Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Senin, Mei 10, 2010

Derita Seorang Pencinta




Mencintai wanita adalah awal dari sebuah derita, benarkah? Bukan wanita yang membuat derita, melainkan mencintai wanita yang tidak mencintai mullah yang akan menciptakan derita bagimu.
(Muhammad Idris Asy Syafi ’i)

Dia tidak begitu cantik, tapi entah mengapa hati ini selalu ingat kepadanya. Terasa sulit bagi diri ini untuk melupakan tutur kata dan wajahnya. Terasa hampa andai sehari tidak berjumpa. Mungkin, inilah yang dinamakan cinta. Hati selalu rindu, tergetar ketika mendengar namanya, bahkan ada perasaan indah saat mendengar daerah tempat tinggalnya.

Namun, aku sendiri bingung jika ditanya, “karena apa kamu mencintainya?”

Tidak karena apa-apa, tidak karena wajah (ada banyak wanita yang lebih cantik), tidak karena kecerdasan (ada banyak wanita yang lebih cerdas, walau jujur saja dia memang cerdas), tidak karena kekayaan, tidak karena keimanan (dia biasabiasa saja dalam menjalankan kewajiban kepada Tuhannya, sebagaimana yang lain). Entahlah, tetapi yang jelas dia adalah teman sekantorku. Mungkin, intensitas pertemuanlah yang menjadikan benih-benih cinta bersemai dalam hati sanubariku.

Hari-hari ketika ada dia menjadi hari-hari yang menyenangkan. Kantor jadi tempat terindah. Betaaaah sekali ada di sana. Semangat kerja berlipat-lipat. Bunga-bunga nan semerbak seakan bertaburan di mana-mana. Penampilanku yang asalasalan mulai dipermak sedemikian rupa sehingga terlihat rapi, lebih bersih karena “sering mandi” dan “berkaca diri” di depan cermin. Setiap kali dia pulang, aku pun ingin ikut pulang mengantar. Terkadang, dengan beribu alasan, aku ikut naik angkot dengannya walau jurusan kita pulang berbeda arah (saat itu orang yang punya motor masih bisa dihitung dengan jari, lho).

Yah, dia menjadi segala-galanya. Semua energi seakan tersita olehnya. Senang-susah, bahagia-menderita, ada di tangannya. Benar apa yang disenandungkan Maulana Jalaluddin Rumi:

Lewat cintalah semua yang pahit akan jadi manis.
Lewat cintalah semua tembaga akan jadi emas.
Lewat cintalah semua endapan menjadi anggur murni.
Lewat cintalah semua kesedihan akan jadi obat.
Lewat cintalah si mati akan jadi hidup.
Lewat cintalah raja jadi budak.


Aku, yang biasanya acuh, mendadak jadi seorang pencemburu. Aku jadi nggak enak hati apabila ada lelaki lain yang dekat dengannya atau sekadar menanyakan dia walau sebenarnya untuk urusan kantor. Akan kucari informasi tentang lelaki itu untuk memastikan apakah dia mencintai bidadariku ini ataukah tidak.

Aneh ... bagi orang yang tidak merasakan cinta, semua itu menjadi aneh, lucu, menggelikan, bodoh, dan ... kekanak-kanakan. Namun, tidak bagiku. Kata-kata Cleopatra tampaknya begitu pas menggambarkanku, “Cinta tidak menjadikan Bumi ini beredar, tetapi dengan cintalah peredaran Bumi menjadi amat bermakna.” Apa yang dilakukan oleh orang yang tengah dimabuk cinta terkadang dipandang konyol oleh orang di luar dirinya.

Entah, apakah dia menyadari atau tidak perasaan hati ini kepadanya. Aku takpernah mengatakannya. Tidak seorang pun di antara teman-temanku yang tahu gelora cintaku kepadanya. Hanya ada seorang teman dekat, tempat aku curhat dan berbagi yang tahu keadaanku ini. Dia pula yang selalu membantuku. Mungkin, si Dia tahu bahwa aku mencintainya dari perhatian dan kebaikanku kepadanya yang terkesan lebih. Memang, dengan siapa pun aku selalu berusaha menjaga sikap, perasaan, dan berlaku baik sehingga aku diterima banyak orang. Namun, dengannya terasa beda, kebaikanku berlipat-lipat.

Semakin intens pertemuan dengannya, semakin kuat pula perasaan ini kepadanya. Namun, aku tidak berani mengungkapkannya. Lidah ini begitu fasih membicarakan banyak hal. Namun ... lidah ini mendadak kelu saat harus menyatakan cinta ini kepadanya. Lisanku kembali fasih saat berdoa kepada Tuhanku. Ya, alhamdulillah, aku banyak sekali curhat kepada-Nya, mengadukan gelora jiwa ini kepada-Nya.

Gumamku dalam sela-sela ibadah shalatku, “Ya Allah, Engkau Mahatahu perasaanku. Aku mencintainya ya Allah ... jadi kanlah dia pendamping hidupku, ibu dari anak-anakku. Lapangkanlah dan mudahkanlah jalan bagiku untuk bersanding dengannya. Andai masih ada ruang kosong di dalam hatinya, perkenankan agar engkau mengisi hatinya dengan namaku. Jangan biarkan aku menderita. Ya Allah, aku sangat mencintai dan mengasihinya. Rabbana hablana min azwazina wa durriyatina qurrata a’yun waj ’alna lil muttaqina imama.

Begitulah, dia menjadi sentral dalam doa dan munajatku, mengalahkan doaku untuk ibu, bapak, guru-guruku, dan orang-orang yang telah berjasa kepadaku. Bagaimana dengannya? Aku taktahu pasti. Namun, dari gerak-geriknya, dia seakan memberiku harapan. Entah memang karena sifatnya seperti itu atau sekadar menghargaiku sebagai seorang teman. Aku tidak tahu. Kalau aku memberikan sesuatu sebagai hadiah dariku untuknya, dia pun menerima dengan senyum manis. Kalau ngobrol, dia pun merespons dengan baik. Terkadang, dia pun mau pulang bersamaku. It’s no problem baginya. Malah, ada sesuatu yang amat berkesan. Ia pernah memberikan cokelat untukku sebagai hadiah kelulusanku. Cokelat ... bukankah itu tanda cinta? Duh, itu dia yang aku cari.

Tibalah suatu hari, ketika itu langit seakan hendak runtuh. Dada terasa sesak, bukan karena penyakit asma, tetapi karena sumbatan emosi kesedihan dan keterkejutan. Dia memutuskan keluar dari pekerjaan. Alasannya sederhana, ingin melanjutkan studi. Si Bunga Hati mengatakan itu pada penutupan kegiatan kantor di luar kota. Saya dan teman-teman mengucapkan selamat dan kata-kata perpisahan kepadanya dengan senyuman. Namun, berbeda dengan yang lain, senyuman di mulutku bertolak belakang dengan gambaran hatiku yang terasa sumpek.

Terbayang di benakku pertemuan yang intens di kantor akan segera berakhir. Padahal, bagi seorang pencinta, bertemu dengan yang dicintai adalah segalanya. Namun, ada sisi baiknya. Aku pun bertekad untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya kepada dia. Lagi-lagi, aku taksanggup berbicara langsung. Lagi-lagi, lisanku kelu. Maka, kubelikan sejumlah buku kesukaannya. Kubungkus dengan menjadi sebentuk kado yang indah. Kuselipkan surat cinta di dalamnya. Lalu, kukirimkan ke alamatnya melalui kantor pos dekat rumahku.

Dua hari kemudian ... tepatnya pukul dua siang lebih lima belas menit, ponselku menyala, tertulis sebuah kiriman pesan singkat di dalamnya ... hatiku berdebar kencang saat tertulis namanya di sana. Kubuka dengan tangan bergetar. Rasaku saat itu, inilah momentum terpenting dalam hidupku, apakah si Bunga Hati akan benar-benar menjadi milikku atau ... aku taksanggup menyebutkannya.

“Terima kasih atas hadiahnya, kebaikannya .... Namun, jujur saja aku terkejut ketika kubaca surat kirimanmu itu. Aku takbisa berkata apa-apa selain sebuah doa semoga Allah memberimu kesuksesan dalam karier, dilancarkan segalanya. Kita tetap berteman saja yah ... salam.”

Semangatku seakan hilang ditelan Bumi. Semuanya tampak runyam, kusam, dan takpunya arti. Manis terasa pahit. Putih terlihat hitam. Gelap ... semuanya menjadi gelap. Kusam. Sebuah SMS dengan beberapa ratus karakter cukup untuk memukulku KO. Entah karena saking cintanya, aku terkena stres stadium III, sedikit lagi (stadium IV) aku terkena depresi. Nafsu makan hilang, semangat kerja down, pikiran takmenentu. Selama beberapa minggu berat badanku turun karena tidak lagi memiliki nafsu makan. Kualitas kerjaku turun drastis hingga harus mendapat teguran dari atasan. Kalau bukan karena orang tua, mungkin aku sudah keluar dari pekerjaan ... atau melakukan yang lebih dari itu!

Hatiku semakin terpukul saat beberapa SMS-ku tidak direspons olehnya. Dia pun seakan menghindar dariku saat berkunjung ke kantor untuk suatu pertemuan. Aku pun jadi malu sendiri ... walau hati tetap rindu. Aku tahu, bahwa dalam dunia percintaan, ungkapan “cinta itu takharus memiliki” sudah takberlaku lagi.

“Cinta itu akan terasa indah apabila memiliki. Kalau tidak memiliki, ya jangan dicintai,” begitu ungkap seorang teman. Namun, sebagai pelarian dari kegagalanku mendapatkan cintanya, jargon bahwa cinta takharus memiliki tetap kupegang erat dan kusimpan rapat-rapat di dalam hati (kalau sudah dimabuk cinta, biasanya rasionalitas dan kewarasan berpikir akan terpinggirkan).

Bertahun-tahun lamanya, harapan hatiku tetap tertuju kepadanya. Walau aku tahu, cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku tidak berpikir untuk menikah dengan wanita lain selain dengannya. Harapanku masih tetap menyala saat mengetahui kalau dia belum memiliki hubungan apa pun dengan laki-laki lain. Selama itu pula, aku senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dia menjadi milikku.

Mungkin Allah Swt. berkehendak lain. Dia tidak mengabulkan doaku itu. Aku taktahu apakah aku terkena penyakit jiwa atau tidak. Yang jelas, rasa cintaku mulai bergeser menjadi sebuah kebencian. Lahir sebuah dualisme di dalam hati: cinta bercampur benci. Aku takbisa memungkiri bahwa aku sangat mencintainya. Namun, aku pun putus asa dari mendapatkan cintanya. Terbetik dalam hatiku untuk membalas dendam kepadanya. “Akan kubuat kau menyesali keputusanmu itu!” Aku pun terpacu untuk berkarya, berprestasi, dan membuat matamu melihat siapa aku. Dalam pengakuannya, tokoh kita ini telah menjadikan doa sebagai salah satu andalan baginya untuk mendapatkan cinta wanita idamannya. Berhasilkah? Secara lahiriah, doa-doa yang dia panjatkan seakan tidak menghasilkan apa-apa. Jangankan menerima, wanita yang diidamkannya malah semakin menjauh darinya. Ada semacam keseganan, kekakuan, dan ketakutan apabila harus kontak dengan si Lelaki. Namun, jangan salah, Allah Swt. punya rencana lain. Karena boleh jadi, menurut ilmu-Nya, si Wanita bukanlah jodoh terbaik bagi si Lelaki dan dia belum menyadarinya. Lalu, apa efek terbesar yang dirasakan si Lelaki dari doa-doa yang dipanjatkannya itu? HAKIKAT KEIKHLASAN. Orang boleh saja menganggap aku konyol, lelaki lemah, takpandai memilih, kayak nggak ada wanita lain aja selain dia, tapi mereka tidak merasakan bagaimana indahnya cinta dan dukanya ketika cinta itu takberbalas. Efeknya terus terasa hingga bertahun-tahun lamanya hingga memengaruhi banyak aspek kehidupanku.

Alhamdulillah, Allah Swt. masih sayang kepada diriku. Walau Dia tidak mengabulkan doaku persis sama sebagaimana aku minta, Dia menunjukkan sesuatu yang lebih berharga dari pada seorang wanita. Suatu kali, seorang teman bertanya kepadaku tentang makna hadits, “Barang siapa menikahi wanita karena memandang kedudukannya, Allah akan menambah baginya kerendahan."

“Barang siapa menikahi wanita karena harta bendanya, Allah akan menambah baginya kemelaratan. Barang siapa menikahi wanita karena keturunannya, Allah akan menambah baginya ke-hina-an. Akan tetapi, barang siapa menikahi seorang wanita karena ingin meredam gejolak nafsu dan menjaga kesucian dirinya atau ingin merekatkan ikatan kekeluargaan, Allah akan memberkahinya bagi istrinya dan memberkahi istrinya bagi dirinya.” (HR Al Bukhari)

Hadits Rasulullah ini benar-benar menghunjam ke dalam jiwaku. Memang, sebelumnya aku sudah pernah membaca hadits ini, tetapi kali ini efeknya benar-benar berbeda, terlebih setelah aku renungkan dalam-dalam. Aku terhenyak. Aku baru tersadar, selama ini aku mencintai dia dengan mengorbankan banyak hal: diri sendiri, orang tua, perusahaan tempatku bekerja, dan tentu saja Tuhanku. Tanpa sadar, aku telah menuhankan makhluk dengan merusak banyak hal. Aku kecewa berat karena aku mencintai seseorang bukan karena Allah. Aku meradang karena aku memberi bukan karena mengharap ridha Allah, melainkan mengharap ridha manusia. Aku bekerja keras untuk meraih prestasi, menuntut ilmu, bukan untuk kemuliaan agama Allah, tetapi untuk membalas dendam dan mengharapkan penilaian manusia.

Begitulah, ketika seseorang melakukan sesuatu dan sesuatu itu tidak dijiwai oleh nilai-nilai ketauhidan, kekecewaan akan sangat dekat dengannya. Seakan-akan, Rasulullah saw. berkata, “Jika engkau mencintai seseorang bukan karena Allah, niscaya engkau akan dihinakan dengan cinta itu. Jika engkau mencintai seseorang hanya karena kecantikan dan kepintarannya, tunggulah kalau kecantikan dan kepintarannya itu akan menghinakanmu.”

Inilah bentuk ijabahnya doa dari Allah. Dia memberikan sesuatu yang sangat berharga: HAKIKAT KEIKHLASAN; yaitu bangkitnya kesadaran bahwa dalam melaksanakan segala sesuatu, keikhlasan harus menjadi landasannya. Tanpa keikhlasan, semua tidak akan berarti di sisi Allah.

Aku pun mulai memperbaiki niat, mengubah doa, dan mencoba mencari perspektif lain yang lebih menguntungkan dunia dan akhirat, “Ya Allah, jadikanlah Engkau sebagai pusat kehidupanku. Jika aku mencintai seseorang, jadikanlah cintaku itu sebagai jalan bagiku untuk semakin dekat dengan-Mu. Jangan biarkan aku terlena dengan manusia dengan melupakan-Mu. Ya Allah, Engkau Mahatahu siapa pendamping terbaikku. Pertemukanlah aku dengan cara terbaik, nikahkan aku dengan cara terbaik, dan himpunlah aku dalam rumah tangga terbaik sebagaimana dicontohkan oleh manusia-manusia terbaik pilihan-Mu. Ya Allah, muliakanlah dia dengan kesalehan. Pertemukanlah dia dengan pendamping yang akan membawa pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Hilangkanlah dalam hatiku rasa cinta kepadanya dan gantilah dengan rasa cinta kepada-Mu.” Itulah sebagian dari doa-doaku.

Alhamdulillah, dengan mengambil perspektif baru berlandaskan keikhlasan, hati ini menjadi lebih lapang. Kini, aku menganggapnya sebagai teman biasa. Tidak ada lagi benci bercampur rindu. Yang ada hanyalah “rasa sayang” kepada seorang teman. Begitulah, teramat mudah bagi Allah untuk membolak-balikkan hati manusia. Awalnya cinta jadi benci setengah mati. Awalnya rindu jadi dendam kesumat. Sebaliknya, mudah pula bagi Allah untuk menjadikan benci menjadi cinta dan rindu menjadi dendam. Namun, di sana ada pilihan kita: mau yang mana? Maka, mintalah yang terbaik dari-Nya: sesuatu yang membahagiakan, yang melapangkan hati, dan membawa kebaikan bagi diri dan orang lain.

Orang berubah jika sudah cukup tahu.
Orang berubah jika sudah cukup mau.
Orang berubah jika sudah cukup menderita.

Rasa cinta dan benci lahir karena penghayatan yang intens. Namun, keduanya bukanlah dua jenis emosi berlawanan. Cinta dan benci adalah emosi yang berjalan bersama (Rollo May, 1969). Keberadaan keduanya bisa dianalogikan dua sisi mata uang. Garis pemisah antara keduanya merupakan garis yang manis. Artinya, perasaan cinta sering diawali perasaan benci atau sebaliknya. Walaupun demikian, begitu rasa benci—sebagai emosi negatif—ditahan dan ditekan, tanpa disadari rasa cinta—sebagai emosi positif—yang hanya dipisahkan garis pemisah yang manis pun ikut tertekan. Jadi, kematian rasa benci, secara otomatis akan diikuti kematian rasa cinta. Begitulah proses penghayatan emosi yang dirasakan.

TAHUKAH ANDA?

Para ilmuwan neurosains baru saja mengungkapkan sebuah gejala fisiologis yang unik pada saat seseorang mengalami tekanan batin yang berat. Tekanan tersebut dapat ditimbulkan oleh masalah-masalah yang terkait dengan proses interaksi dan komunikasi sosial, termasuk persoalan hubungan cinta antara dua orang yang tengah dimabuk asmara.

Ehm! Hasil pengamatan di beberapa negara ditemui sindrom “putus cinta” ini sering sekali menimbulkan gangguan yang menyerupai gejala serangan jantung, infark miokardium akut. Timbul serangan rasa nyeri di daerah dada yang menjalar ke punggung, lambung, dan daerah lengan sebelah kiri. Dapat pula diikuti dengan kesulitan bernapas (sesak), keluarnya keringat dingin, dan tubuh terasa lemas. Sindroma ini dikenal sebagai Sindroma Takotsubo atau Miokardiopati Takotsubo.

Dr. Ilan Wittstein, MD, ahli jantung dari The John Hopkins University Medical School dan rekan-rekannya menemukan kasus Takotsubo terjadi akibat adanya akumulasi neuropeptida otak yang merupakan keturunan katekolamin. Turunan katekolamin yang kerap dijumpai serta memiliki efek simpatik secara sistemik antara lain adalah epinefrin dan norepinefrin. Namun, dalam kasus Takotsubo, ternyata tidak hanya epinefrin dan norepinefrin saja yang kadarnya melonjak drastis, tetapi juga molekulmolekul peptida kecil dan neurotransmiter, seperti metaneprin, normetaneprin, neuropeptida Y, dan peptida natriuretik turut melonjak secara drastis.

Akumulasi produksi faktor kimiawi yang terjadi pada saat amigdala di otak menerima data yang “menyakitkan” serta “gagal” mengatur emosi negatif akan menyebabkan efek fibrilasi (jantung bergetar tidak beraturan) sesaat yang diikuti dengan “pingsan”-nya sejumlah sel otot jantung. Jadi, putus cinta, ditolak, ataupun patah hati bisa membuat jantung “kelenger” alias “semaput”!

Apakah sindroma ini berbahaya? Bergantung pada seberapa luasnya daerah otot jantung yang “semaput”. Jika daerah yang mengalami kardiomiopati sesaat itu cukup luas, akibatnya bisa saja menjadi fatal. Mengingat fungsi utama jantung adalah menyuplai kebutuhan oksigen untuk seluruh sistem tubuh, termasuk otak. Jadi, keadaan jantung “mogok” bekerja ini dapat menimbulkan hipoksia (kekurangan oksigen) di jaringan. Jika kekurangan oksigen berlangsung dalam jangka waktu cukup lama, jaringan yang sangat bergantung pada asupan oksigen akan terganggu, bahkan rusak permanen.

Akan tetapi, catatan klinis Dr. Ilan Wittstein dan rekan-rekannya yang telah dipublikasikan di New England Journal of Medicine (2009) menunjukkan bahwa kasus-kasus kardiomiopati akibat kejutan psikologis ini biasanya bersifat reversible alias dapat pulih kembali. Kondisi jantung pun pada umumnya baik dan tidak disertai dengan kerusakan yang bersifat kronis. Siapa saja yang mungkin mengalami Sindroma Takotsubo? Orang-orang yang memiliki tingkat stres harian sudah sangat tinggi, orang-orang yang kinerja otaknya lebih didominasi oleh sirkuit amigdala (penuh tantangan dengan stres tinggi), dan orang yang memiliki tipologi kepribadian yang rentan terhadap stres. Maka, syukurilah peristiwa “patah hati”, cari hikmahnya dan jangan terlalu disesali sebab “patah hati” pasti adalah karunia Allah yang belum kita sadari maknanya. Jika disesali, “ancaman” Allah dalam Surat Ibrahim, 14: 7 akan berlaku: nikmat, jika disesali akan berubah menjadi azab. Nah, salah satu perwujudan azab itu mungkin sindroma “jantung klenger” yang dinamai Takotsubo

(Cuplikan kisah di buku “114 Kisah Nyata Doa-doa Terkabul”)