2013

Kunci Sukses Entrepreneur Dunia



Kesuksesan adalah dambaan setiap insan di dunia ini. Hanya saja, makna kata “suskes” bagi setiap orang berbeda-beda. Ada yang mengartikan kesuksesan adalah orang yang kaya akan materi, ada juga yang mengartikannnya sebagai orang yang berkedudukan tinggi di masyarakat, atau bahkan dua-duanya. Namun, ada juga yang merasa sukses cukup dengan memberi manfaat bagi banyak orang disekitarnya meski hidupnya tidak berlimpah harta.

Apa pun makna sukses bagi setiap orang, yang pasti, hampir setiap orang akan berlomba-lomba mengejar kesuksesan dalam hidup. Berbagai cara ditempuh untuk meraih status “sukses” ini, dari yang halal hingga yang melanggar etika masyarakat dam agama. Ada yang mampu meraih kesuksesan yang diinginkan, tetapi ada pula yang justru terjerumus pada kegagalan hidup yang menyedihkan. Tragisnya, ada yang kemudian bunuh diri karena merasa tidak mampu bangkit dari kegagalannya.

Lalu, Bagaimana sebenarnya jalan menuju kesuksesan tersebut? Buku ini akan membawa Anda belajar dari kehidupan entrepreneur dunia dalam proses meraih kesuksesannya, sekaligus menganalisis arti kesuksesan bagi mereka. Ada sepuluh entrepreneur dunia yang dikisahkan, yaitu Bill Gates; Thomas J.Watson, Sr.; Howard Schultz; Kolonel Harland Sanders; Konosuke Matsushita; Soichiro Honda; Gottlie Daimler dan Karl Benz; Sam Walton; Walt Disney; dan Mark Zuckerberg. Bukan hanya kesuksesan mereka yang diulas, dalam buku ini juga diungkapkan kegagalan-kegagalan dan kesalahan mereka dalam menjalankan bisnisnya. Dari sana, kita bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Selain itu, kita juga akan belajar dari mereka cara keluar dari “masa krisis” tersebut.

Selasa, Oktober 22, 2013

Cerita Cinta Ibunda

Sekarang, setiap kali melihat Ibu, yang ada hanyalah rasa ingin menangis.
Aku tetap mengakuinya sebagai ibuku, aku tidak mengingkarinya, tapi aku tidak sanggup berhadapan dengannya.
Setiap kali menatap mata Ibu, yang terbayang adalah bagaimana dia mengkhianati cinta dan kepercayaan Bapak.


Bagaimanakah Ibumu?

Apakah beliau baik, penyayang, dan sabar? Galak, disiplin, dan keras? Ya, semua itu adalah gambaran ibu. Ibu yang akan selalu ada di hati kita dan kita sayangi, meskipun sang ibu telah berbuat kesalahan dan tak sempurna.

Ada banyak cerita tentang ibu. Elegi, balada, tragedi, dan juga komedi. Bagaimanapun sosok ibu, baik ataupun buruk, kita akan tetap menyediakan sebuah sudut di hati untuknya. Karena ibu adalah alasan kita ada di dunia ini.

Cerita Cinta Ibunda mempersembahkan kumpulan kisah-kisah nyata. Kisah terpilih dari lomba Kisah Kasih Ibu milis Word Smart Center dan Mizan. Kisah-kisah yang penuh inspirasi dan memberikan harapan agar kita menjadi lebih baik, demi ibu.

"Suara terindah yang pernah didengar manusia ada di Ibu, Rumah, dan Surga." (William Goldsmisth Brown, Inspirational and Motivational Speaker)


Alhamdulillah salah satu tulisanku berjudul "Anakku adalah Nyawaku" tercantum sebagai salah satu kisah dalam buku ini.

Anakku adalah Nyawaku


 
“Anakku adalah nyawaku,” begitu Ibu Elis menggambarkan tentang kasih sayangnya kepada putri tunggalnya.
Tidak ada seorang ibu pun di dunia ini yang tidak menyayangi anak kandungnya sendiri, anak yang selama sembilan bulan bersemayam di rahimnya sebagai buah cintanya. Begitupun Bu Elis. Dia sangat menyayangi Dini, putri tunggalnya, betapa pun kondisi fisiknya bolah dibilang tidak sempurna. Kasih sayang, keteguhan, ketabahan, kesabaran dalam mendidik anak semata wayangnya inilah yang membuat saya begitu mengagumi sosok Bu Elis.
Pada awalnya, saya mengagumi anaknya, Dini. Meski kondisi fisiknya memiliki keterbatasan, dia tampak tetap ceria seperti remaja lain seusianya. Kehidupannya pun cukup religi dalam usia yang sungguh muda−waktu itu dia masih SMP, sekarang SMU. Saya pernah mewawancarai Dini untuk majalah tempat saya bekerja sebagai wartawan. Perkenalan secara langsung ini membuat saya semakin mengaguminya hingga memunculkan pertanyaan dalam benak saya, “Ibu seperti apa yang telah berhasil membuat anak ketegar Dini?” Bagaimana pun, Dini bisa menjadi seperti itu pasti karena ada campur tangan dari seorang yang paling berpengaruh dalam hidupnya, yaitu mamanya.
Tidak sulit bagi saya untuk mengenal mamanya Dini karena setiap saya datang ke rumahnya dia selalu ditemani oleh mama tercintanya ini. Sejak saat itulah saya mengenal keluarga kecil ini.
Sebenarnya, Ibu Elis memiliki tiga anak, tetapi kedua anak yang lain meninggal dunia saat mereka masih bayi. Ibu Elis sangat menyayangi anaknya sepenuh hati meski anaknya memiliki keterbatasan fisik yang membuatnya tidak bisa berjalan normal seperti anak sebayanya yang lain. Tangan kanannya pun tidak bisa difungsikan secara normal.
Pada saat orang tua lain mungkin merasa malu memiliki anak cacat, bahkan kadang menyembunyikannya dari khalayak, Ibu Elis tidak pernah malu mengakui kalau anaknya memang memiliki keterbatasan.
“Mungkin ini ujian dari Allah yang harus saya terima, Teh,” kisah Bu Elis kepada saya.
 “Tapi, saya takpernah malu apalagi menyembunyikan anak saya dari pergaulannya. Memang, kadang muncul rasa kasihan kepada anak saya ketika melihat dia dijauhi teman-teman sepermainannya. Tapi, perasaan itu muncul karena rasa sayang seorang ibu yang tidak ingin melihat anaknya sedih,” lanjutnya dengan perasaan dalam.
Demi ingin melihat anaknya bisa memiliki sahabat sepermainan, Bu Elis kadang sampai rela merogoh uang receh untuk dibagikan kepada teman-teman main Dini agar mereka mau bermain dengan Dini dan tidak meninggalkannya sendirian atau berbuat nakal kepadanya.
“Main di rumah saja, yah, ntar ibu kasih uang jajan,” janji Bu Elis kepada teman-teman Dini yang sedang bermain di rumahnya.
Pada saat Dini ingin jajan, Bu Elis memenuhi janjinya untuk memberikan uang jajan pula kepada teman-temannya.
 Bukan hanya itu, saat waktu makan tiba, dia pun menyediakan makan beberapa piring untuk teman-teman Dini yang kebetulan sedang bermain bersamanya. Entah benar atau tidak secara teori pendidikan anak, tetapi dengan keterbatasan pengetahuannya tantang pendidikan anak, hanya itulah yang dia tahu untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Bu Elis hanya ingin melihat anaknya memiliki teman-teman bermain selayaknya anak yang normal. Dia tidak ingin anaknya ditinggalkan oleh teman-temannya hanya karena keterbatasan yang dimilikinya.
Sebenarnya, Dini lahir ke dunia ini dalam kondisi normal, beratnya sekitar 3 kg dan sehat. Akan tetapi, entah mengapa hingga usianya dua tahun dia belum juga bisa berjalan seperti anak-anak sebayanya. Baru pada usia empat tahun Dini mulai menunjukkan perkembangan hingga akhirnya dia bisa berjalan. Saking bahagianya, Ibu Elis mengadakan syukuran dengan mengundang anak-anak sebaya Dini untuk mengikuti acara “selamatan” di rumahnya, semacam makan-makan kecil sambil berdoa bersama.
***
Hari demi hari berlalu, tetapi perkembangan fisik Dini tidak terlalu signifikan. Cara berjalannya masih sedikit terseok, bicaranya masih balelo, tangannya pun belum bisa digerakkan secara leluasa. Mulailah muncul kecurigaan di hati Ibu Elis. “Ada apa dengan anak saya?” batin Bu Elis gundah.
Bu Elis pun mulai membawa anak semata wayangnya ini ke berbagai pusat pengobatan, baik medis maupun alternatif. Bertahun-tahun dia berikhtiar demi kesembuhan anaknya. Setiap ada orang yang memberi informasi pengobatan yang sekiranya cocok untuk anaknya, dia datangi. Proses pengobatan ini tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi untuk melakukan terapi. Meski bukan dari keluarga kaya dan berkecukupan, Bu Elis tetap mengupayakan berapa pun biaya yang dibutuhkan untuk kesembuhan anaknya. Salah satu terapis yang didatanginya mendiagnosa kalau kemungkinan Dini pernah jatuh sewaktu balita, tetapi tidak tertangani dengan baik. Bu Elis tentu saja kaget karena selama ini dia merawat anaknya dengan baik. Sampai muncul pengakuan dari neneknya Dini kalau Dini memang pernah jatuh sewaktu diasuhnya. Bu Elis memang sering menitipkan anaknya kepada mamanya atau neneknya Dini ini ketika dia sibuk atau kadang neneknya sendiri yang ingin bermain bersama cucunya.
Nasi sudah menjadi bubur, bukan saatnya lagi menyalahkan siapa-siapa. Toh semua terjadi bukan karena disengaja. Selama ini neneknya Dini pun sangat menyayangi Dini lebih dari cucu-cucunya yang lain. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar kondisi fisik Dini bisa pulih, syukur-syukur bisa benar-benar normal seperti anak-anak lain.

Mendidik Kemandirian kepada Putri Tunggalnya
            Ketika mengetahui anaknya memiliki keterbatasan dalam saraf geraknya, sempat muncul kekhawatiran di benak Bu Elis akan masa depan anaknya, terutama dalam soal pendidikannya. Apa ada sekolah yang mau menerima anak saya nanti dengan kondisi fisik seperti itu? Begitu batin Bu Elis. Waktu itu dia belum mendapat informasi memadai tentang Sekolah Luar Biasa (SLB). Kalau memasukkan anaknya ke sekolah umum, dia khawatir Dini tidak bisa mengikuti pelajaran sekolah dengan baik. Meski otak anaknya normal, tetapi cara geraknya serba terbatas. Siapa yang akan membantunya bila dia ingin ke kamar kecil, misalnya. Bagaimana kalau teman-temannya tidak bisa menerima dirinya sepenuhnya, bahkan mengolok-olok dirinya? Serta banyak pertimbangan dan kekhawatiran lain yang membuatnya sibuk mencari informasi sekolah khusus untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan seperti anaknya.
            Akhirnya, Bu Elis memasukkan Dini ke sekolah khusus untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan, SLB. Sekolah seperti ini jarang ada di tempat tinggalnya. Kalau toh ada jaraknya lumayan jauh. Bu Elis pun harus mencari orang yang bersedia mengantarkan anaknya setiap hari dengan kendaraan bermotor. Otomatis harus merogoh kocek lebih banyak daripada kalau naik angkot. Namun, tidak ada jalan lain karena kondisi Dini tidak memungkinkannya untuk pulang-pergi sekolah dengan naik angkot, apalagi kalau berangkat sendiri.
***
            Dalam hal agama, Bu Elis mengakui kalau ilmunya masih sangat kurang. Namun, dia sadar betul akan pentingnya agama dalam kehidupan. Oleh karena itu, dia memasukkan Dini ke sekolah TPA saat usianya masih kanak-kanak. Setelah masuk SDLB, sepulang sekolah Dini ikut ngaji sore. Meski Bu Elis tidak pernah mengajari Dini membaca Al Qur’an, tetapi ternyata Dini termasuk cepat menguasai Iqra. Saudara sepupu Dini yang usianya sama dan sering ngaji bareng malah kalah cepat dibanding Dini. Padahal dia normal, tidak ada gangguan dalam berbicara dan sebagainya. Saat Dini sudah masuk Iqra jilid III, misalnya, dia masih sibuk dengan Iqra I.
            Dini juga termasuk anak yang rajin beribadah meski tanpa disuruh. Saat masih di bangku kelas IV SD, Dini bahkan sudah berniat memakai jilbab. Katanya, itu wajib bagi muslimah. Bu Elis sampai merasa terharu dan kaget. Namun, saat itu Bu Elis belum bisa mengizinkan Dini untuk memakai jilbab karena khawatir baju panjang akan menyulitkan ruang gerak Dini nantinya. Yah, dengan cara jalan Dini yang masih sedikit terseok memang sempat membuat ibunya khawatir jatuh bila mamakai rok panjang. Karena tekad Dini untuk berjilbab begitu kuat, Bu Elis pun mengizinkannya mengenakan jilbab ketika masuk SLTP.
            Satu lagi kelebihan Dini, dia sangat gemar membaca. Bu Elis pun mencoba menunjang hobi anaknya ini dengan membelikannya buku-buku bacaan dan majalah. Dia sangat menyukai buku-buku agama dan mendengarkan radio yang menyiarkan acara-acara Islami. Dari sanalah pengetahuan agama anaknya semakin berkembang. Bu Elis pun sering mendapat masukan dalam soal agama dari anaknya ini. Hal inilah yang sangat dibanggakan dari putri tunggalnya.
“Daripada memiliki banyak anak tetapi nakal, mending memiliki satu anak seperti Dini asal shalehah,” Bu Elis mengatakan dengan bangga. “setidaknya kalau saya meninggal nanti ada yang mendoakan saya,” lanjut Bu Elis dengan rona penuh kebahagiaan. Ada ketenangan memancar dari wajahnya saat mengungkapkan kalimat tersebut.
            Mereka memang ibu dan anak yang sama-sama beruntung. Dini merasa beruntung memiliki ibu yang menyayanginya dengan sepenuh hati, Bu Elis pun merasa beruntung memiliki anak shalihah seperti Dini. Namun, ada sedikit kegundahan di dalam hati Bu Elis. “Kalau saya meninggal lebih dulu, bagaimana dengan Dini? Siapa yang akan mengurus segala kebutuhan dirinya?”
            Bu Elis pun mulai berpikir bagaimana membuat anaknya mandiri dan tidak bergantung kepada dirinya. Sedikit demi sedikit dia mulai mengajarkan kemandirian kepada Dini. Semua memang bertahap dan berproses, Bu Elis pun menyadari itu. Ketika Dini sudah mulai bisa memegang alat mainnya sendiri, saat itulah Bu Elis mulai mengajarkan anaknya makan sendiri. Dini memang hanya bisa menfungsikan tangan kirinya, tetapi Bu Elis yakin Dini akan mampu melakukan aktivitas kesehariannya kelak kalau dia terus dilatih. Sedikit demi sedikit, Dini pun dilatih mandi sendiri, pergi ke kamar mandi sendiri, dan seterusnya. Satu tahapan yang bagi anak lain mungkin bisa melakukannya sendiri tanpa latihan, tetapi tidak bagi Dini, dia harus dilatih sedikit demi sedikit.
            Ketika usianya sudah mulai beranjak besar, masuk sekolah dasar, Dini sudah mulai dilatih untuk mencuci pakaian dalamnya. Ini dirasa tidak membebani karena ukurannya kecil. Ketika sudah mampu melakukannya sendiri, Dini pun harus mampu mencuci bajunya sendiri. Bukan hanya itu, Dini pun dilatih untuk menyapu dan mengepel lantai rumahnya. Semua tahapan disesuaikan dengan tingkat kemampuan Dini. Mungkin awalnya berat bagi Dini. Bu Elis selalu menekankan kepada Dini bahwa semua itu dia lakukan bukan untuk menyiksa Dini, tetapi sebaliknya, untuk melatih Dini agar mandiri.
“Ibu nggak selamanya bisa berada di samping Dini. Bagaimana kalau Ibu meninggal lebih dulu daripada Dini, siapa yang akan mengurus Dini kalau bukan diri Dini sendiri?” Itulah nasihat Bu Elis sebelum memberikan anaknya beberapa pekerjaan rumah.
Alhamdulillah, tidak ada penolakan atau pemberontakan dari Dini karena Dini pun menyadari semua itu untuk kebaikan dirinya, semua karena rasa sayang ibunya kepadanya yang tidak ingin melihat anaknya sengsara sepeninggalnya. Meskipun soal ajal tidak ada yang tahu, mana yang lebih dulu, anak atau orang tuanya.
            Memang, kadang ada tetangga yang sedikit protes kepada Bu Elis, “Kenapa anakmu disuruh melakukan pekerjaan rumah seperti itu? Nggak kasihan?”
            “Justru ini untuk kebaikan anak saya. Saya tidak ingin anak saya lemah. Kalau tidak dilatih, selamanya dia tidak akan bisa melakukan apa-apa,” jawab Bu Elis bijak.
            Hanya saja, untuk mencuci piring Bu Elis tidak mengizinkan Dini melakukannya karena licin, sedangkan pegangan tangan Dini terlalu lemah. Dia khawatir anaknya akan terkena pecahan barang pecah belah ini kalau sampai piring atau gelas yang dipegangnya jatuh.
Selayaknya anak remaja lain, Dini pun ingin bermain bersama teman-teman sebayanya. Dini paling suka pergi ke pengajian atau menghadiri seminar tertentu. Bu Elis tidak pernah menghalangi selama cuaca bersahabat, tidak hujan lebat. Dia tinggal mengontak orang yang biasa mengantar-jemput Dini. Selagi semua akan membawa kebaikan bagi perkembangan jiwa Dini, Bu Elis tidak pernah melarang.
“Tidak ada yang harus disembunyikan dari seorang anak meski dia memiliki keterbatasan. Tidak perlu malu mengakui kondisi itu di hadapan orang lain. Semua sudah diatur oleh Allah. Jangan pula terlalu memanjakan anak hanya karena kasihan melihat kondisi fisiknya. Justru kita harus merasa kasihan kalau anak kita tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya menjadi beban bagi orang lain.” Begitulah pesan Bu Elis kepada orang tua yang mungkin memiliki anak seperti Dini.

Menjadi Single Parent

Bu Elis menikah tahun 1986 pada usia 21 tahun. Hanya sayangnya pernikahannya ini tidak mendapat restu dari mertuanya hingga setahun kemudian mereka memutuskan untuk bercerai. Anak pertama mereka yang masih bayi pun ikut Bu Elis sebagai mamanya. Dengan penuh kasih sayang dia merawat anak kesayangannya ini.
Saat usia Dini masih balita, Bu Elis menikah lagi dengan seorang pengacara. Akan tetapi, pernikahannya yang kedua ini ternyata berbuntut konflik karena dia berstatus sebagai istri kedua. Merasa tidak enak dengan istri pertama, Bu Elis pun memutuskan untuk bercerai dengan suami keduanya ini pada saat Dini berusia sekitar enam tahun.
Mulai saat itu Bu Elis harus menghidupi diri sendiri dan seorang anaknya. Dia sebenarnya masih mendapat uang tunjangan dari suami keduanya, tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Apalagi dia juga ikut membiayai seorang keponakannya (anak dari kakaknya).
Untuk menghidupi diri dan anaknya, Bu Elis rela melakukan pekerjaan apa pun asal halal. Dia pernah menjadi tukang kredit baju-baju, barang-barang elektronik, hingga membuka kios kelontong di pasar. Namun, bukan keuntungan yang didapat, dia malah sering rugi, bahkan terlilit hutang. Untuk menutupi hutang-hutangnya, Bu Elis sampai harus menggadaikan sertifikat rumahnya. Akan tetapi, hutang belum terlunasi juga hingga akhirnya dia harus menjual rumahnya meski dengan harga murah. Setelah rumah dijual, dia tinggal di rumah orang tuanya. Hasil penjualan rumah ternyata masih belum bisa menutupi hutang-hutangnya ini.
Dalam tekanan akan kebutuhan ekonomi yang mendesak, hampir-hampir membuat Bu Elis putus asa. Namun, ketika teringat dengan Dini, semangat hidupnya kembali berkobar. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan diri saya, bagaimana dengan anak saya? Batin Bu Elis. Satu-satunya yang terlintas dalam pikirannya saat itu adalah menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Konon banyak TKW dan TKI yang berhasil, mereka pulang kembali ke Indonesia dengan membawa banyak uang untuk membangun rumah dan mengumpulkan modal usaha. Meski dia juga sering mendengar kabar miring tentang TKI yang akhirnya pulang hanya tinggal nama, tetapi toh banyak juga yang berhasil. Memang, segalanya masih serba tidak pasti, mungkin berhasil dan mungkin juga tidak. Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba. Begitu pikir Bu Elis waktu itu.
Akhirnya, Bu Elis memutuskan untuk menjadi TKW di Arab Saudi. Sebuah keputusan yang sangat berat sebenarnya. Apalagi dia harus berpisah dengan Dini, satu-satunya anak kesayangan yang telah menjadi jantung hatinya. Terlebih kondisi fisik Dini yang nyaris selalu membutuhkan orang lain untuk melakukan segala aktifitas hidupnya. Usia Dini saat itu baru delapan tahun. Anak yang normal sekali pun masih sangat membutuhkan kasih sayang dan kehadiran ibunya lebih intens pada usia seperti itu. Namun, Bu Elis merasa tidak menemukan jalan lain kecuali menjadi TKW.
Dini melepas ibunya ke luar negeri dengan deraian air mata. Seandainya mampu, tentu dia ingin mencegah ibunya pergi, dia ingin ibunya tetap berada di sisinya, mendampingi setiap aktifitasnya, mendampingi saat bermain dan bersekolahnya. Yah, saat itu Dini baru mulai masuk sekolah di SDLB. Tentu Dini sangat ingin mendapat bimbingan belajar langsung dari ibunda tercintanya. Akan tetapi, segalanya menjadi sulit bagi mereka. Betapa pun Bu Elis juga sangat ingin terus mendampingi anaknya, tetapi demi masa depan anaknya pula dia harus meninggalkan anaknya untuk sementara waktu. Demi mendapat biaya pendidikan dan kehidupan yang lebih layak untuk anaknya inilah Bu Elis rela terbang ke Arab Saudi, negara yang katanya kejam—banyak menelan korban para TKI—tetapi sekaligus memberi impian surga buat para pencari pekerjaan.
Begitu sampai di Arab, majikan Bu Elis menyuruhnya membuat surat untuk keluarganya di Indonesia. Majikannya sangat baik, bahkan menganggap Bu Elis seperti keluarganya sendiri. Namun, sekitar delapan bulan berada di sana, kemudian muncul masalah baru. Majikan perempuannya memintanya untuk menjadi istri kedua Babah, panggilan untuk majikan laki-lakinya. Bu Elis sempat heran mengapa ada istri yang mencarikan istri kedua untuk suaminya sendiri. Meski majikannya sangat baik, bahkan meminta Bu Elis untuk menjemput anaknya di Indonesia agar bisa tinggal bersama di Arab, tetapi Bu Elis tetap tidak bisa memenuhi permintaan majikan perempuannya ini. Kondisi ini mulai membuatnya merasa tidak betah dan kembali teringat dengan keluarganya di rumah, terutama dengan anak perempuannya.
Selama Bu Elis bekerja di Arab, dia menitipkan anaknya ini kepada neneknya. Dia percaya 100% dengan orang tuanya yang selama ini sangat menyayangi Dini lebih dari cucu-cucunya yang lain. Akan tetapi, tetap saja Dini pasti sangat membutuhkan ibunya, ibu yang selama ini melahirkan, merawat, dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Kerinduan kepada anaknya ini selalu mengusik hari-harinya, bahkan saat dia tertidur.
“Sedang apa anakku sekarang? Apakah dia makan dengan baik? Apa kebutuhan hidupnya terpenuhi? Apa dia di sana benar-benar mendapatkan kasih sayang seperti yang dibutuhkannya?” segala pertanyaan berkecamuk di hati Bu Elis.
Namun, apa daya jarak memisahkan mereka begitu jauh. Hanya doa tulus seorang ibu demi kabahagiaan, kesehatan, dan keselamatan anaknya yang selalu dia panjatkan kepada pemilik makhluk-makhluk-Nya, termasuk yang memiliki Dini. Bagaimana pun Dini hanyalah titipan dari Allah, dia tidak berhak memiliki, hanya diamanahi untuk merawat dan membesarkan anaknya. Selain jarak, Bu Elis juga terikat kontrak kerja selama dua tahun.
Bu Elis sangat sadar kalau peluang dirinya untuk pulang ke Indonesia dalam waktu dekat sangatlah tidak mungkin. Namun, rasa rindu kepada anaknya sepertiya tidak tertahan lagi. Pada awalnya, majikannya sempat tidak mengizinkannya pulang ke Indonesia dengan alasan belum habis masa kontrak kerjanya. Kalau masa kerjanya sudah dua tahun, majikannya bahkan berjanji akan menghajikan Bu Elis dan mengantarnya langsung ke Indonesia. Akan tetapi, tekad Bu Elis untuk pulang saat itu sudah bulat. Dia bahkan sampai kabur dari rumah majikannya dan pergi ke Kedubes RI. Ketika majikannya datang ke Kedubes atas permintaan pihak Kedubes, Bu Elis terpaksa bilang kalau majikannya telah memperlakukannya dengan tidak baik. Ini demi meluluskan keinginannya untuk segera pulang ke Indonesia. Pihak Kedubes pun akhirnya menyerahkan kembali Bu Elis kepada majikannya. Planning pertama tidak berhasil, rencana kedua pun mulai dijalankan. Bu Elis mogok makan hingga akhirnya majikannya merasa kasihan dan meluluskan permintaanya untuk pulang kembali ke Indonesia.
Gajinya selama bekerja di Arab ternyata belum bisa melunasi hutang-hutangnya di Indonesia, ditambah lagi dengan hutang-hutang ibunya. Setelah mencoba mencari peluang kerja dan belum menghasilkan sejumlah uang untuk melunasi hutang-hutangnya, ide untuk menjadi TKW pun kembali muncul di pikiran Bu Elis. Keputusan menjadi TKW kali ini sebenarnya lebih berat. Kalau sebelumnya dia bisa menitipkan putri tunggalnya kepada ibunya, saat itu ibunda tercintanya telah meninggal dunia. Dalam kebimbangan, ternyata Allah menunjukkan jalan. Ada salah satu kakaknya yang mengaku siap mengurus Dini selama dia pergi bekerja ke luar negeri. Bu Elis pun kembali menginjakkan kakinya di Arab Saudi untuk mengais rezeki.
Di negara Arab ini Bu Elis seharusnya bekerja sebagai babysitter sesuai dengan kontrak kerja yang diajukannya kepada biro penyalur tenaga kerja. Namun, ternyata setelah sampai di sana dia harus bekerja hampir seperti pembantu. Dia kadang harus mengangkat galon air mineral dari lantai satu hingga lantai tiga. Bayi yang seharusnya diasuhnya ternyata belum lahir. Namun, setelah anak majikannya lahir dan ternyata bayi tersebut memiliki keterbatasan fisik yang hampir mirip dengan anaknya, membuat Bu Elis begitu menyangi anak majikannya. Dia pun mulai betah tinggal di sana.
Akan tetapi, masa-masa manis ini ternyata tidak bertahan lama. Keluarga muda majikannya ini kemudian bercerai dengan penyebab yang tidak diketehui pasti oleh Bu Elis. Akhirnya, Bu Elis harus ikut orang tua majikannya dan merawat majikan yang sudah jompo. Sayang, majikan yang sudah mulai pikun ini sangat cerewet dan membuatnya tidak betah. Kondisi ini kembali mengusik kerinduannya kepada jantung hatinya di tanah kelahirannya. Di negara yang sangat jauh dari keluarganya, Bu Elis sering terus teringat dengan putri tunggalnya ini. Merasa tidak tahan dengan perlakuan majikannya, Bu Elis pun memutuskan untuk kembali ke tanah air. Apalagi, selama tinggal di sana dia hampir tidak diizinkan mengirim surat ke Indonesia oleh majikannya. Terhitung hanya sekali dia mengirim surat kepada keluarganya di tanah air. Dia terpaksa berbohong kepada keluarganya dengan mengatakan kalau dia di Arab dalam kondisinya baik-baik saja. Padahal keadaan yang sesungguhnya tidaklah demikian. Dia hanya tidak ingin membuat keluarganya di tanah air panik dan sedih memikirkannya.
Berbulan-bulan berada di Arab tanpa kabar berita, sempat membuat keluarganya panik dan mengira dia sudah meninggal dunia. Salah satu kakaknya bahkan ada yang berencana memasukkan Dini ke panti asuhan kalau dia meninggal dunia. Hal ini sungguh membuat Dini sedih luar biasa. Dia merasa dibuang oleh kelurganya sendiri. Kehadiran suratnya itu membuat Dini kembali berbinar. Setidaknya dia masih bisa berharap untuk tetap berada di lingkungan keluarga yang menyayanginya, bukan di panti asuhan. Setelah sebelas bulan berada di Arab, Bu Elis akhirnya kembali ke Indonesia dengan sedikit pertentangan dengan majikannya. Yah, sesuai kontrak memang seharusnya dia belum boleh pulang. Kabur menjadi senjatanya, tetapi dia akhirnya tertangkap lagi dan kembali dipertemukan dengan majikannya. Namun, tekad kuat Bu Elis untuk pulang ke kampung halaman membuat majikannya luluh dan mengizinkannya pulang meski dengan biaya sendiri.
Bu Elis akhirnya kembali berkumpul dengan keluarganya di Bandung. Dini, anak semata wayangnya ini tentu menyambut gembira kedatangan ibunya. Meski masalah demi masalah kembali bermunculan setelah itu, tetapi Bu Elis sudah mulai terlatih dan menjalaninya dengan tegar. Masalah ekonomi masih menjadi masalah terbesarnya, tetapi dia tidak mau mengambil risiko untuk kembali menjadi TKW ke luar negeri. Sudah cukup pengalamannya makan asam garam di luar negeri. Dia pun mencoba peruntungan di negeri sendiri.

Membuka Usaha Panti Pijat
Allah Swt. Yang Maha Agung ternyata memberi jalan rezekinya melalui kemampuan terpendam yang selama ini tidak disadarinya. Pada awalnya dia ikut bekerja menjadi tukang pijat bersama adiknya yang sudah lebih dulu menjalani profesi ini. Ketika dia sudah merasa percaya diri dengan kemampuannya, atas persetujuan adiknya, dia pun mencoba mandiri. Sedikit demi sedikit pelanggannya mulai bertambah, apalagi dia sudah mulai mampu melobi beberapa hotel untuk menjadi pelanggannya. Ketika pelanggan mulai bertambah dan tidak tertangani sendiri, dia pun mulai merekrut anak buah.
Bu Elis sangat sadar risiko berbisnis di jalur ini. Kalau tidak benar-benar mampu menjaga imej, namanya akan tercemar. Maklum, tidak sedikit pelaku di bisnis ini yang menjadikan bisnis pijat plus-plus yang cenderung ke arah negatif. Satu hal yang selalu menjadi prisip bisnis Bu Elis, bahwa dia hanya mau menerima order pijat murni, bukan yang plus-plus. Dia benar-benar menjaga profesionalismenya sebagai tukang pijat. Prinsip ini juga diterapkan kepada semua anak buahnya. Kalau orang sudah berani membayar mahal jasa pijatnya, dia pun harus mampu memberi servis semaksimal mungkin. Dia tidak mau asal-asalan dalam bekerja. Risikonya, mungkin keuntungannya tidaklah besar. Namun, dia tetap yakin bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah, manusia hanya diberi kuasa untuk berusaha semaksimal mungkin. Yah, meski pandapatannya turun-naik dan tidak pasti, tetapi berapa pun hasilnya tetap disyukurinya.
Demi kebahagiaan Dini dan agar dia memiliki figur ayah, sekitar setahun lalu Bu Elis memutuskan untuk menikah lagi dengan ayah kandungnya Dini. Saat itu mertua yang dulu tidak merestui hubungan mereka sudah meninggal dunia, jadi tidak ada yang menghalangi pernikahan mereka. Mereka berharap dengan pernikahan kembali ini akan membawa angin kebahagiaan di rumah tangga mereka dan menjadi keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara). Amin.@

#Tulisan ini dalam Buku "Cerita Cinta Ibunda" terbitan Mizan

Solehku Sayang, Solehku Malang


 
"Dasar anak haram, haram jaddah...pantesan kamu jadi anak nakal!” begitu umpat teman-teman Soleh saat sedang marah dengannya.
Soleh yang tidak terima dirinya dihina seperti itu langsung emosi. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian di antara mereka. Soleh yang saat itu baru berumur 12 tahun dan memiliki tubuh paling kecil sering kalah tanding saat berkelahi. Ujung-ujungnya nangis lalu keluar rumah sambil membanting pintu.
”Astaghfirullah!” aku mengelus dada mendengar suara pintu dibanting sangat keras.
Bisa-bisa gak nyampe sebulan pintu rusak.
Perkelahian seperti itu hampir selalu terjadi setiap hari. Soleh sering memulai pertengkaran dan dia pula yang akhirnya nangis. Hampir sport jantung rasanya menghadapi tingkahnya. Namun, bagaimana pun dia adalah anak yang berhak mendapat kasih sayang selayaknya anak-anak lain. Bahkan, bisa jadi dia membutuhkan kasih sayang dan perhatian lebih dibanding anak-anak lain yang manis dan penurut. Pada anak-anak manis, orang akan mudah jatuh hati dan menyayanginya, tapi bagi anak seperti Soleh mungkin hanya sedikit yang mau peduli dan memperhatikannya. Karena itulah saya memberikan perhatian lebih pada anak ini. Imbasnya, anak-anak jalanan lain binaan saya seperti merasa cemburu.
Pernah suatu ketika pengurus lain menegur saya karena terlalu perhatian kepada Soleh, apalagi hingga membuat Soleh seolah memiliki perasaan lain kepada saya. Soleh pernah membuat surat yang ditujukan untuk saya. Dia memperlihatkan surat itu kepada hampir semua pengurus anjal cowok. Surat itu disimpan rapi dalam sebuah amplop tertutup. Setiap ingin memperlihatkan isi surat itu kepada pengurus cowok, amplop yang sudah dilem itu dia buka. Otomatis dia harus mengganti amplop hingga beberapa kali karena rusak oleh sobekannya.
”Teh, hati-hati bersikap sama Soleh. Jangan terlalu perhatian.” kata salah satu pengurus anjal cowok.
”Memangnya kenapa? Perasaan saya menyikapinya biasa-biasa saja.” jawab saya enteng.
”Iya, Teteh sih biasa-biasa saja, tapi dia menyikapinya dengan luar biasa.”
Entah apa isi suratnya itu. Konon ceritanya berisi tentang keinginannya untuk menganggap saya sebagai kakaknya. Bukankah itu wajar? Seorang yang jauh lebih muda menganggap yang lebih tua sebagai kakaknya. Entahlah.
Pada hari lain, Soleh diledek oleh salah satu pengurus anjal cowok.
”Eh, Teh Indah kan pacar Aa.” Kata pengurus itu sekadar ingin tahu reaksi Soleh.
Solah langsung menendang dan memukul dia. Untung dia bisa refleks menghindari tendangannya. Entah apa yang ada dalam hatinya, cemburukah?
Soleh, anjal yang satu ini memang sangat agresif, kalau tidak dibilang nakal. Sifatnya temperamental, gampang merasa sedih dan nangis, apalagi kalau lagi curhat. Dia juga gampang marah, pemberang dan seolah di hatinya menyimpan dendam yang terpendam, entah pada siapa. Ada satu pertanyaan yang mengganjal di benakku. Benarkah kalau kelahirannya tidak diharapkan oleh orang tuanya? Benarkah dia anak yang lahir di luar nikah? Lalu, siapa orang tua yang selama ini mengasuhnya?
***
Siang itu, seperti biasa aku mulai mencari alamat rumah anak-anak jalanan binaan kami. Hari ini giliran rumah Soleh. Rumahnya berada di belakang sebuah sungai besar. Rumahnya panggung berdinding gedeg bambu berukuran 6 x 9 m. Ada sekitar enam rumah lain yang sejenis, tempatnya terpisah beberapa meter dari rumah-rumah gedung yang lain. Seperti sebuah komunitas girli alias pinggir kali.
Saya disambut oleh perempuan paruh baya yang tampak lebih tua dari usia sebenarnya, seolah menanggung beban hidup yang begitu berat. Aku menyalaminya, ”Saya pengurus yayasan tampat Soleh biasa menginap di panti kami,” aku memperkenalkan diri kepada ibunya Soleh.
Rumah itu tampak sepi, hanya ibu dan seorang anak perempuan berusia 5 tahunan. Aku pun menyatakan maksud kedatanganku untuk mencari data-data tentang Soleh. Bu Ijah, sebuat saja begitu, mulai bercerita tentang diri Soleh.
”Sebenarnya Soleh itu bukan anak kandung saya, Teh.”
Aku sempat kaget mendengar pernyataannya.
Suami saya yang membawa Soleh ke rumah sama ibu kandungnya.” kata Bu Ijah memulai cerita.
Dengan senyum kecil dan wajah tersipu dia meneruskan ceritanya, ”Saya sempat mau marah karena cemburu, kirain suami saya punya wanita simpanan dan sudah menghamili perempuan itu. Setelah suami saya menjelaskan semua kisahnya, saya jadi kasihan sama perempuan itu.”
Kisah kehidupan Soleh pun mulai mengalir dari lisan Bu Ijah dengan lancar.
Bapak angkat Soleh saat itu masih menjadi penarik becak di depan RS. Hasan Sadikin. Malam hari saat penumpang sepi, datang perempuan muda masih mengenakan baju seragam SMA. Dia menggendong barang, entah apa. Darah di rok abu-abunya kelihatan telah menghitam hampir merata di bagian pantatnya. Perempuan itu mendatengi Pak Salim, suami Bu Ijah, sambil menyerahkan barang yang ada di gendongannya. Ternyata bayi yang masih berlumuran darah segar, sangat kecil seukuran lengan tangan orang dewasa. Rupanya bayi itu lahir sebelum waktunya atau prematur. Perempuan muda yang terpaksa menjadi ibu ini meminta Pak Salim agar mau memelihara anaknya. Dia berjanji tidak akan menuntut bayaran asal mau merawat anaknya. Pak Salim pun jatuh kasihan dan menerima bayi itu. Melihat kondisi perempuan muda di depannya yang tampak lemah dan pucat, dia mengajaknya untuk ke rumahnya, siapa tahu dia butuh bantuan. Setelah sampai di rumah, perempuan muda itu pingsan karena kehilangan banyak darah. Pak Salim sampai harus mengundang bidan untuk mengobatinya di rumah. Karena kondisinya butuh penanganan medis lebih lanjut, mereka membawa perempuan itu ke rumah sakit. Dia sampai kritis dan membutuhkan transfusi darah. Sedangkan bayi Soleh harus dirawat di inkubator.
Cerita Bu Ijah pun terus mengalir, tentang ibu kandung Soleh yang hamil di luar nikah dan ditinggal pacarnya tanpa tanggung jawab sampai akhirnya Soleh dipelihara dan dianggap anak kandungnya sendiri. Mereka bahkan harus menanggung semua biaya pengobatan Soleh dan ibunya selama di rumah sakit. Pasahal kondisi ekonomi mereka sangat kekurangan. Mereka sampai harus berhutang kesana ke mari untuk menutupinya. Meski bukan anak kandung, Pak Salim sangat menyayangi Soleh. Namun, kondisi ekonomi memaksa mereka membiarkan Soleh hidup di jalanan.
***
Saya tahu, tidak mudah menjadi pengurus sekaligus pendamping anak-anak jalanan di panti ini. Biasanya, yayasan atau perseorangan mengurus anak jalanan (anjal) dilakukan langsung di jalanan (pendampingan) atau di rumah singgah sebagai tahap pembelajaran bagi mereka untuk lebih menyintai tinggal di rumah. Sedangkan membuat panti bagi anjal bisa jadi sebuah alternatif penanganan yang baru dirintis di Indonesia, satu-satunya ya di panti tempat aku mengurus anjal ini. Saya yang sebelumnya tidak pernah secara intens mengurus anjal ini─baik dengan cara pendampingan di jalanan maupun di rumah singgah─jelas merasa sedikit kewalahan. Apalagi langsung dengan sistim ”panti” yang mengharuskan mereka tinggal di rumah setiap hari, satu hal yang jauh berbeda dengan kehidupan jalanan yang selama ini mereka jalani. Untungnya kebanyakan dari mereka pernah ditangani oleh yayasan lain, baik dengan pendampingan maupun di rumah singgah sehingga sudah sedikit familiar dengan tinggal di rumah.
Tugas menangani anak jalanan sepertinya memang merupakan pekerjaan rumah yang tidak akan pernah selesai. Apalagi pascakrismon beberapa tahun lalu, ditambah lagi dengan dunia politik yang makin semrawut, jumlah anak jalanan akan semakin bertambah. Jadi, yang saya lakukan mungkin ibarat titik di atas kertas kosong. Kecil dan tidak berarti. Namun, minimalnya bisa mengurangi jumlah ataupun efek negatif dari kehadiran anak jalanan. Walaupun hanya sedikit. Kisah Soleh hanya satu dari sekian duka anak jalanan. Saya sering teringat dengan anak-anak jalanan binaaku dulu saat mendengar alunan nasyid Alif Kecil-nya SNADA

Ya Allah...tunjukkan jalan-Mu pada si Alif  kecil.
Agar ia dapat menahan  cobaan dan rintangan
Yang datang menghadang
Ya Allah..curahkan kasih pada si Alif kecil
Agar ia terbebas dari tirani
Menuju cahaya Ilahi

Sepuluh tahun sudah berlalu. Entah seperti apa kehidupan Soleh kini. Terbayang wajah kecilnya sepuluh tahun lalu; wajah bulat berhidung pesek, berambut hitam kemerahan karena terik dan berkulit gelap, tapi tetap tampak manis dengan senyum kepolosannya. Saat seperti itu dia tampak tidak beda dengan anak-anak lain, polos dan lugu. Aku seolah tidak percaya kalau dia menyimpan kisah kehidupan yang begitu tragis. @