Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Kamis, Juni 18, 2009

Ada Keponakan Bertanya pada Buleknya


Ghaza dan Ghazi, keponakanku yang kembar memiliki karakter yang sangat berlawanan. Ada sih kesamaannya, sama-sama aktif dan doyan gelut. Mereka sih asyik-asyik saja dengan kegiatan mereka ini. Bahkan dilakukan sambil tertawa-tawa, meski pada akhirnya ada nangis salah satunya. Tapi orang lain yang melihatnya sempat khawatir dan takut mereka bakal terluka.

Sejak lahir bobot mereka berbeda; Ghaza lahir dengan bobot 2,6 kg, sedang Ghazi 2,4 kg. Karenanya, Ghazi yang dianggap adiknya ini harus menginap di inkubator sehari, sampai bobotnya mencapai 2,5 kg. Dalam perkembangannya, meski tubuh mereka melar dan cenderung gendut, tapi tetap saja Ghazi memiliki bobot yang lebih ringan dibanding Ghaza.

Ghaza nampak lebih pendiam dibanding adiknya. Tapi termasuk rajin untuk anak seumuran dia. Usianya baru 4,5 tahun, tapi sudah mau membantu kakak saya (mamanya, red) untuk mencuci piring yang numpuk di sumur. Meski tanpa disuruh. Saya perhatikan cara dia bekerja, tahapan demi tahapan mencuci piring sangat mirip dengan mamanya. Dari mulai menyiram gelas atau piring kotor, menyabuni, sampai membilas dan meletakkan barang cucian yang sudah bersih di ember yang bersih pula. Mungkin selama ini dia sering memerhatikan mamanya saat mencuci piring. Ketika dia merasa bisa melakukan hal itu, dia pun mencobanya. Hebatnya, tidak ada satu piring atau gelas pun yang pecah. Kalau melihat lantai kotor, dia pun ikut membantu menyapunya meski kurang bersih. Maklum, ukuran sapunya masih jauh lebih tinggi dibanding tubuhnya. Megang sapu pun masih kerepotan. Kalau sudah begitu, biasanya dia langsung meminta mamanya untuk membersihkan lantai. Mungkin dia merasa risih melihat lantai yang kotor. Melihat anak sekecil itu mau mengerjakan pekerjaan rumah, apalagi anak laki-laki, membuat saya merasa terharu. “Kok bisa ya...”

Beda lagi dengan Ghazi. Adiknya ini cenderung sulit untuk diminta membantu pekerjaan rumah. Memang sih, anak sekecil itu pada umumnya belum dibebani dengan urusan pekerjaan rumah, dari mulai beres-beres rumah sampai mencuci piring, apalagi anak laki-laki. Mereka biasanya hanya bermain dan bermain. Toh mamanya tidak menuntutnya untuk membantu pekerjaan rumah. Ghazi tumbuh lebih lincah dan aktif dibanding kakaknya, mungkin karena tubuhnya lebih ringan. Kelebihan lainnya adalah kritis dan cenderung cerewet. Pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan kadang sulit dijawab. Kita sebagai orang dewasa paham, tapi menyampaikan dengan bahasa yang masuk dengan dunia anak seperti dia kadang sedikit kerepotan.

Pernah suatu hari saya main ke rumah kakak di bulan puasa. Karena masih kecil, kedua ponakanku yang lucu ini tidak puasa. Waktu itu mereka sedang makan siang. Melihat mereka makan, sangat menyenangkan. Begitu lahap meski hanya dengan nasi dan lauk tempe yang digoreng tanpa tepung. Porsinya hampir sama dengan porsi makannya orang dewasa.

Ghazi, si kecil yang kritis tiba-tiba mengajukan pertanyaan kepada saya “Lek Indah, katanya kalau lebaran nanti Allah bakal turun ke bumi, benar nggak?”

Saya sedikit kaget dengan pertanyaannya. Darimana dia dapat informasi seperti itu? Mungkin dari gurunya di sekolah TK. Tapi setahu saya, meski setiap hari mereka berdua berangkat sekolah, mereka lebih sering berada di luar kelas dan sangat sulit diminta masuk ke dalam kelas meski oleh ibu gurunya. Paling kalau ada tugas nulis atau gambar, baru mau masuk kelas. Tapi kalau lagi ngadat, mereka tetap enggan masuk kelas. (kalo gitu ngapain sekolah dong ya…?) Jadi entah dia bisa menyerap info itu darimana.

Tapi demi menjawab rasa keingintahuan ponakanku ini, saya pun mencoba menjawab, “Iya, Allah turun ke bumi, tapi yang turun rejekinya, kasih sayangnya, dll.”
“Gimana turunnya?” cecarnya.
“Allah nurunin rejeki lewat hujan yang bisa nyuburin tanah dan sawah. Terus nanti kalau padi di sawah udah tua, dipenen deh. Bisa buat makan Ghaza sama Ghazi. Allah juga nurunin kasih sayangnya ke bumi, tapi lewat orang-orang di sekitar kita. Kayak Ghaza sama Ghazi, disayang sama mama-bapak. Itu karena kasih sayang Allah.” jawabku masih sedikit tenang, tapi mulai agak gelisah, takut diberondong dengan pertanyaan yang lebih sulit.

“Allah tinggalnya di mana, Lek?” cecarnya lagi.
“Allah tinggal di ‘Arsy, di tempat yang tinggi, tempat yang nggak bisa dilihat manusia, tapi Allah bisa lihat kita.” Jawabku mulai sedikit deg-degan membayangkan pertanyaan lanjutannya.

Tiba-tiba Ghazi yang sedang makan di depan pintu melihat ke luar, ke arah langit.
“Ya Allah! Beri Ghazi rejeki ya Allah!” serunya.
“Iya Ya Allah, beri Ghaza rejeki ya Allah!” kakaknya nggak mau kalah. Ghaza pun sama-sama melihat ke arah langit.

Sambil tersenyum melihat kepolosan tingkah mereka, saya mencoba menyusupkan sedikit nasehat, “Makanya, kalau Ghaza-Ghazi makan harus doa dulu. Biar Allah sayang dan ngasih rejeki terus sama Ghaza-Ghazi.”
“Doa…Allahumma bariklana fiima rojaktana wakina ‘ada bannar?” Ghazi seolah meminta pembenaran.
“Iya.” Jawabku singkat.

Nasi di piring mereka sudah mulai menyusut, tinggal 2-3 suap lagi. Tapi rupanya Ghazi masih penasaran.
“Allah sekarang lagi ngapain, Lek Indah?”, tanyanya lagi.
Deg. “Nah lo! Udah mulai susah nih ngejawabnya”, batinku.
“Allah sedang mengurusi semua urusan manusia dan makhluk Allah yang lain. Lagi ngurusin rejeki orang-orang, menumbuhkan tanaman, dll. Yang pasti Allah nggak pernah tidur. Beda sama Ghaza-Ghazi.” Jawabku.

Untung setelah itu dia nggak nanya-nanya lagi. Tapi itu bukan pertama kalinya saya dibuat bingung dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, terutama Ghazi. Ghazi tipe anak yang sulit terpuaskan. Kalau dilarang melakukan sesuatu, harus selalu dengan contoh. Misalnya saya bilang, “Itu nggak baik, nanti Mama marah?”. Dia pasti akan bilang, “Gimana marahnya?”. Dengan sedikit rekayasa sedemikian rupa, saya pun akan menirukan gaya mamanya ketika marah.

Namun pernah suatu kali saya melarang dia dengan mengatakan kalau Allah nggak suka melihat anak berlaku seperti itu, nanti dimarahi Allah. Dia pun mencecar dengan pertanyaan andalannya, “Gimana Allah marahnya?”. Aduh….pusing dah gue, masak saya harus menirukan gimana cara Allah marah. Tapi bagaimana pun saya harus berusaha menuntaskan rasa ingin tahu ponakanku ini. Akhirnya saya menjawab, “Allah itu beda dengan makhluk ciptaan-Nya. Beda dengan manusia, hewan dan tumbuhan. Beda dengan Ghaza-Ghazi. Jadi marahnya Allah pun tidak bisa ditirukan oleh manusia. Tapi yang pasti Allah nggak suka ngliat anak yang nakal dan nggak nurut sama orangtua.”

Untung setelah itu dia nggak nanya, “Emang Allah bentuknya seperti apa?”. Kalau dia nanya seperti itu, pasti makin pusing deh gue. Gimana coba jawabnya?

Benar kata mbak Neno Warisman di bukunya Matahari Odi Bersinar karena Maghfi, buku yang berisi pengalaman Mbak Neno mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Dia bilang kalau daya pikir anak tuh kadang berada dalam zone out of the box, di luar pemikiran manusia dewasa. Seingat saya, waktu kecil seumuran ponakanku, saya nggak pernah terfikir sampai ke persoalan ketuhanan seperti yang ditanyakan ponakanku itu. Tapi mungkin begitulah perkembangan zaman, anak-anak sekarang semakin kritis. Dan kita sebagai orang dewasa yang berada di sekelilingnya harus siap dengan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan dari mereka. @

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untaian kata darimu selalu kunantikan.