“Anakku
adalah nyawaku,” begitu Ibu Elis menggambarkan tentang kasih sayangnya kepada
putri tunggalnya.
Tidak
ada seorang ibu pun di dunia ini yang tidak menyayangi anak kandungnya sendiri,
anak yang selama sembilan bulan bersemayam di rahimnya sebagai buah cintanya.
Begitupun Bu Elis. Dia sangat menyayangi Dini, putri tunggalnya, betapa pun
kondisi fisiknya bolah dibilang tidak sempurna. Kasih sayang, keteguhan,
ketabahan, kesabaran dalam mendidik anak semata wayangnya inilah yang membuat
saya begitu mengagumi sosok Bu Elis.
Pada
awalnya, saya mengagumi anaknya, Dini. Meski kondisi fisiknya memiliki keterbatasan,
dia tampak tetap ceria seperti remaja lain seusianya. Kehidupannya pun cukup
religi dalam usia yang sungguh muda−waktu itu dia masih SMP, sekarang SMU. Saya
pernah mewawancarai Dini untuk majalah tempat saya bekerja sebagai wartawan. Perkenalan
secara langsung ini membuat saya semakin mengaguminya hingga memunculkan
pertanyaan dalam benak saya, “Ibu seperti apa yang telah berhasil membuat anak
ketegar Dini?” Bagaimana pun, Dini bisa menjadi seperti itu pasti karena ada
campur tangan dari seorang yang paling berpengaruh dalam hidupnya, yaitu
mamanya.
Tidak
sulit bagi saya untuk mengenal mamanya Dini karena setiap saya datang ke
rumahnya dia selalu ditemani oleh mama tercintanya ini. Sejak saat itulah saya
mengenal keluarga kecil ini.
Sebenarnya,
Ibu Elis memiliki tiga anak, tetapi kedua anak yang lain meninggal dunia saat
mereka masih bayi. Ibu Elis sangat menyayangi anaknya sepenuh hati meski
anaknya memiliki keterbatasan fisik yang membuatnya tidak bisa berjalan normal
seperti anak sebayanya yang lain. Tangan kanannya pun tidak bisa difungsikan
secara normal.
Pada
saat orang tua lain mungkin merasa malu memiliki anak cacat, bahkan kadang
menyembunyikannya dari khalayak, Ibu Elis tidak pernah malu mengakui kalau
anaknya memang memiliki keterbatasan.
“Mungkin
ini ujian dari Allah yang harus saya terima, Teh,” kisah Bu Elis kepada saya.
“Tapi, saya takpernah malu apalagi
menyembunyikan anak saya dari pergaulannya. Memang, kadang muncul rasa kasihan
kepada anak saya ketika melihat dia dijauhi teman-teman sepermainannya. Tapi,
perasaan itu muncul karena rasa sayang seorang ibu yang tidak ingin melihat
anaknya sedih,” lanjutnya dengan perasaan dalam.
Demi
ingin melihat anaknya bisa memiliki sahabat sepermainan, Bu Elis kadang sampai
rela merogoh uang receh untuk dibagikan kepada teman-teman main Dini agar
mereka mau bermain dengan Dini dan tidak meninggalkannya sendirian atau berbuat
nakal kepadanya.
“Main
di rumah saja, yah, ntar ibu kasih uang jajan,” janji Bu Elis kepada
teman-teman Dini yang sedang bermain di rumahnya.
Pada
saat Dini ingin jajan, Bu Elis memenuhi janjinya untuk memberikan uang jajan
pula kepada teman-temannya.
Bukan hanya itu, saat waktu makan tiba, dia
pun menyediakan makan beberapa piring untuk teman-teman Dini yang kebetulan
sedang bermain bersamanya. Entah benar atau tidak secara teori pendidikan anak,
tetapi dengan keterbatasan pengetahuannya tantang pendidikan anak, hanya itulah
yang dia tahu untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Bu Elis hanya ingin
melihat anaknya memiliki teman-teman bermain selayaknya anak yang normal. Dia
tidak ingin anaknya ditinggalkan oleh teman-temannya hanya karena keterbatasan
yang dimilikinya.
Sebenarnya,
Dini lahir ke dunia ini dalam kondisi normal, beratnya sekitar 3 kg dan sehat.
Akan tetapi, entah mengapa hingga usianya dua tahun dia belum juga bisa
berjalan seperti anak-anak sebayanya. Baru pada usia empat tahun Dini mulai
menunjukkan perkembangan hingga akhirnya dia bisa berjalan. Saking bahagianya,
Ibu Elis mengadakan syukuran dengan mengundang anak-anak sebaya Dini untuk
mengikuti acara “selamatan” di rumahnya, semacam makan-makan kecil sambil
berdoa bersama.
***
Hari
demi hari berlalu, tetapi perkembangan fisik Dini tidak terlalu signifikan.
Cara berjalannya masih sedikit terseok, bicaranya masih balelo, tangannya pun belum bisa digerakkan secara leluasa.
Mulailah muncul kecurigaan di hati Ibu Elis. “Ada apa dengan anak saya?” batin
Bu Elis gundah.
Bu
Elis pun mulai membawa anak semata wayangnya ini ke berbagai pusat pengobatan,
baik medis maupun alternatif. Bertahun-tahun dia berikhtiar demi kesembuhan
anaknya. Setiap ada orang yang memberi informasi pengobatan yang sekiranya
cocok untuk anaknya, dia datangi. Proses pengobatan ini tentu saja membutuhkan
biaya yang tidak sedikit, apalagi untuk melakukan terapi. Meski bukan dari
keluarga kaya dan berkecukupan, Bu Elis tetap mengupayakan berapa pun biaya
yang dibutuhkan untuk kesembuhan anaknya. Salah satu terapis yang didatanginya
mendiagnosa kalau kemungkinan Dini pernah jatuh sewaktu balita, tetapi tidak
tertangani dengan baik. Bu Elis tentu saja kaget karena selama ini dia merawat
anaknya dengan baik. Sampai muncul pengakuan dari neneknya Dini kalau Dini
memang pernah jatuh sewaktu diasuhnya. Bu Elis memang sering menitipkan anaknya
kepada mamanya atau neneknya Dini ini ketika dia sibuk atau kadang neneknya
sendiri yang ingin bermain bersama cucunya.
Nasi
sudah menjadi bubur, bukan saatnya lagi menyalahkan siapa-siapa. Toh semua
terjadi bukan karena disengaja. Selama ini neneknya Dini pun sangat menyayangi
Dini lebih dari cucu-cucunya yang lain. Yang harus dilakukan adalah bagaimana
agar kondisi fisik Dini bisa pulih, syukur-syukur bisa benar-benar normal
seperti anak-anak lain.
Mendidik
Kemandirian kepada Putri Tunggalnya
Ketika mengetahui anaknya memiliki
keterbatasan dalam saraf geraknya, sempat muncul kekhawatiran di benak Bu Elis
akan masa depan anaknya, terutama dalam soal pendidikannya. Apa ada sekolah yang mau menerima anak saya
nanti dengan kondisi fisik seperti itu? Begitu batin Bu Elis. Waktu itu dia
belum mendapat informasi memadai tentang Sekolah Luar Biasa (SLB). Kalau
memasukkan anaknya ke sekolah umum, dia khawatir Dini tidak bisa mengikuti
pelajaran sekolah dengan baik. Meski otak anaknya normal, tetapi cara geraknya
serba terbatas. Siapa yang akan membantunya bila dia ingin ke kamar kecil,
misalnya. Bagaimana kalau teman-temannya tidak bisa menerima dirinya
sepenuhnya, bahkan mengolok-olok dirinya? Serta banyak pertimbangan dan
kekhawatiran lain yang membuatnya sibuk mencari informasi sekolah khusus untuk
anak-anak yang memiliki keterbatasan seperti anaknya.
Akhirnya, Bu Elis memasukkan Dini ke
sekolah khusus untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan, SLB. Sekolah seperti
ini jarang ada di tempat tinggalnya. Kalau toh ada jaraknya lumayan jauh. Bu
Elis pun harus mencari orang yang bersedia mengantarkan anaknya setiap hari
dengan kendaraan bermotor. Otomatis harus merogoh kocek lebih banyak daripada
kalau naik angkot. Namun, tidak ada jalan lain karena kondisi Dini tidak
memungkinkannya untuk pulang-pergi sekolah dengan naik angkot, apalagi kalau
berangkat sendiri.
***
Dalam hal agama, Bu Elis mengakui
kalau ilmunya masih sangat kurang. Namun, dia sadar betul akan pentingnya agama
dalam kehidupan. Oleh karena itu, dia memasukkan Dini ke sekolah TPA saat
usianya masih kanak-kanak. Setelah masuk SDLB, sepulang sekolah Dini ikut ngaji
sore. Meski Bu Elis tidak pernah mengajari Dini membaca Al Qur’an, tetapi
ternyata Dini termasuk cepat menguasai Iqra. Saudara sepupu Dini yang usianya
sama dan sering ngaji bareng malah kalah cepat dibanding Dini. Padahal dia
normal, tidak ada gangguan dalam berbicara dan sebagainya. Saat Dini sudah
masuk Iqra jilid III, misalnya, dia masih sibuk dengan Iqra I.
Dini juga termasuk anak yang rajin
beribadah meski tanpa disuruh. Saat masih di bangku kelas IV SD, Dini bahkan
sudah berniat memakai jilbab. Katanya, itu wajib bagi muslimah. Bu Elis sampai
merasa terharu dan kaget. Namun, saat itu Bu Elis belum bisa mengizinkan Dini
untuk memakai jilbab karena khawatir baju panjang akan menyulitkan ruang gerak
Dini nantinya. Yah, dengan cara jalan Dini yang masih sedikit terseok memang
sempat membuat ibunya khawatir jatuh bila mamakai rok panjang. Karena tekad
Dini untuk berjilbab begitu kuat, Bu Elis pun mengizinkannya mengenakan jilbab
ketika masuk SLTP.
Satu lagi kelebihan Dini, dia sangat
gemar membaca. Bu Elis pun mencoba menunjang hobi anaknya ini dengan
membelikannya buku-buku bacaan dan majalah. Dia sangat menyukai buku-buku agama
dan mendengarkan radio yang menyiarkan acara-acara Islami. Dari sanalah
pengetahuan agama anaknya semakin berkembang. Bu Elis pun sering mendapat
masukan dalam soal agama dari anaknya ini. Hal inilah yang sangat dibanggakan
dari putri tunggalnya.
“Daripada
memiliki banyak anak tetapi nakal, mending memiliki satu anak seperti Dini asal
shalehah,” Bu Elis mengatakan dengan bangga. “setidaknya kalau saya meninggal
nanti ada yang mendoakan saya,” lanjut Bu Elis dengan rona penuh kebahagiaan.
Ada ketenangan memancar dari wajahnya saat mengungkapkan kalimat tersebut.
Mereka memang ibu dan anak yang
sama-sama beruntung. Dini merasa beruntung memiliki ibu yang menyayanginya
dengan sepenuh hati, Bu Elis pun merasa beruntung memiliki anak shalihah
seperti Dini. Namun, ada sedikit kegundahan di dalam hati Bu Elis. “Kalau saya
meninggal lebih dulu, bagaimana dengan Dini? Siapa yang akan mengurus segala
kebutuhan dirinya?”
Bu Elis pun mulai berpikir bagaimana
membuat anaknya mandiri dan tidak bergantung kepada dirinya. Sedikit demi
sedikit dia mulai mengajarkan kemandirian kepada Dini. Semua memang bertahap
dan berproses, Bu Elis pun menyadari itu. Ketika Dini sudah mulai bisa memegang
alat mainnya sendiri, saat itulah Bu Elis mulai mengajarkan anaknya makan
sendiri. Dini memang hanya bisa menfungsikan tangan kirinya, tetapi Bu Elis
yakin Dini akan mampu melakukan aktivitas kesehariannya kelak kalau dia terus
dilatih. Sedikit demi sedikit, Dini pun dilatih mandi sendiri, pergi ke kamar
mandi sendiri, dan seterusnya. Satu tahapan yang bagi anak lain mungkin bisa
melakukannya sendiri tanpa latihan, tetapi tidak bagi Dini, dia harus dilatih
sedikit demi sedikit.
Ketika usianya sudah mulai beranjak
besar, masuk sekolah dasar, Dini sudah mulai dilatih untuk mencuci pakaian dalamnya.
Ini dirasa tidak membebani karena ukurannya kecil. Ketika sudah mampu
melakukannya sendiri, Dini pun harus mampu mencuci bajunya sendiri. Bukan hanya
itu, Dini pun dilatih untuk menyapu dan mengepel lantai rumahnya. Semua tahapan
disesuaikan dengan tingkat kemampuan Dini. Mungkin awalnya berat bagi Dini. Bu
Elis selalu menekankan kepada Dini bahwa semua itu dia lakukan bukan untuk
menyiksa Dini, tetapi sebaliknya, untuk melatih Dini agar mandiri.
“Ibu
nggak selamanya bisa berada di samping Dini. Bagaimana kalau Ibu meninggal
lebih dulu daripada Dini, siapa yang akan mengurus Dini kalau bukan diri Dini
sendiri?” Itulah nasihat Bu Elis sebelum memberikan anaknya beberapa pekerjaan
rumah.
Alhamdulillah,
tidak ada penolakan atau pemberontakan dari Dini karena Dini pun menyadari
semua itu untuk kebaikan dirinya, semua karena rasa sayang ibunya kepadanya
yang tidak ingin melihat anaknya sengsara sepeninggalnya. Meskipun soal ajal
tidak ada yang tahu, mana yang lebih dulu, anak atau orang tuanya.
Memang, kadang ada tetangga yang
sedikit protes kepada Bu Elis, “Kenapa anakmu disuruh melakukan pekerjaan rumah
seperti itu? Nggak kasihan?”
“Justru ini untuk kebaikan anak
saya. Saya tidak ingin anak saya lemah. Kalau tidak dilatih, selamanya dia
tidak akan bisa melakukan apa-apa,” jawab Bu Elis bijak.
Hanya saja, untuk mencuci piring Bu
Elis tidak mengizinkan Dini melakukannya karena licin, sedangkan pegangan
tangan Dini terlalu lemah. Dia khawatir anaknya akan terkena pecahan barang
pecah belah ini kalau sampai piring atau gelas yang dipegangnya jatuh.
Selayaknya
anak remaja lain, Dini pun ingin bermain bersama teman-teman sebayanya. Dini
paling suka pergi ke pengajian atau menghadiri seminar tertentu. Bu Elis tidak
pernah menghalangi selama cuaca bersahabat, tidak hujan lebat. Dia tinggal
mengontak orang yang biasa mengantar-jemput Dini. Selagi semua akan membawa
kebaikan bagi perkembangan jiwa Dini, Bu Elis tidak pernah melarang.
“Tidak
ada yang harus disembunyikan dari seorang anak meski dia memiliki keterbatasan.
Tidak perlu malu mengakui kondisi itu di hadapan orang lain. Semua sudah diatur
oleh Allah. Jangan pula terlalu memanjakan anak hanya karena kasihan melihat
kondisi fisiknya. Justru kita harus merasa kasihan kalau anak kita tidak bisa
melakukan apa-apa dan hanya menjadi beban bagi orang lain.” Begitulah pesan Bu
Elis kepada orang tua yang mungkin memiliki anak seperti Dini.
Menjadi
Single Parent
Bu
Elis menikah tahun 1986 pada usia 21 tahun. Hanya sayangnya pernikahannya ini
tidak mendapat restu dari mertuanya hingga setahun kemudian mereka memutuskan
untuk bercerai. Anak pertama mereka yang masih bayi pun ikut Bu Elis sebagai
mamanya. Dengan penuh kasih sayang dia merawat anak kesayangannya ini.
Saat
usia Dini masih balita, Bu Elis menikah lagi dengan seorang pengacara. Akan tetapi,
pernikahannya yang kedua ini ternyata berbuntut konflik karena dia berstatus
sebagai istri kedua. Merasa tidak enak dengan istri pertama, Bu Elis pun
memutuskan untuk bercerai dengan suami keduanya ini pada saat Dini berusia
sekitar enam tahun.
Mulai
saat itu Bu Elis harus menghidupi diri sendiri dan seorang anaknya. Dia
sebenarnya masih mendapat uang tunjangan dari suami keduanya, tetapi tidak bisa
mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Apalagi dia juga ikut membiayai seorang
keponakannya (anak dari kakaknya).
Untuk
menghidupi diri dan anaknya, Bu Elis rela melakukan pekerjaan apa pun asal
halal. Dia pernah menjadi tukang kredit baju-baju, barang-barang elektronik,
hingga membuka kios kelontong di pasar. Namun, bukan keuntungan yang didapat,
dia malah sering rugi, bahkan terlilit hutang. Untuk menutupi hutang-hutangnya,
Bu Elis sampai harus menggadaikan sertifikat rumahnya. Akan tetapi, hutang
belum terlunasi juga hingga akhirnya dia harus menjual rumahnya meski dengan
harga murah. Setelah rumah dijual, dia tinggal di rumah orang tuanya. Hasil
penjualan rumah ternyata masih belum bisa menutupi hutang-hutangnya ini.
Dalam
tekanan akan kebutuhan ekonomi yang mendesak, hampir-hampir membuat Bu Elis
putus asa. Namun, ketika teringat dengan Dini, semangat hidupnya kembali
berkobar. Kalau sampai terjadi apa-apa
dengan diri saya, bagaimana dengan anak saya? Batin Bu Elis. Satu-satunya
yang terlintas dalam pikirannya saat itu adalah menjadi Tenaga Kerja Wanita
(TKW) di luar negeri. Konon banyak TKW dan TKI yang berhasil, mereka pulang
kembali ke Indonesia dengan membawa banyak uang untuk membangun rumah dan
mengumpulkan modal usaha. Meski dia juga sering mendengar kabar miring tentang
TKI yang akhirnya pulang hanya tinggal nama, tetapi toh banyak juga yang
berhasil. Memang, segalanya masih serba tidak pasti, mungkin berhasil dan
mungkin juga tidak. Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba. Begitu pikir Bu
Elis waktu itu.
Akhirnya,
Bu Elis memutuskan untuk menjadi TKW di Arab Saudi. Sebuah keputusan yang
sangat berat sebenarnya. Apalagi dia harus berpisah dengan Dini, satu-satunya
anak kesayangan yang telah menjadi jantung hatinya. Terlebih kondisi fisik Dini
yang nyaris selalu membutuhkan orang lain untuk melakukan segala aktifitas
hidupnya. Usia Dini saat itu baru delapan tahun. Anak yang normal sekali pun
masih sangat membutuhkan kasih sayang dan kehadiran ibunya lebih intens pada usia
seperti itu. Namun, Bu Elis merasa tidak menemukan jalan lain kecuali menjadi
TKW.
Dini
melepas ibunya ke luar negeri dengan deraian air mata. Seandainya mampu, tentu
dia ingin mencegah ibunya pergi, dia ingin ibunya tetap berada di sisinya,
mendampingi setiap aktifitasnya, mendampingi saat bermain dan bersekolahnya.
Yah, saat itu Dini baru mulai masuk sekolah di SDLB. Tentu Dini sangat ingin
mendapat bimbingan belajar langsung dari ibunda tercintanya. Akan tetapi,
segalanya menjadi sulit bagi mereka. Betapa pun Bu Elis juga sangat ingin terus
mendampingi anaknya, tetapi demi masa depan anaknya pula dia harus meninggalkan
anaknya untuk sementara waktu. Demi mendapat biaya pendidikan dan kehidupan
yang lebih layak untuk anaknya inilah Bu Elis rela terbang ke Arab Saudi,
negara yang katanya kejam—banyak menelan korban para TKI—tetapi sekaligus
memberi impian surga buat para pencari pekerjaan.
Begitu
sampai di Arab, majikan Bu Elis menyuruhnya membuat surat untuk keluarganya di
Indonesia. Majikannya sangat baik, bahkan menganggap Bu Elis seperti
keluarganya sendiri. Namun, sekitar delapan bulan berada di sana, kemudian
muncul masalah baru. Majikan perempuannya memintanya untuk menjadi istri kedua
Babah, panggilan untuk majikan laki-lakinya. Bu Elis sempat heran mengapa ada
istri yang mencarikan istri kedua untuk suaminya sendiri. Meski majikannya
sangat baik, bahkan meminta Bu Elis untuk menjemput anaknya di Indonesia agar
bisa tinggal bersama di Arab, tetapi Bu Elis tetap tidak bisa memenuhi
permintaan majikan perempuannya ini. Kondisi ini mulai membuatnya merasa tidak
betah dan kembali teringat dengan keluarganya di rumah, terutama dengan anak
perempuannya.
Selama
Bu Elis bekerja di Arab, dia menitipkan anaknya ini kepada neneknya. Dia
percaya 100% dengan orang tuanya yang selama ini sangat menyayangi Dini lebih
dari cucu-cucunya yang lain. Akan tetapi, tetap saja Dini pasti sangat
membutuhkan ibunya, ibu yang selama ini melahirkan, merawat, dan membesarkannya
dengan penuh kasih sayang. Kerinduan kepada anaknya ini selalu mengusik
hari-harinya, bahkan saat dia tertidur.
“Sedang
apa anakku sekarang? Apakah dia makan dengan baik? Apa kebutuhan hidupnya
terpenuhi? Apa dia di sana benar-benar mendapatkan kasih sayang seperti yang
dibutuhkannya?” segala pertanyaan berkecamuk di hati Bu Elis.
Namun,
apa daya jarak memisahkan mereka begitu jauh. Hanya doa tulus seorang ibu demi
kabahagiaan, kesehatan, dan keselamatan anaknya yang selalu dia panjatkan
kepada pemilik makhluk-makhluk-Nya, termasuk yang memiliki Dini. Bagaimana pun
Dini hanyalah titipan dari Allah, dia tidak berhak memiliki, hanya diamanahi
untuk merawat dan membesarkan anaknya. Selain jarak, Bu Elis juga terikat
kontrak kerja selama dua tahun.
Bu
Elis sangat sadar kalau peluang dirinya untuk pulang ke Indonesia dalam waktu
dekat sangatlah tidak mungkin. Namun, rasa rindu kepada anaknya sepertiya tidak
tertahan lagi. Pada awalnya, majikannya sempat tidak mengizinkannya pulang ke
Indonesia dengan alasan belum habis masa kontrak kerjanya. Kalau masa kerjanya
sudah dua tahun, majikannya bahkan berjanji akan menghajikan Bu Elis dan
mengantarnya langsung ke Indonesia. Akan tetapi, tekad Bu Elis untuk pulang
saat itu sudah bulat. Dia bahkan sampai kabur dari rumah majikannya dan pergi
ke Kedubes RI. Ketika majikannya datang ke Kedubes atas permintaan pihak
Kedubes, Bu Elis terpaksa bilang kalau majikannya telah memperlakukannya dengan
tidak baik. Ini demi meluluskan keinginannya untuk segera pulang ke Indonesia.
Pihak Kedubes pun akhirnya menyerahkan kembali Bu Elis kepada majikannya. Planning pertama tidak berhasil, rencana
kedua pun mulai dijalankan. Bu Elis mogok makan hingga akhirnya majikannya
merasa kasihan dan meluluskan permintaanya untuk pulang kembali ke Indonesia.
Gajinya
selama bekerja di Arab ternyata belum bisa melunasi hutang-hutangnya di
Indonesia, ditambah lagi dengan hutang-hutang ibunya. Setelah mencoba mencari
peluang kerja dan belum menghasilkan sejumlah uang untuk melunasi
hutang-hutangnya, ide untuk menjadi TKW pun kembali muncul di pikiran Bu Elis.
Keputusan menjadi TKW kali ini sebenarnya lebih berat. Kalau sebelumnya dia
bisa menitipkan putri tunggalnya kepada ibunya, saat itu ibunda tercintanya
telah meninggal dunia. Dalam kebimbangan, ternyata Allah menunjukkan jalan. Ada
salah satu kakaknya yang mengaku siap mengurus Dini selama dia pergi bekerja ke
luar negeri. Bu Elis pun kembali menginjakkan kakinya di Arab Saudi untuk
mengais rezeki.
Di
negara Arab ini Bu Elis seharusnya bekerja sebagai babysitter sesuai dengan kontrak kerja yang diajukannya kepada biro
penyalur tenaga kerja. Namun, ternyata setelah sampai di sana dia harus bekerja
hampir seperti pembantu. Dia kadang harus mengangkat galon air mineral dari
lantai satu hingga lantai tiga. Bayi yang seharusnya diasuhnya ternyata belum
lahir. Namun, setelah anak majikannya lahir dan ternyata bayi tersebut memiliki
keterbatasan fisik yang hampir mirip dengan anaknya, membuat Bu Elis begitu
menyangi anak majikannya. Dia pun mulai betah tinggal di sana.
Akan
tetapi, masa-masa manis ini ternyata tidak bertahan lama. Keluarga muda
majikannya ini kemudian bercerai dengan penyebab yang tidak diketehui pasti
oleh Bu Elis. Akhirnya, Bu Elis harus ikut orang tua majikannya dan merawat
majikan yang sudah jompo. Sayang, majikan yang sudah mulai pikun ini sangat
cerewet dan membuatnya tidak betah. Kondisi ini kembali mengusik kerinduannya
kepada jantung hatinya di tanah kelahirannya. Di negara yang sangat jauh dari
keluarganya, Bu Elis sering terus teringat dengan putri tunggalnya ini. Merasa
tidak tahan dengan perlakuan majikannya, Bu Elis pun memutuskan untuk kembali
ke tanah air. Apalagi, selama tinggal di sana dia hampir tidak diizinkan
mengirim surat ke Indonesia oleh majikannya. Terhitung hanya sekali dia
mengirim surat kepada keluarganya di tanah air. Dia terpaksa berbohong kepada
keluarganya dengan mengatakan kalau dia di Arab dalam kondisinya baik-baik
saja. Padahal keadaan yang sesungguhnya tidaklah demikian. Dia hanya tidak
ingin membuat keluarganya di tanah air panik dan sedih memikirkannya.
Berbulan-bulan
berada di Arab tanpa kabar berita, sempat membuat keluarganya panik dan mengira
dia sudah meninggal dunia. Salah satu kakaknya bahkan ada yang berencana
memasukkan Dini ke panti asuhan kalau dia meninggal dunia. Hal ini sungguh
membuat Dini sedih luar biasa. Dia merasa dibuang oleh kelurganya sendiri.
Kehadiran suratnya itu membuat Dini kembali berbinar. Setidaknya dia masih bisa
berharap untuk tetap berada di lingkungan keluarga yang menyayanginya, bukan di
panti asuhan. Setelah sebelas bulan berada di Arab, Bu Elis akhirnya kembali ke
Indonesia dengan sedikit pertentangan dengan majikannya. Yah, sesuai kontrak
memang seharusnya dia belum boleh pulang. Kabur menjadi senjatanya, tetapi dia
akhirnya tertangkap lagi dan kembali dipertemukan dengan majikannya. Namun,
tekad kuat Bu Elis untuk pulang ke kampung halaman membuat majikannya luluh dan
mengizinkannya pulang meski dengan biaya sendiri.
Bu
Elis akhirnya kembali berkumpul dengan keluarganya di Bandung. Dini, anak
semata wayangnya ini tentu menyambut gembira kedatangan ibunya. Meski masalah
demi masalah kembali bermunculan setelah itu, tetapi Bu Elis sudah mulai
terlatih dan menjalaninya dengan tegar. Masalah ekonomi masih menjadi masalah
terbesarnya, tetapi dia tidak mau mengambil risiko untuk kembali menjadi TKW ke
luar negeri. Sudah cukup pengalamannya makan asam garam di luar negeri. Dia pun
mencoba peruntungan di negeri sendiri.
Membuka
Usaha Panti Pijat
Allah
Swt. Yang Maha Agung ternyata memberi jalan rezekinya melalui kemampuan
terpendam yang selama ini tidak disadarinya. Pada awalnya dia ikut bekerja
menjadi tukang pijat bersama adiknya yang sudah lebih dulu menjalani profesi
ini. Ketika dia sudah merasa percaya diri dengan kemampuannya, atas persetujuan
adiknya, dia pun mencoba mandiri. Sedikit demi sedikit pelanggannya mulai
bertambah, apalagi dia sudah mulai mampu melobi beberapa hotel untuk menjadi
pelanggannya. Ketika pelanggan mulai bertambah dan tidak tertangani sendiri,
dia pun mulai merekrut anak buah.
Bu
Elis sangat sadar risiko berbisnis di jalur ini. Kalau tidak benar-benar mampu
menjaga imej, namanya akan tercemar. Maklum, tidak sedikit pelaku di bisnis ini
yang menjadikan bisnis pijat plus-plus yang cenderung ke arah negatif. Satu hal
yang selalu menjadi prisip bisnis Bu Elis, bahwa dia hanya mau menerima order
pijat murni, bukan yang plus-plus. Dia benar-benar menjaga profesionalismenya
sebagai tukang pijat. Prinsip ini juga diterapkan kepada semua anak buahnya.
Kalau orang sudah berani membayar mahal jasa pijatnya, dia pun harus mampu
memberi servis semaksimal mungkin. Dia tidak mau asal-asalan dalam bekerja.
Risikonya, mungkin keuntungannya tidaklah besar. Namun, dia tetap yakin bahwa
rezeki sudah diatur oleh Allah, manusia hanya diberi kuasa untuk berusaha
semaksimal mungkin. Yah, meski pandapatannya turun-naik dan tidak pasti, tetapi
berapa pun hasilnya tetap disyukurinya.
Demi
kebahagiaan Dini dan agar dia memiliki figur ayah, sekitar setahun lalu Bu Elis
memutuskan untuk menikah lagi dengan ayah kandungnya Dini. Saat itu mertua yang
dulu tidak merestui hubungan mereka sudah meninggal dunia, jadi tidak ada yang
menghalangi pernikahan mereka. Mereka berharap dengan pernikahan kembali ini
akan membawa angin kebahagiaan di rumah tangga mereka dan menjadi keluarga
sakinah mawadah wa rahmah (samara). Amin.@