“Aku sekarang tinggal di Brebes, Mbak. Suami kerja di
Bekasi. Habis bosen di rumah, gakda kerjaan. Paling ketemuan seminggu sekali,
kadang suami yang ke Brebes atau aku yang ke Bekasi,” kata seorang adik
tingkatku dulu di kampus tentang kabar terbarunya setelah menikah.
Dia baru beberapa bulan menikah, otomatis belum punya anak
sehingga waktunya di rumah nyaris santai, hanya menunggu suami pulang kerja
sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang relatif ringan. Akhirnya malah memilih
pulang ke kampung halamannya. Wah, apa nggak bikin budget bulanan membengkak tuh?
“Aku pengen kerja lagi nih, Mbak. Bosen di rumah cuma
nungguin suami pulang. Tapi nggak diizinin sama suami,” sms dari teman lain yang
juga baru beberapa bulan menikah.
Saya sampai nggak habis pikir kalau ada yang bilang nggak
ada kerjaan dan bosen di rumah. Pekerjaan rumahku perasaan nggak habis-habis,
deh. Memasak kadang butuh waktu 1 ̶ 2 jam, bersih-bersih rumah 1,5 jam. Mencuci
baju butuh waktu setidaknya dua jam, tapi hanya dua atau tiga kali dalam
seminggu, itu pun masih dibantu suami kalau dia libur. Mencuci piring paling 15
menit, tapi tidak cukup sehari sekali. Sisanya aktivitas pribadi, dari mulai
shalat, mandi, dandan, nonton TV, makan, istirahat, dan lain-lain.
Menyetrika sering membutuhkan waktu minimal dua jam, kalau
banyak bisa sampai tiga jam, tapi risikonya punggung langsung pegel-pegel. Tapi
toh itu tidak setiap hari. Belum nyapu dan ngepel rumah, seharusnya setiap hari
karena kalau tidak debu bakal luar biasa mengotori lantai. Maklum Cikarang
cukup panas hingga debu lumayan banyak. Awal-awal menikah, saya juga nggak
langsung mengasuh anak. Hanya seminggu sekali mengunjungi anak di pesantren (anak
dari suami, tentunya). Meski rutinitas seperti itu terus berjalan setiap hari,
rasanya saya nggak pernah bosen di rumah meski jarang keluar rumah. Seminggu
sekali kadang pergi ke pasar, tapi lebih sering hanya membeli sayuran dari
tukang sayur yang lewat di depan rumah. Sesekali mengunjungi tetangga yang
sakit. Gimana mau keluar rumah, pekerjaan rumah saja rasanya nggak
selesai-selesai. Kalau lagi kambuh rasa males buat ngerjain pekerjaan rumah,
paling diisi dengan main internet.
Bedanya dengan mereka, saya punya pelampiasan mengisi waktu luang, yaitu menulis. Untung ada laptop yang menemaniku menuangkan pemikiran dan perasaan. Apalagi sebulan kemudian suami memasilitasi rumah dengan internet, jadi lebih berwarna deh hari-hariku di rumah. Aku bisa chatting-an dengan teman-teman lama, bisa mudah mengakses pekerjaanku (editan) ke pengorder, dan lain-lain.
Namun, lebih dari semua itu, pasti sangat berbeda perempuan
yang “terpaksa menjadi ibu rumah tangga” karena tidak ada pilihan lain dengan
perempuan yang “memilih menjadi ibu rumah tangga”.
#1 “Kalau sudah menikah ya tinggal di rumah, mau ngapain
lagi. Cari kerja susah.” Atau
#2 “Ya, gimana lagi, suami nggak ngizinin aku kerja.”
Begitu kata perempuan yang terpaksa menjadi ibu rumah
tangga. Coba bandingkan dengan kata-kata ini.
#3 “Aku ingin mengoptimalkan peran sebagai ibu rumah tangga
dengan baik, ingin menjadi ibu sepenuhnya buat anak-anak yang bisa setiap saat
hadir ketika mereka membutuhkanku.”
#4 “Aku ingin meraih surga dalam peranku sebagai ibu rumah
tangga dan mengantarkan anak-anak menuju kesuksesan dunia-akhirat.” Serta berbagai
alasan lain.
Pernyataan #1 dan #2 tentu nuansanya terasa berbeda dengan
pernyataan #3 dan# 4. Bisa dibayangkan bagaimana booring-nya ibu rumah tangga #1 dan #2 dalam menjalani aktivitasnya
sehari-hari. Apalagi pekerjaan ibu rumah tangga banyak menyita aktivitas fisik
dan kesabaran hati. Mengurus pekerjaan rumah dari mulai memasak, menyapu dan
mengepel lantai, mencuci piring dan baju, menyetrika, merapikan rumah. Semua
butuh tenaga ekstra. Bagi perempuan yang tidak biasa mengerjakan semua itu
pasti bakal ngedumel. Apalagi kalau suami ternyata tidak mau pengertian untuk
turut berbagi meringankan pekerjaan rumah karena menganggap semua itu pekerjaan
perempuan.
Namun, akan sangat berbeda bagi ibu rumah tangga #3 dan #4
yang memang menjadikan “ibu rumah tangga” sebagai pilihan hidupnya. Dia akan
punya planning dan sasaran yang pasti
tentang apa yang akan dilakukannya di rumah. Meski di rumah dan mengerjakan
segala aktivitas yang bagi sebagian orang dianggap “pekerjaan pembantu” akan
dilakukannya dengan ikhlas dan ringan karena di sanalah peluang surganya didapatkan.
Dia akan rela menanggalkan titel kesarjanaan ataupun tawaran karir setinggi
langit demi menjadi “ibu rumah tangga sepenuhnya” karena itulah “pilihan
hidupnya”. Tentu semua itu akan menjadi lebih ringan dijalani bila didukung
pengertian dari suami. Suami yang baik tidak akan membiarkan istrinya
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat di rumahnya sendiri. Apalagi kalau sudah
ada anak. Mengurus anak saja sudah mengeluarkan energi dan waktu tersendiri.
Hendaknya suami tahu mana yang bisa dilakukannya sendiri dan mana yang khusus
dilakukan istri.
Saya bersyukur dikaruniai kemampuan menulis sehingga tetap
bisa berkreasi di rumah sambil tetap mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah
lainnya. Namun, bagi ibu rumah tangga lain yang mungkin merasa tidak berbakat
menulis, bukan berarti tidak punya wadah untuk berkreasi. Kuncinya adalah KEMAUN
UNTUK TERUS BELAJAR. Bagi ibu rumah tangga baru yang belum memiliki anak,
aktivitasnya bisa diisi dengan belajar memasak, misalnya. Saya sendiri waktu
awal-awal menikah belum mahir memasak. Waktu suami meminta saya masak untuk
menjamu teman kantornya, saya harus menelepon kakak saya di kampung untuk minta resep membuat
ayam goreng dan kluban (sayur urab).
Itu pun masih butuh tenaga tambahan dari adik ipar. Meski perdana, alhamdulillah
tidak mengecewakan suami.
“Masakan Mama sukses,” puji suamiku. “teman-teman Mas sampai
habis banyak tuh makannya,” sambungnya.
Padahal ayam gorengnya masih terlalu keras, maklum
ngegorengnya terlalu kering, kurang asin lagi. Mereka kan datang pas siang
hari, ya pasti laparlah. Makanya habis banyak. Mau makanan apa saja pasti
disikat.
Jujur, sebelum menikah, saya hanya bisa masak sayur tumis
dan sayur sop. Hehehe …. Teman-teman dan saudara bahkan meragukan kemampuan
saya dalam memasak. “Sudah bisa masak belum?” begitu selalu pertanyaan mereka begitu
tahu saya sudah menikah. Setelah menikah, suami juga sering meminta dimasakin makanan
tertentu, minta bikinin sayur asem, sayur lodeh, dan lain-lain. Setelah ada
internet di rumah, saya tinggal tanya sama Mbah Google. Jadi deh. Mau masakan
apa saja juga ada resepnya di google.
Bagi ibu muda yang sedang menunggu kelahiran anak juga bisa
belajar banyak tentang mengurus bayi dan menangani balita, baik dari
kursus-kursus atau dari buku bacaan. Sekarang banyak buku-buku tentang merawat
bayi dan balita. Kalau ada internet di rumah, lebih mudah lagi, bisa tanya sama
Mbah Google.
Intinya, tidak ada waktu luang yang percuma kok kalau kita mau kreatif memanfaatkan setiap detik demi detik di kehidupan kita, kuncinya itu tadi “KEMAUAN untuk terus BELAJAR”. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Begitu pun saat kita menikah. Pasti banyak hal yang belum kita ketahui dan pelajari dalam hidup berumah tangga. Itu sebabnya kita harus terus belajar. Belajar bisa dari mana saja, bisa dari bacaan, dari pengalaman orang lain, dari apa yang kita lihat di lingkungan, dan lain sebagainya.
Membangun Ritme Hidup
yang Berbeda 180⁰
Kehidupan saya sebelum menikah boleh dibilang sangat berbeda
180 derajat dengan setelah menikah. Sejak kuliah saya terbiasa mengisi waktu
dengan seabreg aktivitas selain kuliah, yaitu dengan berorganisasi di beberapa
organisasi sekaligus, baik intra maupun ekstra kampus. Organisasi boleh dibilang
sebagai kampus kedua bagi saya. Apalagi sejak didaulat sebagai ketua umum di
suatu organisasi dan sebagai bendahara umum di organisasi lain dalam waktu
bersamaan. Nyaris waktu saya habis di kampus. Kamar kos hanya sebagai tempat
numpang tidur dan menyimpan barang-barang doang.
Begitu masuk dunia kerja, terutama sejak menjadi wartawati di
sebuah media Islami di Bandung, waktu saya pun nyaris habis hanya untuk menulis
dan menulis. Demi mengejar deadline
tulisan, kadang saya sampai camping di
kantor hingga pagi, baik dengan rekan-rekan kerja lain maupun sendiri. Habis
shalat shubuh di kantor terus pulang buat istirahat sejenak. Pukul 10.00 atau
11.00 baru nongol lagi di kantor. Begitu seterusnya hingga kerjaan kelar. Hari
Minggu pun kadang harus rela kerja kalau ada jadwal wawancara dengan nara
sumber yang hanya punya waktu di hari Minggu. Hampir sebulan sekali keluar
kota, terutama ke Jakarta, untuk mewawancarai nara sumber yang sebagaian besar
berdomisili di Jakarta. Kadang sampai menginep 2 ̶
3 hari di sana. Pernah juga hingga ke Pangandaran untuk meliput tsunami,
ke Jogja untuk meliput gempa, dan lain sebagainya. Boleh dibilang, pekerjaan
wartawan memang tidak mengenal waktu. Harus siap 24 jam. Saya bahkan pernah
mewawancarai Menteri Pertanian, Pak Anton Apriantono, pukul 06.00. Saat itu
saya bahkan belum sempat mandi, hanya sikat gigian, ganti baju, dan semprot
wewangian sedikit. Berangkat deh.
Setelah menjadi Senior Editor di sebuah penerbit buku, baru ritme hidup saya sedikit santai karena ruang kerjanya sudah "di kandang" sepenuhnya. Maksudnya selalu berada di kantor dan jarang keluar kota. Meski demikian, lembur-lembur kadang masih menyusupi hari-hari saya.
Setelah menjadi Senior Editor di sebuah penerbit buku, baru ritme hidup saya sedikit santai karena ruang kerjanya sudah "di kandang" sepenuhnya. Maksudnya selalu berada di kantor dan jarang keluar kota. Meski demikian, lembur-lembur kadang masih menyusupi hari-hari saya.
Saat ini, ketika status “Ibu Rumah Tangga” saya sandang,
waktu saya justru hampir sepenuhnya dihabiskan di rumah. Keluar rumah hanya Sabtu-Minggu
karena menunggu suami libur. Waktu masih lajang saya terbiasa kemana-mana
sendiri, sekarang nggak enak rasanya kalau pergi-pergi tanpa didampingi suami.
Begitu anak ikut dengan kami, baru saya lebih sering keluar rumah, tetapi untuk
bermain bola dengan anak lelaki saya atau bermain sepeda dengannya keliling
kampung.
Mungkin, bagi teman-teman yang tahu bagaimana kehidupan saya
sebelum menikah, akan merasa heran dan bertanya-tanya, “Kok bisa?”, “Apa nggak
sayang ilmu yang selama ini dimiliki kalau akhirnya hanya mengendap di rumah?”,
“Apa nggak booring setiap hari di
rumah?”. Begitu mungkin di antara sekian banyak pertanyaan yang keluar.
Bapak saya sendiri sempat protes waktu tahu saya sudah tidak
bekerja lagi dan memilih tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga saja.
“Dikuliahin tinggi-tinggi, dapat IPK bagus, kok cuma tinggal di rumah,” begitu
protes Bapak.
Setiap insan pasti akan selalu dihadapkan dengan berbagai
pilihan dalam hidup, termasuk pilihan yang saya ambil sekarang. Setiap pilihan
pasti akan menghadirkan risiko tertentu. Dengan ritme hidup yang berbeda memang
membutuhkan penyesuaian-penyesuaian baru. Bagi saya, hidup adalah SEBUAH PROSES
BELAJAR. Kalau sebelum menikah saya banyak belajar tentang segala hal di luar
rumah, maka setelah menikah saya belajar tentang segala hal di dalam rumah.
Bukankah hal ini justru membuat hidup saya menjadi seimbang? Alhamdulillah, proses
belajar yang saya jalani ini tetap terasa ringan dengan didasari niat tulus
untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga kecil saya yang saya cintai ini.
Hingga detik ini saya tidak pernah merasa bosan tinggal di dalam rumah. Kalau
sesekali harus menyesap rindu dengan suami saat dia di kantor, saya pikir itu
wajar, toh tidak sampai membuat saya merasa kesepian. Justru rasa rindu ini
yang akan semakin mengeratkan cinta kami.
Bagi perempuan yang menjadikan “ibu rumah sebagai pilihan”
berbahagialah karena insya Allah dari Andalah akan lahir generasi bangsa yang
lebih baik dan berkarakter. Meski oleh sebagian orang “ibu rumah tangga”
dianggap bukan pekerjaan yang “keren” dan “bergengsi”, tetapi insya Allah di
hadapan Allah justru menjadi pekerjaan yang sangat mulia. Hampir tidak pernah
terbayangkan sebelumnya saat kita kecil dulu untuk bercita-cita menjadi “ibu
rumah tangga” bukan? Ketika seorang anak ditanya apa cita-citamu? Hampir semua
bilang ingin jadi dokter, insinyur, wartawan, pilot, tentara, guru, ilmuwan,
dan lain sebagainya. Hampir tidak ada yang menyatakan diri, “ingin menjadi ibu
rumah tangga seperti ibuku”. Namun, bila kini hal itu menjadi pilihan kita,
yakinlah bahwa kita telah memilihnya dengan tepat. Yakinlah bahwa “ibu rumah
tangga” pun merupakan karir terbaik untuk kita. Di tangan ibu sejati masa depan
seorang anak menjadi gemilang sehingga nasib bangsa pun menjadi lebih baik.
Dari sebuah keluarga kecil dengan ketulusan seorang istri yang bersedia
menyediakan waktu sepenuhnya untuk keluarga insya Allah kebahagiaan akan lebih
dekat merasuk ke dalam sanubari penghuninya.
Bagi perempuan yang merasa terpaksa atau bahkan merasa “terjebak”
sebagai ibu rumah tangga, mulailah ikhlas menerima hal itu sebagai pilihan yang
mulia. Bagaimanapun di tangan seorang ibu yang siap sedia dan ikhlas mengemban
amanah keibuan, insya Allah akan lahir keluarga yang harmonis dan anak-anak
yang memiliki dunia keceriaan dengan penuh kehangatan kasih seorang ibu.
Bagaimanapun, memilih dengan keikhlasan akan lebih
meringankan langkah kita ke depan dengan hasil yang lebih baik, daripada
“terpaksa memilih”.
Salam hangat buat para ibu rumah tangga yang berbahagia,
yang dengan kebahagiaannya akan menghangatkan rumah dengan tebaran kasih
sayang.@