Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Senin, November 28, 2011

Memilih atau Terpaksa Menjadi Ibu Rumah Tangga?




“Aku sekarang tinggal di Brebes, Mbak. Suami kerja di Bekasi. Habis bosen di rumah, gakda kerjaan. Paling ketemuan seminggu sekali, kadang suami yang ke Brebes atau aku yang ke Bekasi,” kata seorang adik tingkatku dulu di kampus tentang kabar terbarunya setelah menikah.

Dia baru beberapa bulan menikah, otomatis belum punya anak sehingga waktunya di rumah nyaris santai, hanya menunggu suami pulang kerja sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang relatif ringan. Akhirnya malah memilih pulang ke kampung halamannya. Wah, apa nggak bikin budget bulanan membengkak tuh?

“Aku pengen kerja lagi nih, Mbak. Bosen di rumah cuma nungguin suami pulang. Tapi nggak diizinin sama suami,” sms dari teman lain yang juga baru beberapa bulan menikah.

Saya sampai nggak habis pikir kalau ada yang bilang nggak ada kerjaan dan bosen di rumah. Pekerjaan rumahku perasaan nggak habis-habis, deh. Memasak kadang butuh waktu 1  ̶  2 jam, bersih-bersih rumah 1,5 jam. Mencuci baju butuh waktu setidaknya dua jam, tapi hanya dua atau tiga kali dalam seminggu, itu pun masih dibantu suami kalau dia libur. Mencuci piring paling 15 menit, tapi tidak cukup sehari sekali. Sisanya aktivitas pribadi, dari mulai shalat, mandi, dandan, nonton TV, makan, istirahat, dan lain-lain.

Menyetrika sering membutuhkan waktu minimal dua jam, kalau banyak bisa sampai tiga jam, tapi risikonya punggung langsung pegel-pegel. Tapi toh itu tidak setiap hari. Belum nyapu dan ngepel rumah, seharusnya setiap hari karena kalau tidak debu bakal luar biasa mengotori lantai. Maklum Cikarang cukup panas hingga debu lumayan banyak. Awal-awal menikah, saya juga nggak langsung mengasuh anak. Hanya seminggu sekali mengunjungi anak di pesantren (anak dari suami, tentunya). Meski rutinitas seperti itu terus berjalan setiap hari, rasanya saya nggak pernah bosen di rumah meski jarang keluar rumah. Seminggu sekali kadang pergi ke pasar, tapi lebih sering hanya membeli sayuran dari tukang sayur yang lewat di depan rumah. Sesekali mengunjungi tetangga yang sakit. Gimana mau keluar rumah, pekerjaan rumah saja rasanya nggak selesai-selesai. Kalau lagi kambuh rasa males buat ngerjain pekerjaan rumah, paling diisi dengan main internet.

Bedanya dengan mereka, saya punya pelampiasan mengisi waktu luang, yaitu menulis. Untung ada laptop yang menemaniku menuangkan pemikiran dan perasaan. Apalagi sebulan kemudian suami memasilitasi rumah dengan internet, jadi lebih berwarna deh hari-hariku di rumah. Aku bisa chatting-an dengan teman-teman lama, bisa mudah mengakses pekerjaanku (editan) ke pengorder, dan lain-lain.

Namun, lebih dari semua itu, pasti sangat berbeda perempuan yang “terpaksa menjadi ibu rumah tangga” karena tidak ada pilihan lain dengan perempuan yang “memilih menjadi ibu rumah tangga”.

#1 “Kalau sudah menikah ya tinggal di rumah, mau ngapain lagi. Cari kerja susah.”  Atau

#2 “Ya, gimana lagi, suami nggak ngizinin aku kerja.”

Begitu kata perempuan yang terpaksa menjadi ibu rumah tangga. Coba bandingkan dengan kata-kata ini.

#3 “Aku ingin mengoptimalkan peran sebagai ibu rumah tangga dengan baik, ingin menjadi ibu sepenuhnya buat anak-anak yang bisa setiap saat hadir ketika mereka membutuhkanku.” 

#4 “Aku ingin meraih surga dalam peranku sebagai ibu rumah tangga dan mengantarkan anak-anak menuju kesuksesan dunia-akhirat.” Serta berbagai alasan lain.

Pernyataan #1 dan #2 tentu nuansanya terasa berbeda dengan pernyataan #3 dan# 4. Bisa dibayangkan bagaimana booring-nya ibu rumah tangga #1 dan #2 dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Apalagi pekerjaan ibu rumah tangga banyak menyita aktivitas fisik dan kesabaran hati. Mengurus pekerjaan rumah dari mulai memasak, menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring dan baju, menyetrika, merapikan rumah. Semua butuh tenaga ekstra. Bagi perempuan yang tidak biasa mengerjakan semua itu pasti bakal ngedumel. Apalagi kalau suami ternyata tidak mau pengertian untuk turut berbagi meringankan pekerjaan rumah karena menganggap semua itu pekerjaan perempuan.

Namun, akan sangat berbeda bagi ibu rumah tangga #3 dan #4 yang memang menjadikan “ibu rumah tangga” sebagai pilihan hidupnya. Dia akan punya planning dan sasaran yang pasti tentang apa yang akan dilakukannya di rumah. Meski di rumah dan mengerjakan segala aktivitas yang bagi sebagian orang dianggap “pekerjaan pembantu” akan dilakukannya dengan ikhlas dan ringan karena di sanalah peluang surganya didapatkan. Dia akan rela menanggalkan titel kesarjanaan ataupun tawaran karir setinggi langit demi menjadi “ibu rumah tangga sepenuhnya” karena itulah “pilihan hidupnya”. Tentu semua itu akan menjadi lebih ringan dijalani bila didukung pengertian dari suami. Suami yang baik tidak akan membiarkan istrinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat di rumahnya sendiri. Apalagi kalau sudah ada anak. Mengurus anak saja sudah mengeluarkan energi dan waktu tersendiri. Hendaknya suami tahu mana yang bisa dilakukannya sendiri dan mana yang khusus dilakukan istri. 

Saya bersyukur dikaruniai kemampuan menulis sehingga tetap bisa berkreasi di rumah sambil tetap mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. Namun, bagi ibu rumah tangga lain yang mungkin merasa tidak berbakat menulis, bukan berarti tidak punya wadah untuk berkreasi. Kuncinya adalah KEMAUN UNTUK TERUS BELAJAR. Bagi ibu rumah tangga baru yang belum memiliki anak, aktivitasnya bisa diisi dengan belajar memasak, misalnya. Saya sendiri waktu awal-awal menikah belum mahir memasak. Waktu suami meminta saya masak untuk menjamu teman kantornya, saya harus menelepon kakak saya di kampung untuk minta resep membuat ayam goreng dan kluban (sayur urab). Itu pun masih butuh tenaga tambahan dari adik ipar. Meski perdana, alhamdulillah tidak mengecewakan suami.

“Masakan Mama sukses,” puji suamiku. “teman-teman Mas sampai habis banyak tuh makannya,” sambungnya.

Padahal ayam gorengnya masih terlalu keras, maklum ngegorengnya terlalu kering, kurang asin lagi. Mereka kan datang pas siang hari, ya pasti laparlah. Makanya habis banyak. Mau makanan apa saja pasti disikat.

Jujur, sebelum menikah, saya hanya bisa masak sayur tumis dan sayur sop. Hehehe …. Teman-teman dan saudara bahkan meragukan kemampuan saya dalam memasak. “Sudah bisa masak belum?” begitu selalu pertanyaan mereka begitu tahu saya sudah menikah. Setelah menikah, suami juga sering meminta dimasakin makanan tertentu, minta bikinin sayur asem, sayur lodeh, dan lain-lain. Setelah ada internet di rumah, saya tinggal tanya sama Mbah Google. Jadi deh. Mau masakan apa saja juga ada resepnya di google.

Bagi ibu muda yang sedang menunggu kelahiran anak juga bisa belajar banyak tentang mengurus bayi dan menangani balita, baik dari kursus-kursus atau dari buku bacaan. Sekarang banyak buku-buku tentang merawat bayi dan balita. Kalau ada internet di rumah, lebih mudah lagi, bisa tanya sama Mbah Google.

Intinya, tidak ada waktu luang yang percuma kok kalau kita mau kreatif memanfaatkan setiap detik demi detik di kehidupan kita, kuncinya itu tadi “KEMAUAN untuk terus BELAJAR”. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Begitu pun saat kita menikah. Pasti banyak hal yang belum kita ketahui dan pelajari dalam hidup berumah tangga. Itu sebabnya kita harus terus belajar. Belajar bisa dari mana saja, bisa dari bacaan, dari pengalaman orang lain, dari apa yang kita lihat di lingkungan, dan lain sebagainya. 

Membangun Ritme Hidup yang Berbeda 180

Kehidupan saya sebelum menikah boleh dibilang sangat berbeda 180 derajat dengan setelah menikah. Sejak kuliah saya terbiasa mengisi waktu dengan seabreg aktivitas selain kuliah, yaitu dengan berorganisasi di beberapa organisasi sekaligus, baik intra maupun ekstra kampus. Organisasi boleh dibilang sebagai kampus kedua bagi saya. Apalagi sejak didaulat sebagai ketua umum di suatu organisasi dan sebagai bendahara umum di organisasi lain dalam waktu bersamaan. Nyaris waktu saya habis di kampus. Kamar kos hanya sebagai tempat numpang tidur dan menyimpan barang-barang doang.

Begitu masuk dunia kerja, terutama sejak menjadi wartawati di sebuah media Islami di Bandung, waktu saya pun nyaris habis hanya untuk menulis dan menulis. Demi mengejar deadline tulisan, kadang saya sampai camping di kantor hingga pagi, baik dengan rekan-rekan kerja lain maupun sendiri. Habis shalat shubuh di kantor terus pulang buat istirahat sejenak. Pukul 10.00 atau 11.00 baru nongol lagi di kantor. Begitu seterusnya hingga kerjaan kelar. Hari Minggu pun kadang harus rela kerja kalau ada jadwal wawancara dengan nara sumber yang hanya punya waktu di hari Minggu. Hampir sebulan sekali keluar kota, terutama ke Jakarta, untuk mewawancarai nara sumber yang sebagaian besar berdomisili di Jakarta. Kadang sampai menginep 2  ̶  3 hari di sana. Pernah juga hingga ke Pangandaran untuk meliput tsunami, ke Jogja untuk meliput gempa, dan lain sebagainya. Boleh dibilang, pekerjaan wartawan memang tidak mengenal waktu. Harus siap 24 jam. Saya bahkan pernah mewawancarai Menteri Pertanian, Pak Anton Apriantono, pukul 06.00. Saat itu saya bahkan belum sempat mandi, hanya sikat gigian, ganti baju, dan semprot wewangian sedikit. Berangkat deh.

Setelah menjadi Senior Editor di sebuah penerbit buku, baru ritme hidup saya sedikit santai karena ruang kerjanya sudah "di kandang" sepenuhnya. Maksudnya selalu berada di kantor dan jarang keluar kota. Meski demikian, lembur-lembur kadang masih menyusupi hari-hari saya.

Saat ini, ketika status “Ibu Rumah Tangga” saya sandang, waktu saya justru hampir sepenuhnya dihabiskan di rumah. Keluar rumah hanya Sabtu-Minggu karena menunggu suami libur. Waktu masih lajang saya terbiasa kemana-mana sendiri, sekarang nggak enak rasanya kalau pergi-pergi tanpa didampingi suami. Begitu anak ikut dengan kami, baru saya lebih sering keluar rumah, tetapi untuk bermain bola dengan anak lelaki saya atau bermain sepeda dengannya keliling kampung.

Mungkin, bagi teman-teman yang tahu bagaimana kehidupan saya sebelum menikah, akan merasa heran dan bertanya-tanya, “Kok bisa?”, “Apa nggak sayang ilmu yang selama ini dimiliki kalau akhirnya hanya mengendap di rumah?”, “Apa nggak booring setiap hari di rumah?”. Begitu mungkin di antara sekian banyak pertanyaan yang keluar.

Bapak saya sendiri sempat protes waktu tahu saya sudah tidak bekerja lagi dan memilih tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga saja. “Dikuliahin tinggi-tinggi, dapat IPK bagus, kok cuma tinggal di rumah,” begitu protes Bapak.

Setiap insan pasti akan selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan dalam hidup, termasuk pilihan yang saya ambil sekarang. Setiap pilihan pasti akan menghadirkan risiko tertentu. Dengan ritme hidup yang berbeda memang membutuhkan penyesuaian-penyesuaian baru. Bagi saya, hidup adalah SEBUAH PROSES BELAJAR. Kalau sebelum menikah saya banyak belajar tentang segala hal di luar rumah, maka setelah menikah saya belajar tentang segala hal di dalam rumah. Bukankah hal ini justru membuat hidup saya menjadi seimbang? Alhamdulillah, proses belajar yang saya jalani ini tetap terasa ringan dengan didasari niat tulus untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga kecil saya yang saya cintai ini. Hingga detik ini saya tidak pernah merasa bosan tinggal di dalam rumah. Kalau sesekali harus menyesap rindu dengan suami saat dia di kantor, saya pikir itu wajar, toh tidak sampai membuat saya merasa kesepian. Justru rasa rindu ini yang akan semakin mengeratkan cinta kami. 

Bagi perempuan yang menjadikan “ibu rumah sebagai pilihan” berbahagialah karena insya Allah dari Andalah akan lahir generasi bangsa yang lebih baik dan berkarakter. Meski oleh sebagian orang “ibu rumah tangga” dianggap bukan pekerjaan yang “keren” dan “bergengsi”, tetapi insya Allah di hadapan Allah justru menjadi pekerjaan yang sangat mulia. Hampir tidak pernah terbayangkan sebelumnya saat kita kecil dulu untuk bercita-cita menjadi “ibu rumah tangga” bukan? Ketika seorang anak ditanya apa cita-citamu? Hampir semua bilang ingin jadi dokter, insinyur, wartawan, pilot, tentara, guru, ilmuwan, dan lain sebagainya. Hampir tidak ada yang menyatakan diri, “ingin menjadi ibu rumah tangga seperti ibuku”. Namun, bila kini hal itu menjadi pilihan kita, yakinlah bahwa kita telah memilihnya dengan tepat. Yakinlah bahwa “ibu rumah tangga” pun merupakan karir terbaik untuk kita. Di tangan ibu sejati masa depan seorang anak menjadi gemilang sehingga nasib bangsa pun menjadi lebih baik. Dari sebuah keluarga kecil dengan ketulusan seorang istri yang bersedia menyediakan waktu sepenuhnya untuk keluarga insya Allah kebahagiaan akan lebih dekat merasuk ke dalam sanubari penghuninya.

Bagi perempuan yang merasa terpaksa atau bahkan merasa “terjebak” sebagai ibu rumah tangga, mulailah ikhlas menerima hal itu sebagai pilihan yang mulia. Bagaimanapun di tangan seorang ibu yang siap sedia dan ikhlas mengemban amanah keibuan, insya Allah akan lahir keluarga yang harmonis dan anak-anak yang memiliki dunia keceriaan dengan penuh kehangatan kasih seorang ibu.

Bagaimanapun, memilih dengan keikhlasan akan lebih meringankan langkah kita ke depan dengan hasil yang lebih baik, daripada “terpaksa memilih”.

Salam hangat buat para ibu rumah tangga yang berbahagia, yang dengan kebahagiaannya akan menghangatkan rumah dengan tebaran kasih sayang.@