Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Senin, Agustus 31, 2009

Tetap Mesra Saat Ramadhan




Bulan Ramadhan adalah bulan yang banyak dirindukan kehadirannya oleh umat Muslim sedunia. Bagaimana tidak ditunggu, di bulan ini Allah memberikan hidangan pahala selezat-lezatnya untuk umat Muslim yang mau beramal shaleh. Sebuah amal baik akan dilipatgandakan pahalanya lebih dari bulan-bulan lainnya. Bulan dimana Al-Quran diturunkan, bulan yang di dalamnya insan beriman berharap mendapat lailatul qadar, bulan dimana surga dibuka dan sebaliknya neraka ditutup lalu setan dibelenggu. Tidak terkecuali bagi mereka yang sudah terikat dalam sebuah mahligai indah pernikahan. Namun, bulan penuh barakah ini tentu bukan menjadi alasan bagi suami istri untuk larut dalam ibadah yang melenakan lalu lupa akan kebutuhan fitrah biologis manusia.

Rasul yang Mulia pun pernah menegur sahabatnya yang terlalu khusuk menghabiskan waktunya untuk ibadah kepada Allah, hingga melupakan kewajiban memberi nafkah batin kepada istrinya. Saat ibadah saum, Rasul pun tetap menjaga kemesraan dengan istrinya. Seperti tertera dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.: Nabi Saw. memeluk dan mencium (istrinya) ketika sedang berpuasa dan Nabi Saw. lebih mampu menahan diri dari siapa pun di antara kalian.

Mengenai hal ini Ustadzah Ebah Suaibah dan Ustadz Ahmad Humaedi (pengisi acara Rumahku Surgaku MQFM) sepakat bahwa batas-batas pergaulan suami istri saat saum hanya dilarang untuk mempergauli istri di siang hari, selain itu dibolehkan dalam batas-batas syar’i karena jelas sanksinya bagi mereka yang melanggar yaitu diperintahkan untuk memerdekakan budak, atau memberi makan 60 orang miskin, atau puasa berturut-turut selama 2 bulan. Namun demikian, Allah Maha Tahu kecenderungan hati manusia, maka Allah tetap memberi keringanan seperti tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 187, ”Dibolehkan kepadamu di malam puasa campur dengan istrimu, mereka pakaianmu dan kamu pakaian mereka.......Dan janganlah kamu campur dengan istrimu, sedang kamu i’tikaf dalam masjid. Itulah batas-batas hukum Allah, sebab itu janganlah kamu dekati...”

Merujuk pada ayat di atas, Ustadzah Ebah menegaskan, ”Jadi, tidak ada alasan bagi suami istri mengesampingkan kemesraan hanya karena datangnya bulan Ramadhan. Karena ’mesra’ bagi suami istri itu juga ibadah.” Selanjutnya Ustadz Ahmad Humaedi atau lebih dikenal dengan sebutan Ustadz Ahum menambahkan bahwa bersikap lembut pada istri dan berkata baik pada suami, merupakan kekuatan untuk melanggengkan pernikahan.
***

Menikah itu sendiri merupakan bentuk ibadah kepada Allah, tentu tidak bisa dipisahkan dengan bagaimana melayani suami atau menyayangi istri. Karena ketika seseorang itu sedang menjalankan tugasnya sebagai suami atau istri, pada saat itu juga sebenarnya ia sedang beribadah kepada Allah. Namun, yang dimaksudkan di sini adalah ibadahnya seseorang kepada Allah mutlak. Bagaimana caranya agar ada keseimbangan antara ibadah vertikal kepada Allah dengan ibadah secara horisontal kepada suami/istri? Dan bagaimana pula memaksimalkan ibadah vertikal dan horisontal tersebut? Khususnya di bulan Ramadhan.

Ustadz Ahum maupun Ustadzah Ebah sama-sama menganggap pentingnya moment Ramadan untuk saling berlomba meningkatkan ibadah bagi pasangan suami istri, sehingga sayang bila Ramadhan lewat begitu saja tanpa ibadah yang maksimal. Bahkan menurut Ustadzah Ebah, atau biasa dipanggil Teh Ebah, pasangan suami istri harus komitmen untuk menjadikan Ramadan sebagai moment sangat besar untuk meraih pahala dengan ibadah-ibadah Ramadan khususnya. Ibadah-ibadah mahdhah khusus Ramadan ini, harus sudah menjadi standar pembicaraan di awal Ramadan. Agar suami istri dapat mengatur hak-hak lainnya seperti apa. Bila semuanya sudah disetting bernilai ibadah, semua bisa tetap dijalankan secara seimbang, tanpa harus mengecualikan salah satu di antaranya. Toh kemesraan itu tidak hanya melulu melakukan kontak secara fisik, tapi saat saur bersama, suami membantu istri memasak di dapur, shalat tahajud berjamaah dsb. Maka, yang sangat dibutuhkan bagi seorang istri utamanya adalah tetap segar saat saum. Bagaiamana caranya? Apa pun yang menjadi hak kita seimbangkan dan kondisionalkan dan penuhi hak-haknya sesuai dengan kebutuhan.

Ustadz Ahum melihat minimal 3 hal penting di bulan Ramadan yang sayang kalau dilewatkan; pertama, membaca Al-Quran. Sebab Ramadan adalah bulan turunnya Al-Quran. Akan menjadi hidup bila dilakukan berjamaah bersama keluarga seperti tarawih atau tahajud. Atau bahkan saling berlomba agar cepat khatam Al-Quran dan saling memperbaiki bacaan Al-Quran. Kedua, berdoa. Sebab Rasul pernah mengatakan, ada tiga orang yang doanya tidak akan ditolak oleh Allah; doa seorang pemimpin yang adil, doa orang yang teraniaya, dan doa orang saum sampai ia berbuka. Suasana doa ini akan menjadi lebih syahdu bila dilakukan bersama sekeluarga. Ketiga, umrah jika mampu. Pahala umrah di bulan Ramadan, kata Rasul sama dengan ibadah umrah bersama Rasul. Ibadah umrah ini juga akan menjadi lebih indah bila dijalankan bersama sekeluarga. Kembali Ustadz Ahum menegaskan bahwa ketiga hal itu bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas kemesraan suami istri.

Ustadz Ahum juga memberikan tip’s agar Ramadan tetap indah bersama keluarga:
1. Landasi semua dengan keikhlasan. (Q.S. Al-Maidah; 5)
2. Munculkan saling nasihat-menasehati dalam kebenaran dan sabar. Ketika pasangan hidup kita atau diri kita sedang mengalami futur, maka ada saling mengingatkan dalam kebaikan agar meningkatkan amal ibadah kita kepada Allah.
3. Munculkan saling tolong-menolong dalam kebaikan.
4. Berlomba-lomba melakukan kebaikan.
5. Saling mengoreksi (muhasabah).
6. Bercermin pada orang shaleh.
7. Menghilangkan sikap egoisme, merasa benar sendiri dll.

Semua itu dibingkai dengan perhatian yang penuh, tanggung jawab yang besar dan kepekaan yang mumpuni serta pengorbanan yang tulus. Insya Allah, kita akan dapat mencapai kebersamaan yang indah selama bulan Ramadhan. (Indah/MQ)***

Senin, Agustus 10, 2009

Ketika Suami Jadi “Sapi Perahan” Istri


Meski acaranya agak larut malam, kadang saya masih menyempatkan untuk nonton tayangan TV “Masihkah Kau Mencintakui?” yang dipandu Helmy Yahya dan Dian Nitami. Banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari masalah-masalah yang dimunculkan di sana. Seperti tayangan pada minggu lalu, ada sesosok wanita cantik usia 30-an yang belum genap sepuluh tahun menikah. Sebut saja namanya Sinta. Meski sebagian wajahnya ditutup topeng, tapi rona kecantikannya tetap terpancar dari wajahnya. Bukan hanya cantik, postur tubuhnya pun ideal, tinggi langsing dan berkulit putih. Sangat pantas untuk menjadi seorang foto model. Saya yakin, setiap orang, apalagi pria, pasti akan berdecak kagum melihat kecantikannya.

Namun, kecantikannya ini ternyata memiliki biaya mahal. Gaji suaminya sebagai direktur di sebuah perusahaan swasta di Jakarta sebenarnya cukup besar, 25 juta/bulan. Semua uang gajinya ini diserahkan kepada istrinya. Tapi ternyata Sinta masih saja merasa kurang hingga suaminya terlilit banyak hutang, baik ke kantor maupun kepada rekan kerjanya. Kondisi ini membuat suaminya kurang dipercaya lagi oleh rekan-rekan kerjanya. Masih beruntung dia tidak sampai melakukan korupsi di kantornya demi memenuhi keinginan-keinginan istrinya yang dirasa semakin menggila.

Kondisi ini membuat suami Sinta mulai membatasi suplay keuangan untuk istrinya. Ternyata, hal ini membuat Sinta tidak terima dan protes karena menganggap suaminya sudah berubah, dia jadi pelit dan tidak sayang lagi padanya. Selama ini suaminya memang mandah menuruti saja apa keinginan istrinya. Selain karena kondisi keuangan waktu itu masih longgar, dia juga tidak mau ribut dengan istrinya. Tapi ketika kebutuhan keluarga semakin meningkat, terutama sejak lahir kedua anak mereka, suaminya merasa perlu membatasi alokasi kebutuhan pribadi istrinya yang cenderung hanya mengejar barang-barang brandid, barang-barang berkelas dan bermerk. Apalagi Sinta memang hobi banget mengoleksi perhiasan, terutama berlian. Dengan dalih investasi, Sinta seolah takpernah merasa puas untuk menambah koleksi perhiasannya.

Tipe perempuan matre seperti Sinta, biasanya selalu dihantui perasaan iri kepada orang di sekitarnya yang dianggap memiliki harta lebih darinya. Seperti perasaan iri Sinta kepada tetangganya yang juga anak buah suaminya di kantor. Meski kedudukan suaminya di kantor lebih tinggi dari tetangganya ini, tapi kehidupan ekonomi mereka tampak lebih mewah dibanding keluarganya. Benar kata pepatah, rumput tetangga tampak lebih hijau daripada rumput di kebun sendiri. Usut punya usut, ternyata tetangganya ini, selain kerja sekantor dengan suaminya, dia juga punya restoran warisan orangtuanya. Maka wajar kalau perekonomian meraka tampak lebih mewah.
***

Masalah seperti ini, mungkin bukan hal baru bagi masyarakat modern seperti sekarang. Label “matre” yang terlanjur melekat dengan diri wanita bukanlah lahir tanpa alasan. Sampai ada yang bilang, “Para koruptor memang kabanyakan pelakunya adalah kaum pria, tapi penyebabnya adalah wanita.” Sebuah ironi yang mengharukan.

Melihat sosok perempuan matre dan besar rasa irinya seperti Sinta ini, pasti membuat kita merasa gemas dan kesal. “Kok ada ya, wanita seperti ini?” Tapi ternyata, entah disadari atau tidak, penyakit seperti ini banyak menghinggapi diri kita, hanya kadarnya saja yang berbeda-beda. Bukan hanya wanita, kaum pria zaman sekarang pun tidak sedikit yang matre. Na’uzubillahi min zalik.

Suami Sabar Tapi Kurang Bijaksana

Saya salut dengan suaminya Sinta yang sudah begitu sabar mendampingi wanita yang “banyak keinginannya” ini selama bertahun-tahun. Meski dia cukup sabar, tapi dia kurang bijaksana. Seharusnya dia bisa mendidik istrinya agar mampu menahan nafsu duniawinya. Takselamanya roda akan terus di atas. Suami seharusnya menyiapkan mental istrinya karena bisa jadi keadaan suatu saat akan berubah. Mungkin perusahaan bangkrut, atau mungkin suami lebih dulu tutup usia meski masih muda. (Siapa yang tahu?)

Bila istri sudah terlatih untuk menghadapi masalah yang terpelik dan terpahit dalam hidup, insya Allah suami akan lebih tenang jika suatu saat meninggalkan dunia yang fana ini. Apalagi konsep harta dalam Islam mengajarkan kalau di dalam harta yang kita miliki, ada hak orang lain, antara lain fakir miskin. Kesadaran berzakat dan bershadaqah inilah yang harus menjadi fondasi kita dalam membelanjakan dan mengelola harta titipan Allah.

Jangan Mau Selamanya Jadi “Sapi Perahan” Istri

Yah … saya hanya merasa kasihan kepada suami-suami yang sudah bekerja keras, banting tulang, memeras keringat demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tapi ketika uang itu sampai di tangan istrinya, sang istri dengan seenaknya menghabiskan uang hasil kerja kerasnya. Meski dia bisa berdalih, “Ini kan, demi suami jua! Kalau saya jadi cantik, buat siapa? Kan, buat suami! Saya beli perhiasan kan buat investasi, berarti buat keluarga juga, dong!”…dan seabreg alasan lain. Padahal di dasar hatinya yang paling dalam, kalau dia mau mengakui, semua hanya untuk prestice, untuk kebanggaan dirinya semata.

Ibila dia berdalih untuk membahagiakan suami, nyatanya suaminya tidak bahagia dengan semua itu. Kecantikan yang dia miliki banyak mengundang decak kagum kaum pria di luar sana, tapi suaminya sendiri seolah merasa “tercekik”. Betapa tidak, untuk mempercantik penampilan istrinya, energinya telah dikuras nyaris habis. Suaminya takubahnya seperti “sapi perahan” yang harus memenuhi kebutuhan sehari-harinya lalu dengan seenaknya dihabiskan dalam waktu singkat oleh istrinya. Na’uzubillahi min zalik.

Wahai kaum perempuan, sadarilah, bahwa harta yang ada di tangan kita adalah titipan yang harus kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Maka belanjakanlah sesuai aturan Allah. (jangan berlebih-lebihan).

Wahai kaum pria, didiklah istrimu menjadi istri shalihah, yang mampu menjaga harta dan kehormatannya, baik di depan maupun di belakang suaminya. Maka, insya Allah kebahagiaan, sakinah mawaddah warahmah akan mewujud di rumah tangga kita. Amin. @

Selasa, Agustus 04, 2009

Kalau Ingin Berubah, kenapa Menunggu Setelah Menikah?


“Saya ingin berpakaian kayak mbak Indah, pakai jubah dan jilbab lebar, tapi nanti setelah menikah. Kalau sekarang saya belum bisa. Saya kan masih suka pacaran,” Demikian curhat seorang sahabatku. Dia memang sudah berjilbab, tapi pakaiannya umum (bukan jubah dengan jilbab lebar).

Menurut saya, pakaian bukanlah ukuran keimanan seseorang. Seorang yang sehari-harinya berjubah dengan jilbab lebar, bukan jaminan bahwa dirinya bakal lebih dulu masuk syurga dibanding muslimah lain yang mungkin cara berjilbabnya masuk kategori biasa (kadang tomboy dengan celana panjangnya, atau sedikit feminan dengan kulotnya, sekali-kali memakai rok dengan jilbab standart).

Tapi image yang kadung muncul, muslimah dengan pakaian jubah dan jilbab lebar seolah kehidupan religinya lebih terjaga, begitupun pergaulannya. Menjadi muslimah kaafah lahir dan batin memang harapan semua muslimah. Semoga jilbab memang benar-benar mampu menjaga kehidupan sosial dan religi pemakainya. Amin.
***

Pertanyaan pendek dari sahabatku itu sempat menjadi perenungan tersendiri bagiku. Saya jadi teringat dengan curhatan sahabatku yang sudah menikah.

“Setelah menikah, saya baru menyadari kenapa Allah memberikan pahala setengah agama bagi orang yang menikah. Ternyata, tantangan beribadah setelah menikah itu besar sekali, apalagi setelah punya anak. Waktuku nyaris habis untuk mengurus anak. Mau tahajud bawaannya males banget, bahkan waktu istirahat pun nyaris tidak ada. Apalagi mengisi waktu untuk tadarus Al Quran. Duh….males banget.”

Ternyata, butuh perjuangan besar untuk istiqamah dalam menjalankan ibadah vertikal kepada Allah setelah menikah. Padahal Allah akan memberikan pahala besar pada satu ibadah yang tantangan/rintangannya besar pula. Semakin besar tantangan, semakin besar pula pahalanya. Mungkin karena itulah Allah memberikan pahala setengah dien bagi orang yang menikah?

Sahabatku ini, boleh dibilang ibadahnya lebih rajin daripada saya. Tapi ternyata sempat terjangkit penyakit futur dalam beribadah, padahal suaminya bukan seorang yang acuh dalam soal agama. Bukan sekali-duakali suaminya mengingatkan dia agar rajin tahajud, bertadarus Al Quran dan ibadah sunnah lain. Tapi, ternyata serangan “malas” masih dominan menghinggapi dirinya.

Saya ngebayangin, gimana saya yah…yang ibadahnya tidak lebih rajin daripada dia. Apa setelah menikah saya pun akan mengalami “futur” yang sama? Atau bahkan lebih parah? Na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah selalu membimbingku agar selalu dekat dengan-Nya. Amin.
***

Setiap wanita pasti berharap mendapatkan suami yang shalih dan dapat membimbing keimanannya. Idealnya seperti itu. Tapi, realita yang banyak dihadapi oleh muslimah tidaklah demikian. Bersyukurlah bagi muslimah yang mendapatkan suami yang bisa menjadi imam di kaluarganya dan benar-banar tahu agama sehingga dapat mendukung penuh istrinya untuk berpenampilan lebih syar’i dengan jubah dan jilbab lebar. Tapi bagaimana kalau suaminya tidak mendukung ke arah sana? Mugkin saja suaminya ingin melihat istrinya berpenampilan lebih modis meski tetap berjilbab. Atau kalau toh suaminya seorang yang ‘alim, ternyata dia lebih sibuk dengan kegiatan dakwahnya sehingga tidak sempat membimbing istrinya secara lebih intensif. Itu berarti dia harus mampu membimbing dirinya sendiri agar dapat tetap mendukung dakwah suaminya.

Satu lagi pertanyaan besar, siapa yang bisa menjamin umur manusia? Tidak semua manusia yang lahir ke dunia ini meninggal setelah dia menggenapkan dien-nya dengan menikah. Bagaimana kalau Allah menjemput ajal kita sebelum menikah, padahal kita belum sempat mengubah/memperbaiki ibadah kita?

Jadi, kalau ingin mengubah diri, kenapa harus menunggu setelah menikah? Siapa tahu, justru setelah kita mampu memperbaiki diri sesuai aturan Allah, jodoh justru datang menghampiri diri kita. Amin.

Yakinlah, bahwa ada pembimbing sejati yang selalu setia membimbing kita, yaitu Allah Swt. Kepada-Nyalah kita meminta bimbingan dan pengampunan. Kepada-Nyalah kita berserah dengan hidup dan kehidupan kita. Kalau toh kita mendapat bimbingan dari manusia, hakikatnya Allahlah yang menggerakkan hatinya untuk mampu membimbing kita. @

Senin, Agustus 03, 2009

Akhirnya Aku Bersedih Juga




(Rindu Ramadhan)




Indah, 29 Juli 2009



Kuambil Al Quran dan kubaca isinya
Rasanya lama sekali hari-hariku absen dari bertadarus
Malam-malamku sering lalai dari qiyamullail
Zikirku baru sekadar fasih di bibir
Futur… futur… futur…
Kering rasanya jiwa ini saat jauh dari-Mu

Mata ini kurang terjaga
Padahal nenekku dulu sering menasehatiku,
“Mata itu mahal, jangan kaupakai buat nonton maksiat seperti itu.”
kata nenekku sambil menunjuk TV yang sedang kupelototi gambarnya.

Telinga ini pun belum mampu kujaga dengan baik.
Lagu-lagu yang biasa muncul di TV
lebih sering mengisi gendang telingaku
daripada lantunan ayat-ayat Al quran.

Astaghfirullah haladzim…
Ampuni dosa-dosa hamba ya Allah.
Seharusnya di hati ini hanya ada tiga kata,
Lillah (untuk Allah), Billah (bersama Allah), dan Fillah (di jalan Allah)”

Saat seperti ini…
Aku sangat merindukan suasana Ramadhan
Bulan yang membuatku bersemangat dalam beribadah.
Aku rindu suasana sahur bersama
Dan menikmati shalat berjamaah tarawih.
Aku rindu saat i’tikaf bersama di masjid.
Rindu berkumpul bersama orang-orang yang merindukan-Mu.

Ya Allah…
Sampaikan umurku hingga Ramadhan depan dan tahun berikutnya.
Berikan hamba kenikmatan ibadah Ramadhan
Bimbing hamba agar bisa meraih pahala 1000 bulan di keheningan lailatulqadar.
Kabulkan ya Alah….
Amin.