Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Desember 29, 2009

Ada Apa di Balik Pencekalan Buku Gurita Cikeas?




Semakin dilarang semakin tertantang untuk melanggar, semakin dicekal sebuah buku semakin banyak yang mencari dan membelinya. Sesuatu yang dianggap kontroversi pasti akan menjadi buah bibir mayarakat sehingga masyarakat pun akan mencari sumbernya. Itulah yang biasa terjadi di masyarakat kita. Seperti buku Jakarta Undercover karya Muammar MK yang pernah dicekal beberapa tahun lalu, penjualannya malah melonjak karena orang semakin penasaran ada apa di balik buku Jakarta Undercover ini. Begitupun yang terjadi dengan buku Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Bank Century yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, seorang sosiolog kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah.

Mengutip tulisan Budi Darma di www.politikana.com berjudul “Pencekalan Buku : Belajar dari Buku Gurita Cikeas”, bahwa dalam sejarah, ada tiga macam alasan mengapa sebuah buku dapat dicekal:

A. Buku tersebut mengandung unsur-unsur porno yang dianggap dapat merusak moral masyarakat.
B. Buku tersebut mengandung unsur-unsur ideologi/aliran/kepercayaan yang dapat dianggap meresahkan masyarakat.
C. Buku tersebut dapat dianggap merusak nama baik seseorang/lembaga tertentu.

Lalu, siapa yang berhak mencekal? Yang berhak mencekal buku adalah Kejaksaan atas nama Pemerintah. Usul pencekalan sebuah buku dapat datang dari masyarakat, organisasi-organisasi tertentu, atau langsung dari Pemerintah sendiri.

Namun, satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pencekalan buku pada dasarnya bersifat sementara. Bila situasi dan kondisinya sudah memungkinkan, pencekalan bisa ditarik secara resmi oleh Kejaksaan sebagai kepanjangan tangan Pemerintah, atau hanya didiamkan saja sehingga buku ini otomatis tidak akan tercekal lagi.

Contoh: (a). buku D.H. Lawrence Lady Chetterly’s Lover pernah dicekal karena dianggap porno. Ketika zaman berubah dan ukuran porno pun berubah, tanpa pencabutan resmi atas pencekalan buku itu otomatis tidak tercekal lagi. (b). buku-buku Pramoedya Ananta Toer pada zaman Orba juga pernah dicekal, namun ketika situasi dan kondisi politik berubah, secara otomatis pencekalan dicabut sehingga buku-buku Pramoedya dapat beredar bebes meski tanpa pencabutan pencekalan resmi dari pemerintah.

Apa Isi Buku Membongkar Gurita Cikeas?

Kalau dilitik dari ketiga kasus di atas, buku Membongkar Gurita Cikeas dikategorikan karena alasan ketiga, yaitu dianggap merusak nama baik seseorang/lembaga tertentu, dalam hal ini pihak penghuni Cikeas tentunya. Apa isi buku itu sehingga membuat gerah pemimpin negara kita ini? Berikut cuplikan isi buku yang dilaunching hari Rabu, 12 Desember kemarin ini.


“Apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus, rumor, atau tegasnya fitnah yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan….

Sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?”

Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009, menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air, setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Bibit S Ryanto dan Chandra M Hamzah – ditetapkan sebagai tersangka kasus pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September, dan ditahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009.

Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus Polri dengan skandal Bank Century, bagaikan membuka kotak Pandora yang sebelumnya agak tertutup oleh drama yang dalam bahasa awam menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya.

Memang, drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI.


Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).


Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR‐RI pra‐Pemilu 2009." (source : inilah.com) - Download Cuplikan Sinopsis Buku
Membongkar Gurita Cikeas.

Pro dan Kontra Buku Cikeas

Sebagian masyarakat merasa penasaran tentang isi buku itu, apakah memang benar-benar membongkar habis skandal yang terjadi di balik kasus Bank Century? Atau hanya sensasi yang sengaja dibuat untuk mendongkrak penjualan buku?

Amin Rais, mantan Ketua MPR kita yang mengaku sudah melahap habis buku tersebut hanya dalam beberapa jam menyatakan, “Saya mendapat info yang masih sepihak, buku ini merupakan gabungan dari berbagai sumber sekunder, sepert internet, jurnal, dan koran. Data-data ini kemudian digabung-gabungkan. Tidak ada hasil penelitian sendiri,” ujar Amin seperti dilansir Kompas.

Amin menambahkan, meski data-data sekunder yang digunakan George mengacu pada realitas yang ada, namun kekuatan data sekunder tidak terlalu berbobot.

Siapa George Junus Aditjondro?

Ketika kita mendengar buku yang menghebohkan, salah satu pertanyaan lain yang muncul adalah siapakah penulisnya? Dari Wikipedia, saya mengutip sedikit biografi beliau.

George Junus Aditjondro (lahir pada 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah) adalah seorang sosiolog asal Indonesia.

Pada sekitar tahun 1994 dan 1995 nama Aditjondro menjadi dikenal luas sebagai pengkritik pemerintahan Soeharto mengenai kasus korupsi dan Timor Timur. Dia sempat harus meninggalkan Indonesia ke Australia dari tahun 1995 hingga 2002 dan dicekal oleh rezim Soeharto pada Maret 1998. Di Australia dia menjadi pengajar di Universitas Newcastle dalam bidang sosiologi. Sebelumnya, saat di Indonesia dia juga mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana.

Saat hendak menghadiri sebuah lokakarya di Thailand pada November 2006, dia dicekal pihak imigrasi Thailand yang ternyata masih menggunakan surat cekal yang dikeluarkan Soeharto pada tahun 1998.

Pada akhir Desember 2009, beberapa lama setelah peluncuran bukunya, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyalurkan keprihatinanya atas isi buku tersebut. Buku itu sempat ditarik dari etalase toko walaupun pada saat itu belum ada keputusan hukum terhadap peredaran buku itu.

Bagaimana seharusnya kita menyikapi pelarangan buku? Sebagai masyarakat yang tidak mau dibodohi oleh rezim tertentu, sudah saatnya kita kritis dengan informasi yang masuk di ranah publik.

Lalu, bagaimana pula yang seharusnya dilakukan pemerintah menghadapi buku-buku yang dianggap merugikan masyarakat secara umum atau merugikan golongan tertentu (baca; pemerintah)? Berkaca dari pengalaman masa lalu, pelarangan justru mengundang rasa penasaran orang untuk membeli buku itu, maka seharusnya dibuat saja buku putih untuk menjawab ketidaksesuaian buku itu dengan kepentingan pihak yang merasa dirugikan. Lalu, biarkan masyarakat yang menilai mana yang baik dan benar, mana yang hanya kamuflase atau pembelaan diri semata.

Jangan bungkam lagi kebebasan berpendapat di negara yang katanya demokratis ini dengan pencekalan-pencekalan hasil karya ilmiah anak bangsanya sendiri. Biarkan masyarakat semakin tercerdaskan dengan informasi yang benar, jujur, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan semata informasi yang menguntungkan pihak tertentu, namun menutup rapat kebenaran yang seharusnya diketahui publik.@

Senin, Desember 28, 2009

Infotainment vs Jurnalis




“Perlu diingat, infotainment bukan jurnalis. Mereka hanya bekerja kepada perusahaan hiburan,” tegas Nezar Patria, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) seperti dilansir okezone.com, Sabtu (19/12/2009).

Penolakan kepada para pekerja infotainment sebagai wartawan atau jurnalis sebenarnya sudah lama terjadi. Salah satu alasannya karena infotainment sudah terlalu jauh masuk ranah pribadi nara sumber, mereka banyak memberitakan privasi seseorang, padahal wartawan tidak berkepentingan dengan hal itu. Meski mereka melakukan pekerjaan selayaknya seorang jurnalis−melakukan wawancara dengan nara sumber, kadang melakukan proses investigasi sebelum menemui nara sumber, lalu memberitakan hasil kerja mereka kepada publik−tapi fokus pemberitaan dan cara-cara kerja mereka dianggap tidak sesui dengan kode etik jurnalis.

Wartawan atau jurnalis lebih fokus pada hal-hal di ranah publik, kalau toh harus memberitakan seseorang, kepentingannya pun untuk publik. Misalnya, memberitakan tentang tokoh A karena dia banyak berjasa di lingkungannya atau di bidang yang selama ini digelutinya, atau memberitakan tokoh B karena diduga terlibat dalam tindak korupsi yang banyak merugikan negara. Memang, dunia pers tetap mengakui keberadaan wartawan hiburan, tapi lebih pada penyiaran tentang acara konser atau pertunjukan yang perlu disiarkan kepada publik. Ini jauh pengertiannya dengan infotainment yang biasanya lebih fokus pada artisnya dibanding acara konsernya.

Namun, mereka takmau berhenti untuk memperjuangkan keinginan mereka hingga akhirnya memiliki wadah dan diakui sebagai wartawan dengan diterimanya mereka sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 2005. PWI berpendapat, para pekerja infotainment justru harus dirangkul agar tidak bertindak liar. Itulah alasan mereka menerima pekerja infotainment sebagai anggota PWI yang berarti mengakui mereka sebagai wartawan atau jurnalis.

Siapa sangka kalau keberadaan dan eksistensi mereka yang sudah diakui sebagai wartawan kembali terusik dengan munculnya kasus Luna Maya kemarin. Para pekerja infotainment melaporkan Luna Maya, artis yang naik daun sejak menjadi host acara Dahsyat ini karena ulahnya yang dianggap menyinggung para pekerja infotainment.

Luna, seperti dilansir okezone.com, terancam denda Rp.1 miliar dan kurungan enam tahun penjara karena dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE, pasal 310, 311 dan 315 KUHP. Pasal-pasal itu menyangkut pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan, dan perbuatan tidak menyenangkan. Masalah itu berawal ketika Luna hadir menyaksikan akting perdana kekasihnya, Ariel 'Peterpan' sebagai Arai di film Sang Pemimpi yang digelar di XXI EX, Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (14/12). Usai menonton, kepala Alea, anak Ariel yang berada dalam gendongan Luna terbentur kamera infotainment. Luna kesal hingga menuliskan caci-maki untuk infotainment via twitter dengan akun Lunmay.

Tindakan pelaporan para awak infotainment ini kepada Polda Metro Jaya kemudian mendapat kecaman dari Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) karena pemakaian pasal 27 ayat 3 UU ITE yang digunakan untuk menjerat Luna. Padahal, para jurnalis dan wartawan pada umumnya, melalui Dewan Pers, AJI, dan PWI sendiri sedang mengupayakan penghapusan pasal yang dianggap kontroversi atau pasal karet ini. Pasal ini dianggap telah mengebiri kebebasan pers dan kebebasan berpendapat bagi masyarakat umum. Pasal ini pula yang telah menjerat para kru jurnalis ke dalam jeruji besi karena pemberitaan mereka dianggap telah mencemarkan nama baik seseorang. Berita terbaru adalah kasus Prita Mulyasari yang juga dianggap telah mencemarkan nama baik RS OMNI International. Juga dijerat dengan pasal ini.

Ironis sekali bila kemudian perjuangan para jurnalis untuk menghilangkan hegemoni pemerintah dalam membungkam kebebasan pers ini kemudian dimentahkan oleh para awak infotainment yang mengaku jurnalis ini.

Saya tidak bermaksud untuk membela Luna Maya yang telah begitu arogan mengata-ngatai infotaiment sebagai pihak yang derajatnya lebih rendah dari pelacur. Kata-katanya ini memang pedas. Tapi toh itu hanya luapan emosi sesaat akibat perbuatan awak pekerja infotainment yang bersikap arogan pula memperlakukan Luna sebagai nara sumbernya. Ada akibat pasti karena ada sebabnya.

Saya juga tidak bermaksud untuk mengecilkan rasa kecewa para awak infotainment yang telah bekerja mati-matian mencari berita. Siapa pun orangnya pasti tidak ada yang mau derajatnya dianggap lebih rendah dari pelacur. Bukan pula ingin membela mana yang benar dan mana yang salah antara AJI, PWI, dan Dewan Pers. Begaimana pun saya juga pernah menjadi wartawan meski tidak mendaftarkan diri sebagai anggota dari ketiga lembaga pers yang telah saya sebutkan tadi.

Tetapi, yang menjadi titik persoalan di sini adalah penggunaan pasal karet untuk menjerat Luna. Menurut saya kurang tepat. Bila dunia pers menghendaki kebebasan berpendapat, seharusnya tidak kebakaran jenggot dengan wujud ekspresi kebebasan berpendapat yang dilakukan Luna. Ada alur panjang mengapa Luna mengungkapkan kekesalannya melalui akun pribadi Twitter. Dia, sekian lama merasa telah menjadi korban bulan-bulanan media infotainment akibat pemberitaan yang menurutnya kurang berimbang dan banyak merugikan dirinya secara pribadi.

Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers, menegaskan, kalau tetap nekat menggunakan UU ITE dalam kasus itu, hal itu sama artinya baik pekerja infotainmentt maupun PWI Jaya setuju dan mendukung UU ITE, yang juga berarti mendukung upaya mengkriminalisasi pers sendiri. Hal seperti itu teramat ironis dan memprihatinkan.

“Nanti pemerintah kan juga senang, ternyata ada wartawan infotainment setuju kebijakan yang bisa menjadi produk aturan yang represif bagi pers sendiri. Yang seperti itu malah jadi preseden di masa mendatang. Padahal kita berjuang agar dua pasal itu dicabut. Kami akan undang PWI Jaya supaya mereka paham apa itu kemerdekaan pers,” ujar Leo.

Jurnalis: Antara Idealisme dan Hiburan


Melihat pro dan kontra pekerjaan seorang jurnalis, saya jadi teringat beberapa tahun lalu saat masih menjadi wartawan di sebuah media Islami di Bandung. Waktu itu saya bertugas mewawancarai Zaskia Adya Mecca yang sedang mengisi acara di Bandung. Usai acara saya langsung menemui nara sumber. Namun, banyaknya para fans Zaskia membuat saya sulit untuk melakukan wawancara langsung dengannya. Akhirnya kami janjian untuk wawancara di sebuah restorant di Bandung. Kami pun bertemu di sana. Aman, tanpa kejaran para fansnya. Kami pun leluasa melakukan wawancara. Setahu saya Zaskia hanya ditemani ibundanya dan Haikal, adik lelakinya. Di luar dugaan, ternyata ada Syahrul Gunawan di sana.

“Nggak papa yah, ketemu di sini? Sekalian, soalnya Kang Alul ngajak saya dinner, ya udah ketemu di sini aja,” kata Zaskia setelah bertemu saya.
“Oh, iya, nggak papa, kok. Lagian lebih aman dari kejaran para fans Mbak Zaskia,” jawabku singkat.

Sebenarnya saat itu saya sudah mulai curiga, “Syahrul Gunawan ngajak Zaskia dinner? Apa mereka punya hubungan khusus?” Tetapi, saya mencoba tetap berkhusnudzan, toh nggak ada salahnya seorang sahabat mengajak makan malam sahabatnya.

Kami pun memulai wawancara. Satu per satu pertanyaan dijawab dengan lancar oleh Zaskia.

“Terus kapan nih, rencana Mbak Zaskia nikah?” tanya saya.
Zaskia tidak langsung menjawab, malah balik nanya kepada Syahrul, “Kapan?”
“Dua tahun lagi, deh,” jawab Syahrul kepada Zaskia.
“Yah, dua tahun lagi,” Zaskia menjawab balik pertanyaan saya.

Seolah menambah kecurigaan saya akan hubungan mereka berdua. Kalau mengikuti rasa kecurigaan saya, ingin rasanya saya menulis besar-besar judul tentang hubungan mereka berdua yang waktu itu belum ditulis oleh media mana pun. Tetapi, saya tidak ingin terjebak dengan penulisan yang berbau ghibah. Saya pun menuliskan apa adanya bahwa ketika saya bertanya rencana nikahnya, Zaskia malah berbalik bertanya kepada Syahrul. Bla…bla…tanpa ada kata pacaran atau status hubungan mereka.

Ketika saya serahkan hasil tulisan saya di rapat redaksi menjelang naik cetak, ternyata tulisan saya dikritik habis. “Kita bukan media gosip, jangan memberitakan hal-hal yang berbau gosip. Kabar terakhir Syahrul kan sedang menjalin hubungan dengan Intan Nuraini. Nanti kita diprotes gara-gara memberitakan hubungan Syahrul dengan Zaskia yang belum tentu benar.” Saya pun mandah diam dan menerima saja keputusan mereka karena saya juga mengakui kebenaran pendapat mereka. Saya waktu itu tidak punya bukti kalau mereka berpacaran, apalagi belum ada media yang memberitakan tentang hubungan mereka. Saya tahu, sebagai media Islami, kami juga tidak mengenal istilah pacaran. Jadi, sangat ironis kalau kami memberitakan tentang hubungan pacaran seseorang. (Itu pun kalau benar pacaran). Akhirnya saya hanya memberitakan tentang bincang-bincang singkat kami dengan Zaskia tentang acara yang baru diikutinya. Klise memang kesannya, tapi prinsip kebenaran sebuah berita memang harus benar-benar kami pegang. Daripada kami harus memberitakan hal yang belum pasti dan berbau ghibah pula, lebih baik memberitakan hal yang pasti kami tahu kebenarannya, meski terkesan klise.

Sebulan setelah hasil wawancara saya dengan Zaskia tayang di media kami, berita tentang kedekatan hubungan Zaskia dengan Syahrul Gunawan pun mencuat di media. Rupanya hubungan mereka sudah tercium oleh media gosip. Bersyukur saya tidak ikut-ikutan menggosip, biarlah itu menjadi bagian kerjaan para kru infotainment. Toh akhirnya mereka putus dan memiliki pasangan hidup masing-masing.

Seharusnya perseteruan antara Luna Maya dan infotainment tidak perlu terjadi karena sebenarnya mereka saling membutuhkan. Namun, bila semua sudah terlanjur terjadi, kita hanya dapat mengambil hikmahnya. Mungkin inilah proses pendewasaan masyarakat kita dalam menyikapi media. Sudah seharusnya masyarakat kita kritis dalam memilih berita yang sehat, bukan sebatas menyenangkan dan menghibur kita.

Beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2006, PB NU pernah mengeluarkan fatwa haram infotainment karena dianggap berita ghibah. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj, seperti dilansir Detik.com menilai, tayangan berisi gosip artis ini tergolong ghibah atau bergunjing. Keputusan mengharamkan tayangan televisi dengan rating tinggi ini diambil dalam Musyawarah Nasional NU di Asrama Haji Sukolilo, tahun 2006. Tetapi, fatwa ini tidak digubris oleh masyarakat karena mereka enjoy menikmati tayangan-tayangan infotainment yang waktu itu sedang menjamur di TV-TV nasional kita. Nggak gaul rasanya kalau belum tahu berita tentang artis A, ketinggalan rasanya kalau sampai nggak tahu berita tentang perceraian artis B, dan sebagainya. Mengikuti prinsip dagang, dimana ada pembelian pasti ada penawaran. Selama orang masih membutuhkan barang tertentu pasti ada yang menjualnya. Begitupun infotainment, selama masih ada yang mau nonton pasti akan ada yang menyiarkannya. Apalagi selama rating acara infotainment masih tinggi yang didasarkan pada penelitian Ac Nielsen sebagai standar media untuk meraup iklan, tentu acara ini akan terus ditayangkan.

"Mau apa lagi. Masyarakat kita seolah benci tapi rindu kepada infotainment," ungkap Ketua AJI Nezar Patria seperti diberitakan Detik.com.

Harapan saya, semoga kebebasan pers dan kebebasan berpendapat semakin kuat mengakar di negeri ini. Semoga masyarakat kita pun semakin cerdas untuk memilih dan memilah mana tayangan yang bagus dan sehat untuk dirinya, bukan sebatas yang mampu menghibur. Amin. @

Rabu, Desember 16, 2009

Resensi Buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran



oleh Arief Budiman

Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan sehingga saya pasti akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini.

Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya.

Oleh karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain juga yang membaca buku ini.

Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Toh, kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian".

Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai "Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja". Ibu saya sering gelisah dan berkata: " Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang". Terhadap ibu dia cuma tersenyum dan berkata, "Ah, mama tidak mengerti".

Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tetapi, orang tuanya tidak setuju - mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orang tua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada saya, Hok Gie berkata, "Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si A, saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi, kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya". Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya, "Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, SELALU. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi, sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai SEORANG INTELEKTUAL YANG MERDEKA: SENDIRIAN, KESEPIAN, PENDERITAAN". Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata, “Ya, saya siap.”



Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia lakukan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.

Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib. Herman lantang. Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: "Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu".

Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya adalah, apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabannya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta.

Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab "Tidak. Mengapa?" Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, untuk siapa peti mati ini? Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut.

"Soe Hok Gie yang suka menulis di koran? Dia bertanya. Teman saya mengiyakan.
Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya yang
terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab " Dia orang berani. Sayang dia meninggal".

Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami bercakap-cakap. Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: "Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus". Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan hayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?

Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?

Tiba-tiba, saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi, kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan-dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata "Ya" atau "Tidak", meskipun cuma di dalam hatinya.

Saya terbangun dari lamunan saya ketika saya dipanggil naik pesawat terbang. Kami segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya.

Di dalam hati saya berbisik "Gie, kamu tidak sendirian". Saya taktahu apakah
Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.



Arief Budiman (Soe Hok Djin)(seperti dimuat dalam buku Catatan Seorang Demonstran edisi 1993) @

Kamis, Desember 10, 2009

Koin Keadilan



Logam bulat itu berceceran di laci Leli, karyawan bank di Menteng, Jakarta Pusat. Takjauh dari meja Leli, logam putih dan kuning berkumpul dalam wadah plastik di meja Joko. Mereka harus berbagi dengan penjepit kertas. Sekitar lima meja dari keduanya, kumpulan koin berada dalam kehangatan celengan jago milik Prio. Koin-koin ini termasuk beruntung, karena berada dalam ruangan sejuk, dengan aroma wangi semerbak.


Di luar gedung itu, dua buah koin berdesakan dalam saku celana pengguna angkot kopaja. Sementara lima koin senilai Rp 500 berontak dalam saku tas seorang perempuan muda yang hendak keluar angkutan kota. Tidak berselang lama, beberapa koin menjerit kala dijatuhkan ke kantong plastik penyanyi jalanan. Koin-koin itu harus naik turun angkot dan kepanasan. Kadang si pembawa kantong taksegan melempar mereka ke tanah.


Keberadaan benda bundar itu pun kadang dikebiri oleh sebagian pusat perbelanjaan. Dengan dalih menambah keuntungan, uang recehan pun diganti dengan permen. Takbeda jauh dengan swalayan, awak kenek pun seringkali enggan menerima recehan. Raut muka mereka langsung berubah masam kala mendapati penumpang membayar dengan uang logam.


Begitulah nasib uang logam. Diremehkan, dikebiri, diremehkan, dan tidak dihargai. Sebuah gambaran yang takjauh beda dengan rakyat di negeri ini. Suara mereka tidak terdengar, hilang tersapu kabut markus, mafia peradilan, pejabat korup, birokrasi makelar, dan wakil rakyat yang tidak bersuara atas nama rakyat.


Melalui koin, rakyat kini bersuara lantang melakukan perlawanan. Rakyat berusaha melawan tirani kekuasaan yang hanya memberi ruang keadilan bagi segelintir kalangan. Mereka bersatu dalam gerakan Koin Peduli Prita. Dengan adanya gerakan ini, koin yang tadinya berceceran, kini mendadak dikumpulkan. Belum keadilan itu bergema di ruang pengadilan, koin-koin itu kini telah menghirup keadilan. Uang logam itu dicari dan menjadi bernilai, sama dengan saudara mereka, si uang kertas. Ayo dukung Koin Peduli Prita. Info lebih lengkap hubungi: Jl. Taman Margasatwa No.60 Jatipadang, Jakarta Selatan, telp (021) 7800271.


Untuk Bandung, bisa datang ke Tobucil & Klabs, Jl. Aceh No. 56 Bandung.


Salam 'Koin Keadilan'

Susan Sutardjo


(dari sebuah milis)

Kamis, Desember 03, 2009

Membangun Mimpi Menjadi Penulis Besar





Ketika membaca pengumuman Lomba Menulis "Saya Ingin Menjadi Penulis Hebat!" di blognya Jonru Ginting, saya kembali teringat dengan tulisan yang pernah saya upload di Facebook beberapa bulan lalu tentang mimpi saya menjadi penulis. Hanya saja waktu itu saya tidak berani menyatakan kalau saya bermimpi menjadi PENULIS HEBAT.

Dalam tulisan itu saya mengatakan kalau gairah saya membuka facebook kembali bangkit ketika saya bergabung dengan grup sekolahmenulisonline-nya Jonru Ginting. “Ada manfaat lebih yang bisa saya ambil di sini. Saya yang hobi nulis serasa menemukan tempat yang tepat. Melalui tulisan-tulisan Bang Jonru, saya seolah dimotivasi untuk serius menekuni bidang tulis-menulis, bahkan kalau bisa menjadi penulis besar. (Amin). Satu hal yang belum pernah berani saya impikan selama ini. (Terima kasih Bang Jonru atas ilmu-ilmu menulisnya yang inspiring banget).” Begitu kutipan tulisanku di facebook tersebut.

Lalu, apa yang bisa saya lakukan untuk membangun mimpi dalam dunia penulisan? Saya hanya mencoba merealisasikan mimpi-mimpi kecil untuk mewujudkan mimpi besar. Sesuai rumus 3M-nya Aa Gym; Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, dan Mulai saat ini juga.

Menurut saya, ada dua pertanyaan penting yang harus kita jawab saat kita ingin mengambil jalan hidup sebagai penulis: “Mengapa menulis?” dan “Bagaimana cara menulis?”

Mengapa Saya Menulis?

Kegiatan menulis pada awalnya saya lakukan hanya sebagai self therapy dengan menulis di buku harian sejak SMP. Waktu itu saya sekolah di pesantren yang jauh dari orang tua. Satu-satunya sahabat setia saya adalah buku harian. Melalui buku itu saya tumpahkan segala kegundahan dan penat di hati, semua kesedihan dan kebahagiaan hidup pun tertuang di sana. Dari seringnya menulis buku harian, saya mulai terbiasa memformulasikan pemikiran dan perasaan melalui tulisan. Lama-kelamaan saya merasakan kalau ternyata menulis itu mengasyikkan. Lalu, muncul keinginan untuk melakoni kegiatan menulis sebagai profesi, misalnya menjadi penulis fiksi, atau menjadi wartawati. Tapi, kendala batin seketika menyergap. “Apa sanggup aku menjadi penulis? Penulis kan harus cerdas dan pintar? Sementara aku….”

Akhirnya mimpi tinggallah mimpi. Saya pun hanya puas menulisi buku harianku dengan segala corat-caretnya. Kadang saya menuangkan isi hati dalam bentuk puisi.

Waktu SMA, saya pernah melamar menjadi pengurus Mading di sekolah, tapi tidak diterima karena dianggap tidak berbakat sebagai penulis. Sedikit sakit hati. Langsung deh, saya mengklaim diri kalau saya memang benar-benar tidak berbakat menjadi penulis.

Ketika masuk dunia kampus, saya mulai kembali terusik dengan dunia tulis-menulis, apalagi di kampus ada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Saya pun mendaftar sebagai peserta pelatihan jurnalistik tingkat dasar. Di sanalah saya bertemu dengan Pemimpin Umum LPM. Dia menganggap saya berbakat dalam dunia tulis-menulis. Dia bahkan mengajak saya untuk bergabung di pers kampus. Setengah tidak percaya sebenarnya. Tapi, saya menganggap ini kesempatan emas. Kapan lagi saya bisa aktif dalam dunia tulis-menulis kalau bukan sekarang, apalagi ada wadah yang pas untuk menyalurkan hobi saya.

Akhirnya, saya pun bergabung di pers kampus. Namun, teman-teman pers memercayai saya untuk menjadi bendahara LPM, bukan sebagai wartawan kampus seperti yang saya idamkan. Yah, tidak mengapa, setidaknya saya bisa belajar bagaimana cara kerja para wartawan kampus. Toh saya tetap dilibatkan dalam setiap rapat redaksi sehingga saya tahu sedikit demi sedikit perkembangan dunia pers kampus. Untuk terus mengasah ilmu jurnalistik, saya pun sering mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat menengah dan pelatihan jurnalistik lain baik di dalam dan di luar kampus. Namun, tetap saja keberanian saya untuk menulis di media belum terpatri. Minder, nggak pede, sering menjadi belenggu terbesar menuju impian menjadi penulis.

Paling banter saya hanya berani menulis di buletin, baik saat masih kuliah maupun setelah lulus. Sampai kemudian saya mendapat informasi lowongan wartawan di sebuah media Islami di Bandung. Alhamdulillah saya diterima meski awalnya baru freelance. Sekitar dua tahun saya menjalani profesi sebagai wartawan sampai akhirnya harus berhenti ketika media tersebut menyatakan tidak terbit lagi. Sedih, sih. Tapi, saya harus tetap bersemangat untuk menulis. Saya menulis apa saja yang ada dalam pikiran sebagai konsumsi pribadi saja karena belum menemukan media yang pas dengan karakter penulisan saya.

Ada satu kebahagiaan tersendiri bila tulisan kita dipublikasikan di media yang berarti berpeluang untuk dibaca banyak orang. Apalagi bila kemudian tulisan kita memberi manfaat kepada pembaca. Duh, senangnya. Kapan tulisanku kembali dipublikasikan? Pertanyaan itu kembali mengusik.

Saya kemudian join dengan seorang teman untuk membuat buku tentang kisah hidupnya, saya bertugas sebagai penulis pendamping. Alhamdulillah buku itu akhirnya diterima salah satu penerbit di Bandung setelah ditolak oleh beberapa penerbit lain. Itulah buku pertama hasil tulisan saya yang berhasil diterbitkan. Tidak puas tentu saja menggelayuti hati saya. Apalagi saya baru menjadi penulis pendamping di mana nama saya belum tercantum di cover buku tersebut. Ada sebuah ambisi besar saya untuk membuat buku atas namaku sendiri. Buku kedua pun saya tulis atas pesanan satu penerbit. Tapi, lagi-lagi saya harus puas hanya sebagai penulis pendamping.

Selain menjadi penulis buku atas namaku sendiri, ambisi besarku saat ini adalah menjadi penulis fiksi. Andai saya bisa menulis novel setenar Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, atau seperti J.K. Rowling yang menghebohkan dunia lewat Harry Potter. Saya ingin menjadi penulis yang bisa mewakafkan karya-karya saya meski mungkin jasad ini telah terkubur di tanah, saya ingin mendunia dengan karya-karya saya. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana cara menjadi penulis hebat? Pertanyaan kedua setelah “Mengapa menjadi penulis?” pun menghinggapi hati ini.

Saya sudah pernah mencoba menulis novel, tapi mentok di halaman ke-80, saya merasa ceritanya kurang greget sehingga untuk sementara saya meninggalkan novel itu. Entah karena malas mencari ide atau karena kesibukan lain, novel itu kini hanya teronggok di dalam laptop saya tanpa pernah saya sentuh kembali.

Gairah dan mimpi-mimpi saya untuk menjadi penulis hebat kembali mengemuka ketika saya membaca sebagian ebook “Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat” di http://www.penulishebat.com. Pertama kali saya mendapatkan informasi buku ini sebenarnya dari http://www.facebook.com/penulishebat . Atau bisa juga dilihat di http://www.twitter.com/penulishebat .

Saya banyak mengikuti pelatihan jurnalistik, baik ketika masih kuliah atau setelah lulus, dari tingkat dasar, menengah, hingga tingkat lanjutan. Tetapi, semua itu hanya memberi saya ilmu teknis jurnalistik atau ilmu teknis menulis. Nyatanya saya masih ragu untuk bermimpi menjadi penulis hebat, saya masih menganggap menulis adalah ruang untuk orang yang berbakat besar menjadi penulis, menulis hanya untuk orang-orang cerdas ber-IQ tinggi. Sementara saya….

Ternyata, menjadi penulis hebat bukan soal seberapa mahir kita mengusai tata bahasa, mengusai teknis menulis, tapi pada seberapa besar mental kita untuk bersungguh-sungguh menjadi penulis. Penulis hebat juga bukan diukur dari seberapa banyak karyanya yang sudah dipublikasikan. Buku “Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat” membuka wacana saya kalau menjadi penulis sukses adalah hak setiap orang yang bersungguh-sungguh untuk berusaha mewujudkannya. Penulis sukses, seperti halnya pengusaha sukses, bukan lahir karena keturunan atau bakat dari lahir. Itu berarti, kita semua bisa menjadi penulis.

Selaras dengan ungkapan Deporter dan Hernacki, “Percaya atau tidak, kita semua adalah penulis. Di suatu tempat dalam diri setiap manusia ada jiwa unik yang berbakat yang mendapat kepuasan mendalam karena menceritakan suatu kisah, menerangkan bagaimana melakukan sesuatu, atau sekadar berbagi rasa dan pikiran. Dorongan untuk menulis itu sama besarnya dengan dorongan untuk berbicara; untuk mengomunikasikan pikiran dan pengalaman kita pada orang lain; untuk paling tidak, menunjukkan kepada mereka siapa diri kita.”

Sebenarnya saya lebih nyaman membaca buku versi cetak, tapi sayang buku “Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat” baru ada dalam bentuk ebook. Tetapi, ada kabar gembiranya. Versi ebooknya ini memberikan sejumlah PENAWARAN FANTASTIS yang tidak berlaku untuk versi cetak. (Menarik, nih….) Ebooknya yang hanya seharga Rp 49.500, memberikan voucher diskon Rp 200.000 dari SMO (Sekolah Menulis Online). Ini adalah DISKON SMO TERBESAR yang pernah diberikan. Selama ini belum pernah ada dan tidak tersedia di tempat lain.

Terima kasih, Bang Jonru, bukumu ini sudah membuat saya berani bermimpi menjadi penulis sukses dan hebat dan sekaligus memberi saya jalan untuk mewujudkan impian saya.

***

Hal lain yang membuat saya tetap semangat menulis saat saya sedang malas dan bad mood adalah kisah Jean-Dominique Bauby, pemimpin redaksi majalah Elle, majalah kebanggaan Prancis yang digandrungi wanita seluruh dunia.

Betapa mengagumkan tekad, semangat hidup, dan kemauannya untuk tetap menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Dia meninggal tiga hari setelah bukunya diterbitkan. Struk telah membuatnya mengalami locked-in syndrome, kelumpuhan total yang disebutnya "seperti pikiran di dalam botol". Dia masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat difungsikan adalah kelopak mata kirinya. Itulah yang digunakannya untuk berkomunikasi dengan para perawat, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.

Menulis mungkin dianggap sulit oleh sebagian orang, tapi cara menulis yang dilakukan Jean lebih sulit lagi. Dia dibantu orang lain untuk menuliskan pemikirannya. Orang yang membantunya menulis akan menunjukkan satu demi satu huruf di hadapan Jean. Bila menemukan huruf yang dimaksud, Jean akan mengedipkan mata kirinya. Jadi, kalau menulis kata “NAMA” misalnya, orang itu harus menunjuk huruf demi huruf hingga bertemu dengan empat huruf “N-A-M-A” tersebut. Lalu, Jean akan mengedipkan mata kirinya. Sebuah proses menulis yang sangat melelahkan. Tapi, Jean tidak menyerah, dia bahkan mampu menamatkan bukunya itu yang konon cukup tebal, sekitar 200 halaman.

Tahun 1996 dia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang ditulisnya secara sangat istimewa. Judulnya, "Le Scaphandre" et le Papillon (The Bubble and the Butterfly).

Kisah hidup yang sangat mengagumkan bagi saya. Bila Jean dengan kondisi fisik demikian bisa menyelesaikan bukunya, mengapa saya tidak bisa menulis dengan kondisi fisik yang lebih sempurna? Mengapa selalu saja ada alasan untuk menunda menulis padahal sebenarnya Allah memberikan banyak waktu dan kesempatan kepada kita? Mengapa selalu banyak alasan untuk menunda menjadi penulis sukses?

Allah, bimbing hamba agar menjadi penulis yang bisa menginspirasi banyak umat. Semoga menulis bisa menjadi tanda syukur hamba atas segala nikmat kesehatan baik fisik maupun mental. Sebab hanya ada satu alasan mengapa seseorang tidak bisa menjadi penulis, kalau Engkau mengambil kesehatan mental seseorang alias gila atau stress berat.@