Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Desember 14, 2010

Kearifan Cinta




Kearifan cinta akan hadir;
Saat dicintai tidak membuat seseorang sombong dan berbangga diri,
lupa akan kekurangan dan ketidaksempurnaan kita sebagai manusia.
Saat tidak dicintai tidak membuat seseorang frustasi,
lalu tidak bisa melihat kelebihan dan potensi dirinya lagi.
Saat cinta merasuk dalam diri,
Seseorang tetap mampu mengendalikan cintanya, mampu menjauhkan diri dari dosa dan kemaksiatan.
Saat cinta berbenturan dengan kepentingan orang tua,
Seseorang tetap mampu mengompromikan dan menghormati orang tuanya,
Saat cinta terbelit permasalahan dengan orang lain,
Seseorang tetap mampu menghormati orang yang bermasalah.

Cinta itu resah, tetapi membahagiakan. Kearifan cinta akan kita dapatkan bila kita memiliki niat baik untuk sebuah cinta. Terkadang manusia terlalu egois untuk mengakui sebuah rasa cinta. Entah karena takut tidak terbalas cintanya atau karena memandang diri terlalu tinggi atau terlalu rendah. Lakukan cinta untuk cinta itu sendiri. Tidak usah resah untuk cinta yang tidak terbalas, tetapi resahkanlah bila di hati kita tidak ada rasa cinta. Bagaimanapun, dicintai dan mencintai adalah kebutuhan psikis manusia yang harus dipenuhi. Namun, ada hal yang lebih penting, yaitu kearifan. Dibalasnya cinta tidak harus menjadi tujuan, tetapi jadikanlah cinta sebagai jalan untuk mendewasakan diri kita, jalan untuk melatih kearifan diri.

Cinta bukan ambisi untuk sebuah kebanggaan. Cinta akan tampak kasar bila sudah dibumbui dengan ambisi, keegoisan, dan kabanggaan. Sebaliknya, cinta akan nampak lembut bila dihadirkan untuk meraih kebahagiaan, bukan untuk mengejar kebanggaan karena cinta sejati akan membuat seseorang lebih peka dengan perasaan orang yang dikasihinya.

Memang sangat tipis perbedaan antara kebahagiaan dan kebanggaan, bagai dua sisi mata uang. Kebanggaan kadang cenderung mengarah pada keinginan untuk ditampakkan di hadapan orang lain, tetapi kebahagiaan hanya bisa dirasakan di hati (orang lain tidak selamanya harus tahu). Maka dari itu, berhati-hatilah memainkan keduanya. Alih-alih ingin mengejar kebanggaan ternyata harus mengorbankan kebahagiaan.

Dalam soal cinta, harga diri seseorang bukan diukur dari dicintai atau tidak dirinya, bukan diukur oleh seberapa banyak orang yang mencintai, mengagumi, dan mengidolakannya, tetapi dari bagaimana dia dapat memperlakukan cinta secara arif. Pada akhirnya, Allah-lah penilai kemuliaan diri seseorang. Seseorang yang dikagumi dan dicintai banyak orang belum tentu mulia di hadapan Allah bila cara yang ditempuh keluar dari rel syariat. Sebaliknya, seseorang yang mungkin hina di hadapan manusia, bisa jadi begitu mulia di hadapan Allah. Wallahu’alam.

Seorang perempuan, dengan kecantikan, kepintaran, kemanjaan dan rayuannya mungkin bisa menaklukkan banyak pria. Begitupun seorang pria, dengan ketampanan, otak yang brilian, keperkasaan, kekayaan dan rayuannya, mungkin dapat menaklukkan banyak wanita. Akan tetapi, bila kita mau menelusuri sisi hati orang-orang yang tertaklukkan, semakin banyak yang berhasil ditaklukkan berarti banyak pula hati yang kecewa karena toh pada akhirnya hanya satu yang harus dipilihnya. Lalu, tegakah melukai sisi hati yang tersiksa? Di situlah kearifan seorang pecinta dituntut realisasinya.

Kelebihan dan potensi diri tersebut tentu bukan untuk ditampakkan di hadapan semua orang dengan kesombongan. Seorang yang arif akan mampu meleburkan diri dengan kelebihan dan kekurangannya secara adil, yaitu hanya di hadapan orang-orang yang memang layak mendapatkan kelebihan dirinya (pasangan hidupnya). Maka tumbuh suburkanlah cinta untuk sesama karena inilah jalan untuk dapat berbuat sesuatu bagi banyak orang dan jalan untuk mengikis egoisme pribadi. Namun, kendalikan cinta terhadap lawan jenis (cinta biologis) dan takutlah pada cinta yang menjerumuskan.

Dalam kegelisahan cinta, berdoalah, “Ya Allah, bahagiakan orang-orang yang pernah mencintaiku meskipun aku tidak pernah bisa mencintainya. Jangan siksa dia dengan perasaan cintanya. Bahagiakan pula orang-orang yang pernah aku cintai meskipun dia tidak pernah mencintaiku karena bagaimanapun dia telah mengenalkanku akan arti menjadi dewasa. Bahagiakan pula orang yang aku cintai dan mencintaiku. Satukan kami dalam rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah.” ***

Banyumas, 2001. 

Senin, Desember 13, 2010

Kaktus Jalanan





Dari para anak jalanan (anjal) inilah aku belajar tentang ketegaran hidup. Aku menganalogikan anjal ini sebagai kaktus. Pohon kaktus tidak membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya. Bahkan ia bisa hidup di lahan tandus, di atas pasir.


Salim, salah satu anak jalanan (anjal) binaanku sewaktu saya menjadi pengurus anjal adalah anak yang paling temperamental di antara anak-anak jalanan lain. Pertengkaran hampir setiap hari terjadi di antara anjal ini. Salim paling sering berkonflik dengan teman-temannya. Saling pukul dan menendang menjadi pemandangan harian bagiku. Salim yang bertubuh kecil dan paling muda di antara anjal lain, sering kalah tarung. Kalau sudah begitu dia pasti nangis lalu kabur dari rumah singgah dengan membanting pintu sekeras-kerasnya.

Teman-teman Salim sering memanggilnya “anak haram”. Meski aku sudah berulang kali memberi pengertian pada teman-teman Salim agar jangan memanggilnya demikian, tetapi tetap saja mereka melakukan itu. Menurut cerita ibu angkat Salim, Salim lahir di luar nikah. Saat melahirkan Salim, ibunya bahkan masih mengenakan seragam abu-abu putih khas anak SMA. Dia lari dari rumah ke Bandung karena malu dengan keadaan dirinya yang hamil tanpa suami dan tidak diketahui oleh keluarganya. Bayi merah yang lahir prematur sebesar lengan tangan orang dewasa ini diserahkan kepada seorang tukang becak yang mangkal di depan rumah sakit. Tukang becak inilah yang menjadi ayah angkat Salim sampai sekarang.

Kondisi ibunya Salim saat itu sangat mengenaskan, kehabisan banyak darah. Dia melahirkan tanpa dibantu dukun beranak atau tim medis lain. Di rok abu-abunya terlihat jelas darah bekas melahirkan yang masih menggumpal di sana. Lalu, orang tua angkat Salim membawa ibu muda itu ke rumah sakit untuk dirawat. Berat badan Salim yang kurang dari 2,5 kg membuatnya harus dirawat di inkubator. Semua biaya ditanggung oleh orang tua angkat Salim meski harus berutang ke sana kemari karena kondisi ekonomi mereka yang kekurangan.

Karena masalah ekonomi, orang tua Salim akhirnya mengais rezeki dari jalanan. Ibunya terlihat sering mengemis di alun-alun Bandung sedangkan bapaknya menjadi pemulung. Merekalah yang mengenalkan Salim pada dunia jalanan sejak dia bayi.

Kondisi Salim yang demikian membuatku merasa perlu memberikan perhatian ekstra dibanding kepada anak-anak jalanan lain binaanku. Ini sempat membuat anak-anak lain merasa iri dan mengatakan Salim sebagai anak kesayanganku. Naun, aku tidak peduli. Aku pikir, kalau anak-anak jalanan lain yang cenderung lebih baik tentu akan banyak orang lain yang mau menyayangi dan memberi perhatian pada mereka. Namun, pada Salim, kenakalannya yang luar biasa membuatnya dijauhi teman-temannya sesama anjal. Orang lain yang bukan anjal pun akan menjauhinya. Padahal aku yakin, setiap orang, sekasar apa pun dirinya pasti tetap membutuhkan kasih sayang dan perhatian, apalagi bagi anak kecil seumur Salim. Waktu itu umurnya baru sekitar sepuluh tahun.

Suatu hari aku mendapat kabar dari salah satu santri putra di pesantren tempatku menuntut ilmu kalau Salim ingin mengirimiku surat. Surat itu sudah dibungkus di dalam amplop putih. Dia menunjukkan surat itu kepada hampir setiap santri putra yang datang menemuinya. Salim selalu membuka surat yang sudah dilem itu kepada para santri untuk dibaca. Akhirnya dia harus berkali-kali membeli amplop. Tentu saja tingkahnya ini mengundang gelak tawa di kalangan santri putra. Di antara mereka bahkan ada yang ngeledek, “Salim! Teh Indah kan pacar Aa Hanif,” kata Hanif, salah satu santri di pesantren. Tanpa diduga, Salim marah dan langsung meninju perut Hanif dan menendang kakinya. Spontan Hanif menghindar. Untung Hanif sigap sehingga terhindar dari tendangannya.

 Aku tertawa geli mendengar cerita itu. “Emang apa isi suratnya?” tanyaku pada Ihsan, santri yang membawa cerita ini padaku.

“Isinya sih sederhana, cuma ingin menganggep Teh Indah sebagai kakaknya,” Ihsan menambahkan.

“Teh, ati-ati bersikap sama Salim. Meski dia anak kecil, tetapi pikirannya udah dewasa,” kata Ihsan kemudian.

Aku kembali ketawa, “Ah, aku biasa-biasa aja, kok. Itu kan karena Salim memang butuh perhatian. Maklum, anak seumur dia kan lagi haus kasih saying,” kataku spontan.

“Iya, Teh Indah sih biasa-biasa aja, tapi Salim nanggapinnya luar biasa,” seloroh Ihsan sambil ketawa.

Sampai sekarang, aku tidak pernah melihat langsung surat Salim yang tadinya ingin diberikan kepadaku. Mungkin keburu rusak karena berkali-kali disobek amplopnya, atau dia malu memberikan surat itu karena diledek sama anak-anak santri putra di pesantren. Kisah tragis Salim inilah yang menginspirasiku untuk membuat sebuah cerpen berjudul Salimku Sayang, Salimku Malang yang dimuat di Annida tahun 2004.

Dari para anjal inilah aku belajar tentang ketegaran hidup. Aku menganalogikan anjal ini sebagai kaktus. Pohon kaktus tidak membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya. Bahkan ia bisa hidup di lahan tandus, di atas pasir. Duri-duri kecilnya yang berwarna-warni mampu menambah keindahan tanaman hias ini, tetapi orang yang ingin menyentuhnya tentu harus berhati-hati, salain karena durinya dapat melukai, juga ada beberapa kaktus yang bisa mengeluarkan racun.


Anjal lahir dan besar di lingkungan yang keras, layaknya lahan yang tandus. Namun, hebatnya mereka tetap mampu survive, meski tanpa kasih sayang, ekonomi yang pas-pasan, dan minus secara religi. Padahal kasih sayang ibarat air kehidupan. Kekuatan dan ketangguhan mereka menjalani hidup membuat mereka nampak polos, lucu, dan menggemaskan, meski berteman dengan getirnya kehidupan. Mereka suka usil, sedikit nakal hingga membuat orang kadang harus berhati-hati ketika ingin mendekati mereka. Meski tidak semua anjal seperti itu.


Dalam realitas kehidupan, tidak sedikit anak-anak rumahan (memiliki rumah dan orang tua) yang harus menjalani hidup tanpa kasih sayang orang tua mereka. Bisa jadi karena kesibukan orang tua mencari nafkah atau adanya pergeseran tata nilai hidup yang lebih meterialis hingga akhirnya mereka merasakan kehidupan seperti anak-anak di panti asuhan. Andaikata mereka punya kekuatan sekuat pohon kaktus yang tetap mampu bertahan hidup meski di lahan tandus, mungkin tidak akan muncul anak-anak muda yang doyan narkoba. Fenomena kenakalan remaja bisa jadi lahir akibat broken home atau kurang perhatian orang tua karena kesibukan karier. Maka, bila Anda hidup di lahan tandus, jadilah pohon kaktus. ***




Rabu, Desember 01, 2010

Takmau Kufur Nikmat



 
Semua manusia pasti ingin menjalani kehidupan di dunia ini dengan lurus dan lancar seperti jalan tol; kecil dimanja, muda hura-hura dan mati masuk syurga. Namun, ternyata hidup tidak semulus itu. Takbisa kupungkiri, kadang aku merasakan pahitnya kehidupan dengan ujian yang menimpaku ini. Dengan kaca mata kelewat buram, aku melihat masa depanku begitu gelap. …….kadang aku merasa takkuasa lagi menapaki hari depanku, seolah kehidupanku akan berakhir sampai di sini. Hidup segan, mati pun takmau.

Kadang sempat pula terpikir tentang kematian. Bagaimana kalau aku mati? Apa yang akan terjadi setelah kematianku? Di kuburan pasti gelap dan sepi tanpa teman. Sedang di dunia, meski harus menghadapi kenyataan pahit, tetapi setidaknya aku masih bisa ngobrol dan curhat sama teman. Yah, kematian lebih sederhana memang, tinggal bagaimana pertanggungjawaban si mati dengan Sang Khalik, tetapi berani hidup berarti harus menghadapi segala rintangan dan problematikanya. Siap menghadapi cacian dan makian, siap merasakan kepahitan, nestapa dan tangisan. Akan tetapi, akhirnya aku memilih untuk berani hidup, meski apa pun yang terjadi.

Setelah sekian tahun bergelut dengan masalahku ini, ternyata aku tetap baik-baik saja. Mungkin inilah jalan yang Allah tetapkan buatku. Skenario Allah tidak mungkin salah, Allah tidak mungkin dzalim kepada hamba-hamba-Nya. Aku mencoba flasback ke masa kecilku. Sedari kecil aku biasa dimanja oleh orang tua lalu merasa kalah dalam hidup ketika problem semakin bertambah seiring bertambahnya bilangan umurku. Menangis sudah sering aku lakukan, semantara teman curhat yang tepat belum aku temukan. Aku hanya mampu curhat lewat buku harian. Aku bersyukur masih punya Tuhan sehingga lewat tahajudlah aku tumpahkan segala kepenatan dan kepedihan hatiku.

Seiring berjalannya sang waktu, aku terus menggali hikmah dari perjalanan hidupku hingga sampai pada suatu kesadaran bahwa ternyata problematika kehidupan adalah bagian dari cara Allah men-tarbiyah diriku, mendidik diri ini menjadi pribadi yang tangguh, pantang mengeluh. Tidak aku pungkiri, dulu memang pernah sedikit menyesali mengapa aku dibesarkan oleh orang tua dengan kemanjaan sementara aku sadar kalau ternyata kemanjaan tidak pernah membantuku menyelesaikan masalah. Kini aku tidak lagi menyalahkan orang tua. Semua manusia tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi orang tuanya dan anak pun tidak bisa memesan akan dididik dengan cara seperti apa. Orang tua memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan kasih sayang dan mendidik anak-anaknya. Begitupun Allah, Dia akan men-tarbiyah hamba-Nya dengan cara-Nya. Ujian hidup bagiku adalah bagian dari cara Allah men-tarbiyah diriku sekaligus mengukur kualitas dan ketakwaanku kepada Allah Swt.

Nikmat mana lagi yang akan aku dustakan? Mengingat hal ini, kadang air mataku mengalir. Sedihku bukan lagi karena kemelut hidup, tetapi karena menghitung segala nikmat Allah Swt. yang belum mampu aku syukuri.Mungkin itulah sifat dasar manusia, ketika diberi nikmat tidak pernah berfikir, "Mengapa aku mendapatkan kenikmatan ini? Pantaskan aku mendapatkan kenikmatan ini?" Namun, ketika mendapatkan kepedihan dan ujian hidup, langsung bertanya, "Mengapa aku harus menerima semua ini? Apa dosaku sehingga aku mendapatkan semua kepedihan dan ujian hidup ini?"

Dalam keheningan aku berdoa, “Ya Allah, begitu banyak nikmat yang telah Engkau limpahkan kepada hamba yang belum mampu hamba syukuri. Bahkan hamba selama ini terlalu sibuk menyesali diri, seolah keadilan-Mu tidak berpihak kepada diri ini. Na’udzubillahi min dzalik. Padahal dibandingkan dengan kenikmatan dari-Mu, ujian yang Engkau berikan jauh lebih sedikit. Engkau baru menguji hamba dengan 1-10 ujian, padahal nikmat-Mu telah bermilyar-milyar Engkau limpahkan. Ampuni hamba ya Allah! Hamba tidak mau menjadi kufur terhadap nikmat-Mu.” Amin. @@@

Terkadang (bahkan sering) kita mengeluh untuk hal-hal yang seharusnya kita syukuri. Coba lihat gambar-gambar di bawah ini …


Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
(QS Al Baqarah, 2: 152)

hayooo....sapa yang ga doyan sayur??
Dan diberinya kamu rezeki yang baik-baik agar kamu bersyukur. (QS Al Anfal, 8 : 26)
beruntunglah kita msh bisa pake sandal atau sepatu buatan pabrik mskipun bulan merek terkenal
Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah
disyukuri. (QS Al Insan, 76 : 22)
gemuk itu sehat jeng, hehehehehe...
Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku
bersyukur atau kufur (QS An Naml, 27 : 40)

harusnya seneng dunk bisa maen terus!!!
Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-
nyebutnya (dengan bersyukur). (QS Adh Dhuha, 93: 11)
beruntungnya kita masih punya orangtua
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan,
dan hati, supaya kamu bersyukur. (QS An Nahl, 16 : 78)


Bagaimana kamu mengkufuri (tidak mensyukuri nikmat) Allah, padahal tadinya
kamu tiada, lalu kamu dihidupkan, kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan
kembali. (QS A1Baqarah, 2 : 28)

Semoga gambar-gambar tersebut bisa mengingatkan pada kita agar selalu bersyukur atas nikmat dan rahmat yang telah diberikan oleh Allah, meskipun nikmat itu sangat kecil.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
*dari berbagai sumber

Selasa, November 30, 2010

Asap Rokok Kandung 4.000 Zat Kimia Berbahaya



Aku  paling sebel sama yang namanya asap rokok. Apalagi kalo lagi di angkutan umum ada orang yang seenaknya merokok tanpa peduli apakah orang di sekitarnya terganggu dengan asap rokok yang mereka keluarkan atau tidak. Udah gitu kalau ditegur sering malah marah, seolah itu kendaraan pribadi mereka sendiri sehingga mereka bebas melakukan apa saja, termasuk merokok sembarangan.

Pas baca artikel ini semoga membuka kesadaran para perokok untuk tidak menyebarkan racun rokok ke orang-orang di sekitarnya. Kita berhak untuk mendapatkan suasana bersih dan sehat di sekitar kita, jangan kotori dnegan rokok kalian.

Yogyakarta (ANTARA) - Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 zat kimia berbahaya seperti karbon monoksida, sianida, uap fosfor, uap senyawa belerang, dan uap hasil pembakaran zat tambahan, kata mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kartono Muhammad.

"Bahaya asap rokok 10 kali lebih besar daripada zat `ter` dalam rokok," katanya pada lokakarya Menuju Kawasan Tanpa Rokok 100 Persen di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di Asri Medical Center (AMC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin.

Oleh karena itu, menurut dia, asap rokok lebih membahayakan perokok pasif daripada perokok aktif. Dalam asap rokok kadarnya beberapa kali lebih besar dibanding yang diserap oleh perokok aktif.

"Dalam satu batang rokok mengandung sekitar 1,5 persen nikotin. Endapan asap rokok yang berupa hasil pembakaran nikotin mudah melekat di benda-benda dalam ruangan, dan bisa bertahan sampai lebih dari tiga tahun, dan tetap berbahaya," katanya.

Advisor Indonesia Institute Social for Development Sudibyo Markus mengatakan Indonesia merupakan konsumen rokok peringkat tiga terbesar di dunia setelah China dan India.

Menurut dia, sekitar 240 miliar batang rokok telah dihisap oleh 240 juta penduduk Indonesia. Tingginya jumlah perokok tersebut disebabkan masih rendahnya kesadaran mengenai bahaya nikotin dalam rokok.
Selain itu, juga masih adanya anggapan di kalangan masyarakat bahwa rokok adalah warisan budaya. Anggapan tersebut membuat sebagian besar masyarakat enggan untuk meninggalkan kebiasaan merokok.

"Kondisi itu ditambah dengan iklan-iklan di media yang menganggap bahwa merokok adalah gaul, modern, dan jantan," katanya.

Rektor UMY Dasron Hamid mengatakan aturan mengenai larangan merokok penting diterapkan di ruang-ruang publik, karena asap rokok berbahaya bagi kesehatan manusia.

"Aturan tersebut diharapkan dapat diimplementasikan di ruang-ruang publik terutama sekolah, kampus, dan kantor. Dengan adanya aturan itu diharapkan nanti seluruh ruang publik bisa benar-benar 100 persen bebas rokok," katanya.

Senin, November 29, 2010

Kearifan di Balik Arung Jeram


Berarung jeram bareng kru MQ Media di Situ Cileunca, Pangalengan.
  

Hanya orang-orang yang berani mengarungi terjalnya kehidupanlah, yang tidak akan ngeri lagi dengan kemelut hidup. Maka arungilah hidup ini, meski jeram dan batu cadas menghadang di depan.

Arung jeram, bagiku adalah sebuah olah raga yang tampaknya sangat mengerikan. Sang pemain harus bisa menaklukkan arus yang deras, jeram yang curam, batu-batu besar dan tajam di sana-sini yang siap menghantam tubuh sang pemain. Hanya orang-orang yang menyukai tantangan yang berani melakukannya.

Namun, alhamdulillah Allah Swt. pernah memberi saya kesempatan untuk mencoba menikmati olah raga ini. Awalnya memang ada rasa ngeri. Tapi setelah dijalani, ternyata mengasyikkan juga, bahkan membuatku ketagihan. “Rahasia agar bisa mengapung di air dengan selamat adalah tenang, jangan panik. Karena kalau panik, malah akan tenggelam,” bagitu sang pelatih memberi pembekalan pada kami saat memulai pelajaran mangapung di air dengan mengenakan baju pelampung sebelum melakukan arung jeram.

Saya tetap merasa khawatir, karena nggak bisa renang. “Terus terang saya nggak bisa renang, tapi asal kita paham dan mau mematuhi aturan yang ada, insya Allah selamat. Tapi kita juga jangan merasa sombong, merasa pasti bisa. Jadi tetaplah menggantungkan harapan keselamatan hanya pada Allah,” kata sang pelatih memberi kayakinan pada kami.

Setelah dijelaskan segala safety procedure yang ada, satu per satu kami pun mulai turun sungai. Saat tiba giliranku masuk sungai di air yang dalamnya setinggi leher, aku mulai mengangkat satu kaki, kemudian dua kaki, mulailah mengapung. Sesaat kemudian aku seperti mau tenggelam. Teringat pesan pelatih, maka aku coba menenangkan hati, mencoba keluar dari kepanikan. Dan alhamdulillah sampai juga di batas akhir pemberhentian. Di sana telah menunggu pelatih lain yang siap dengan tali bantu untuk kami naik.

Selesai pembekalan mengapung di air, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Arung jeram. Kami naik perahu karet bertujuh, enam orang peserta duduk di lantai (dasar) perahu karet dan seorang pelatih sebagai pemandu duduk di bibir perahu bagian belakang. Sesekali ia berdiri. Pemandu inilah yang menjadi nahkoda kapal, kapan kami harus mengayunkan dayung dan kapan berhenti mengayun. Perahu karet kami terus berlayar mengikuti arus air sungai.

“Ayun!”, seru pemandu di belakang.

“Berhenti!”, serunya kemudian.

Rupanya di depan kami ada jeram kecil, di sekitarnya tampak batu-batu besar menyembul dari permukaan air.

“aa…uu…!”, kami menjerit antara rasa ngeri dan girang. Ini petualangan baru, kapan lagi bisa menjerit lepas selain di sini.

“Ayun!”, kembali pemandu memberi aba-aba saat arus mulai tenang. “Lebih keras lagi!”.

Selesai melakukan arung jeram, tangan mulai terasa pegal. Rasa capek, panas terik matahari yang membakar muka, dan basah kuyup seluruh tubuh, tidak kami hiraukan. Kepuasan di sisi hati lebih mampu menghapus semua keluh kesah itu. Apalagi karena kami sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Hari itu saya bukan sekadar mendapat pengalaman baru tentang olah raga arung jeram, tapi sekaligus dapat pelajaran hidup. Ternyata banyak rahasia alam yang harus dipelajari untuk mengarungi segala ciptaan Allah. Gunung, lembah, laut, sungai besar, jeram curam, dsb. bisa ditaklukkan asal kita tahu ilmunya. "Maka nikmat Allah manakah yang akan engkau dustakan?" (QS Ar Rahman)

Tapi lebih penting dari itu semua adalah insigh-nya. Kadang persoalan hidup hadir di hadapan kita, lalu kita merasa takut dan ngeri karena yang terbayang di benak kita adalah kesulitan dan kesedihan. Sedang kita tidak mau merasakan semua itu. Anehnya lagi, kadang manusia suka mendramatisir masalah. Sehingga masalah yang dihadapi terasa semakin berat.

Namun, bagi seorang petualang, dia malah akan tertantang untuk menaklukkannya. Lalu, berguru pada seorang alim yang akan memandunya pada tujuan hidup yang sebenarnya. Dia hadapi segala persoalan hidup dengan terus belajar dan mengolahnya menjadi sebuah perjalanan penuh hikmah. Kadang dia harus terus mengayun dayungnya, memompa semangatnya. Namun, kadang harus berhenti mendayung, saat arus yang dilalui tenang.

Untuk menjalani dan menapaki kehidupan perlu kiranya seperti orang yang ingin mengapung di air dengan selamat, yaitu memiliki jiwa yang tenang tanpa kesombongan karena sang pengapung tidak tahu akan selamatkah dia nanti sebelum benar-benar sampai di daratan. Tentu harus terus mengingat Allah sebagai penguat keimanan. Kita juga tidak akan bisa melihat kesuksesan seseorang kecuali kalau ia meninggal dunia, apakah khusnul khatimah atau su’ul khatimah. Kalau dia khusnul khatimah maka berarti sukses.

Seorang yang berarung jeram tidak harus mereka yang pandai berenang asal paham aturan main dan mau mengikutinya. Begitupun dalam kehidupan, keselamatan bukan mutlak milik mereka yang bertitel, berharta atau segala atribut lain. Asal mampu menjalani aturan-aturan Allah, insya Allah selamat.

Persoalan hidup sering membuat pemiliknya merasa capek, lelah dan getir. Namun, bila dia telah mampu menaklukkan persoalan hidupnya, kepuasan akan lebih mampu memenuhi rongga hatinya. Apalagi bila semua itu justru bermuara pada penemuan cinta kepada Yang Esa, yaitu Allah Swt. Wallahu’alam. @@











Minggu, November 28, 2010

Video Erupsi Merapi




Tidak sabar rasanya ingin segera berbagi dengan pembaca blogku tentang hasil jalan-jalan di Merapi.

Alhamdulillah saya bisa kembali dengan selamat dan tiba di Bandung setelah dua hari tinggal dengan para pengungsi penduduk Merapi. Kebetulan saya punya seorang sahabat yang tinggal di Ngampel-Sengi, Kecamatan Ndukun, Kabupaten Magelang, sekitar 8 km dari Merapi. Bersilaturahmi sekaligus jalan-jalan mengelilingi Merapi membawa banyak hikmah. Salah satu oleh-olehnya saya upload hasil yang ada sebagai oleh-oleh utama, yaitu video erupsi Merapi yang terjadi hari Rabu, 3 November 2010. Gambar ini diambil oleh sahabat saya, Winarno, penduduk asli Merapi yang lahir dan besar di sana sehingga sangat mengenal Merapi secara mendalam.

Boleh dibilang hari Rabu itulah awal mula Merapi bergejolak. Saat gambar tersebut diambil sekitar pukul 10 atau 11 siang. Warga Ngampel-Sengi masih sedikit santai (meski tetap terselip rasa khawatir) karena awan panas Merapi bergerak ke arah Selatan kampung mereka. Sore harinya, sekitar pukul empat sore, Merapi semakin bergejolak mengeluarkan awan panas "wedus gembel" sehingga membuat penduduk panik dan mulai turun gunung menuju tempat yang dirasa aman. Penduduk Desa Ngampel yang berada 8 km dari Merapi turun ke desa yang berkisar 13 km dari Merapi. Dua hari berikutnya menjadi masa yang sangat menegangkan sekaligus menakutkan, puncaknya malam Jumat tanggal 5 November 2010 pukul 24.00 wib. Gemuruh Merapi sangat jelas terdengar seperti gemuruhnya suara kereta. Gemuruh ini dirasa lebih besar dan terasa lebih mencekam dibanding amuk Merapi sebelum-sebelumnya, bahkan hingga beberapa tahun ke belakang saat Merapi pernah mengamuk dan mengeluarkan aksinya.

Penduduk Ngampel-Sengi bahkan harus turun lagi ke tempat lebih aman karena status aman Merapi terus meluas dari 10 km bertambah menjadi 15 km, bahkan lebih luas lagi hingga 20 km dari Merapi. Sampai akhirnya mereka mengungsi di radius 25 km dari Merapi yang dianggap sebagai status aman. Hal ini tentu bukan perkara mudah. "Amuk Merapi" ini hampir selalu terjadi pada malam hari hingga mereka pun pernah turun gunung pada pukul 00.00 untuk menghindari bencana akibat Merapi ini. Kondisi ini terjadi pada malam Jumat tanggal 5 November 2010. VIVAnews.com. bahkan menyebut letusan Gunung Merapi yang terjadi pada 5 November dini hari ini sebagai letusan terhebat. Letusan itu membuat abu vulkanik menyebar hingga ke Bandung. Bahkan, pada pukul 01.10, lava pijar sempat keluar dari Merapi. Lava pijar ini mengarah ke barat menuju Kali Kuning, Kali Gendol dan sebagian ke Kali Woro. Lava juga mengalir ke arah timur.

Korban tewas bencana Gunung Merapi hingga hari Kamis (11/11/2010) mencapai 198 orang. Sedangkan 303.233 warga Merapi menjadi pengungsi. Demikian data yang diberikan Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam pesan singkat yang diterima, Kamis (11/11/2010) yang dilansir oleh VIVAnews.com. Korban terbanyak terdapat di kampungnya Mbak Marijan, Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Total korban Merapi yang tewas dengan rincian di Sleman 163 orang, Magelang 17 orang, Boyolali 3 orang, dan Klaten 15 orang.

Semoga bencana ini menjadi pelajaran kehidupan terbaik bagi kita, baik untuk yang mengalaminya maupun tidak. Hidup hanya sementara, tinggal bagaimana kita memperbanyak amal ibadah kita kepada Allah Swt. Wallahu'alam.@

Jembatan Sungai Tlingsing, desa Ngampel-Sengi, Ndukun-Magelang sebelum erupsi Merapi 2010. Tampak indah dan anggun dengan pemandangan hijau di sekelilingnya.


Jembatan Sungai Tlingsing pascaerupsi Merapi 2010. Lahar dingin mengaliri atas jembatan, bahkan dua batu sebesar kerbau dengan seenaknya nongkrong di tengah-tengah jembatan. Pembatas/pagar jembatan di samping kanan-kirinya sampai hilang diterjang lahar dingin Merapi. DAHSYAT!

Jembatan Sungai Tlingsing saat lahar dingin surut. Dalam kondisi normal seharusnya air mengalir di bawah jembatan.



Orang-orang kampung Ngampel-Sengi sedang bergotong-royong menyingkirkan dua batu besar yang menghalangi jalan di jembatan tersebut


Kamis, November 25, 2010

Berita dari Pengungsian Merapi #2


Suasana sepi kampung Ngampel-Sengi, Ndukun-Magelang (radius 8 km Merapi) saat ditinggal mengungsi para penghuninya.

Meski penduduk sekitar Merapi sudah terbiasa dengan suara gemuruhnya Merapi saat sedang beraksi, tetapi gemuruh kali ini terasa sangat berbeda. Winarno yang sudah sejak lahir dan besar di wilayah Merapi (kampungnya berada pada radius 8 km dari Merapi), tetap merasa merinding, ada rasa takut yang tiba-tiba menyengat sekujur tubuhnya begitu gemuruh itu muncul. Begitu pun istrinya yang sejak dinikahinya lebih dari sepuluh tahun lalu sudah diboyong ke sebuah kampung yang cukup asri di tepian Merapi. Namun, keindahan dan keasrian kampung ini bisa sewaktu-waktu bisa menjadi mencekam, bahkan seolah mengancam nyawa setaip penghuninya. Ancaman besar itu datang dari mana lagi kalau bukan dari Merapi.

Saat saya datang bersilaturahmi ke tempat pengungsiannya di kompleks Perumahan Prayudan, sekitar 25 km dari Merapi, istri Winarno sudah kembali ke kampung halamannya di desa Ngampel-Sengi, Ndukun, Magelang. Rupanya masyarakat sekitar Merapi sudah menganggap aman dan yakin Merapi tidak berulah lagi sehingga berani kembali ke rumah masing-masing. Namun, para pengungsi resmi yang dikondisikan oleh pemerintah (baik di barak-barak pengungsian atau tempat-tempat umum lain yang disediakan khusus) belum diizinkan pulang. Status Merapi saat itu masih ditetapkan dalam kondisi “AWAS” oleh pemerintah.

Jalanan kampung masih dipenuhi debu vulkanik Merapi.
Jalanan yang sudah dibersihkan dari debu, Debu-debu vulkanik Merapi disisihkan di penggir-pinggir jalan.
Tanaman rusak akibat erupsi Merapi, lahar dingin sempat menyapu habis lahan ini.

Keesokan harinya, Sabtu, 20 Nopember 2010, pagi hari, saya berkesempatan mengunjungi kampung halaman mereka. Sepanjang jalan menuju kampung Ngampel-Sengi hampir seperti kota mati. Tanaman-tanaman sayuran dataran tinggi sebagai mata pendaharian utama mereka kering terkena sapuan awan panas. Debu-debu Merapi masih menghiasi segala yang terhampar di Bumi mereka. Konon ceritanya kondisi ini sudah lebih baik karena sudah terguyur hujan beberapa hari terakhir. Terbayang bagaimana kondisi awal kampung-kampung tersebut saat pertama tersapu awan panas atau tertutup debu vulkanik yang begitu tebal. 

Saat gemuruh pertama datang terasa mencekam hari Rabu, 3 Nopember 2010. Beberapa penduduk ada yang turun ke km 13 dari Merapi, mencari tempat yang dirasa aman. Hampir semua penduduk kampung turun ke bawah tanpa komando dengan tujuan berbeda-beda. Ada yang ikut tidur di malam hari di barak pengungsian, di sekolahan, di masjid, di kantor kecamatan, dan lain-lain. Saat pagi menjelang mereka kembali ke rumah masing-masing. Malam Kamis masih seperti itu hingga malam Jumat tanggal 5 Nopember 2010 menjadi malam yang benar-benar mencekam. Gemuruh Merapi terasa sangat dahsyat. Kondisi ini menuntut para pengungsi mencari titik paling aman yang ditetapkan pemerintah, yaitu 20 km dari Merapi. Winarno beserta keluarganya pun mengungsi secara resmi (bukan sekadar ikut tidur) di kompleks perumahan yang dihuni Buliknya, yaitu Perum Prayudan. Dengan mengendari dua motor, satu motor diisi oleh tiga orang. Suami-istri yang memiliki seorang putri ini membawa serta kedua orang tuanya dan tetangganya. Mereka harus melintasi jalanan yang lumayan licin akibat sisa-sisa debu Merapi dalam gelapnya malam. Apalagi lampu listrik sengaja dimatikan oleh PLN. Pada saat yang sama orang lain pun sibuk mengungsi.

Terbayang bagaimana paniknya penduduk sekitar Merapi pada hari-hari itu. Tidur malam tidak pernah lelap karena takut ancaman Merapi dengan keluarnya lahar dingin, siang hari terkadang muncul ancaman wedus gembel. Antara satu tetangga dengan tetangga lain tidak saling tahu mengungsi di mana, semua sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Sampai kemudian mereka sepakat untuk mengungsi di tempat yang sama, Perum Prayudan. Alhamdulillah, di tempat ini segala fasilitasnya jauh lebih memadai dibandingkan bila mengungsi di barak atau di tempat-tempat umum yang disediakan oleh pemerintah. Hanya saja, risikonya mereka harus mencari dana secara swadaya. Karena itulah pihak tuan rumah kemudian membentuk kepanitiaan untuk mengurus sekitar 400-an orang pengungsi di kompleks mereka. Panitia ini kemudian menjalin kerja sama dengan berbagai LSM yang khusus menangani korban Merapi atau mencari para dinatur dari kenalan-kenalan mereka, termasuk bantuan dana, sarana dan prasarana dari penghuni kompleks tersebut. Mereka juga tetap mengajukan bantuan logistic untuk para pengungsi kepada pemerintah setempat karena bagaimana pun hal ini sebenarnya tanggung jawab pemerintah. Meski jumlah bantuan dari pemerintah jauh dari memadai, tetapi tetap mereka syukuri. Toh mereka tidak hanya menerima bantuan dari satu sumber.

Secara pribadi saya merasa salut dengan kesigapan dan kerjasama yang baik para penghuni kompleks yang begitu peduli dengan para pengungsi korban erupsi Merapi. Mereka bukan hanya rela menyumbangkan harta mereka jutaan rupiah untuk para pengungsi yang jumlahnya tidak sedikit, tetapi juga rela meminjamkan rumah mereka meski dengan risiko pintu rusak, meja makan yang terbuat dari kaca menjadi pecah. Namun, mereka tidak merasa kapok membantu para pengungsi ini. Apalagi mereka yang didaulat menjadi panitia untuk mengurusi para pengungsi ini, seolah tidak bisa tidur nyenyak sebelum para pengungsi dipastikan semua sehat, mendapat jatah makan layak, menerima bantuan sesuai kebutuhan mereka.
Suasana di pengungsian di kompleks Bumi Prayudan, Magelang.
Para korban Merapi saat menerima bantuan dari LSM.


Subhanallah. Bila banyak warga yang begitu peduli dengan sesamanya saat kesusahan seperti ini, mungkin musibah sebesar apa pun akan lebih terasa ringan. Memang, tidak semua pengungsi merasakan kenikmatan seperti mereka. Namun, kisah yang segelintir ini semoga menginspirasi banyak orang untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik dari mereka untuk sesamanya. Mereka bergerak dan berbuat tanpa menunggu instruksi dari pihak lain, apalagi pemerintah. Semua digerakkan oleh rasa kemanusiaan yang dalam atas dasar keimanan kepada Allah Swt.  @

Rabu, November 24, 2010

Berita dari Pengungsian Merapi #1

 
Ketika mendengar berita Merapi bergolak kembali saya langsung teringat dengan sahabat lama saya sesama kru Tabloid MQ, hanya saja dia koresponden untuk wilayah Jogjakarta dan sekitarnya. Sebenarnya saya jarang bertemu dia, kalau dihitung mungkin hanya dua kali, saat dia berkunjung ke Bandung, ke kantor Tabloid MQ dan saat saya dan beberapa rekan kru Tabloid MQ meliput kondisi pascagempa Jogja tahun 2006 lalu.

Meski jarang bertemu, bukan berarti tidak harus peduli dengan penderitaan dia dan orang-orang di kampungnya saat Merapi kembali beraksi. Winarno, sahabat saya ini lahir dan besar di Magelang hingga menikah dan punya anak. Wajar jika dia sudah sangat akrab dan mengenal betul dengan Merapi dan segala tingkahnya.

“Biasanya saat Merapi beraksi orang-orang sibuk turun ke bawah mencri tempat aman, tapi saya malah asyik mengambil gambar Merapi beraksi,” kata Winarno yang hobi fotografi dan Merapi sering menjadi objek favoritnya.

“Tapi aksi Merapi kali ini membuat saya takut dan trauma bukan main. Mendengar dero motor saja sudah membuat jantungku bedebar keras seolah mendengar gemuruh Merapi saat beraksi,” lanjut Winarno yang selama ini dikenal tegar dan kuat menghadapi segala “kenakalan” Merapi.

Yah, aksi Merapi 2010 ini memang terasa berbeda, bukan hanya dirasakan oleh Winarno yang usianya baru sekitar 35 tahunan. Seorang bapak yang tinggal di sebuah desa Stabelan, radius 5 km dari Merapi pun mengungkapkan hal yang sama. “Merapi sekarang beda dari tahun-tahun kemarin. Biasanya seminggu beraksi sudah reda. Sekarang, sudah lebih dari dua minggu masih belum ada kepastian kapan akan berhenti,” ungkap seorang bapak yang saya temui di dekat lahannya saat kembali dari mengungsi.

Usia bapak ini sekitar 65 tahunan. Dia asli kampung ini, lahir dan besar di dekat Merapi. Seperti halnya Winarno, dia pun sudah mengenal Merapi. Ternyata dia pun mengalami ketakutan dan debaran yang sama dengan penduduk kampungnya, apalagi kampungnya lebih dekat dibanding kampungnya Winarno. Sudah lebih dari dua minggu dia mengungsi beserta orang-orang di kampungnya ke tempat yang lebih aman. Setelah peristiwa meninggalnya Mbah Marijan pada 26 Oktober 2010, banyak masyarakat kampung sekitar Merapi yang mengungsi karena status "Awas" Merapi yang belum juga turun.

Baru sekitar dua hari sebelumnya (18-19 Nopember 2010)  dia bisa naik lagi menengok rumah dan lahannya. Biasanya dia naik ke kampungnya mulai pagi hari untuk mengurus ternak dan melihat-lihat sawahnya atau membersihkan rumah. Mulai siang hari sekitar pukul 14.00 atau menjelang asar dia kembali ke barak pengungsian. Tidak semua orang kampungnya pulang kembali ke kampung saat pagi hingga siang hari, hanya beberapa orang saja. Suasana kampung yang berbatasan dengan Boyolali ini pun sepi, hampir seperti kota mati. Apalagi debu vulkanik sisa-sisa hujan debu Merapi masih melekat di setiap bagian kampung, dari mulai jalanan aspal, halaman rumah, atap rumah, dan sebagainya. Mungkin karena hujan sudah banyak mengguyur kampung ini, debu-debu di jalanan aspal sudah tidak begitu tebal, tetapi masih tampak sisa-sisanya sehingga membuat jalanan licin. Suasana seperti ini juga didaptkan di Desa Trinjing yang berjarak 4 km dari Merapi.

Desa Trinjing, kampung tertinggi di ujung Merapi, sekitar 4 km dari Merapi. Di desa ini pula pos pemantauan didirikan. Namun, saat penulis berkunjung ke sana petugas pos pemantau Merapi sudah tidak berada di tempat karena daerah ini sebenarnya sudah disterilkan dan tidak boleh dikunjungi bahkan oleh penduduk desa ini sekalipun. Mereka sudah mengungsi, tetapi sesekali masih berkunjung ke desanya.

Bila berjalan lebih tinggi ke radius 4 km dari Merapi di atas kampung Belang Selo-Boyolali yang berbatasan dengan Magelang tersebut, jalanan aspal masih digenangi debu Merapi yang tebalnya sekitar 5 cm. Saya yang dibonceng sahabat saya dengan mengendarai motor pun sempat jatuh karena oleng akibat jalanan yang licin oleh debu Merapi. Sepanjang jalanan di kampung ini benar-benar masih dipenuhi debu, bahkan pada radius 2 km dari Merapi suasana hampir seperti kota salju yang seluruhnya putih, hanya saja putihnya bukan karena salju, tetapi karena debu yang begitu tebal.

Bila ingin aman, masker harus selalu kita kenakan, kaca mata pelindung dan helm pun harus dipakai. Tentu saja pakain harus serba tertutup memakai baju lengan panjang dan celana panjang. Bila perlu memakai kaus tangan dan sepatu bot. Saya yang waktu itu tidak mengenakan kaus tangan dan sepatu bot harus menikmati setiap debu yang menempel di tangan dan kaki hingga membuat kulit terasa begitu kering. Meski sudah dicuci dengan air (yang juga sedikit berbau debu Merapi) tetap terasa kering kecuali setelah memakai hand-body lotion. Bagi masyarakat sekitar mungkin sudah terbiasa sehingga tidak berpengaruh, tetapi bagi saya yang baru menginjakkan kaki di lereng Merapi ini, debu ini sungguh mengganggu. Meski saya memakai kaus kaki dan sepatu pendek, tetap saja debu masuk kaki saya. Sepatu saya yang berwarna hitam pun berubah menjadi putih tertutup abu.
Di perkampungan dengan radius 2 km dari Merapi debu yang melekat bisa setebal ini. Di jalanan aspal saja tebalnya bisa mencapai 5 cm, apalagi di atap rumah.

Bukan hanya debu yang mengganggu, bau belerang pun mulai terasa pada radius 4 km dari Merapi, baunya semakin menyengat pada radius 2 km Merapi, di Kampung Belang-Tlogolele, Boyolali (perbatasan Magelang).

Bantuan untuk Para Pengungsi

Bencana seperti apa pun bentuknya tidak ada yang mengenakkan, begitupun bencana amuknya Merapi ini. Selain banyaknya korban meninggal, juga banyak yang terbakar terkena hembusan awan panas “wedus gembel”. Bila yang terbakar sekujur tubuh tentu pemulihannya butuh waktu  lama. Meski biaya pengobatan ditanggung pemerintah, tetapi menanggung derita terbakar seperti itu tentu bukan main penderitaannnya. Siapa pun pasti tidak ingin mengalaminya. Tentang bagaimana ganasnya akibat “pembakaran” Merapi ini di tubuh manusia bisa membaca kisah Maryoto.

Menangani ratusan ribu pengungsi akibat erupsi Merapi saja bukan hal yang mudah. Mulai dari mencarikan tempat yang aman dari radius 15 – 20 km dari Merapi, membuat tempat tinggal sementara (barak) atau menampung di tempat luas yang bisa menampung banyak orang juga bukan hal yang mudah. Bila mereka mengungsi di tempat-tempat umum, seperti GOR, sekolahan, barak-barak, pasti butuh tempat MCK (Mandi, Cuci, Kakus) yang banyak. Ini berarti butuh banyak sarana air bersih. Selain untuk bersih-bersih, mereka juga butuh air untuk minum dan makanan siap saji. Sebenarnya bisa saja diberikan mekanan mentah, mereka toh bisa masak sendiri, tetapi tentu harus ada sarana untuk memasaknya.

Para penduduk Ngampel-Sengi, Kecamatan Ndukun, Kabupaten Magelang, sekitar 8 km dari Merapi berjalan menjauhi Merapi untuk menghindari amuknya.

Mereka berjalan kaki dari malam dini hari (Kamis, 4 Nopember 2010 pk. 00.00) menuju km 25 dari Merapi. Tidak ada kendaraan yang mengangkut mereka. Hingga pagi sekitar pk. 08.00 mereka belum sampai di lokasi tujuan.

Pengalaman Winarno yang waktu itu mengungsi dengan penduduk kampungnya bahkan sampai harus berpindah tempat hingga empat kali, dari 8 km Merapi (kampungnya) pindah ke 13 km desa di bawahnya, lalu ke 15 km, 20 km, sampai akhirnya pindah ke 25 km dari Merapi. Dia dan penduduk kampungnya pernah tinggal di barak pengungsian yang bocor ketika hari hujan, hawa dingin menyusup dari celah-celah tenda barak begitu terasa, apalagi bila malam menjelang. Sedangkan mereka tinggal di barak atau pengungsian lebih sering pada malam hari. Mulai pagi hingga siang hari biasanya mereka kembali ke kampungnya. Ada yang ikut tinggal di rumah saudaranya yang aman dari batas “AWAS” Merapi. Memang tinggal di rumah orang lain (bukan di posko pengungsian resmi yang disediakan pemerintah) relatif nyaman dari segi fasilitas, seperti air bersih, tempat tinggal, dan sebagainya. Akan tetapi, risikonya mereka tidak mendapat bantuan dari pemerintah untuk biaya makan dan lain-lainnya. Begitu pun ketika ada dana swadaya masyarakat yang memberikan bantuan tentu tidak akan sampai ke tangan mereka kerena tidak semua masyarakat tahu dia pengungsi Merapi.

Hal ini pun pernah dialami Winarno dan orang-orang sekampungnya. Winarno dan keluarganya (orang tua, anak, dan istrinya) pada awalnya hanya ikut di rumah saudaranya (Bu liknya) yang berjarak 25 km dari Merapi. Namun, warga desanya yang lain ternyata ingin ikut ke tempat Winarno mengungsi yang berada di perumahan yang tergolong elit di Megelang (Perum Prayudan). Akhirnya Winarno meminta izin kepada warga kompleks Bu liknya untuk mengizinkan mereka tinggal di masjid kompleks mereka. Malah ada yang berbaik hati meminjamkan rumah mereka yang masih kosong. Akhirnya sekitar 300 warga pengungsi tinggal di kompleks perumahan tersebut tinggal dalam beberapa rumah. Satu rumah ada yang dihuni 30 – 40 orang. Buliknya beserta beberapa warga kompleks pun membuat kepanitiaan untuk mengurusi sekitar 300-warga. Mereka harus mencari nasi rames untuk makan malam sekitar 300-an warga tersebut. Ketua panitia membagi-bagi tugas membuat rames itu kepada beberapa rumah di kompleks tersebut. Ternyata pada malam harinya bertambah lagi sekitar seratus pengungsi dari kampung Ndukun (tempat tinggal Winarno). Penitia pun sempat sedikit kalang kabut untuk mencari seratus nasi bungkus tambahan dalam waktu singkat. Namun, subhanallah, ketika nasi yang terkumpul dibagikan ke semua warga pengungsi, ternyata bisa cukup, bahkan lebih beberapa bungkus. Ternyata, ada orang yang mengaku dari kota mengirimkan rames seratus bungkus, pas sesuai kekurangan yang mereka butuhkan. Ketika orang yang menerima nasi itu dikorfirmasi siapa yang memberikan nasi tersebut, dia mengaku tidak mengenalnya, “Dia cuma bilang dari kota”. Subhanallah. Pertolongan Allah benar-benar tidak disangka-sangka datang dari sisi mana pun.
Masyarakat kampung Ngampel-Sengi, Kecamatan Ndukun,  Kabupaten Magelang setelah sampai tujuan, mendapat tempat tinggal layak dan bantuan logistik. Namun, semua ini swadaya masyarakat.

Tempat tinggal enak, setidaknya lebih enak dibandingkan para pengungsi yang tinggal di barak-barak atau di GOR dan tempat-tempat umum lain. Akan tetapi, panitia harus ekstra keras mencari bantuan ke sana-kemari untuk memenuhi kebutuhan sekitar 400-an warga pengungsi, terutama kebutuhan logistik. Winarno, herus berperan ganda, sebagai pengungsi sekaligus relawan yang mencari bantuan untuk semua warga yang mengungsi bersamanya. Dia sudah melaporkan ke pemerintah jumlah pengungsi dan kebutuhannya. Akhirnya mengucur dana bantuan dari pemerintah Rp 4.500.-/orang pengungsi setiap hari. Tentu saja dana ini tidak cukup. Panitia terus mencari dana swadaya, selain dari warga kompleks, juga dari kenalan-kenalan Winarno atau penitia lain di beberapa kota lain.

Tinggal di perumahan elit ternyata bukan berarti hidup tanpa masalah. Bagi masyarakat kampung yang tidak terbiasa dengan peralatan mahal ternyata menimbulkan masalah dan cerita lucu tersendiri. Ada rumah yang kamar mandinya “tidak biasa” dalam pandangan mereka. Ketika seseorang masuk kamar mandi, pintu langsung terkunci. Karena terburu-buru seseorang masuk tanpa tahu bagaimana membuka pintu tersebut. Ketika selesai menunaikan hajatnya di kamar mandi dan hendak membuka pintu , dia bingung bagaimana membuka pintu tersebut. Sementara pintu tersebut hanya bisa dibuka dari dalam. Karena tidak ada cara lain, pemilik rumah pun menginstruksikan untuk membobol pintu itu.

Ada lagi peristiwa di dapur yang membuat “kelucuan” dan sedikit  kekacauan. Meja dapur rumah itu terbuat dari kaca. Ketika salah seorang pengungsi di tempat tersebut selesai memasak, seperti kebiasaan dia di rumah, langsung menaruh panci di meja. Dalam kondisi panas, panci pun ditaruh di atas meja kaca tersebut. Bisa ditebak apa yang terjadi. BRAK! Kaca pun pecah. Padahal, pasti meja kaca itu tidak murah harganya. Panitia di kompleks itu pun harus mengganti kaca meja tersebut. Lucu dan menggelikan. Begitulah hidup dengan banyak orang dan aneka kebiasaan yang berbeda-beda.

Sebuah Ironi

Ada yang peduli, ada juga yang memanfaatkan keadaan. Bukan berita baru bila para pengungsi ini ada yang kehilangan hewan ternaknya saat mereka mengungsi. Kalau hewan ternak mati pasti ada bangkainya. Ini, sama sekali nggak ada tanda-tanda matinya binatang tersebut.

“Kok tega ya, mengambil barang milik pengungsi?!” Padahal, mereka sudah sangat menderita dengan musibah Merapi yang menimpa mereka. Seharusnya bencana ini memberikan pelajaran bahwa hidup di dunia hanya sementara sehingga amal kebajikanlah yang harus selalu kita tanam sepanjang hari. Harta benda sebanyak apa pun tidak ada yang kita bawa. Eh…lha kok malah “nyolong” alias mencuri. Entah siapa yang mencuri, apakah warga kampung itu sendiri atau dari luar. Ada yang bilang, mereka mengaku “relawan” yang ingin mengamankan hewan ternak warga. Lha kok dibawa kabur. Na’udzubillahi min dzalik.

Ada juga tingkah warga yang serakah. Memang mereka berhak dengan bantuan dari berbagai pihak, dari pakaian baru hingga pakaian bekas layak pakai, sembako, dan sebagainya. Ada saja pengungsi yang serakah ingin menguasai sendiri. Datang ke posko mengatasnamakan beberapa orang di kelompok ngungsinya untuk meminta bantuan, dari mulai sembako maupun baju layak pakai. Beberapa kali meminta selalu dikasih oleh petugas posko. Saat salah seorang anggota kelompoknya yang lain mengajukan bantuan yang sama (ini benar-benar butuh), petugas di posko mengecek catatan dan ternyata bantuan untuk kelompok tersebut sudah tersalurkan. Otomatis tidak bisa mengambil jatah yang sudah diberikan. Usut punya usut, orang pertama yang meminta bantuan ke posko tidak menyampaikan (membagikannya) kepada anggotanya yang lain, tetapi malah dibawa pulang ke rumah pribadinya. Padahal, saat saya lihat rumahnya, lumayan bagus. Lebih bagus dari rumah-rumah tetangganya. Boleh dibilang dia termasuk keluarga berpunya di lingkungannya.

Saat orang lain sibuk mengumpulkan harta pribadinya untuk membantu para korban Merapi, ternyata ada segelintir orang (bahkan korbannya) yang malah mengumpulkan hasil bantuan tersebut untuk kepentingan pribadinya. Inilah ironisme yang memprihatinkan. Ternyata kaya dan miskin bukan soal uang, tetapi soal “paradigm berfikir”. Seorang anak SD kelas 1 dari keluarga berekonomi lemah bisa jadi lebih kaya dibanding “Bapak pengungsi” tadi. Nun jauh dari Merapi, seperti yang saya lihat pada tayangan TV swasta, ada seorang anak SD berekonomi lemah yang memiliki keinginan kuat untuk membantu para korban Merapi. Subhanallah.

Di sudut salah satu sungai yang biasa dialiri lahar dingin Merapi sudah mulai dilakukan penambangan pasir oleh orang luar Merapi saat para penduduk asli Merapi sibuk mengungsi dan menyelamatkan jiwa mereka. Seharusnya ini menjadi hak para masyarakat sekitar Merapi. Setidaknya bisa menjadi mata pencaharian mereka selama lahan pertanian mereka belum pulih dan bisa ditanami kembali. Padahal, mata pencaharian mereka selama ini kebanyakan dari bertani dan beternak. Bila lahan hancur akibat Merapi, tentu butuh waktu lama untuk memulihkannya kembali. Minimal sekitar enam bulan ke depan. Namun, bila mata pencaharian alternatif pun “dilahap” pihak luar Merapi, bagaimana dengan nasib mereka? Inilah yang menjadi pemikiran sahabat saya Winarno melihat nasib orang-orang kampungnya pascaerupsi Merapi.

Kondisi sungai yang dialiri lahar dingin Merapi.
Kerusakan tanaman akibat erupsi Merapi. Seharusnya sudah siap panen, tapi gagal panen karena tersirami debu vulkanik yang begitu tebal. Ada juga beberapa tanaman yang benar-benar kering akibat tersapu awan panas "wedus gembel"
Kita hanya bisa berharap semoga Merapi bisa kembali bersahabat dengan warga di sekitarnya dan kehidupan mereka pulih seperti sedia kala. Amiiin.@

Penulis (Indah) saat meliput dan napak tilas kegiatan Merapi di Bendungan/Dam Senowo.

Winarno, penduduk asli Merapi saat menemani penulis berkeliling Merapi.