Beberapa teman memintaku untuk menulis proses perkenalanku dengan seorang
pria hingga dia menjadi suamiku. Mungkin karena dianggap aneh, “Kenalan
via BLOG kok bisa sampai nikah?”
Biasanya orang berkenalan
via
jejaring sosial, seperti Facebook atau yang lainnya, atau
chatting via YM, dll. Tapi kami berkenalan dan menjadi semakin
dekat justru melalui penelusuran tulisan-tulisan kami di blog kami
masing-masing. Belum lagi proses perkenalan kami hingga ke nikah hanya
membutuhkan waktu satu bulan. Aneh atau tidak, tapi itulah realitasnya.
Mungkin karena prosesnya yang begitu cepat itulah
membuat saya sendiri kadang masih nggak percaya kalau saya sudah menikah. Akhir
tahun 2010 masih lajang, tahun baru 2011 sudah berstatus sebagai istri.
Setelah beberapa kali membuat tulisan ini dengan
beberapa kali edit ulang, akhirnya tulisan ini kelar juga. Bisa jadi inilah
tulisanku yang terlama prosesnya. Butuh waktu berbulan-bulan. Prolog beberapa
kali diganti karena merasa nggak sreg.
Iseng
Nge-Blog
Tulisan-tulisan lamaku yang pernah dimuat sebuah media Islami di Bandung ketika
saya menjadi wartawati di sana teronggok di folder kamarku. Mau diapain? Dibuat
kliping? Hanya bisa dinikmati diri sendiri. Sejak pensiun sebagai wartawati,
penaku seakan tumpul. Sesekali saya menulis buku, tetapi tidak cukup. Banyak
yang ingin dituangkan melalui tulisan dengan tema bebas tanpa dibayangi
tuntutan laku/tidak secara komersil dan bakal dibaca banyak orang atau tidak.
Biasanya saya menulis di buku harian (sejak SMP hingga perguruan tinggi),
tetapi kini rasanya sudah tidak relevan lagi. Sampai akhirnya saya menemukan
cara jitu dan efektif menuangkan pemikiran, yaitu melalui blog. Sejak tahun
2009 saya memulai debut penulisan melalui blog. Tidak pernah terpikir apakah nanti
tulisanku bakal dibaca orang atau tidak. Asal saya punya tempat untuk
menuangkan pikiran dan perasaan, cukuplah.
Satu-dua sahabat
off line yang
sama-sama mengelola blog saling mengunjungi dan mengomentari tulisan kami
masing-masing. Respons dari orang lain inilah yang membuat saya semakin
semangat menulis sampai akhirnya banyak juga pembaca
on line yang sama sekali tidak saya kenal sebelumnya. Ketika ada
sabahat
on line yang mengaku
merasakan manfaat dari tulisan-tulisanku, semangat menulis pun kian membubung
tinggi meski sama sekali tidak mendapatkan rupiah apalagi dolar dari kegiatan
menulis ini. Saya sudah cukup senang karena tulisan saya dibaca orang dan
bermanfaat.
Meskipun tidak terlalu aktif, tetapi saya usahakan untuk memosting tulisan
minimal satu bulan satu tulisan. Kadang saya mengambil dari tulisan-tulisan
lamaku yang pernah dimuat di media massa tempatku bekerja dulu.
Sekali Bertemu untuk Menikah
Akhir tahun 2010, tepatnya awal Desember, ada seorang pembaca yang sangat
aktif mengomentari tulisan-tulisanku. Bukan hanya postingan baru, postingan
lawas pun dikomentarinya. Bahkan, hampir semua tulisanku di blog dia komentari.
Ini orang gila bener. Tulisan-tulisanku
di blog dibaca semua kali, yah? Batinku. Padahal tulisanku di blog ini
sudah lumayan banyak, lebih dari 60 tulisan. Penasaran.
Siapa sebenarnya dia? Kok mau-maunya menghabiskan waktu buat membaca
hampir semua tulisanku di blog.
Tidak lama berselang, ada
email
masuk ke
inbox-ku. Rupanya dari
komentator teraktif di blog-ku. Tidak langsung mengajak kenalan, tetapi meminta
kesediaanku untuk berdiskusi soal tulisan-tulisan.
Mengulas tentang tulisan, siapa takut? Siapa tahu saya akan
mendapat masukan tentang tulisan-tulisan di blog-ku.
Rupanya dia hobi nulis juga. Aku baca juga blog miliknya
“Catatan Salwangga”. Tulisan-tulisannya lumayan enak dibaca. Tema keseharian yang cukup
segar. Banyak mengulas tentang pengalaman sehari-harinya bersama anak-anak dan
istrinya.
Hmm, seorang ayah yang baik dan
suami yang cukup bertangggung jawab. Itu kesanku dari membaca
tulisan-tulisannya di blog.
Selain itu, kayaknya
nih orang lumayan kocak juga. Batinku. Ternyata, mempelajari kepribadian
seseorang bisa melalui penelusuran pemikiran dan perasaan yang ditulis
seseorang. Mungkin itu juga yang dia pelajari dari tulisan-tulisanku di blog
pribadiku.
Selain saling menikmati tulisan di blog dan berdiskusi melalui
email, kami pun berkomunikasi
via chatting
YM. Alhamdulillah, kemunikasi kami lancar. Salah satu tulisan hasil
chatting-an kami bisa dibaca pada
tulisan berjudul
“Adaku Bersama Adamu, Adamu Bersama Adaku”.
Dari bicara soal tulisan, obrolan kami kemudian berlanjut hingga curhat
masalah pribadi. Nuansa kepedihan tampak begitu lekat di benaknya. Rupanya dia
baru kehilangan istrinya yang meninggal karena sakit dua bulan sebelumnya,
yaitu Oktober 2010. Sebagai sahabat (meski belum lama kenal), saya mencoba
untuk men-
support dia semampuku.
Tidak puas hanya berkomunikasi
via
dunia maya, seminggu kemudian dia mengajak bertemu. Entah mengapa saya mau saja
diajak bertemu muka, padahal sebelum-sebelumnya saya lumayan selektif untuk
masuk lebih jauh dalam kehidupan orang yang baru dikenal, apalagi dengan
makhluk bernama cowok.
Kami terpisah di dua kota, Bandung dan Bekasi. Pulang kerja dia langsung
meluncur ke Bandung. Karena memakai kereta malam dan sampai di Bandung di atas
pukul 23.00 wib., kami baru bisa bertemu keesokan paginya di penginapan dekat
stasiun.
Sederhana dan apa adanya. Itulah kesan yang aku tangkap dari caranya
berpenampilan. Kami ngobrol-ngobrol sambil sarapan pagi di warung dekat stasiun
Bandung. Meski masih terasa canggung dan kaku pada awal pertemuan kami, tetapi
saya merasa nyaman saja bersamanya.
Usai sarapan kami pergi ke sentra buku murah di Palasari Bandung, kebetulan
ada buku yang sedang dia cari. Dia berhasil mengantongi buku yang dicari, saya
pun dapat hadiah buku darinya. Kami melepas lelah dan haus di warung penjual es
kelapa muda. Hm…mak nyus. Sedingin dan selega hati ini. Kami kembali ke stasiun
untuk mengantarnya pulang ke Bekasi. Ada waktu lebih dari satu jam kami
menunggu pemberangkatan kereta ke Jakarta. Kami mengisi waktu dengan
berbincang-bincang di
outlet makanan
dekat loket penjualan karcis.
Tidak terasa azan dzuhur berkumandang. Kami mencari masjid terdekat. Usai
shalat kami kembali ngobrol-ngobrol di outlet makanan tempat kami berbincang
sebelumnya. Obrolan saat itu sudah mulai cair dan bisa tertawa lepas. Bahkan,
saya merasa seolah sedang bertemu dengan sahabat lama yang terpisah sekian
tahun. Kami seolah sudah saling mengenal begitu dalam meski kenyataannya baru sekali
bertemu.
Cuek, gokil, dan usil. Itulah kesan saya selanjutnya tentang sosok pria yang
duduk di depanku ini. Tanpa sepengetahun saya dia mengambil gambar saya dengan
kamera HP-nya saat sedang ngobrol bersamanya. Begitu tahu ada kamera yang
sedang
on saya langsung merebut
HP-nya. Rupanya dia sudah menyuting saya sejak pertama bertemu saat sarapan
tadi pagi. Tampak di sana segala gerak-gerikku tadi pagi yang masih malu-malu
sambil terus menikmati soto. Ah, dasar tukang usil.
Belum lagi kecuekannya. Semua makananku yang nggak habis dia santap sampai
tidak bersisa.
Dia laper apa doyan?
(Belakangan baru dia ngaku kalau saat itu dia kekenyangan benget). Padahal saya
hanya makan soto sedikit. Maklum, saya jarang sarapan berat pagi hari. Jadi
kalau dihidangkankan makanan berat hanya muat dikit. Itu berarti sama artinya
dia makan dua porsi.
Hehehe…siapa suruh
ngabisin makananku?....
“Tahu nggak doa apa yang Mas panjatkan waktu shalat dzuhur tadi?” dia
memulai perbincangan usai shalat dzuhur.
“Ya nggak tahulah. Emang doa apa?” saya tanya balik.
“Ntar ajalah Mas kasih tahu.”
Idih…pake rahasia-rahasiaan segala.
Atau dia malu kali yah? Batinku.
Begitu kereta ke Jakarta datang saya mengantarnya sampai pintu masuk.
Sendiri lagi. Saya pun siap-siap naik angkot untuk kembali ke rumah. Dalam
perjalanan HP-ku berbunyi. Rupanya sms dari dia. Sms yang lumayan panjang
dengan tiga kali kirim.
“Ya Fattahu, jika pertemuan ini mengundang berkah-Mu,
bukakanlah hati kami untuk saling menerima satu sama lain. Namun, jika hanya
akan mengundang keburukan di antara kami, hanya kuasa-Mu juga yang berlaku atas
kami. Beri petunjuk-Mu untuk kami, ya Allah. Sesungguhnya, kemuliaan hanya
datang dari Engkau. Segala kebaikan hanya dari Engkau. Segala kenikmatan hanya
dari Engkau.
“Ya Latif, Duhai Zat Yang Mahalembut. Lembutkan hati
kami agar dapat merasakan petunjuk-Mu. Aku mencoba membuka hatiku dengan
mengharap ridha-Mu, ya Ilahi Rabbi. Amin.”
Rupanya itu doa yang dia panjatkan bakda shalat dzuhur tadi.
Sms yang cukup membuatku terkesan. Saya yakin dia tipe orang yang sangat
mengutamakan agamanya sehingga segala sesuatu dia kembalikan kepada Allah Ilahi
Rabbi. Ini salah satu yang saya suka dari dia.
“Bismillah. Ya Allah, jika Indah baik
untukku dan agamaku, bukakanlah hatiku untuknya. Jika aku baik untuk Indah,
bukalah hatinya untukku. Amiiin.” Smsnya kembali bersarang di HP-ku
keesokan harinya.
“Kalau mau jujur, semua tipe pria yang
aku inginkan ada dalam diri Mas. Bahkan lebih.” Jawab sms-ku.
“Apa nggak terlalu cepat mengambil
simpulan seperti itu?” dia seolah mengorek keraguan.
“Memang kita baru sekali bertemu, tapi
saya merasa kemarin seperti pertemuan dua sahabat lama yang baru dipertemukan
kembali.” Aku menepis keraguannya yang rupanya diiyakan olehnya. Dia pun
merasakan hal yang sama. Yah, bagai dua sahabat lama yang baru bertemu.
“Segala puji hanya untuk-Mu, ya Allah.
Engkau yang mempertemukan kami. Engkau yang membuka hati kami. Kami pasrah apa
pun takdir-Mu, ya Rahim.” Sms-nya menutup obrolan kami hari itu.
Dua hati telah berpadu. Kami telah saling menerima. Hati telah terisi dengan
cinta meski pertemuan itu boleh dibilang sangat singkat. Tiada terpikir di benak
kami untuk berpacaran karena keharaman pacaran dalam Islam. Seminggu setelah
pertemuan pertama kami, saya pulang kampung untuk liburan. Liburan ini sudah
saya rencanakan jauh-jauh hari sebelum pertemuanku dengannya untuk menghabiskan
cuti tahunan yang belum saya ambil. Selama perjalanan pulang dia terus
meng-sms, menanyakan perkembangan perjalananku, sudah sampai mana, gimana
perjalanannya, dan seterusnya. Dia menyatakan keseriusannya untuk melamarku.
Bahkan siap datang ke rumah minggu depan untuk melamarku, kalau diizinkan.
Namun,
Pintu itu belum mampu aku buka sepenuhnya.
Masih ada sisa trauma kegalalan masa lalu yang “menganga”
Ada hati yang harus aku jaga “ketenangannya”
Bila hati ini yang terluka tidak mengapa
Tapi “hati ibu” kuingin tetap “sehalus sutra”
Namun, luka ini menjadi lukanya jua….
Hingga sulit kumemisahkannya.
Andai….
Ah….
Dia memberiku kesempatan untuk membicarakan hubungan kami ke orang tuaku
sebelum kembali ke Bandung. Namun, 2-3 hari di rumah, masih belum mampu kubuka
mulutku, serasa kelu. Sementara dia terus mendesakku untuk membicarakannya. Resah
dan gelisah sempat melanda hatinya dalam menanti jawaban ini, hal yang sama
juga melanda hatiku. Akhirnya, kesempatan itu datang juga. Saat saya, ibu, dan
kakak pertamaku duduk-duduk santai di depan rumah, saya pun memulai pembicaraan
tentang kedekatanku dengan seorang pria. Saya bilang kalau kami serius untuk
menikah meski tetap harus siap seandainya di tengah jalan akan gagal. Saya
tidak mau kegagalanku akan menyakiti hati ibu. Yah, bagaimana pun jodoh di
tangan Allah Swt. Hanya Dia yang tahu bagaimana nasib hubungan kami. Saya pun
bercerita tentang profil pria yang saat ini sedang dekat denganku.
Alhamdulillah, ibu dan kakakku memberi nilai positif pada dirinya hingga pintu
itu bisa sedikit terbuka.
Memaksimalkan Ikhtiar dan Doa
Pernikahan, meski sudah kami niati dengan sungguh-sungguh karena Allah
semata, tetapi kami tetap pasrah dengan ketentuan Allah Swt. Kami hanya
berusaha. Doa dan ikhtiar sudah saya lakukan. Kalau toh ikhtiar ini gagal juga
seperti kegagalan saya pada masa lalu, saya pun pasrah.
Bila semua diniatkan ibadah karena Allah Swt., insya
Allah akan terasa ringan meskipun harus menerima kegagalan. Berdoa tetap
menjadi ibadah yang berpahala meski belum dikabulkan segera. Ikhtiar pun akan
tetap bernilai ibadah meskipun belum tentu mencapai hasil yang didamba. Bahkan,
kegagalan yang dihadapi dengan kesabaran dan kepasrahan kepada-Nya akan menjadi
ibadah bernilai tinggi sebagai nilai plus (bonus) atas doa dan ikhtiar yang
sudah dilakukan secara maksimal.
Intinya. Menikah itu ibadah. Bila ikhtiar menuju nikah
dilalui sesuai syariah dibarengi dengan doa yang khusyuk, meskipun kegagalan
yang akan diterima nantinya, maka itu pun tetap bernilai ibadah. Jadi, gagal
atau tidak tetap bernilai ibadah. Itulah indahnya Islam.
Bahkan, seandainya Allah tidak mempertemukan jodohku di dunia pun saya
ikhlas. Saya hanya mencoba menjalani kehidupan sesuai takdir-Nya. Saya yakin
Allah pasti telah membuat skenario terindah bagi kehidupanku. Bisa jadi awalnya
terasa pahit, tapi saya yakin apa pun dan bagaimana pun yang Allah berikan kepada
saya merupakan hal terbaik dari Allah Swt.
Sesuai rencana, tanggal 25 Desember 2010, usai menghadiri pernikahan teman sekantor,
saya langsung meluncur ke stasiun kereta Bandung menuju Bekasi. Saya janji
untuk ikut mengambil raport anaknya Mas Pomo yang duduk di kelas 1 MTs
(setingkat SMP). Alhamdulillah, anak perempuannya yang manis ini tidak
berkeberatan menerima kehadiranku sebagai ibu tirinya. Dia ingin mengisi
liburan semesternya di Jogja bareng dengan adik laki-lakinya yang masih sekolah
TK. Mas Pomo terpaksa menitipkan anak laki-lakinya yang berumur 4 tahun di
rumah budenya di Jogja karena sejak ibunya meninggal tidak ada yang
mengurusnya, sementara dia harus bekerja hingga malam. Begitu sampai di Jogja,
tempat yang pertama kami tuju adalah rumah kakaknya. Kami sampai di Jogja pagi,
saat anak lelakinya masih tertidur pulas.
Melepas kangen dengan anak, bermain-main, jalan-jalan, sampai akhirnya kami
menuju rumah orang tuanya untuk meminta doa restu. Alhamdulillah, meski pada
awalnya orang tuanya sedikit kurang setuju dengan pernikahan yang terlalu cepat
sementara istrinya belum lama meninggal, tetapi akhirnya mereka merestui. Adat
Jawa melarang seseorang menikah dalam tahun yang sama dengan kematian
keluarganya, apalagi istri atau pasangan hidup. Namun, Islam tidak melarang hal
ini. Alasan inilah yang kami utarakan kepada orang tuanya dan mereka pun bisa
menerima.
Belum sehari di Jogja, sore harinya saya dan calon suami kembali melakukan
perjalanan ke Banyumas. Sesuai rencana awal, keesokan paginya saya melakukan
persiapan untuk melakukan akad nikah. Ibu mengundang seorang ustadz di kampung
dan dua orang saksi dari tetangga kami. Aku dinikahkan oleh kakak laki-lakiku
karena bapakku sedang sakit. Sebuah pernikahan yang sangat sederhana, hanya
dihadiri beberapa keluarga dekat. Mungkin terasa aneh. Tanpa ada proses lamaran
seperti budaya Indonesia pada umumnya, kami datang ke rumah dan langsung
menikah.
Sore harinya kami berpamitan dengan keluarga di Banyumas untuk kembali ke
Bandung. Kali ini kami melakukan perjalanan berdua sudah sebagai suami-istri.
Sekitar pukul 24.00 kami sampai di rumah kakakku di Bandung, tempat sehari-hari
saya menginap dan tinggal selama di Bandung. Keesokan harinya saya mengantar
suami (cie….udah jadi suami sekarang) menuju stasiun Bandung. Dia sudah izin
dua hari dari kantornya, hari itu dia harus ngantor lagi walaupun pasti telat sampai
di sana. Maklum, perjalanan Bandung-Jakarta sekitar tiga jam. Setelah melalui
roadshow perjalanan menuju “nikah” yang
cukup melelahkan, tapi pasti tetap hepi, kami harus hidup terpisah kembali
antara Bandung-Bekasi karena kesibukan kami masing-masing. Yah, kayak orang
pacaran aja meski kami sudah menjadi suami istri.
Karena pernikahan ini baru “secara agama” saja atau orang biasa menyebutnya
“nikah siri”, tentu kami belum bisa bebas mengakui status kami kepada banyak
orang, termasuk teman-teman kantor kami. Baru pada tanggal 13 Februari 2011
kami melangsungkan pernikahan secara lagal dan tercatat di KUA. Alhamudlillah,
akhirnya kami benar-banar menjadi suami istri yang diakui agama dan negara.
Puisi cinta itu telah menabuh gendangnya
Serulingnya pun merdu terdengar
Menambah indah suasana dua hati yang telah berpadu
Saya pun bersyukur, akhirnya belahan jiwaku bisa juga saya temui di
kehidupan dunia ini. Doa kami selalu agar bisa menjadi keluarga sakinah mawadah
wa rahmah. Dua anak dari suami dari pernikahan sebelumnya semakin menambah
lengkap kebahagiaan kami. Saya berharap bisa menjadi ibu terbaik bagi mereka
berdua dan menjadi istri terbaik pula bagi suamiku. Amiiin.
Mungkin, bagi orang lain menikah adalah hal biasa dan pasti bisa dijalani,
tetapi bagi saya menikah adalah hal luar biasa. Ibaratnya seperti memasuki
ruang VVIP atau kelas Eksekutif. Satu hal yang bagi saya seperti tidak mungkin,
bahkan sempat terpikir untuk tidak menjalaninya. Namun, ternyata Allah Swt.
punya rencana indah untukku. Inilah yang selalu saya yakini, bahwa Allah Swt.
punya skenario hidup terindah untukku. Dia mempertemukan jodohku dengan cara
yang tidak terpikirkan olehku dan dengan proses yang begitu cepat meskipun saya
harus menunggu moment ini begitu lama, ketika usiaku 30 tahunan.
Cinta, kadang begitu sulit diraih, serasa jauh…..
Bagai mengejar layang-layang lepas.
Namun, ketika datang takkan ada yang mampu menolak…
Kita tidak pernah tahu kapan cinta sejati datang menghampiri diri
Yang harus kita lakukan adalah siap menerima kapan pun hadirnya cinta
sejati
Terima kasih untuk cinta sejatiku… (suamiku)
Kau berani mengambil risiko untuk menikahiku
Pada saat pria lain tidak memiliki keberanian mengambil risiko yang
sama.