Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Kamis, Desember 01, 2011

Saat Curhat Sahabat Membuat Penat



“Ada yang curhat minta solusi masalah, tapi begitu dikasih tahu solusinya malah ‘keukueh’ dengan pendapatnya. Ya udah, terserah kamu sajalah. Itu masalah ya masalahmu. Kamu yang menikmati, kamu yang menjalani, kamu juga yang punya solusinya. Tapi kalau tahu gitu gak usah curhat ke aku, buat apa? Nggak ada gunanya.” Begitu tulis sebuah status dari sahabat lama saya di Facebook. (Dengan redaksi yang sedikit diubah)

Kekesalan seperti itu mungkin bukan hanya dialami sahabat lama saya ini, beberapa orang yang lain mungkin juga pernah mengalaminya, termasuk saya. Hanya saja saya tidak sampai merasa kesal dan marah sih. Namun, setelah saya membaca buku tentang konseling, mindset berfikir saya berubah 180 derajat. Konseling merupakan sistem dan proses bantuan untuk mengentaskan masalah yang terbangun dalam suatu hubungan tatap muka antara  dua orang individu (klien yang menghadapi masalah dengan konselor yang memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan). Kerangka kerja konseling perorangan dilandasi oleh beberapa prinsip dasar, antara lain bahwa klien adalah individu yang memiliki kemampuan untuk memilih  tujuan, membuat keputusan, dan secara umum mampu menerima tanggung jawab dari tingkah lakunya. Intinya, klien bukanlah boneka atau robot yang bisa kita setir semau kita. Hal ini selaras dengan salah satu asas konseling, yaitu “Asas Keputusan Diambil oleh Klien Sendiri”.

Dalam banyak teori konseling, PRINSIP DASAR inilah yang selama ini menjadi “titik poin” pengubahan mindset  berfikir saya. Hal inilah yang selama ini tidak saya ketahui, saya cenderung memaksakan kehendak saya kepada teman curhat saya seolah sayalah orang yang paling tahu solusi masalah sahabat saya itu. Merasa dia yang butuh saya (dengan datang mencurahkan isi hatinya kepada saya), saya pun seolah berhak mengatur kehidupannya. Kalau ternyata dia tidak menjalankan masukan solusi dari saya, rasa “kesal” pun merayapi hati ini. “Sudah capek-capek mendengarkan curhatnya dan memberikan solusi dari masalahnya malah nggak dijalankan.” Begitu gerutu dalam hati saya.

Sejak saya belajar konseling meski hanya dari membaca buku, cara saya menyikapi teman curhat pun berubah. Saya tidak lagi memaksakan “solusi terbaik menurut saya” (yang belum tentu terbaik untuk sahabat saya itu), tetapi membantunya memahami titik permasalahannya sendiri lalu memberinya beberapa alternatif pilihan solusi dengan berbagai risikonya. Solusi A akan menghadirkan risiko seperti ini dan ini, solusi B menghadirkan risiko seperti ini, dan seterusnya. Lalu, saya memberikan kebebasan kepada sahabat saya untuk memilih solusi terbaik menurutnya dan yang paling mudah dijalankan olehnya. Namun, sebagai sahabat saya harus memotivasinya kalau dia pasti bisa mengambil keputusan terbaik untuk dirinya karena hanya dialah yang paling tahu solusi terbaik untuk dirinya sendiri. Saya juga harus men-support dirinya kalau dia mampu keluar dari masalah yang membelitnya. Bukankah Allah Swt. sudah berjanji bahwa Dia tidak akan memberikan ujian kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba-Nya? Itu berarti Allah Swt. sudah memberikan software kepada setiap hamba-Nya untuk mampu menghadapi masalahnya sendiri. Orang lain hanya bersifat sebagai partner, teman sharing karena bagaimana pun sebagai makhluk sosial kita memang tidak bisa lepas dari orang lain. Selalu ada tarik-menarik rasa saling membutuhkan antara satu orang dengan yang lainnya. Salah satunya melalui curahan hati (curhat).

Ada satu catatan peting lain bahwa tidak selamanya teman curhat kita itu sebenarnya membutuhkan masukan solusi dari kita. Ada kalanya dia hanya butuh teman sharing untuk menumpahkan emosi jiwanya saja. Ada yang bilang, dengan kita mencurahkan isi hati (emosi jiwa) kita kepada orang lain maka separuh dari masalah kita sudah mulai teratasi. Setidaknya hati kita sedikit lega karena unek-unek yang mengganjal di hati sudah keluar. Hanya saja kita harus selektif mencari teman curhat. Kita pasti akan merasa nyaman kalau orang yang kita curhati bisa menyimpan masalah kita cukup di hatinya, tidak dibeberkan kepada orang lain. Jadi, prinsip kerahasiaan ini yang harus kita jaga apabila kita menerima curhatan orang lain sekalipun kita bukanlah seorang konselor. Membuat sahabat kita nyaman dan bahagia dengan kehadiran kita dalam kehidupannya bukankah itu berpahala? Salah satunya dengan membuatnya nyaman saat melakukan curhat dengan kita dan mampu menjaga kerahasiaan masalahnya dari orang lain (hanya kita yang tahu).

Mengapa Saya Harus Belajar Konseling?

Saya bukanlah mahasiswa jurusan psikologi atau orang yang bekerja dalam bidang yang berkaitan dengan dunia psikologi. Lalu, mengapa saya harus repot-repot belajar konseling? Sebuah proses panjang bila akhirnya saya tertarik mempelajari konseling dan masalah-masalah psikologi. Sejak SMA saya sudah mulai sering membaca buku-buku psikologi umum, terutama yang berkaitan dengan dunia remaja. Awalnya hanya untuk mencari solusi dari masalah yang menghimpit diri saya sendiri. Maklum, sejak SMP saya boleh dibilang termasuk anak yang pendiam dan introvert, sangat tertutup. Ketika menghadapi masalah, saya cenderung diam dan menyimpannya dalam hati, bahkan kepada kedua orang tua saya sendiri. Saya biasanya menumpahkan unek-unek melalui buku harian (kebiasaan ini alhamdulillah malah menjadi jalan bagi saya memasuki dunia tulis-menulis). Dengan cara ini setidaknya cukup membuat hati saya lega. Sedangkan untuk mencari solusinya saya mencari dari buku-buku bacaan psikologi remaja. Dari sanalah saya mulai keranjingan membaca buku-buku psikologi. Saya bahkan jadi tidak terlalu tertarik dengan buku-buku pelajaran sekolah, itu sebabnya prestasi akademik saya dari dulu biasa-biasa saja. 

Saya merasakan betapa tidak mudah mencari orang yang bisa dipercaya sebagai teman curhat. Itu sebabnya saya mencoba membuka diri kepada sahabat-sahabat saya yang sekiranya sedang dihimpit masalah. Dari satu teman yang suka curhat, akhirnya bertambah pula teman lain hingga akhirnya saya sering menerima curhatan mereka. Kadang saya berfikir, “Mereka kok begitu mudahnya mencurahkan isi hatinya sedangkan saya serasa sulit terbuka kepada orang lain?” Kadang saya bahkan berfikir, “Buat apa curhat sama orang lain, toh mereka juga curhatnya sama saya.” Apalagi saya juga pernah dikecewakan seorang teman yang tidak amanah menyimpan masalah saya. Dia malah menceritakan masalah saya kepada orang lain. Sampai akhirnya saya menemukan tempat curhat yang paling aman, yaitu kepada Allah Swt. melalui doa-doa usai shalat. Insya Allah jauh lebih aman karena Dialah yang memberi kita masalah sehingga kepada-Nya pula kita meminta solusi dari masalah kita. Saya pun tidak takut masalah saya bakal dibeberkan kepada orang lain.

Namun, kepada orang lain terutama sahabat saya, saya tetap memberi peluang mereka menumpahkan unek-uneknya kepada saya. Saya hanya berfikir, “Betapa tidak enaknya menghadapi masalah sendirian di dunia ini. Akan lebih baik bila kita bisa menemukan teman berbagi dalam hidup agar kita tidak merasa sendiri dalam menghadapi pahit-getirnya kehidupan ini. Saya pernah merasakan betapa pahitnya sendirian menghadapi pahitnya masalah kehidupan, saya tidak ingin orang lain pun merasakan hal yang sama.” Itu sebabnya saya membuka diri kepada orang lain untuk menjadi tempat curhatnya.

Menjadi tempat curhat satu-dua orang mungkin biasa. Apalagi bila profesi kita memang seorang konselor atau psikolog, menerima klien banyak sekalipun tidak masalah, bahkan akan semakin menguji profesionalitas dalam bidang yang digelutinya. Namun, apabila kita bukan seseorang yang mengambil bidang tersebut lalu banyak menerima curhat dari orang lain, tentu akan membuat penat kepala kita, apalagi bila tidak ditunjang dengan ilmu dan tingkat emosionalitas yang memadai. Saya sering sekali menerima curhatan bahkan dari orang yang baru saya kenal. Pernah suatu ketika saat masih kuliah, saya pulang kampung di Banyumas. Dalam perjalanan kembali ke Bandung dengan mengendarai bis, saya sebangku dengan seorang pria yang mungkin usianya lima tahun lebih tua dari saya saat itu. Penampilannya sedikit cuek dengan postur tinggi besar, pantas jadi seorang preman. Rambutnya gondrong dengan kuncir di belakang. Tidak berapa lama duduk, entah bermula dari mana tiba-tiba dia curhat masalahnya tentang sahabat karibnya yang selalu naksir cewek yang sedang ditaksirnya. Lama bercerita dia mungkin baru sadar, “Saya kok enak saja ya curhat sama Teteh? Padahal kita belum kenal sebelumnya,” katanya. Saya tidak menjawab dan hanya tersenyum. Ya, mana saya tahu jawabannya kan dia sendiri yang memulai curhatnya. Dia turun lebih dulu dari saya. Anehnya, sampai dia turun dari bis saya tidak tahu siapa namanya dan dia juga tidak tahu nama saya karena kami memang tidak sempat berkenalan. Namun, saya tahu apa masalahnya. Anah bukan?

Ketika saya menjadi santri di Pesantren Daarut Tauhid (DT) Bandung, saya sering menerima curhat dari para jamaah yang iktikaf di masjid pesantren tersebut meski kami tidak saling kenal sebelumnya. Bahkan ada yang baru sekali bertemu tapi dia langsung enak saja curhat sama saya. Ada teman santri yang biasa curhat sama saya lalu menjadi dekat dengan jamaah yang biasa hadir di DT dan sering curhat sama saya juga.
“Kamu kenal Teh Indah?” tanya jamaah tersebut.
“Ya kenal, saya malah biasa curhat sama Teh Indah,” jawab santri tersebut.
“Oh sama, saya juga sering curhat kok sama Teh Indah,” kata jamaah itu lagi.
Sejak saat itu mereka seolah jadi sehati dan saling kenal lebih dekat. Aneh memang, tapi nyata.

Intensitas menerima curhat semakin bertambah ketika saya bertugas menjadi pengurus santri selama sembilan bulanan. Hampir setiap hari ada saja santri bimbingan yang curhat dengan masalah-masalah yang beragam dan berat-berat. Kadang di kepala ini sampai terasa penuh. “Mau ditaruh di kepala bagian mana lagi, nih?” keluhku dalam hati. Namun, meski kadang terasa penat saya masih tetap menerima curhat mereka. Tidak sampai hati rasanya kalau menolak mereka. Di sinilah saya merasa butuh ilmu khusus tentang menangani curhatan, salah satunya dengan belajar konseling. Saya sampai harus meminjam buku konseling sama teman yang kuliah di jurusan Bimbingan dan Konseling. Meski hanya belajar dasar-dasarnya saja, lumayanlah.

Sejak belajar konseling, saya tidak pernah memaksakan solusi tertentu kepada teman curhat saya. Kadang saya bahkan hanya mendengarkan curhatan mereka tanpa memberi solusi tertentu karena saya lihat dia sebenarnya sudah tahu solusinya. Dia hanya butuh teman sharing untuk menumpahkan unek-uneknya. “Saya yakin, kamu pasti bisa mengatasi semua ini. Saya turut mendoakan,” hanya itu support yang saya berikan.

“Saya curhat sama Teh AB dan dia ngasih solusi seperti ini, tapi saya kok kurang sreg dengan solusi yang dia tawarkan, yah. Saya jadi nggak enak, kalau nggak ngejalanin sarannya takut dia marah,” curhat salah satu teman saya. Rupanya dia sebelumnya juga curhat masalah yang sama dengan teman lain. 

“Teteh merasa nyaman mana, dengan menjalankan masukan solusi dari Teh AB yang katanya “harus begini dan begini” atau diberi kebebasan memilih seperti cara saya dengan hanya memberikan alternatif solusi A dengan risiko ini dan itu atau solusi B dengan risiko lain?” tanya saya balik kepada sahabat saya tersebut.

“Ya enakan cara Teh Indah,” jawab sahabat saya.
“Kenapa saya tidak mau memaksakan Teteh untuk menjalankan solusi tertentu menurut saya? Karena hanya Teteh sendiri yang tahu solusi terbaik masalah Teteh. Orang lain seperti saya hanya mencoba membantu memetakan masalah Teteh dan mencarikan alternatif solusinya, selanjutnya Teteh sendiri yang harus mengambil keputusan. Teteh kan bukan robot milik saya yang bisa saya setir sesuai keinginan saya. Teteh adalah jiwa bebas yang bisa menentukan mana yang terbaik menurut Teteh,” terang saya panjang lebar.

Ternyata “memaksakan” orang lain menjalankan solusi tertentu menurut kita meski itu terbaik (menurut kita) malah membuat orang lain tertekan. Mungkin kita tidak sengaja memaksanya, tetapi dengan kita “merasa dongkol” ketika dia tidak menjalankan masukan solusi dari kita akan membuat teman curhat kita “merasa dipaksa”. Semoga Allah Swt. membimbing kita untuk lebih bijak menyikapi masalah di kehidupan ini, termasuk dalam menyikapi masalah orang lain. Amin.

Akhirnya Curhat Jadi Obat

Ini efek samping dari seringnya menerima curhat. Hal ini saya rasakan setelah saya menggeluti dunia penulisan, terutama setelah menjadi wartawati di sebuah media Islami di Bandung. Saya baru merasakan manfaat curhat teman-temanku dulu karena saya banyak mendapatkan ide tulisan dari curhat-curhat mereka, termasuk tulisan ini juga bagian dari inspirasi curhat teman-teman. Satu hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dulu saya kadang merasakan curhatan teman sebagai beban yang bikin penat kepala, sekarang malah menghadirkan banyak hikmah. Namun, ada efek samping lain. Sejak saya dikenal sebagai penulis malah jarang teman-teman yang mau curhat sama saya. “Takut ditulis ah, kalau curhat sama Teh Indah,” begitu alasan mereka. Ada-ada saja. Meski ada juga yang malah minta curhatannya ditulis. Hm…itu semua terserah saya, lah yau…..mau saya tulis atau tidak curhatan mereka tergantung mood di hati. @