Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Kamis, Juni 18, 2009

Ada Keponakan Bertanya pada Buleknya


Ghaza dan Ghazi, keponakanku yang kembar memiliki karakter yang sangat berlawanan. Ada sih kesamaannya, sama-sama aktif dan doyan gelut. Mereka sih asyik-asyik saja dengan kegiatan mereka ini. Bahkan dilakukan sambil tertawa-tawa, meski pada akhirnya ada nangis salah satunya. Tapi orang lain yang melihatnya sempat khawatir dan takut mereka bakal terluka.

Sejak lahir bobot mereka berbeda; Ghaza lahir dengan bobot 2,6 kg, sedang Ghazi 2,4 kg. Karenanya, Ghazi yang dianggap adiknya ini harus menginap di inkubator sehari, sampai bobotnya mencapai 2,5 kg. Dalam perkembangannya, meski tubuh mereka melar dan cenderung gendut, tapi tetap saja Ghazi memiliki bobot yang lebih ringan dibanding Ghaza.

Ghaza nampak lebih pendiam dibanding adiknya. Tapi termasuk rajin untuk anak seumuran dia. Usianya baru 4,5 tahun, tapi sudah mau membantu kakak saya (mamanya, red) untuk mencuci piring yang numpuk di sumur. Meski tanpa disuruh. Saya perhatikan cara dia bekerja, tahapan demi tahapan mencuci piring sangat mirip dengan mamanya. Dari mulai menyiram gelas atau piring kotor, menyabuni, sampai membilas dan meletakkan barang cucian yang sudah bersih di ember yang bersih pula. Mungkin selama ini dia sering memerhatikan mamanya saat mencuci piring. Ketika dia merasa bisa melakukan hal itu, dia pun mencobanya. Hebatnya, tidak ada satu piring atau gelas pun yang pecah. Kalau melihat lantai kotor, dia pun ikut membantu menyapunya meski kurang bersih. Maklum, ukuran sapunya masih jauh lebih tinggi dibanding tubuhnya. Megang sapu pun masih kerepotan. Kalau sudah begitu, biasanya dia langsung meminta mamanya untuk membersihkan lantai. Mungkin dia merasa risih melihat lantai yang kotor. Melihat anak sekecil itu mau mengerjakan pekerjaan rumah, apalagi anak laki-laki, membuat saya merasa terharu. “Kok bisa ya...”

Beda lagi dengan Ghazi. Adiknya ini cenderung sulit untuk diminta membantu pekerjaan rumah. Memang sih, anak sekecil itu pada umumnya belum dibebani dengan urusan pekerjaan rumah, dari mulai beres-beres rumah sampai mencuci piring, apalagi anak laki-laki. Mereka biasanya hanya bermain dan bermain. Toh mamanya tidak menuntutnya untuk membantu pekerjaan rumah. Ghazi tumbuh lebih lincah dan aktif dibanding kakaknya, mungkin karena tubuhnya lebih ringan. Kelebihan lainnya adalah kritis dan cenderung cerewet. Pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan kadang sulit dijawab. Kita sebagai orang dewasa paham, tapi menyampaikan dengan bahasa yang masuk dengan dunia anak seperti dia kadang sedikit kerepotan.

Pernah suatu hari saya main ke rumah kakak di bulan puasa. Karena masih kecil, kedua ponakanku yang lucu ini tidak puasa. Waktu itu mereka sedang makan siang. Melihat mereka makan, sangat menyenangkan. Begitu lahap meski hanya dengan nasi dan lauk tempe yang digoreng tanpa tepung. Porsinya hampir sama dengan porsi makannya orang dewasa.

Ghazi, si kecil yang kritis tiba-tiba mengajukan pertanyaan kepada saya “Lek Indah, katanya kalau lebaran nanti Allah bakal turun ke bumi, benar nggak?”

Saya sedikit kaget dengan pertanyaannya. Darimana dia dapat informasi seperti itu? Mungkin dari gurunya di sekolah TK. Tapi setahu saya, meski setiap hari mereka berdua berangkat sekolah, mereka lebih sering berada di luar kelas dan sangat sulit diminta masuk ke dalam kelas meski oleh ibu gurunya. Paling kalau ada tugas nulis atau gambar, baru mau masuk kelas. Tapi kalau lagi ngadat, mereka tetap enggan masuk kelas. (kalo gitu ngapain sekolah dong ya…?) Jadi entah dia bisa menyerap info itu darimana.

Tapi demi menjawab rasa keingintahuan ponakanku ini, saya pun mencoba menjawab, “Iya, Allah turun ke bumi, tapi yang turun rejekinya, kasih sayangnya, dll.”
“Gimana turunnya?” cecarnya.
“Allah nurunin rejeki lewat hujan yang bisa nyuburin tanah dan sawah. Terus nanti kalau padi di sawah udah tua, dipenen deh. Bisa buat makan Ghaza sama Ghazi. Allah juga nurunin kasih sayangnya ke bumi, tapi lewat orang-orang di sekitar kita. Kayak Ghaza sama Ghazi, disayang sama mama-bapak. Itu karena kasih sayang Allah.” jawabku masih sedikit tenang, tapi mulai agak gelisah, takut diberondong dengan pertanyaan yang lebih sulit.

“Allah tinggalnya di mana, Lek?” cecarnya lagi.
“Allah tinggal di ‘Arsy, di tempat yang tinggi, tempat yang nggak bisa dilihat manusia, tapi Allah bisa lihat kita.” Jawabku mulai sedikit deg-degan membayangkan pertanyaan lanjutannya.

Tiba-tiba Ghazi yang sedang makan di depan pintu melihat ke luar, ke arah langit.
“Ya Allah! Beri Ghazi rejeki ya Allah!” serunya.
“Iya Ya Allah, beri Ghaza rejeki ya Allah!” kakaknya nggak mau kalah. Ghaza pun sama-sama melihat ke arah langit.

Sambil tersenyum melihat kepolosan tingkah mereka, saya mencoba menyusupkan sedikit nasehat, “Makanya, kalau Ghaza-Ghazi makan harus doa dulu. Biar Allah sayang dan ngasih rejeki terus sama Ghaza-Ghazi.”
“Doa…Allahumma bariklana fiima rojaktana wakina ‘ada bannar?” Ghazi seolah meminta pembenaran.
“Iya.” Jawabku singkat.

Nasi di piring mereka sudah mulai menyusut, tinggal 2-3 suap lagi. Tapi rupanya Ghazi masih penasaran.
“Allah sekarang lagi ngapain, Lek Indah?”, tanyanya lagi.
Deg. “Nah lo! Udah mulai susah nih ngejawabnya”, batinku.
“Allah sedang mengurusi semua urusan manusia dan makhluk Allah yang lain. Lagi ngurusin rejeki orang-orang, menumbuhkan tanaman, dll. Yang pasti Allah nggak pernah tidur. Beda sama Ghaza-Ghazi.” Jawabku.

Untung setelah itu dia nggak nanya-nanya lagi. Tapi itu bukan pertama kalinya saya dibuat bingung dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, terutama Ghazi. Ghazi tipe anak yang sulit terpuaskan. Kalau dilarang melakukan sesuatu, harus selalu dengan contoh. Misalnya saya bilang, “Itu nggak baik, nanti Mama marah?”. Dia pasti akan bilang, “Gimana marahnya?”. Dengan sedikit rekayasa sedemikian rupa, saya pun akan menirukan gaya mamanya ketika marah.

Namun pernah suatu kali saya melarang dia dengan mengatakan kalau Allah nggak suka melihat anak berlaku seperti itu, nanti dimarahi Allah. Dia pun mencecar dengan pertanyaan andalannya, “Gimana Allah marahnya?”. Aduh….pusing dah gue, masak saya harus menirukan gimana cara Allah marah. Tapi bagaimana pun saya harus berusaha menuntaskan rasa ingin tahu ponakanku ini. Akhirnya saya menjawab, “Allah itu beda dengan makhluk ciptaan-Nya. Beda dengan manusia, hewan dan tumbuhan. Beda dengan Ghaza-Ghazi. Jadi marahnya Allah pun tidak bisa ditirukan oleh manusia. Tapi yang pasti Allah nggak suka ngliat anak yang nakal dan nggak nurut sama orangtua.”

Untung setelah itu dia nggak nanya, “Emang Allah bentuknya seperti apa?”. Kalau dia nanya seperti itu, pasti makin pusing deh gue. Gimana coba jawabnya?

Benar kata mbak Neno Warisman di bukunya Matahari Odi Bersinar karena Maghfi, buku yang berisi pengalaman Mbak Neno mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Dia bilang kalau daya pikir anak tuh kadang berada dalam zone out of the box, di luar pemikiran manusia dewasa. Seingat saya, waktu kecil seumuran ponakanku, saya nggak pernah terfikir sampai ke persoalan ketuhanan seperti yang ditanyakan ponakanku itu. Tapi mungkin begitulah perkembangan zaman, anak-anak sekarang semakin kritis. Dan kita sebagai orang dewasa yang berada di sekelilingnya harus siap dengan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan dari mereka. @

Berjiwa Besar vs Berjiwa Kerdil



Sekitar dua bulan lalu saya melakukan wawancara dengan beberapa pengusaha di Bandung untuk pembuatan buku bisnis. Hampir semua pengusaha yang saya kontak siap diwawancara, kecuali yang memang benar-benar sibuk. Sebenarnya mereka siap diwawancarai, tapi karena waktu yang mereka sediakan melebihi deadline penulisan, akhirnya saya yang mundur. Untuk alasan yang satu ini saya sangat memaklumi, karena waktu bagi seorang pengusaha adalah uang. Tapi ada satu pengusaha kecil yang menolak untuk diwawancarai dengan alasan yang membuat saya kurang berkenan. Dia punya waktu untuk diwawancarai, tapi dia takut kalau membagikan ilmu bisnisnya kepada orang lain akan membuat usahanya merugi karena bertambahnya pesaing.

Buku yang saya susun saat itu memang mengulas tentang berbagai jenis bisnis dengan analisis bisnisnya, tentang berapa modal yang dibutuhkan untuk memulai suatu bisnis, bagaimana strategi mengembangkan bisnis tersebut, termasuk hambatan dan peluang bisnis dalam berbagai bidang. Boleh dibilang kupas tuntas tentang suatu bisnis. Mungkin karena itu pengusaha kecil penjual voucer pulsa tersebut merasa keberatan kalau strategi bisnisnya ditiru orang lain hingga mereka mengalami keuntungan yang sama atau bahkan lebih. Pada awalnya dia bahkan menganggap saya ini petugas sensus pajak yang menyamar, sehingga nampak sekali penolakannya.

Di tempat lain saya juga bertemu dengan seorang pengusaha yang menurut saya cukup bijaksana, bahkan berjiwa besar. Karyo, sebut saja begitu. Dia merantau dari satu kota kecil di Jawa Tengah ke Bandung, kemudian menjadi tukang jahit baju di toko kakaknya. Beberapa tahun menjadi karyawan, dia pun memberanikan diri membuka usaha jasa jahit sendiri dengan modal tabungan yang tidak seberapa. Dengan ketekunan dan kerja keras, akhirnya Karyo mampu mengembangkan usaha hingga memiliki beberapa karyawan. Fluktuasi usaha sempat dia alami. Termasuk keluar-masuknya karyawan; ada karyawan yang selalu setia, tapi ada juga karyawan yang akhirnya memilih mandiri dengan membuka usaha yang sama di tempat lain. Dia tidak pernah sakit hati meski ditinggal karyawannya di saat dia masih membutuhkan tenaga mereka. Sebaliknya, dia justru membantu karyawannya ini menyiapkan segala keperluan untuk memulai usaha mereka.

Berbekal keyakinan kepada Allah, ia tetap yakin bahwa Allah tidak pernah salah memberikan rezeki kepada setiap hamba-Nya. Termasuk kepada dirinya dan mantan karyawannya. Karyo justru bangga kalau karyawannya sukses. Meski dia sempat mengalami sedikit kesulitan untuk mendapatkan karyawan pengganti karena saat ini memang tidak mudah mencari penjahit profesional. Profesi penjahit boleh dibilang sudah mulai langka. Kondisi ini sempat membuat Karyo diprotes oleh kakaknya yang juga berprofesi sebagai penjahit. Karyo diminta untuk tidak lagi membagi ilmu tentang jahit-menjahit beserta strategi bisnisnya kepada orang lain. Kakaknya khawatir hal itu akan mengundang pesaing baru, sementara pengguna jasa jahit sudah semakin berkurang akibat hadirnya baju-baju jadi produk pabrik yang relatif lebih murah.

Tapi Karyo bergeming dengan larangan kakaknya ini. Ia tetap siap untuk berbagi ilmu yang ia punya kepada orang yang membutuhkan, terutama di dunia jahit-menjahit. Tidak terkecuali dengan saya yang memintanya berbagi lewat buku yang sedang saya tulis. Nyatanya rezekinya tidak menjadi berkurang, bahkan ia merasakan keberkahan dari harta yang dia miliki. Dia kini memiliki tiga orang karyawan, memiliki satu toko alat jahit dan rumah kontrakan yang harganya lebih dari 200 juta. Sementara kakaknya, secara materi masih jauh di bawah dia.

Ketika saya bertanya apa kunci suksesnya, dia menjawab, “Jalani saja prinsip tombo ati”. Saya mencoba mengingat-ingat kembali lagu Tombo Ati-nya Opick; (1). Baca Al Quran dengan memahami artinya, (2). Tegakkan qiyamul lail, (3). Dzikir malam yang panjang, (4). Berpuasa sunnah, (5). Berkumpul dengan orang shaleh.

Selain lima ibadah yang rutin dilakukannya, dia juga gemar bershadaqah. Shadaqah inilah yang menurutnya semakin membuat hartanya berkah dan berkembang. Dia pernah menitipkan hartanya di suatu masjid sekitar lima juta. Dalam perjalanan pulang, dia bertemu beberapa orang yang memberikan uang kepadanya. Ketika sampai di rumah dan menghitung uangnya, ternyata jumlahnya lebih dari lima juta. Mungkin itulah balasan rizki yang Allah berikan secara cash atas shadaqah yang diberikannya. Subhanallah.

Dari kedua profil pengusaha tadi; pengusaha kecil penjual voucer pulsa dan Karyo, penjahit baju, saya dapat menemukan satu kesimpulan tentang seseorang yang berjiwa besar dan berjiwa kerdil. Seorang yang berjiwa besar –seperti Karyo—ketika mengalami kesuksesan akan berfikir bagaimana agar orang lain juga merasakan kesuksesan yang sama dengan dirinya atau bahkan lebih. Saat dia merasakan kebahagiaan, dia akan berfikir bagaimana orang lain pun dapat merasakan kebahagiaan sepertinya. Bukan sebaliknya, menghambat kesuksesan orang lain, atau menghalangi kebahagiaan orang lain.

Bila diukur keuntungan secara materi, ternyata Karyo lebih sukses dibanding pengusaha penjual voucer tersebut. Semoga saya bisa meneladani kebesaran jiwa Pak Karyo, yang meski hanya mengantongi ijazah SMP, tapi mampu menapaki kehidupannya dengan kepala tegak dan kebesaran jiwanya. @

Setiap Kita adalah Pemeran Utama

Suatu hari seorang sahabatku curhat lewat sms, intinya dia sedikit mengeluh kenapa nasibnya tidak semujur orang lain. Saya paham dengan kegundahan hatinya. Di usianya yang lebih dari 30 tahun, dia belum menikah. Setiap dia ketemu cowok yang cocok dengan hatinya, cowok itu memilih mundur. Ketika ada cowok yang begitu serius ingin menikahinya, dia tidak merasa sreg dengannya. Bukan berarti pilih-pilih, tapi dia tentu tidak ingin menikah asal-asalan, asal menikah demi mengejar status “sudah menikah” yang tertera di KTP. Sementara usianya semakin bertambah dan orangtua sedikit menuntutnya untuk segera menikah. Apalagi dia anak perempuan yang paling besar di rumahnya. Ini memang persoalan klise. Tapi aku yakin dia curhat bukan untuk minta dikasihani.

Saat membaca sms curhatnya, dalam hati aku berkata, “Ini sih gue banget”. Tapi sebagai sahabat, aku harus mampu menghibur dan mencoba menghilangkan sedikit kegundahan hatinya. Sebenarnya kalau hanya untuk urusan jodoh yang tak kunjung datang, lagunya Opie Andaresta sudah cukup menghibur, “I’m Single n Fery Happy”. Lagu itu benar-benar mewakili hati-hati para insan single. Karena meski menurut orang lain kita tidak bahagia, sebenarnya kita tetap bisa merasakan hidup bahagia kok. Setidaknya bila dibandingkan dengan orang yang menikah tapi terus terbelenggu dengan persoalan hidup berumah tangga yang penuh konflik. Maka menjadi single tentu lebih praktis menjalani kehidupan, karena dia hanya berfikir untuk dirinya sendiri. Tapi bukan berarti pula kita harus memilih hidup melajang selamanya.

Justru yang membuat para insan single tidak bahagia adalah omongan orang akan ketidakbahagiaan kita. Mereka menilai kesendirian adalah suatu kesengsaraan, karena pasti akan merasa kesepian. Stigma ini akan terus melekat pada diri insan single. Padahal sendiri tidak berarti kesepian. Apalagi bagi insan yang beriman, Rabb semesta alam akan selalu ada di hatinya. Jadi mengapa harus merasa kesepian?

Lepas dari urusan single atau tidak, aku ingin mencoba membuka mata hati sahabatku ini pada persoalan hidup yang lebih luas, karena persoalan hidup bukan hanya soal jodoh. Akhirnya aku mengirimkan sebuah sms untuknya. “Kita sedang menjadi pemeran utama. Makanya perjalanan hidup kita sedikit lebih berliku, terjal dan berbatu dibanding orang lain. Bukankah pemeran utama dalam cerita fiksi/sinetron selalu lebih sedih dan mengharukan dibanding pemeran lain? Maka yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita bisa menjadi pemeran utama terbaik sesuai dengan peran yang Allah berikan untuk kita. Semoga kita bisa menjadi pemeran utama terbaik di mata Allah. Dan yakinlah bahwa pahala besar sedang menanti kita.”

Jujur, sebelum sahabatku itu curhat tentang masalahnya lewat sms, meski sudah terfikir akan hal itu, tapi belum terformulasikan dalam kata-kata. Baru ketika terdorong untuk membalas sms sahabat itulah, maka kata-kata itu tersusun. Setelah itu, setiap aku sedih dan merasa belum beruntung dalam hidup, aku selalu berfikir dan mencoba meyakinkan diri, “Aku sedang menjadi pemeran utama, dan aku harus mampu melewati masa-masa sulit ini dengan sebaik-baiknya.”

Aku yakin, mungkin di luar sana masih banyak orang yang merasakan hal sepertiku, kadang merasa sedih berkepanjangan, merasa tidak seberuntung orang lain, dan segala keluh kesah lain. Dalam cerita fiksi/sinetron hanya ada dua pemeran utama --biasanya laki-laki dan perempuan-- sedang dalam kehidupan nyata, setiap insan yang lahir di dunia ini adalah pemeran utama. Dan setiap kita dituntut untuk memerankan peran kita dengan sebaik-baiknya.

Saya bersyukur Allah menitipkan peran kepadaku sebagai seorang penulis. Menulis membuatku mampu menerawang ke segala penjuru pemikiran sebebas mungkin. Ada satu kenikmatan tersendiri ketika mengetikkan huruf demi huruf dalam komputer, merangkai kata demi kata untuk membentuk kalimat hingga terangkai menjadi sebuah tulisan yang utuh. Dan lebih berbahagia lagi bila ada orang yang merasa menuai manfaat dari tulisanku.

Menulis, juga membuatku berkesempatan belajar kepada banyak orang yang aku wawancarai. Melalui mereka aku menemukan satu formula hidup dari sudut pandang yang berbeda. Melalui mereka aku mampu merasakan kepedihan dan derai air mata orang lain, sehingga membuka mata hatiku bahwa ternyata bukan hanya aku yang mengalami kepedihan dalam hidup. Bahwa di luar sana masih banyak orang yang lebih menderita tapi memiliki ketegaran luar biasa.

Sejak terbiasa menulis, sepertinya tidak ada lagi alasan bagiku untuk bersedih dalam hidup. Sedih, luka, derita, aku terima dengan lapang dada, selapang ketika aku menerima kebahagiaan dan keceriaan hidup. Sebab aku sadar, kesedihan dan penderitaan adalah modal bagi penulis agar mampu melahirkan karya yang dewasa dan matang. Sebaliknya, kebahagiaan dan keceriaan adalah modal bagi penulis agar melahirkan karya yang penuh nuansa dan berwarna.

Peran apapun yang Allah berikan kepada kita, harus kita syukuri, selama peran itu bisa membuat kita semakin dekat kepada Allah. Semoga kita semua selalu dibimbing Allah untuk mampu memerankan peran terbaik kita di mata Allah. Amin. @

Jumat, Juni 12, 2009

Asah, Asih, Asuh





 Oleh Indah Ratnaningsih


Dengan terus meng’asah’ kemampuan mendidik anak, dilandasi dengan ’cinta dan kasih sayang’ dalam peng’asuh’an yang tepat, insya Allah harapan memiliki anak yang shaleh dan shalehah akan terwujud.

“Asah, Asih, Asuh”, kata yang begitu manis, terangkai menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan, saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai simbol kasih sayang. Rangkaian kalimat yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun pernahkah kita merenungkan lebih jauh akan makna yang tersirat di dalamnya? Terutama dalam hubungannya dengan pendidikan anak.

Sahabat...
Pernahkah kita memerhatikan anak kita ketika sedang mengasah pinsilnya dengan serutan? Awalnya ia akan melihat-lihat pensil dan serutan yang kita berikan, dibolak-baliknya sedemikian rupa. ”Gimana cara make alat ini?”, pikirnya. Ketika ia menemukan lubang pada serutan, ia pun memasukkan pinsilnya ke lubang itu. Mulailah ia memutar pinsil dalam lubang serutan. Sedikit demi sedikit pinsilnya terasah, semakin lama semakin runcing. Giranglah hatinya melihat hasil kerjanya.

Sahabat...
Seperti seorang anak yang mengasah pinsil dengan serutan, begitupun kita memaknai kata ’asah’ dalam mendidik anak-anak kita. Di balik kata ’asah’ ada pembelajaran, ada ilmu yang harus digali. Bila pinsil dan serutan adalah alat, maka alat untuk mendidik anak adalah ilmu. Ada suatu pernyataan bahwa pendidikan anak dimulai jauh sebelum seseorang menikah. Karena disadari atau tidak, meski belum menikah, sudah terangkai dalam pikirannya tentang bagaimana ia kelak mendidik anak-anaknya. Hingga bacaan-bacaan tentang pendidikan anak pun ia lalap. Sampai kemudian melalui proses ta’aruf, dalam penyatuan visi dan misi rumah tangga, soal pendidikan anak pun dibahas di sana. Dalam hal ini Ibu Lutfiah Sungkar mengingatkan, ”Kesalahan memilih suami berarti salah memilihkan bapak bagi anak-anak kita, sebaliknya kesalahan memilih istri berarti salah memilihkan ibu bagi anak-anak kita”. Proses menggali ilmu sebagai cara untuk menambah kemampuan mendidik anak, harus terus berjalan sampai ajal menjemput kita. Karena semakin anak beranjak dewasa sampai beranak cucu, semakin bertambah pula potensi masalah. Menuntut orang tua untuk semakin arif dalam mensikapinya. Sedang kearifan hanya didapat dengan ilmu.

Sahabat...
Menguasai ilmu tentang mendidik anak secara teori belumlah cukup. Ada hal lain yang harus digali dari dalam diri kita, yaitu cinta, kasih sayang dan ketulusan. Allah yang bersifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Pengasih dan Penyayang), telah menurunkan setitik sifat-Nya yang satu ini pada manusia. Ketika kita memerhatikan anak perempuan kita sedang bermain boneka, apa yang bisa kita gali dari sana? Digendongnya boneka yang dianggapnya sesosok bayi mungil, didekap dan diajaknya bercengkrama layaknya bayi sungguhan. Seolah terpancar rona penuh kasih di wajah mungil anak kita. Ternyata Allah telah menanamkan rasa ’asih’ dalam jiwa sejak kita masih balita, bahkan mungkin sejak dalam kandungan. Nampak ketika bayi lahir ke dunia, tangisnya pun dirindukan orang-orang di sekitarnya, melihat wajahnya membuat rasa ’asih’ seketika merasuki relung hati kita. Rasa ’asih’ inilah yang harus dikembangkan ketika mendidik anak-anak kita. Sebagus apapun metoda pendidikan anak yang kita terapkan, bila tanpa ’asih’, akan terasa hambar. Karena anak bukanlah sebuah boneka atau robot yang dapat dibentuk semau kita. Harus didukung dengan cinta, dibina dengan kasih, dan dibentuk dengan rasa sayang. Namun demikian, bukan berarti harus memanjakan anak.


Sahabat...
Asah dan asih belumlah lengkap tanpa asuh. Pembinaan, pengarahan, dukungan baik secara langsung atau tidak, mutlak diperlukan. Penerapan metode pembinaan bisa sesuai teori yang kita dapat, namun akan lebih mengena bila pembinaan dibarengi dengan contoh kongkrit. Kembali pada seorang anak yang mengasah pinsil, ketika proses pembelajaran dari memerhatikan suatu benda (pinsil dan serutan), sampai akhirnya ia memutuskan mengasah pinsil dengan cara demikian, akan lebih cepat dan tepat bila sebelumnya ia sering melihat cara mengasah pinsil dari orang tua atau orang-orang di sekitarnya. Karena itu berilah contoh terbaik bagi anak kita.

Sahabat...
Dengan terus meng’asah’ kemampuan mendidik anak, dilandasi dengan ’cinta dan kasih sayang’ dalam peng’asuh’an yang tepat, insya Allah harapan memiliki anak yang shaleh dan shalehah akan terwujud. Namun harus tetap memasrahkan urusan kita pada Allah. Seandainya Ia berkehendak mengambil anak kita atau mendidik anak kita dengan cara-Nya, kita pun harus ikhlas menerimanya. Wallahu a’lam (Tabliod MQ, Juni 2004)

Segelas Susu untuk Istri


Oleh Indah Ratnaningsih

“Mas, aku minta cerai saja”, kata Aminah kepada suaminya malam itu.
Dudi suaminya, tentu saja kaget mendengar permintaan istrinya. Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba istrinya minta cerai.
“Memangnya kenapa, kok tiba-tiba minta cerai?”, Dudi berujar dengar perasaan gusar.
“Sepertinya sudah tidak ada lagi cinta di antara kita.”, Aminah menjawab ketus.

Dudi semakin tidak mengerti. Ia merasa sudah melakukan segala hal untuk keluarganya. Kerja kerasnya sebagai penopang ekonomi keluarga kini mulai menampakkan hasilnya. Ia kini telah memiliki perusahaan sendiri meski kecil, ia juga telah mampu mempersembahkan sebuah rumah meski tidak terlalu mewah untuk istri dan seorang anaknya.
***

Januh, merasa diabaikan dan tidak dicintai lagi oleh pasangan, bisa melanda siapapun dalam kehidupan berumah tangga. Mungkin itu yang kini dirasakan Aminah. Setelah sekian lama mendampingi suami, mengurus rumah tangga dan anaknya. Sementara ia melihat suami seperti mengabaikannya, ia sibuk sendiri dengan usahanya. Sebaliknya, Dudi justru merasa telah begitu banyak memberi pada keluarganya. Dengan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, ia merasa kewajibannya sebagai suami impas sudah.

John Gray, Ph.d. dalam bukunya Men are From Mars, Women are from Venus yang berisi kiat-kiat praktis komunikasi efektif suami istri mengungkapkan bahwa pria menganggap dirinya mendapat nilai tinggi di mata istrinya jika melakukan sesuatu yang hebat bagi wanita itu, seperti membelikan mobil baru atau membayarkan cicilan rumah. Ia menganggap melakukan hal-hal kecil seperti membantu istri di dapur, memandikan anak dsb., nilainya tidak setinggi ketika ia memberikan kunci mobil baru pada istrinya. Padahal, hal-hal kecil yang dilakukan suami untuk istrinya seperti itu, di mata seorang istri sama nilainya dengan hal-hal besar yang ingin dilakukannya. Mengapa? Karena di mata istri, besar kecilnya sebuah pemberian cinta dari seorang suami, nilainya sama satu point. Tapi suami menganggap ia hanya akan mendapat 1 point untuk pemberian kecil kepada istrinya, dan 30 point untuk pemberian besar yang ia berikan. Tanpa disadari bahwa di mata wanita, hal-hal kecil sama pentingnya dengan hal-hal besar.

John Gray dalam buku tersebut juga menyebutkan 101 cara memperoleh nilai di mata istri yang ternyata semuanya tidak ada yang membutuhkan biaya mahal, hanya sebuah perhatian, pengertian yang dilandasi ketulusan memberi, seperti;
o Mencium kening istri sebelum berangkat kerja.
o Kalau akan pulang terlambat, kabarilah istri melalui telepon.
o Telepon istri dari kantor dan katakan bahwa Anda menyintainya. Jangan sungkan untuk menyatakan cinta meski beberapa kali sehari.
o Setelah sampai rumah, carilah istri terlebih dahulu sebelum melakukan hal-hal lain dan peluklah ia.
o Berlatihlah mendengarkan dan mengajukan pertanyaan. Saat mendengarkan, matikan TV dan singkirkan bacaan yang sedang Anda pegang.
o Pujilah penampilannya.
o Hargai perasan istri jika ia marah.
o Tawarkan bantuan padanya bila kelelahan.
o Jangan merasa sungkan untuk membantu istri di dapur untuk masak atau mencuci piring sesekali.
o Peluklah istri empat kali sehari.
o Belikan ia hadiah-hadiah kecil, sekuntum bunga, sekotak kecil coklat atau parfum.
o Tunjukkan kemesraan di depan umum.
o Berikan perhatian padanya lebih dari orang lain di depan umu.
o Dll.

Melihat sederetan hal yang harus dilakukan seperti di atas, memang seperti sebuah tuntutan, hal-hal kecil seperti itu akan membuat tangki cinta seorang pria penuh. Sehingga nilainya akan sama dengan istrinya, istri pun ketika merasa dirinya benar-benar dicintai akan memberikan cintanya pula kepada suaminya. Maka kepuasan pun akan menghinggapi perasaan sepasang suami istri tersebut.
***

Pagi itu Dudi menghampiri istrinya yang sedang duduk termangu di kursi yang ada di taman belakang rumahnya. Ia membawa sebuah baki berisi sepiring nasi gorang plus telur cepok dan segelas susu.

“Istriku, sarapan dulu ya…Mas sengaja membuatkan sarapan ini untuk Adik”, kata Dudi lembut.

Aminah menoleh ke arah suara. Suaminya telah berdiri di dampingnya dengan sebuah baki di tangganya. Aminah menatap Dudi dengan tatapan seolah tak percaya. Betulkah ini Dudi suaminya yang selama ini seperti begitu sibuk dan mengabaikannya? Betulkah makanan itu untuknya?

“Mas Dudi!”, hanya itu yang terdengar dari mulutnya. Matanya berkaca-kaca menahan haru di hatinya. Sesaat Aminah lupa akan permintaan cerai yang diucapkannya tadi malam. (Tabloid MQ, Des, 2004)***

Dialog Cinta dan Kematian

Sebuah pemberian tanpa pamrih yang didasari dengan cinta dari pasangan hidup, ternyata bisa begitu membekas bahkan sampai pasangan hidup kita meninggal dunia. Sudahkah kita memberikan cinta terindah untuk pasangan hidup sebelum ajal menjemput kita?

BULAN purnama malam itu tampak cerah bertengger di sudut langit, secerah hati Burhan dan Wulan. Untuk merayakan ultah perkawinan ke-5, mereka sengaja ingin menikmati malam itu hanya berdua. Halaman kamar mereka yang berada di lantai dua, mereka sulap menjadi ruang makan yang romantis. Usai mencicipi makan malam, mereka menikmati indahnya pancaran sinar bulan purnama. Refleksi perjalanan perkawinan mereka dijadikan menu obrolan yang hangat. Mulai dari awal perkenalan sampai nikah, hingga saat-saat sulit menjalani riak-riak masalah yang pernah mereka hadapi.

”Istriku, sudahkah kau mempersiapkan diri seandainya Abang meninggal kelak?”, tanya Burhan sambil menatap Wulan yang duduk di hadapannya.

Wulan terlihat kaget. ”Kenapa sih Abang nanya soal kematian?”, tanyanya dengan raut muka ketakutan. Burhan tersenyum melihatnya.

”Abang tidak bermaksud menakut-nakuti Dek. Tapi, Abang harus bisa memastikan agar jangan sampai Ade’ menjadi terpuruk apabila Abang meninggal kelak”. Burhan menarik napas pelan.
”Abang minta maaf ya Dek, bila mungkin selama ini belum bisa menjadi suami yang baik untuk Adek”.

Wulan merasa seolah-olah ini saat terakhir kebersamaan mereka. Perasaan takut kehilangan suami mulai menggelayuti hatinya. Wulan menggenggam erat tangan suaminya,”Abang sudah jadi suami yang baik kok, mungkin Adek yang belum bisa jadi istri shalehah ya Bang? Maafin Adek juga ya Bang!”.

Saat itu mereka sadar bahwa ajal bisa kapan saja menjemput mereka. Entah siapa yang lebih dulu, mungkin Burhan atau Wulan. Tapi dengan mengingat kematian, mereka bertekad untuk lebih mencintai pasangan. Karena bisa jadi, hari itu adalah hari terakhir mereka bersama, yang berarti terakhir pula mereka bisa saling mengekspresikan cinta.
***

PERNAHKAH kita memperbincangkan soal kematian kapada pasangan hidup kita? Memang sepertinya aneh, karena biasanya perbincangan seperti ini khusus bagi mereka yang sudah uzur. Padahal kematian bisa jadi sangat dekat dengan kita yang masih muda sekalipun. Ada dua kemungkinan yang muncul saat ”kematian” dibahas antara pasangan suami-istri (pasutri);

1. Akan membuat kita pesimis dan terpuruk, karena akan berpisah dengan pasangan hidup kita. Ini bisa terjadi pada mereka yang kurang iman, atau mereka yang terlalu menggantungkan hidup dan cintanya pada pasangan tanpa dibarengi cinta kepada Allah, Dzat Yang Menciptakan dan memiliki diri kita.

2. Semakin tumbuh keinginan untuk saling memberi dan mencintai pasangan. Karena sadar bahwa kematian pasti akan datang, sehingga timbul keinginan untuk menikmati seoptimal mungkin saat kebersamaan yang Allah berikan meski tinggal sedetik.

Kematian pasti akan terjadi pada semua makhluk ciptaan-Nya. Namun, yang jadi pertanyaan, akankah orang menangisi dan merasa kehilangan diri kita, atau sebaliknya merasa bersyukur saat kepergian kita? Seberapa banyak orang yang merasa kehilangan diri kita kelak? Minimalnya pada lingkup keluarga, apa yang telah kita beri pada keluarga kita? Akankah nanti keluarga kita merasa kehilangan saat kita meninggal, atau justru bahagia karena terbebas dari ulah kita yang menyakitkan?

Pernah ada seorang penyair yang ditinggal mati istri yang begitu dicintainya, lalu menuangkan kesedihannya dengan membuat sajak berlembar-lembar. Sajak itu berisi ungkapan rasa kehilangan yang mendalam sehingga menyayat hati bagi orang yang membacanya. Sebuah totalitas cinta sang istri ternyata mampu menggerakkan tangan suaminya untuk menuangkan rasa cintanya tersebut dalam sebuah karya.

Memang, meratapi kepergian seseorang lalu menjadikan kita tidak bergairah dalam hidup, tidak dibenarkan dalam Islam. Namun, hikmah yang bisa diambil dari kisah sang penyair di atas, bahwa sebuah pemberian tanpa pamrih yang didasari dengan cinta dari pasangan hidup, ternyata bisa begitu membekas bahkan sampai pasangan hidup kita meninggal dunia. Sudahkah kita memberikan cinta terindah untuk pasangan hidup sebelum ajal menjemput kita? Semoga Allah selalu membimbing kita untuk saling mencintai karena-Nya. (Tabloid MQ, Des, 2004)

Bekal Hidup Ketika Pasangan Harus Berpulang



Bagi seorang yang telah mandiri secara spiritual, kebahagiaannya tidak bergantung pada seberapa besar cinta yang diberikan pendamping hidupnya di dunia, tapi kebahagiaan baginya adalah bila ia bisa dekat pada Allah Swt.

Alkisah ada seorang istri yang baru ditinggal mati suami tercintanya, sementara ketiga anaknya masih kecil-kecil. Di tengah kerumunan orang yang datang berta’ziyah, seorang ibu yang merasa prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan oleh suami tersebut berkomentar, “Kasihan istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Bagaimana nasib mereka sepeninggal suami yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian keluarga tersebut?” Tiba-tiba istri almarhum yang mendengar pernyataan ibu itu langsung berkata, “Ibu, suamiku sama seperti saya. Ia hanya pemakan rizki, bukan pemberi rizki. Allah lah yang Maha Pemberi rizki pada semua hamba-Nya.”. Ibu tersebut langsung tertunduk malu menghadapi ketabahan dan ketegaran seorang istri yang ditinggal mati suaminya.
**

Pendamping hidup, baik istri maupun suami, dalam Bahasa Jawa disebut “Garwo”, atau “Sigaraning Nyowo”, yang berarti “Belahan Jiwa”. Seorang suami adalah “belahan jiwa” untuk istrinya, begitupun sebaliknya. Sehingga mereka merasa saling membutuhkan. Maka, wajar bila salah seorang dari mereka baik suami atau istri meninggal dunia atau bercerai, mereka akan merasa seperti limbung, hilang keseimbangan. Seolah ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Bahkan ada yang kemudian menjadi tidak bersemangat dalam hidup. Idealnya, kalau boleh memilih, tentu mereka ingin sehidup semati bersama. Tapi realita hidup tidaklah selalu demikian.

Menghadapi kenyataan seperti ini, menurut Ustadzah Mimin Aminah, pengisi Acara Rumahku Syurgaku MQFM, perlu kiranya kemandirian pada masing-masing pasangan hidup. Kemandirian tersebut mencakup tiga hal; kemandirian finansial, kemandirian emosional, dan kemandirian spiritual.

Kisah seorang istri yang ditinggal mati suaminya seperti di atas, menunjukkan kemandirian yang paripurna pada seorang hamba. Secara emosional, ia mampu menunjukkan kematangan pribadinya; ia mampu menghadapi kenyataan kehilangan pendamping hidup dengan ketabahan dan kesabaran. Secara finansial, ia juga mandiri, karena tidak bergantung kepada suaminya. Kemandirian secara finansial yang dimilikinya ternyata lahir dari kemandirian spiritual. Keyakinannya yang kuat bahwa Allah-lah satu-satunya Pemberi rizki -bukan suaminya- membuatnya tidak gentar dan siap berjuang membesarkan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil.

Dari ketiga kemandirian tersebut, menurut Ustz. Mimin, yang mutlak harus ada pada diri seseorang adalah kemandirian spiritual. Karena ketidakmandirian spiritual akibatnya akan lebih fatal daripada ketidakmandirian secara finansial atau emosional. Resiko terburuk dari ketidakmandirian secara finansial adalah miskin. Sedang bagi orang yang tidak mandiri secara emosional, resikonya ia akan merasa dipengaruhi oleh orang lain di lingkungannya. Ia merasa kebahagiaannya bergantung pada orang lain. Seorang istri akan merasa tidak bahagia, bila tidak berada dekat suaminya, atau sebaliknya suami merasa begitu menderita tanpa kehadiran istri di sisinya.

Seseorang yang kehilangan kemandirian secara spiritual, ia akan kehilangan segalanya. Karena Allah-lah pemberi rizki, pemberi pendamping hidup terbaik dan segala hal yang membuat kita bahagia di dunia ini. Bila tidak yakin akan kasih sayang Allah, maka pada siapa lagi kita berharap mendapat kasih sayang abadi. Karena bagaimanapun kasih sayang dari makhluk; baik orangtua, kekasih (suami/istri), dsb. tentu ada batasnya. Minimalnya sampai pendamping hidup kita dijemput kembali oleh Sang Pemilik sejati yaitu Allah Swt. Sedang kasih sayang Allah abadi, bahkan hingga tubuh kita menyatu dengan tanah. Lalu kita dibangkitkan kembali dari alam kubur untuk kemudian mempertanggungjawabkan semua amal kita di dunia, hingga tiba saatnya bertemu dengan Pencipta diri kita, yaitu Allah Swt. Bagi seorang yang telah mandiri secara spiritual, kebahagiaannya tidak bergantung pada seberapa besar cinta yang diberikan pendamping hidupnya di dunia, tapi kebahagiaan baginya adalah bila ia bisa dekat pada Allah Swt.

Manusia sebagai makhluk sosial, memang secara fitrahnya membutuhnya orang lain dalam hidup. Toh kemandirian bukan berarti tidak butuh orang lain, apalagi bila sampai merasa diri lebih dari orang lain hingga muncul perasaan sombong. Bagi seseorang yang mandiri secara emosional, orang lain di sekitarnya hanya mempengaruhinya, tidak menentukan. Kemandirian emosional di sini harus dibarengi keyakinan secara spiritual, bila yakin Allah akan menolong setiap hamba-Nya, maka kemandirian akan muncul dari sana.

Seseorang yang telah memiliki ketiga bentuk kemandirian di atas, tidak akan merasa menderita bila suatu saat berpisah dari pendamping hidupnya karena kematian atau perceraian. Ia tidak takut miskin meski selama ini suaminya-lah yang menopang perekonomiannya, ia tetap tegar karena yakin Allah akan menolongnya. Wallahua’lam.

Pacaran Pasca Nikah


Bila mengekpresikan cinta (baca: pacaran) sebelum menikah menjadi terbatas karena dilaknat Allah, maka ”ekspresi cinta” setelah menikah justru merupakan kewajiban yang bernilai ibadah.

HENDRA merasa bosan menikmati saat-saat berdua dengan istrinya setelah 7 bulan menikah. Sementara Arifin, pada usia perkawinannya yang menginjak 6 bulan, rasa cinta pada istrinya justru begitu menggebu. Padahal dulu ketika menikah, ia tidak merasakan cinta setitik pun pada wanita yang kini menjadi istrinya. Apa pasal?

Menurut Hendra, ia telah puas terlebih dahulu menikmati masa romantis (pacaran) sebelum menikah dengan istrinya. Sementara Arifin, ia baru mengenal istrinya selang beberapa saat menjelang pernikahan. Itu pun melalui proses ta’aruf lewat murabbi-nya. Ia pun baru memutuskan menikah setelah mendapat petunjuk hasil shalat istikharah. Karenanya, Arifin dan istrinya kini sedang menikmati pacaran pasca pernikahan.

***

DALAM mengarungi pelik kehidupan rumah tangga, ”pacaran” bisa menjadi ”oli” yang melancarkan lajunya sebuah keluarga mencapai tujuan. Pacaran di sini diartikan sebagai ”ekspresi cinta” untuk melanggengkan kemesraan dan keromantisan pasutri (pasangan suami istri). Seperti seorang remaja yang sedang jatuh cinta, begitu pun sepasang suami istri.

Bila mengekpresikan cinta (baca pacaran) sebelum menikah menjadi terbatas karena dilaknat Allah, maka ”ekspresi cinta” setelah menikah justru merupakan kewajiban yang bernilai ibadah. Dengan hati penuh cinta, diharapkan pasutri akan dapat merasakan kemesraan setiap saat. Sehingga ”ekspresi cinta” dari tahun ke tahun akan bertambah. Karena cinta akan semakin tumbuh dan berkembang bila kita membagi cinta kita kepada pasangan. Apalagi bila didasari keinginan untuk saling memberikan cinta, setia dan taat serta keinginan untuk selalu membahagiakan pasangan hidup kita.

Rasulullah Saw. adalah seorang suami yang sangat romantis kepada istri-istrinya. Bahkan, menurut Rasulullah mulia, menjalin kemesraan antara suami-istri pahalanya sama dengan berjihad di jalan Allah. Lalu, bagaimana mengekspresikan perasaan cinta pada pasangan?

1. Tunjukkan pada pasangan kita bahwa kita benar-benar mencintainya dalam setiap tindakan kita, baik saat berbicara, memandang dan bersikap.
2. Ungkapkan rasa cinta kita pada pasangan. Kadang pasutri menganggap sikap yang diberikan selama ini sudah cukup menjadi ekspresi cinta, sehingga enggan mengungkapkan rasa cintanya dengan kata-kata.
3. Tunjukkan bahwa kita menerima pasangan kita apa adanya.
4. Berikan respek positif atas kemesraan yang ditunjukkan pasangan, dalam batas-batas yang wajar.

Namun demikian, kadang muncul hambatan dalam mengekspresikan cinta, antara lain:
1. Merasa sudah tua dan tidak pantas tampil mesra. Padahal ekspresi cinta bukan hanya milik para remaja, tapi milik semua umur.
2. Karena belum terbiasa. Pada seseorang yang sedari kecil tidak dibiasakan mengekspresikan perasaannya secara bebas, membuatnya sulit untuk mengekspresikan rasa cintanya pada pasangan. Maka, perlu kesabaran pada pasangannya untuk membuatnya mampu mengeskpresikan cinta.

Landasi ”eskpresi cinta” ini dengan niat karena Allah, yaitu cinta yang lahir dan tumbuh dari dan karena Allah, bukan karena rekayasa diri (hawa nafsu) kita. Cinta yang membuat pemiliknya semakin dekat pada Allah. Allah-lah yang menumbuhkan dan memberikan cinta. Karenanya, kepada-Nya lah kita meminta cinta ini. Wallahua’lam. (Indah/Tabloid MQ)

Ketika Pasangan Hidup Mengecewakan




Jangan pernah beranggapan bahwa pasangan kita tidak mau atau tidak berniat membahagiakan kita. Mungkin ia ‘belum mampu atau belum tahu cara membahagiakan’ kita. Dengan berpikir demikian, akan hadir semangat baru untuk menuju ke arah yang diinginkan bersama pasangan suami istri

MEMASUKI kehidupan baru pasca nikah memang memerlukan penyesuaian-penyesuaian. Pasangan suami istri (pasutri) baru harus menghadapi kenyataan bahwa pasangannya ternyata tidak seideal bayangannya dahulu ketika belum menikah. Apalagi pada pasutri yang manjalani proses ta’aruf singkat, yang tentu belum sempat mengenal pasangannya secara mendalam. Bukan soal berapa lamanya waktu ta’aruf yang harus disalahkan. Karena, sekalipun proses ta’aruf hanya sebentar, tapi bila mampu mengetahui watak asli calon suami/istri melalui perantaranya, tentu tetap efektif Apalagi disertai ilmu yang memadai tentang pernikahan dan kesiapan mental yang kuat dengan landasan niat ibadah. Tentu, tidak berarti juga proses penyesuaian ini hadir tanpa masalah.

Intan (bukan nama sebenarnya), misalnya. Ia seorang istri yang baru 3 bulan menikah. Suatu hari ia curhat pada Reni sahabatnya. Menurut penilaian Intan, Reni selalu terlihat romantis dengan suaminya. “Suamimu mah romantis, selalu terlihat mesra Tidak seperti suamiku yang pendiam dan selalu dingin,” keluhnya.

Bagaiamana seharusnya menghadapi kenyataan bahwa pasangan hidup ternyata mengecewakan kita? Dalam hal ini, Ustadzah Mimin Aminah (Pengisi Acara Rumahku Syurgaku Radio MQFM) memberikan saran agar memastikan dulu tiga kemungkinan: 

Pertama, mungkin pasangan kita tidak tahu keinginan kita Pada kasus Intan di atas, mungkin suami Intan tidak tahu kalau Intan sebenarnya menginginkan keromantisan dari suaminya. Maka yang harus dilakukan adalah memberitahukan keinginan kita pada pasangan. Tentu dengan komunikasi yang efektif; 1) Memilih waktu yang tepat, santai dan menyenangkan, 2) Dengan pilihan kata yang tepat agar tidak menyingggung perasaan pasangan kita, dan 3) Dalam kondisi hati yang tenang, tidak emosi apalagi saat marah. 

Kedua, jika pasangan sudah tahu keinginan kita, tapi tetap belum terlihat mau mewujudkan keinginan kita, ada kemungkinan pasangan kita belum mampu mewujudkan keinginan kita, bukan tidak tahu Untuk itu, bantulah ia agar mampu mewujudkan keinginan kita. Suami Intan misalnya, ternyata ia tahu kalau Intan menginginkan dirinya menjadi romantis, tapi karena ia beranggapan bahwa ’sikap dinginnya’ itu sudah menjadi sifatnya sejak dulu, ia pun merasa sulit mengubah kebiasaannya itu. Apalagi suami Intan dididik keras oleh orangtuanya. Alhasil, Intan harus bisa lebih sabar membimbing suami agar mau berubah tanpa merasa disuruh, dan tanpa tuntutan keharusan yang akan membelenggu suaminya. 

Ketiga, sebenarnya mampu tapi belum mau menjalankannya. Kasus ini sangat membutuhkan kesabaran ekstra setiap pasangan hidup. Seperti Bu Hanum, misalnya, yang harus menghadapi sulitnya suami saat diajak shalat 5 waktu Alasannya karena kesibukan kerja. Untuk itu, langkah awal yang harus dilakukan adalah memulai dari diri sendiri. Kadang istri juga harus bisa menjadi contoh di keluarga, bila suami ternyata belum mampu menjadi panutan. Lalu, sedikit demi sedikit mengajak secara langsung pada suami. Tentu dengan bahasa yang bisa diterima tanpa menyinggung. Bila tetap belum berubah, maka banyaklah berdoa agar suami kita dibimbing Allah menjadi hamba yang taat pada-Nya. 

Jangan pernah beranggapan bahwa pasangan kita tidak mau atau tidak berniat membahagiakan kita. Mungkin ia ‘belum mampu atau belum tahu cara membahagiakan’ kita. Dengan berpikir demikian, akan hadir semangat baru untuk menuju ke arah yang diinginkan bersama pasangan suami istri.
Namun demikian, ada batasan tertentu yang tidak boleh dilanggar agar keinginan tidak berbuah tuntutan. 

Pasangan hidup kita juga manusia yang punya hak untuk berkembang menjadi dirinya sendiri. Terkadang seorang suami menuntut istrinya sesuai harapannya. Begitu juga sebaliknya, istri menuntut suaminya agar sesuai harapannya. Tidak selamanya mereka bisa berubah menjadi seperti harapan masing-masing pasangan hidupnya. Bukankah sepasang suami istri disatukan Allah Swt. untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing? Karena itu, bergerak dan berubahlah menjadi seperti yang Allah harapkan. Wallahua’lam (Tabloid MQ/Agustus)***

Rabu, Juni 10, 2009

Pembebasan Manohara Pinot, Pembebasan Belenggu Cinta


Minggu, 31 Mei kemarin Manohara Odelia Pinot berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan Kerajaan Kelantan Malaysia dan kembali ke Indonesia. Seperti banyak diberitakan media, Manohara yang menikah dengan Pangeran Kerajaan Kelantan Tengku Mohammad Fakhry pada 26 Agustus 2008 silam ini mengalami tindak kekerasan seksual dari suaminya sejak malam pertama. Merasa tidak tahan dengan perlakuan suaminya, model cantik kelahiran Jakarta, 28 Februari 1992 ini pernah berhasil kabur dari belenggu suaminya akhir 2008 lalu malalui Singapura. Namun mereka kembali bertemu saat berumrah dengan keluarganya akhir Februari 2009. Saat itulah Manohara dikabarkan diculik oleh suaminya. Sejak saat itu pula Mano tidak bisa saling kontak dengan keluarganya di Indonesia.

Dengan kembalinya Manohara ke Indonesia, setidaknya perjuangan Deasy Fajarina, ibunda Manohara untuk menyelamatkan nasib buruk yang menimpa anaknya membawa hasil happy ending. Perjalanan cinta wanita keturunan Kerajaan Bugis ini boleh dibilang sebagai tragedi cinta yang mengharu biru, seperti burung di dalam sangkar emas. Pas banget dengan syair lagu nostalgia; “Wanita dijajah pria sejak dulu/ Dijadikan perhiasan sangkar madu/Namun adakala pria takberdaya/Tekuk lutut di sudut kerling wanita.”

Si cantik Mano konon hanya dianggap sebagai property belaka oleh suaminya. Maka wajar ketika Mano ditanya oleh wartawan apakah suaminya akan merasa kehilangan dirinya, dia menjawab, “Mungkin kehilangan, tapi rasa kehilangannya seperti kehilangan sebuah mobil.”

Masih Banyak Manohara-Manohara yang Lain

Kasus kekerasan terhadap perempuan seperti yang dialami Manohara memang sudah terjadi sejak lama. Jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik yang terjadi dalam keluarga (KdRT, Kekerasan dalam Rumah Tangga), maupun dalam komunitas/lingkungan. Seperti dilansir Kominfo Newsroom (08-Maret-2009) bahwa pada 2008, mayoritas dari perempuan korban ekonomi dalam rumah tangga adalah para istri [sebanyak 6.800 kasus dari 46.884 kasus Kekerasan Terhadap Isteri (KTI)], sedangkan mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di bawah umur, sebanyak 469 kasus. (ini data kasus yang ditangani oleh lembaga pengada layanan semacam women’s crisis centre.)

Data tersebut belumlah menggambarkan jumlah yang sebenarnya, itu baru yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Apalagi, pada umumnya kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung ditutup-tutupi, baik oleh pelakunya maupun oleh korbannya. Mereka menganggap aib bila sampai diketahui oleh orang lain, apalagi kalau sampai ke pengadilan. Seperti gunung es, kasus yang terjadi di lapangan jumlahnya jauh lebih banyak dari data yang ada. Meski kasus kekerasan terhadap perempuan sudah banyak terjadi, bahkan mungkin ada di sekitar kita, tapi tidak sedikit perempuan korban kekerasan yang mandah menerima saja diperlakukan seperti itu.

Seperti yang terjadi dengan sahabat saya. Sejak pertama menikah, dialah yang harus menghidupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Suaminya pengangguran. Ironisnya, bukan berterima kasih kepada istrinya, ia malah berselingkuh dengan perempuan lain sampai ketahuan oleh istrinya. Bukan hanya itu, suaminya juga sempai berurusan dengan polisi karena percobaan tindak kriminal.

“Kenapa suamiku harus melakukan ini kepadaku saat cinta di hati ini mulai tumbuh untuknya.” Begitu jerit batin sahabatku.

Mereka memang baru kenal beberapa hari sebelum akhirnya menikah, maka wajar bila cinta tidak begitu saja hadir di hatinya. Butuh proses. Tapi sayangnya proses itu harus dinodai dengan perlakuan buruk suaminya. Entah karena terlanjur cinta, atau sebab lain, ia akhirnya tetap mencoba memepertahankan pernikahan dengan suami yang sudah membuat hatinya teriris perih.

Mungkin masih banyak perempuan lain yang sulit melepaskan belenggu cintanya meski sering menerima perlakukan buruk dari kekasih yang dicintainya itu. Saya ucapkan salut kepada Manohara yang berani melepaskan belenggu cintanya –saat cinta membuat sisi kemanusiaannya diinjak-injak oleh orang yang awalnya dia cintai. Dia rela, meski harus melepaskan segala kemewahan sebagai istri Pengeran Kerajaan Kelantan.

Masih banyak Manohara-Manohara yang lain. Tapi apakah mereka akan seberani Manohara Pinot dalam memperjuangkan kebahagiaan hidupnya saat cinta membelenggu dirinya dalam penderitaan, saat sisi kemanusiaannya tidak dianggap lagi sebagai manusia?@

Di Manakah Kebahagiaan Sejati?


Suatu hari, Panjul kehilangan anak kunci. Karena di dalam rumahnya gelap, ia keluar rumah untuk mencari anak kuncinya yang hilang. Di depan rumah ia mondar-mandir kesana-kemari untuk mencarinya.

Rahman, tetangganya yang kebetulan lewat di depan rumahnya sedikit bingung dengan tingkah Panjul yang agak ganjil seperti itu. Rahman pun menyapa Panjul, “Hai Panjul, kenapa kamu mondar-mandir seperti orang yang sedang mencari sesuatu?”

“Aku sedang mencari anak kunciku yang hilang.” Jawab Panjul masih mondar-mandir di tempat tersebut.

Merasa kasihan, Rahman pun turut membantu mencarikan anak kunci Panjul yang hilang. Namun setelah sekian lama mereka mencarinya, tidak kunjung menemukan. Rahman pun bertanya pada Panjul, “Sebenarnya kamu kehilangan kunci di mana?”

“Saya kehilangan kunci di dalam rumah.” jawab Panjul enteng.
“Tapi kenapa kamu mencarinya di luar?” tanya Rahman heran.
“Karena di dalam gelap, sedang di luar terang,” jawab Panjul masih dengan polosnya. @

Hikmah:
Kita sering mencari kebahagiaan di luar diri kita. Melihat rumput di kebun tetangga terasa lebih hijau daripada rumput di kebun sendiri. Kita pun terus terjebak untuk mengejar kabahagiaan semu di luar yang kita miliki. Mungkin harta, tahta, dsb. Padahal kebahagian sejati ada dalam diri kita. Tapi karena hati kita telah tertutup oleh silaunya dunia di luar sana, maka kebahagiaan sejati yang ada di dalam diri kita pun tidak nampak. @

Apakah Cinta Hanya Milik Insan yang Sempurna?



Saya punya seorang sahabat yang diuji oleh Allah dengan memiliki keterbatasan fisik. Dia lahir dengan hanya memiliki satu tangan. Ketika lulus SMP, karena suatu sebab kakinya mulai sulit dipakai untuk berjalan normal. Dia yang biasa berjalan dan berlari dengan bebas, harus berjalan menggunakan tongkat. Kalau bepergian jauh harus dibantu kursi roda. Kondisi fisiknya ini membuatnya harus puas bersekolah hingga SMP.

Namun ada satu semangat kuat yang terpancar dari dirinya, ia bercita-cita besar menjadi seorang penulis. Menjadi penulis memang tidak membutuhkan kerja fisik yang berat, sehingga sangat memungkinkan baginya untuk mewujudkan keinginannya itu selama dia terus belajar dan berusaha. Saya pun sering memotivasi dia untuk terus menulis setiap hari tentang apa pun yang dia pikirkan atau yang terlintas dalam pikirannya. Untuk melihat perkembangan kemampuannya dalam menulis, dia mengirimkan tulisan-tulisannya lewat surat ke alamat saya. Saya pun rajin membalas surat untuk mengomentari tulisan-tulisannya itu. Meski saya sadar kalau saya bukanlah siapa-siapa di dunia penulisan (mungkin belum layak mengomentari tulisan orang lain), tapi semoga kesediaan saya memberi masukan atas karya-karyanya ini akan terus memotivasi dia untuk mewujudkan cita-citanya sebagai seorang penulis.

Suatu saat dia menulis tentang bagaimana perasaannya kepada seorang pria yang memberi perhatian lebih hingga menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya. Namun ketika teringat kondisi fisiknya, keraguan seketika mengusik hatinya. “Pantaskah seorang yang cacat seperti saya jatuh cinta? Kalau pantas jatuh cinta, lalu bagaimana saya bisa meraih cinta ini?” tanyanya. Jujur, saya merasa kesulitan menjawab pertanyaannya ini. Saya paham bagaimana perasaannya terhadap pria itu. Seperti pungguk merindukan bulan. Jangankan orang yang memiliki keterbatasan fisik, orang normal pun kadang merasa minder kalau berhadapan dengan orang yang dia cintai.

“Bagi orang lain yang normal, mungkin mudah meraih cintanya. Tapi tidak bagi saya?”, tanyanya kembali di surat. Saya mencoba membalikkan pertanyaannya, “Benarkah setiap orang normal pasti mudah mendapatkan cintanya?” Jawabannya tidak. Karena rizki, jodoh dan ajal adalah rahasia Allah. Kita manusia lemah, tidak bisa menebak. Satu hal yang menurut kita tidak mungkin, menurut Allah mungkin dan mudah saja. Saya teringat dengan kisah Kang Ato, seorang jamaah Daarut Tauhiid yang kondisi fisiknya nyaris sulit difungsikan seperti manusia pada umumnya. Penyakit polio membuatnya lumpuh. Menurut logika manusia, sepertinya tidak mungkin ada wanita yang mau menikahi pria seperti itu. Tapi ternyata Allah mempertemukan jodoh seorang wanita shalihah untuknya. Subhanallah. Begitupun sebaliknya. Satu hal yang sepertinya mudah, bila Allah tidak berkehendak, pasti tidak akan terjadi. Nike Ardila dan Alda Risma terkenal sebagai artis cantik bersuara merdu dan memiliki banyak penggemar. Tapi sampai akhir hayatnya, ternyata Allah belum berkehendak mempertemukan jodohnya.

Cinta memang tidak bisa dilogika. Orang yang memiliki 10 kelebihan, bukan berarti lebih pantas dicintai daripada seorang yang mungkin hanya memiliki 5 kelebihan. Orang yang memiliki banyak kelebihan, mungkin mudah mendapatkan cintanya. Tapi orang yang dicintai karena kelebihan-kelebihannya saja, bisa jadi cinta kepadanya ini akan cepat luntur, saat satu per satu kekurangannya mulai terkuak. Tapi bila kita mampu menemukan orang yang mau mencintai kita meski dia tahu kekurangan kita, mungkin cinta seperti inilah yang akan kekal dan murni. Semakin lama cintanya akan terus bertumbuh saat kita mampu mengimbangi dengan ketulusan cinta kita. (Tapi memang tidak mudah mendapatkan cinta yang seperti ini) Yah, bukankah cinta itu “walaupun”, “bukan karena”? (Aku menyintaimu “bukan karena…..”, tapi aku menyintaimu “walaupun kau……”).

Jadi, apakah cinta hanya milik insan yang sempurna? Sedang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Kalau kita terlahir ke dunia dalam keadaan sempurna tanpa cela sedikit pun, mungkin kita tak butuh cinta lagi. Saya hanya bisa bilang, justru karena kita lemah, karena kita insan yang tidak sempurna, makanya kita butuh cinta. Agar kita bisa menemukan kekuatan dalam cinta, agar kita menjadi sempurna karena cinta. Saat kita menemukan orang yang kita cintai dan mencintai kita apa adanya, saat itulah kita akan merasa menjadi insan yang sempurna, atau setidaknya membuat kebahagiaan hidup kita menjadi sempurna.

Ada satu pesan bagus dari seorang sahabat yang mampir ke HP saya, katanya, “Kita lahir di dunia ini bukan untuk mencari orang sempurna untuk kita cintai, tapi untuk menyintai orang yang tidak sempurna dengan cinta yang sempurna.”@