Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Rabu, November 20, 2013

Pintu Terlarang Bernama "Curhat"


Sebelum menikah, Nisa, sebut saja begitu, sering menjadi “terminal curhat” beberapa teman dekatnya tentang berbagai masalah yang menimpa mereka baik yang sudah menikah maupun sesama lajang. Bahkan ada yang mengalami permasalahan rumah tangga begitu berat hingga diselingkuhi suami beberapa kali. Takpernah terbayang dalam benak Nisa, kalau dia pun harus mengalami masalah serupa dalam rumah tangganya.

Tiga tahun usia pernikahannya, orang bilang ini adalah masa-masa rawan mulai munculnya riak-riak kecil dalam rumah tangga. Namun, yang dihadapi Nisa bukanlah riak kecil, tapi masalah yang maha dahsyat hingga hampir meruntuhkan mahligai rumah tangganya. Nisa menikah dengan Agung, seorang duda beranak dua yang ditinggal mati istrinya. Saat itu anak pertama suaminya masih duduk di kelas 1 SMP sedangkan anak kedua sekolah di TK. Tahun pertama dan kedua Nisa fokus mengurus kedua anak tirinya hingga rela keluar dari pekerjaannya sebagai editor sebuah penerbit. Seminggu sekali Nisa dan suami mengunjungi anak pertamanya yang tinggal di pesantren. Seiring berjalannya waktu, Alhamdulillah Nisa bisa mulai dekat dengan anak pertamanya hingga dia bisa kembali ceria sepeninggal ibu kandungnya. Suaminya kemudian memberikan tugas baru kepada Nisa untuk melakukan pendekatan dengan anak keduanya yang tinggal bersama kakak kandungnya (ipar Nisa) di kota J. Sejak ditinggal mati istrinya, Agung tidak bisa merawat anak keduanya sendiri karena dia harus bekerja dari pagi hingga petang. Karenanya dia menitipkan anaknya ini kepada kakaknya .

Nisa pun menunaikan tugas baru sebagai ibu bagi anak kedua dan harus rela meninggalkan suaminya di kota B menuju kota J, tempat anak keduanya tinggal. Meski butuh pendekatan ekstra dan kesabaran penuh akhirnya anak keduanya pun bisa dekat dengannya. Bahkan anak keduanya ini seolah tidak bisa bobo malam kalau tidak dininabobokan dulu oleh Nisa. Akhirnya, Nisa dan Agung memutuskan untuk membawa anak keduanya ini ke kota tempat tinggal mereka agar lebih fokus mengurusnya. Namun, pertentangan datang dari kakak dan orang tua Agung di kota J. Mereka tidak setuju anak yang dulu dititipkan kepada mereka diambil begitu saja karena mereka sudah terlanjur sayang. Nisa tidak banyak bicara soal ketidaksetujuan mereka atau menentang mereka dengan kata-kata. Dengan sepenuh hati dan kesabaran Nisa tetap mengurus anak keduanya di kota J hingga kakak iparnya melihat kesungguhannya dalam mengurus anak tirinya ini. Mereka pun akhirnya mengikhlaskan keponakannya ini untuk dibawa ke kota B.

Keluarga kecil mereka akhirnya kembali utuh tinggal di rumah mereka sendiri. Anak kedua yang sekolah di SDIT Alhamdulillah bisa menjadi juara menghafal Al Qur’an pada levelnya di sekolah atas bimbingan Nisa. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Nisa bisa membimbing anak tirinya untuk mencintai Al Qur’an dan menghafalkannya padahal ibu-ibu lain yang notabene seorang ibu kandung banyak yang merasa sulit membimbing anaknya menghafal Al Qur’an. Setahun kemudian anak pertama mereka lulus dari pesantren dan memilih meneruskan sekolah di dekat rumah sehingga mereka benar-benar tinggal dalam satu atap sebagai keluarga yang utuh, ada Ayah-Ibu dan kedua anak mereka. Hubungan Nisa dan kedua anaknya pun semakin dekat. Mereka sudah menganggap Nisa seperti ibu kandungnya sendiri, Nisa pun menyayangi mereka seperti anak kandung sendiri.

Ketika Prahara Datang

Tidak ada sebuah rumah tangga yang dijalani tanpa ujian dari Allah Swt. Saat keluarga kecil ini seolah menikmati kebahagiaan seutuhnya selayaknya keluarga lain, ujian itu datang. Menginjak usia pernikahan ketiga, tiba-tiba Agung, suami Nisa membawa kabar yang mengoyak hatinya. Dengan berderai air mata bahkan dengan menahan sakit perut yang dideritanya sehari sebelumnya, Agung mengakui kalau dirinya sedang jatuh cinta dengan teman kerjanya di kantor cabang. Mereka menjalin komunikasi melalui email dan telepon. Agung pernah ditugaskan untuk mengisi training di kantor cabang tempat kerja perempuan itu, sebut saja namanya Laras. Awalnya Laras hanya kagum dengan Agung yang dalam pandangannya adalah seorang yang bijaksana dan suka menasehati. Kebetulan saat itu Laras sedang mengalami masalah dengan pacarnya. Dia dikhianati pacarnya padahal hubungan mereka sudah sangat dekat bahkan sudah memiliki tabungan bersama untuk rumah tangga mereka kelak. Meski tidak diceritakan secara detail oleh Agung karena hal-hal privasi yang tidak mungkin dibuka, Nisa bisa menebak kalau hubungan Laras dengan pacarnya sudah sangat jauh.

Dalam dilema, Laras yang selama ini tertutup dan tidak memiliki teman dekat yang bisa dipercaya menumpahkan curahan hatinya kepada Agung, suami Nisa, melalui email. Lama kelamaan curhat Laras disambung melalui telepon kantor. Selama dua bulanan komunikasi mereka terjalin intensif hingga Agung yang sebelumnya tidak pernah menerima curhatan dari perempuan lain kecuali istrinya merasa kasihan dan bersimpati dengan permasalahan yang menimpa Laras. Laras sering menangis di telepon yang katanya hanya bisa tertumpah saat curhat dengan Agung. Keluarga Laras bahkan tidak tahu permasalahan Laras yang sebenarnya. Agung tidak tega mendengar perempuan menangis sedangkan istrinya sendiri nyaris tidak pernah menangis di depannya. Salahnya, emosi Agung ikut terlibat dalam menyikapi curhatan Laras hingga dia sampai merasa tidak rela orang seperti Laras yang dalam pandangannya adalah perempuan baik-baik harus hidup dengan laki-laki “bejat” seperti pacarnya. Dari rasa simpati, kasihan, akhirnya muncul rasa sayang di hati Agung kepada Laras. Satu rasa yang tidak seharusnya hadir karena tidak direkat dalam ikatan suci pernikahan apalagi Agung sudah memiliki istri dan anak-anak. Perasaan Agung ternyata tidak bertepuk sebelah tangan, Laras pun menyayanginya selayaknya sayangnya seorang kekasih. Laras bahkan sudah sangat benci dengan pacarnya itu meski di depan keluarganya dia masih tetap bersikap baik dengan pacarnya.

Selama ini Agung berprinsip tidak mau pacaran. Ketika mencintai seorang wanita maka hanya ada dua pilihan baginya, menikahi perempuan itu atau memutuskan “rasa” itu sama sekali. Tidak rela melihat Laras menderita jika harus hidup dengan laki-laki yang tidak menghargai wanita seperti pacar Laras membuat Agung merasa tergerak menjadi “pahlawan penyelamat” untuk menikahi Laras. Melalui sms, Agung pun melamar Laras. Laras yang merasa sedang dalam dilema yang sangat berat merasa bebannya bertambah dengan lamaran itu karena sadar tidak mudah menikah dengan pria yang sudah beristri. Padahal menurut pengakuan Agung mereka sudah membicarakan rencana hubungan hingga ke pernikahan dan berapa banyak anak yang akan mereka memiliki kelak. Namun, kondisi psikis Laras yang memang sedang labil membuatnya semakin tertekan hingga tidak membalas sms Agung bahkan tidak mau menerima telepon darinya hingga dua harian.

Saat kondisi genting seperti itulah Agung memberanikan diri menceritakan semua perasaan hatinya yang “terlarang” itu kepada Nisa istrinya. Reaksi Nisa saat itu “datar” saja seolah tidak ada rasa sakit hati atau cemburu. Entahlah, mungkin yang ada dalam pikiran Nisa adalah bagaimana membantu suaminya sembuh dari sakit perutnya. Sejak dua hari digempur permasalahan yang menyiksa batinnya, Agung memang didera sakit perut hingga membuatnya sulit makan dan istirahat. Ketika pulang dari kantor wajahnya kuyu dan tampak sangat lelah. Namun, Nisa tahu kalau lelah yang dialami suaminya pasti bukan lelah fisik. Kalau sekadar lelah fisik biasanya Agung akan meminta Nisa memijiti kakinya. Sebentar kemudian lelahnya pun hilang. Namun, lelah yang ditampilkan wajah suaminya saat itu sangat tidak biasa. Nisa mencoba bertanya kenapa, apa karena masalah pekerjaan? Atau ada masalah dengan rekan kerja? Tapi Agung masih diam. Baru pada hari kedua saat sakit perutnya sudah mulai membaik Agung menceritakan semuanya kepada Nisa.

Nisa hanya bilang kalau dia tetap sayang sama Agung sebagai suaminya dan juga anak-anak. Hanya saja Nisa menyayangkan kenapa suaminya mudah menerima curhat dari perempuan yang bukan muhrim. Padahal, komunikasi intensif antara dua manusia lawan jenis via email dan saling bertelepon ria bisa menumbuhkan rasa suka dan sayang walaupun tidak bertemu langsung. Hal ini dialami sendiri oleh Nisa. Sebelum menikah Nisa juga pernah menjalin komunikasi dengan seorang pria di luar negeri. Saking intensifnya komunikasi sempat memunculkan rasa saling suka padahal mereka belum pernah bertemu muka. Namun, mereka tidak berjodoh hingga tidak sampai menikah. Dari sana Nisa sadar kalau “curhat” antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim lebih banyak menimbulkan efek negatif. Maka sejak menikah Nisa berkomitmen dalam diri untuk tidak akan menerima curhatan dari laki-laki mana pun selain suaminya. Padahal dulu sebelum menikah Nisa sering menerima curhatan dari teman-teman cowoknya. Namun, tidak disangka ternyata justru suaminya malah menerima curhatan dari wanita lain.

“Mama tidak menghalangi Ayah untuk menikah lagi kalau memang itu yang terbaik untuk rumah tangga kita. Mama tetap sayang sama Ayah dan anak-anak. Tapi Mama ingin keputusan itu didasarkan atas hasil istikharah, bukan emosi sesaat. Libatkan Allah dalam masalah kita. Nanti malam kita sama-sama istikharah memohon keputusan terbaik dari Allah.” Kata Nisa datar sambil menyandarkan kepalanya di dada suaminya.

Suaminya langsung memeluk Nisa erat. Seolah berterima kasih karena tidak marah atau sakit hati dengan perasaan “terlarang”-nya kepada perempuan lain itu.

Nisa tampak tegar menerima curhatan suaminya yang sedang jatuh cinta dengan perempuan lain seolah dia sedang menghadapi/menerima curhatan orang lain, seolah yang sedang diselingkuhi itu bukanlah dirinya. Apalagi Nisa memang sudah sering menerima curhatan dari teman-temannya. Entah apa yang ada dalam benak Nisa hingga mampu bersikap datar tanpa emosi apalagi marah dan menyalahkan suaminya. Mungkin karena dia sudah kenyang dengan ujian pahitnya kehidupan pada masa lalu sebelum menikah sehingga ketika menerima kepahitan hidup sekali lagi hatinya seolah “datar” saja. Yang ada dalam benaknya saat itu hanya bagaimana membantu suaminya sembuh dari sakit fisik dan beban mental yang maha berat bagi suaminya ini.
Usai mengungkapkan semua isi hatinya, Agung menyeka air matanya. Aneh, seharusnyaNisa yang nangis, bukan Agung.

“Ma, Ayah mau tidur dulu!” kata Agung menyudahi pembicaraan saat itu.

Nisa pun memberi kesempatan kepada suaminya untuk beristirahat. Tidak berapa lama suaminya pun terlelap dalam tidur seolah semua kepenatan hatinya hilang. Kini, gantian Nisa yang tidak bisa tidur.
Hingga malam larut Nisa masih sulit memejamkan mata. Hatinya dipenuhi kegundahan luar biasa. Akhirnya Nisa bangun untuk mengambil air wudhu dan mengenakan mukena. Dia tunaikan shalat istikharah mengadukan semua kegundahan hatinya kepada Sang Pencipta dirinya, yaitu Allah Swt.

Usai shalat, dengan masih mengenakan mukena, dia dekati suaminya dan mencium pipinya, “Ayah nggak solat tahajud?” Suaminya malah melingkarkan tangan Nisa ke dalam pelukannya. Nisa pun memeluk suaminya, diciumnya sekali lagi, dielusnya rambut suaminya penuh kasih sayang.

“Jam berapa, Ma? Biasanya Ayah shalat jam tiga pagi.” kata suaminya sambil mengambil HP untuk melihat jam.

Saat itu tepat pukul 03.00 dini hari. Suaminya lalu bangun dan mengambil air wudhu. Mereka berdua shalat tahajud. Mungkin ini tahajud pertama mereka yang dilakukan secara berjamaah. Nisa mengakui akhir-akhir ini jarang sekali tahajud. Dia mengakui kondisi batinnya sedang futur, ibadah sunah mulai jarang dilakukan. Mungkin karena itulah Allah mengujinya dengan masalah seperti ini agar dia kembali bersujud kepada-Nya. 

Usai shalat, Agung dan Nisa ngobrol berdua. Nisa memulai pembicaraan dengan mencoba berempati kenapa sampai lahir “rasa yang tidak seharusnya” di hati suaminya kepada perempuan lain. Semua berawal dari “curhat”. Nisa sadar bahwa perselingkuhan hati bisa menimpa siapa saja, hatta seorang ustad. Nisa menceritakan kepada Agung tentang kasus seorang ustad di Bdg, kota tempat kerja Nisa dulu sebelum menikah. Di sana ada seorang ustad yang memiliki banyak jamaah pengajian. Dia juga punya yayasan yang mengurusi masalah umat, salah satunya menampung masalah konsultasi rumah tangga. Namun, salahnya ustad tersebut menghadapi sendiri klien muslimah, tidak diserahkan kepada konsultan muslimah juga. Suatu ketika ada salah satu muslimah yang datang untuk berkonsultasi kepadanya. Entah bagaimana awalnya, akhirnya konsultasi antara ustad dan klien muslimah ini malah menimbulkan rasa saling jatuh cinta di antara mereka. Karena tidak mau terjerumus dalam dosa mereka pun menikah padahal sang ustad sudah memiliki anak dan istri. Banyak jamaahnya yang menghujat ustad tersebut. Mungkin karena tidak tahan dengan tekanan sana-sini belum lagi konon muslimah itu pun bermasalah sehingga sang ustad akhirnya menceraikan istri keduanya ini.

Semua berawal dari “curhat”. Yah, seorang ustad yang dibentengi ilmu agama kuat pun bisa terjerumus apalagi suaminya yang bukan siapa-siapa, bukan seorang ustad dan bukan lulusan pesantren. Untungnya Agung segera sadar dengan perasaannya yang salah dan segera mengakuinya di hadapan Nisa, istrinya. Menurut pengakuan Agung, “rasa terlarang” itu baru muncul seminggu sebelum dia mengakuinya di hadapan Nisa. Namun, meski belum lama tapi obrolan antara Agung-Laras sudah sampai pada rencana ke jenjang pernikahan (meski harus poligami).

Orang yang sedang jatuh cinta kadang logika berfikirnya tidak berjalan sempurna, lebih didominasi oleh emosionalnya. Karenanya Nisa mencoba membantu suaminya untuk membuka logikanya.

“Mama paham kenapa Ayah ingin menolong Laras dengan menikahinya. Karena Ayah tidak rela orang sebaik Laras menikah dengan laki-laki bejat seperti pacarnya itu kan? Tapi pertanyaannya, apakah setelah Ayah menikahinya maka semua masalah Laras pasti selesai? Atau malah bertambah? Bagaimanapun, menjalani pernikahan poligami itu tidak mudah. Terutama bagi perempuan. Dia butuh keluasan hati, ketegaran jiwa, kekuatan mental, kesabaran, dan sebagainya. Menghadapi masalahnya yang sekarang saja Laras sebegitu stresnya, apalagi nanti ketika dia dibawa ke dalam pernikahan poligami, apa nggak semakin stres dia? Menolong kan tidak harus dengan menikahinya, Ayah.” Kata Nisa menggambarkan resiko ke depan.

“Kalau Ayah memang butuh untuk menikah lagi, Mama sarankan tidak menikah dengan perempuan seperti Laras. Dia sendiri sedang galau dengan dilema masalahnya, apalagi jiwanya masih sangat labil. Kalau mau menikah lagi carilah perempuan yang paham dengan pernikahan dalam Islam, terutama tentang poligami dengan segala permasalahan di dalamnya. Bagaimanapun istri Ayah nanti adalah calon ibu bagi anak-anak Ayah, maka carilah perempuan yang benar-benar mampu mengemban peran ibu ini dengan baik. Apalagi dengan pernikahan poligami yang memang tidak mudah menjalaninya. Mama butuh wanita yang bisa menjadi patner buat Mama, bukan malah menjadi musuh.” kata Nisa menambahkan.

Agung hanya tersenyum dan memeluk Nisa erat.
“Kalau gitu Mama saja yang nyariin istri buat Ayah. Syaratnya sederhana saja, asal dia bisa menghargai Mama. “ kata Agung tampak sedikit sumringah.

“Memang Mama ikhlas kalau Ayah menikah lagi?” tanya Agung penasaran.

“Ya…ikhlas nggak ikhlas Mama harus terima kalau memang takdir Allah Swt. mengharuskan kita menjalani kehidupan poligami. Kalau Mama nggak terima sama saja Mama nggak mau nerima takdir Allah.” Jawab Nisa.

Bukan berarti Nisa ikhlas sepenuhnya menjalani hidup berpoligami, tapi dia sedang menyiapkan mentalnya untuk siap menghadapi kemungkinan itu. Bagaimanapun tidak ada orang yang tahu takdir hidupnya ke depan. Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan mental kita untuk siap menghadapi semua takdir Allah, pahit maupun manis.

Dalam masa-masa ujian berat itu, Nisa meminta Agung untuk tidak saling berkomunikasi dulu dengan Laras karena khawatir akan semakin mengotori hati. Bagaimanapun perasaan yang terlanjur lahir di hati mereka adalah salah di mata Allah. Maka tidak ada jalan lain kecuali menghindarinya sampai ada keputusan terbaik dari Allah akan nasib hati mereka, apakah akan berlanjut hingga jenjang pernikahan atau harus berakhir. Nisa mengambil inisiatif menjadi mediasi komunikasi antara mereka bertiga; dia, Agung, dan Laras.

Agung sadar dalam kondisi seperti itu dia tidak mungkin lagi bebas berkomunikasi dengan Laras. Namun, Agung tidak mau kalau masalah ini akan semakin membuat Laras terpuruk apalagi sampai bunuh diri. Kalau sampai itu terjadi tentu Agung akan manjadi orang yang paling merasa bersalah kepada Laras. Sepertinya kekhawatiran Agung sangat berlebihan, mungkin karena besarnya rasa sayang Agung kepada Laras. Sebagai perempuan Nisa yakin Laras mampu menghadapi masalahnya dan tidak akan bertindak senekad itu. Toh Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Namun, itulah cinta hingga seorang pecinta tidak akan rela melihat orang yang dicintainya menderita.

Keesokan harinya Nisa menelepon Laras. Sebisa mungkin Nisa berusaha berbicara dengan nada datar tanpa marah sedikit pun. Nisa bilang kalau Agung sudah menceritakan semua tentang perasaan sayangnya kepada Laras. Nisa malah meminta maaf atas nama suaminya yang sudah lancang melamar Laras meski untuk tahun 2015. Padahal Agung tahu Laras sedang menghadapi dilema masalah yang berat. Agung hanya tidak mau semakin terjerumus dalam dosa (seperti orang pacaran) sehingga mengajak Laras menuju jalan yang halal di mata Allah, yaitu nikah meski harus berpoligami. Nisa memaklumi kalau Laras yang saat itu sedang menghadapi masalah butuh seorang teman curhat seperti suaminya. Suaminyalah yang salah karena membiarkan dirinya menerima curhatan dari perempuan yang bukan muhrim. Laras juga meminta maaf kalau masalahnya menjadi seperti ini. Dia mengaku kaget dengan lamaran Agung kepadanya padahal dia sedang menghadapi masalah berat. Khawatir keputusannya hanya sebatas pelarian dari masalahnya padahal dia masih muda dan memiliki masa depan yang panjang. Laras juga memohon kepada Nisa untuk menyampaikan maafnya kepada Agung. Nisa menyanggupi.

Obrolan di telepon itu serasa belum menuntaskan masalah yang ada. Nisa pun mengirimkan email kepada Laras. Dalam email sepanjang tiga halaman, Nisa sedikit mengulas dan menegaskan obrolan di telepon bahwa dia sudah memaafkan Agung dan Laras betapapun dia sudah dikhianati. Namun, Nisa meminta mereka tidak saling berkomunikasi dulu sambil istikharah memohon jalan terbaik dari Allah. Nisa juga menulis kilas balik kehidupannya pada masa lalu ketika Allah mengujinya dengan beban berat. Saat itu dia tidak memiliki sahabat yang bisa dijadikan tempat curhat kecuali buku harian dan mengadu kepada Allah lewat doa dan shalat. Tanpa bantuan teman atau orang lain, memang butuh waktu lama untuk bangkit, hampir dua tahun Nisa terus menangis setiap malam. Namun, ketika mampu keluar dari belenggu kapahitan Nisa mendapatkan semangat hidup yang permanen. Ibarat bangunan pondasinya sudah terpancang kuat sehingga ketika menghadapi goncangan lain pada masa depan bangunan itu tetap mampu berdiri kokoh.

Nisa berharap sharing-nya ini bisa membuka mata hati Laras bahwa di dunia ini bukan hanya dia yang menghadapi kepahitan dalam hidup. Selama masih ada Allah di hati kita akan tetap mampu melihat indahnya kehidupan di tengah kepahitan. Dengan demikian Laras akan tetap tegar dan mampu bersemangat dalam hidup ada atau tanpa Agung suaminya.

Email itu terkirim tanpa balasan dari Laras. Entah terbaca atau tidak oleh Laras. Agung sempat khawatir tidak ada reaksi balasan dari Laras. Agung pun mengusulkan untuk mengirimkan beberapa buku kepada Laras atas nama Nisa agar lebih bisa menetralkan kondisi saat itu. Agung meminta Nisa memberikan note yang sekiranya bisa menyemangati Laras. Kalau semua dilakukan atas nama Agung khawatir akan semakin memupuk perasaan “sayang” di antara mereka, sebuah perasaan yang tidak seharusnya hadir karena tidak terjalin dalam ikatan suci pernikahan.

Selama ini Nisa sudah membuka keran persahabatan untuk Laras demi menetralisir masalah mereka. Padahal ini sangat berat bagi Nisa. Bagaimana dia harus menjadi sahabat bagi wanita idaman lain suaminya? Dari sisi kewanitaan dia menolak, tapi dari sisi kemanusiaan Nisa merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali menyanggupinya. Dia tahu banget bagaimana rasanya menjalani kepahitan hidup tanpa ada orang yang bisa dijadikan tempat curhat. Itu sebabnya dia rela membuat tulisan sepanjang tiga halaman demi menyemangati Laras. Namun, semakin hari perhatian dan kekhawatiran Agung kepada Laras tampak begitu besar hingga membuat Nisa cemburu.

“Sebegitu besarkah rasa cinta suamiku kepada Laras? Apakah melebihi cintanya kepadaku?” begitu batin Nisa.

Saat Agung sibuk memikirkan bagaimana menolong dan membangkitkan semangat hidup Laras, tanpa dia sadari pada saat yang sama dia sedang “menancapkan luka” di hati Nisa, istrinya. Agung menjadi sosok “malaikat penolong” bagi Laras tapi “menorehkan luka” bagi Nisa. Meski perih, tapi pengalaman kepahitan hidup pada masa lalu membuat Nisa tidak mudah menumpahkan tangis. Selama beberapa hari dia mengabaikan rasa sakit hatinya karena fokus mengurus suaminya yang sakit lalu berusaha menuntaskan permasalahan dengan Laras. Lama kelamaan tubuhnya tidak mampu lagi menyangga perihnya. Tubuhnya terasa lemas lunglai, tenaganya seperti habis diperas usai membawa beban berton-ton banyaknya. Tidak ada daya untuk melakukan apa pun, bahkan untuk shalat dhuha pagi itu. Mukenanya masih meliliti tubuhnya tapi tidak ada tenaga untuk berdiri menunaikan hajatnya. Akhirnya Nisa tiduran di kasur. Menahan sesak di dada, Nisa pun menuliskan pesan singkat ke HP suaminya.

“Sejak ujian berat menimpa rumah tangga kita, rasa sayang Mama ke Ayah tidak berkurang. Tapi jujur, rasa percaya Mama ke Ayah sudah berkurang. Kalau dulu Mama percaya 100%, sekarang entah tinggal berapa persen. Terserah Ayah mau mengembalikan kepercayaan Mama atau akan menghancurkannya.”

Rasa cemburu, khawatir, sakit hati, dan sebagainya berkecamuk dalam dada Nisa. Pikiran-pikiran negatif tentang suaminya sering menghantui benaknya dan sulit dienyahkan. Dia sulit mengambil rasa percaya untuk suaminya. “Beginikah rasanya dikhianati cinta? Aku sadar kalau aku bukan istri yang sempurna bagi suamiku, tapi apakah karena ketidaksempurnaanku ini suamiku berhak mengkhianati cintaku?” jerit batin Nisa.

Kepala Nisa terasa sangat berat hingga takkuasa menahan kantuk. Nisa pun langsung tertidur setelah meng-sms suaminya. Beberapa kali suaminya menelepon dari kantornya tapi Nisa tidak mengangkatnya. Tubuhnya masih sangat lemas, tulang-tulang tubuhnya seperti ditumbuk hingga takmampu mengangkat telepon.

Tidak disangka, empat jam kemudian suami Nisa pulang ke rumah. Padahal perjalanan dari kantor ke rumah lumayan lama, dua jam. Waktu menerima sms dari Nisa, Agung baru sampai di kantor. Begitu Nisa tidak membalas sms dan tidak mau mengangkat telepon darinya, Agung langsung memutuskan untuk pulang. Agung sempat mampir dulu ke masjid pinggir jalan untuk shalat jumat. Nisa yang sudah tertidur selama empat jam sudah mulai menemukan kekuatan tubuhnya. Dia bangun dan menemui suaminya. Agung sempat menanyakan kepadanya kenapa tidak mengangkat telepon darinya. “Nggak tahu, tubuh Mama rasanya lemas sekali.” Hanya itu jawaban dari Nisa.

Selama ini sebenarnya Nisa sudah terbentur cemburu dengan almarhumah istri Agung yang seolah masih terus kokoh tersemat di hati Agung. Agung sering menceritakan saat-saat kebersamaan dengan almarhumah istrinya. Tentang bagaimana dia mengajari istrinya mengaji alif-ba-ta, mengajari shalat, dan ilmu agama lain. Almarhumah boleh dibilang “awam” dengan Islam meski terlahir dari keluarga muslim. Semua itu seolah menjadi masa-masa terindah dalam hidup Agung. Sementara dengan Nisa hal itu tidak pernah dilakukan karena Nisa lebih mapan dari sisi ilmu agama, apalagi dia lulusan pesantren. Lalu, sekarang harus dibenturkan lagi dengan kecemburuan baru oleh hadirnya Laras yang kalau dilihat dari ilmu agama juga masih butuh bimbingan. Mungkin Agung berharap bisa kembali menikmati masa-masa membimbing ilmu agama kepada istri dengan menikahi Laras, satu hal yang tidak dia dapatkan ketika hidup bersama Nisa. Yah, ironis memang. Seharusnya, ketika memiliki istri yang berkecukupan dari sisi ilmu agama membuat suami lebih giat lagi menuntut ilmu agama sehingga bisa bahu-membahu bersama istri untuk memperbaiki ibadah, keimanan, dan ketauhidan di dalam keluarga, baik antara suami-istri maupun anak-anak. Bukan malah berpikir untuk mencari istri yang notabene ilmu agamanya berada di bawah dia.

Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan pasti ingin memiliki posisi istimewa di hati orang yang dicintainya.  Begitu pula dengan Nisa. Dia pun ingin menjadi istimewa di hati suaminya. Namun, sepertinya itu sulit bagi Nisa. Dia merasa seolah terjepit antara perempuan di masa lalu suaminya dan perempuan yang ingin dikejar suaminya pada masa depan. Nisa seolah hanya pijakan sementara untuk mengisi kelabilan kondisi Agung sepeninggal istrinya. Setelah kondisinya kembali stabil.… entahlah… mungkin perempuan lain yang akan mengisinya. Kondisi ini sering membuat penat hatinya hingga kadang ingin lari dari rumah suaminya. Dia ingin beritikaf berhari-hari di masjid agar dapat berdialog berdua dengan Allah Swt. tanpa dibebani tugas-tugas rutin. Di sana dia bisa fokus untuk beribadah dan mengadukan segala kepenatan hatinya tanpa dilihat orang lain. Hanya berdua dengan Allah Swt. Namun, ketika teringat dengan anak-anak keinginan itu langsung ditepisnya. Siapa yang akan meninabobokan anak keduanya? Siapa yang akan menyediakan makanan untuk anak-anak? Siapa yang akan menyambut anak keduanya di rumah ketika pulang sekolah? Siapa yang akan menemani anak-anak sebelum ayahnya pulang?  

Sebelum menikah Nisa tidak mau pacaran dan sengaja mengosongkan hatinya untuk memberikan tempat itu kepada seorang pria yang benar-benar sah menjadi suaminya kelak. Akhirnya Agung datang menjadi sosok suami baginya. Nisa pun bertekad hanya akan memberikan cintanya 100% kepada suaminya ini, sosok yang dinikahi atas nama Allah. Apalagi Agung adalah tipe suami yang diinginkannya, baik, shalih, cerdas, tidak gengsi untuk membantu pekerjaan rumah dari mulai mencuci baju hingga mencuci piring tanpa diminta. Saking cintanya kepada suami, Nisa bahkan pernah merasa seolah tidak ada yang lebih berharga di dunia ini kecuali suaminya.

Namun, mungkin Allah yang Maha Pencemburu tidak rela kalau hamba-Nya terlalu mencintai makhluk-Nya dibanding Dia. Karena itu Allah memberikan ujian perselingkuhan hati suaminya. Satu hal yang lebih menyakitkan bahwa selama ini Nisa sangat menjaga pergaulan dan dirinya agar tidak disentuh oleh laki-laki mana pun kecuali suaminya. Namun, pria yang dicintainya 100% ini ternyata lebih memilih mencintai wanita yang rela dirinya dijamah oleh laki-laki lain yang belum halal baginya. Seolah dirinya tidak lebih berharga dari perempuan seperti itu.

Selama proses istikharah, meski perih, Nisa tidak pernah menumpahkan setetes air matanya sekali pun di hadapan suaminya. Dia hanya menumpahkan semua kegundahan hatinya kepada Allah lewat sujud-sujud dalam shalat di sudut kamarnya. Di hadapan Penciptanya Nisa lebih mudah menumpahkan tangis dan kepedihan hatinya.

“Ya Allah, jadikan hamba istri terbaik bagi suami hamba,” pinta Nisa dalam doanya kepada Allah Swt.

Keesokan harinya Agung memberi kabar kalau hubungannya dengan Laras sudah berakhir. Laras sudah kembali ke pacarnya dan mereka akan lamaran akhir tahun ini. Legakah hati Nisa? Belum sepenuhnya. Laras memang sudah memutuskan untuk kembali ke pacarnya tapi entahlah dengan hati Agung. Apakah dia mampu mengenyahkan rasa sayangnya kepada Laras atau tidak? Yang pasti keputusan Laras ini mengecewakan Agung dan membuatnya sangat terpukul.

“Ayah sendiri nggak habis pikir kenapa bisa terpedaya oleh anak yang usianya jauh di bawah Ayah. Seolah dia anggap apa Ayah ini? Hanya pelariannya saat dia terpuruk dengan pacarnya? Begitu dia sudah mampu memaafkan pacarnya dia pun kembali kepadanya.” Perih Agung mengadu di hadapan Nisa.

“Hm…” Nisa hanya menarik nafas antara lega dan prihatin.

Lega akhirnya pikiran suaminya terbuka kalau Laras bukan yang terbaik untuknya. Prihatin melihat suaminya yang terluka sedemikian hebat hingga membuatnya terkuras hati, pikiran, bahkan tenaganya hanya memikirkan Laras.

Nisa sadar ujian ini hadir karena Allah ingin mengingatkan dirinya yang telah lalai kepada-Nya, telah salah mengarahkan perasaan cintanya. Dalam keheningan, Nisa mengadu kepada Allah Swt.

“Ya Allah, ampuni hamba yang telah salah mengarahkan rasa cinta ini. Seharusnya hanya kepada Engkaulah hamba serahkan semua cinta ini. Bukan kepada makhluk-Mu sekalipun dia halal untuk hamba cintai. Engkaulah Zat yang tidak akan mengecewakan hamba-hamba-Mu yang berserah diri dan menyerahkan cintanya kepada-Mu. Sementara cinta kepada yang lain hanya akan menyematkan luka pada akhirnya. Ampuni hamba, ya Allah.”
 ***

Kisah nyata ini saya paparkan atas izin Nisa dan Agung dengan harapan semoga bisa menjadi ibrah bagi pembaca semua agar lebih berhati-hati menjaga “hati pasangan” kita. Jangan sampai hatinya terluka karena pengkhianatan cinta kita. Sekali pasangan kita merasa dikhianati selamanya luka itu akan terus tertanam di hatinya. Kalaupun pasangan kita mampu memaafkan, luka itu akan terus menganga. Seperti paku yang kau tancapkan di dinding, kalaupun kau cabut pakunya pasti bekas tusukannya akan tetap tampak melukai dinding.

Karenanya, berhati-hatilah, jangan sampai membuka pintu yang akan menjerumuskan kita pada ruang perselingkuhan. Salah satunya saling curhat antara dua insan berlainan jenis yang bukan muhrim. Jangan sampai kita rela mati-matian mengejar “cinta yang belum pasti” dengan mengabaikan cinta yang pasti sudah menjadi milik kita. Bisa-bisa kita akan kehilangan keduanya. Naudzubillahi min dzalik. @

Rabu, Oktober 30, 2013

Kunci Sukses Entrepreneur Dunia



Kesuksesan adalah dambaan setiap insan di dunia ini. Hanya saja, makna kata “suskes” bagi setiap orang berbeda-beda. Ada yang mengartikan kesuksesan adalah orang yang kaya akan materi, ada juga yang mengartikannnya sebagai orang yang berkedudukan tinggi di masyarakat, atau bahkan dua-duanya. Namun, ada juga yang merasa sukses cukup dengan memberi manfaat bagi banyak orang disekitarnya meski hidupnya tidak berlimpah harta.

Apa pun makna sukses bagi setiap orang, yang pasti, hampir setiap orang akan berlomba-lomba mengejar kesuksesan dalam hidup. Berbagai cara ditempuh untuk meraih status “sukses” ini, dari yang halal hingga yang melanggar etika masyarakat dam agama. Ada yang mampu meraih kesuksesan yang diinginkan, tetapi ada pula yang justru terjerumus pada kegagalan hidup yang menyedihkan. Tragisnya, ada yang kemudian bunuh diri karena merasa tidak mampu bangkit dari kegagalannya.

Lalu, Bagaimana sebenarnya jalan menuju kesuksesan tersebut? Buku ini akan membawa Anda belajar dari kehidupan entrepreneur dunia dalam proses meraih kesuksesannya, sekaligus menganalisis arti kesuksesan bagi mereka. Ada sepuluh entrepreneur dunia yang dikisahkan, yaitu Bill Gates; Thomas J.Watson, Sr.; Howard Schultz; Kolonel Harland Sanders; Konosuke Matsushita; Soichiro Honda; Gottlie Daimler dan Karl Benz; Sam Walton; Walt Disney; dan Mark Zuckerberg. Bukan hanya kesuksesan mereka yang diulas, dalam buku ini juga diungkapkan kegagalan-kegagalan dan kesalahan mereka dalam menjalankan bisnisnya. Dari sana, kita bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Selain itu, kita juga akan belajar dari mereka cara keluar dari “masa krisis” tersebut.

Selasa, Oktober 22, 2013

Cerita Cinta Ibunda

Sekarang, setiap kali melihat Ibu, yang ada hanyalah rasa ingin menangis.
Aku tetap mengakuinya sebagai ibuku, aku tidak mengingkarinya, tapi aku tidak sanggup berhadapan dengannya.
Setiap kali menatap mata Ibu, yang terbayang adalah bagaimana dia mengkhianati cinta dan kepercayaan Bapak.


Bagaimanakah Ibumu?

Apakah beliau baik, penyayang, dan sabar? Galak, disiplin, dan keras? Ya, semua itu adalah gambaran ibu. Ibu yang akan selalu ada di hati kita dan kita sayangi, meskipun sang ibu telah berbuat kesalahan dan tak sempurna.

Ada banyak cerita tentang ibu. Elegi, balada, tragedi, dan juga komedi. Bagaimanapun sosok ibu, baik ataupun buruk, kita akan tetap menyediakan sebuah sudut di hati untuknya. Karena ibu adalah alasan kita ada di dunia ini.

Cerita Cinta Ibunda mempersembahkan kumpulan kisah-kisah nyata. Kisah terpilih dari lomba Kisah Kasih Ibu milis Word Smart Center dan Mizan. Kisah-kisah yang penuh inspirasi dan memberikan harapan agar kita menjadi lebih baik, demi ibu.

"Suara terindah yang pernah didengar manusia ada di Ibu, Rumah, dan Surga." (William Goldsmisth Brown, Inspirational and Motivational Speaker)


Alhamdulillah salah satu tulisanku berjudul "Anakku adalah Nyawaku" tercantum sebagai salah satu kisah dalam buku ini.

Anakku adalah Nyawaku


 
“Anakku adalah nyawaku,” begitu Ibu Elis menggambarkan tentang kasih sayangnya kepada putri tunggalnya.
Tidak ada seorang ibu pun di dunia ini yang tidak menyayangi anak kandungnya sendiri, anak yang selama sembilan bulan bersemayam di rahimnya sebagai buah cintanya. Begitupun Bu Elis. Dia sangat menyayangi Dini, putri tunggalnya, betapa pun kondisi fisiknya bolah dibilang tidak sempurna. Kasih sayang, keteguhan, ketabahan, kesabaran dalam mendidik anak semata wayangnya inilah yang membuat saya begitu mengagumi sosok Bu Elis.
Pada awalnya, saya mengagumi anaknya, Dini. Meski kondisi fisiknya memiliki keterbatasan, dia tampak tetap ceria seperti remaja lain seusianya. Kehidupannya pun cukup religi dalam usia yang sungguh muda−waktu itu dia masih SMP, sekarang SMU. Saya pernah mewawancarai Dini untuk majalah tempat saya bekerja sebagai wartawan. Perkenalan secara langsung ini membuat saya semakin mengaguminya hingga memunculkan pertanyaan dalam benak saya, “Ibu seperti apa yang telah berhasil membuat anak ketegar Dini?” Bagaimana pun, Dini bisa menjadi seperti itu pasti karena ada campur tangan dari seorang yang paling berpengaruh dalam hidupnya, yaitu mamanya.
Tidak sulit bagi saya untuk mengenal mamanya Dini karena setiap saya datang ke rumahnya dia selalu ditemani oleh mama tercintanya ini. Sejak saat itulah saya mengenal keluarga kecil ini.
Sebenarnya, Ibu Elis memiliki tiga anak, tetapi kedua anak yang lain meninggal dunia saat mereka masih bayi. Ibu Elis sangat menyayangi anaknya sepenuh hati meski anaknya memiliki keterbatasan fisik yang membuatnya tidak bisa berjalan normal seperti anak sebayanya yang lain. Tangan kanannya pun tidak bisa difungsikan secara normal.
Pada saat orang tua lain mungkin merasa malu memiliki anak cacat, bahkan kadang menyembunyikannya dari khalayak, Ibu Elis tidak pernah malu mengakui kalau anaknya memang memiliki keterbatasan.
“Mungkin ini ujian dari Allah yang harus saya terima, Teh,” kisah Bu Elis kepada saya.
 “Tapi, saya takpernah malu apalagi menyembunyikan anak saya dari pergaulannya. Memang, kadang muncul rasa kasihan kepada anak saya ketika melihat dia dijauhi teman-teman sepermainannya. Tapi, perasaan itu muncul karena rasa sayang seorang ibu yang tidak ingin melihat anaknya sedih,” lanjutnya dengan perasaan dalam.
Demi ingin melihat anaknya bisa memiliki sahabat sepermainan, Bu Elis kadang sampai rela merogoh uang receh untuk dibagikan kepada teman-teman main Dini agar mereka mau bermain dengan Dini dan tidak meninggalkannya sendirian atau berbuat nakal kepadanya.
“Main di rumah saja, yah, ntar ibu kasih uang jajan,” janji Bu Elis kepada teman-teman Dini yang sedang bermain di rumahnya.
Pada saat Dini ingin jajan, Bu Elis memenuhi janjinya untuk memberikan uang jajan pula kepada teman-temannya.
 Bukan hanya itu, saat waktu makan tiba, dia pun menyediakan makan beberapa piring untuk teman-teman Dini yang kebetulan sedang bermain bersamanya. Entah benar atau tidak secara teori pendidikan anak, tetapi dengan keterbatasan pengetahuannya tantang pendidikan anak, hanya itulah yang dia tahu untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Bu Elis hanya ingin melihat anaknya memiliki teman-teman bermain selayaknya anak yang normal. Dia tidak ingin anaknya ditinggalkan oleh teman-temannya hanya karena keterbatasan yang dimilikinya.
Sebenarnya, Dini lahir ke dunia ini dalam kondisi normal, beratnya sekitar 3 kg dan sehat. Akan tetapi, entah mengapa hingga usianya dua tahun dia belum juga bisa berjalan seperti anak-anak sebayanya. Baru pada usia empat tahun Dini mulai menunjukkan perkembangan hingga akhirnya dia bisa berjalan. Saking bahagianya, Ibu Elis mengadakan syukuran dengan mengundang anak-anak sebaya Dini untuk mengikuti acara “selamatan” di rumahnya, semacam makan-makan kecil sambil berdoa bersama.
***
Hari demi hari berlalu, tetapi perkembangan fisik Dini tidak terlalu signifikan. Cara berjalannya masih sedikit terseok, bicaranya masih balelo, tangannya pun belum bisa digerakkan secara leluasa. Mulailah muncul kecurigaan di hati Ibu Elis. “Ada apa dengan anak saya?” batin Bu Elis gundah.
Bu Elis pun mulai membawa anak semata wayangnya ini ke berbagai pusat pengobatan, baik medis maupun alternatif. Bertahun-tahun dia berikhtiar demi kesembuhan anaknya. Setiap ada orang yang memberi informasi pengobatan yang sekiranya cocok untuk anaknya, dia datangi. Proses pengobatan ini tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi untuk melakukan terapi. Meski bukan dari keluarga kaya dan berkecukupan, Bu Elis tetap mengupayakan berapa pun biaya yang dibutuhkan untuk kesembuhan anaknya. Salah satu terapis yang didatanginya mendiagnosa kalau kemungkinan Dini pernah jatuh sewaktu balita, tetapi tidak tertangani dengan baik. Bu Elis tentu saja kaget karena selama ini dia merawat anaknya dengan baik. Sampai muncul pengakuan dari neneknya Dini kalau Dini memang pernah jatuh sewaktu diasuhnya. Bu Elis memang sering menitipkan anaknya kepada mamanya atau neneknya Dini ini ketika dia sibuk atau kadang neneknya sendiri yang ingin bermain bersama cucunya.
Nasi sudah menjadi bubur, bukan saatnya lagi menyalahkan siapa-siapa. Toh semua terjadi bukan karena disengaja. Selama ini neneknya Dini pun sangat menyayangi Dini lebih dari cucu-cucunya yang lain. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar kondisi fisik Dini bisa pulih, syukur-syukur bisa benar-benar normal seperti anak-anak lain.

Mendidik Kemandirian kepada Putri Tunggalnya
            Ketika mengetahui anaknya memiliki keterbatasan dalam saraf geraknya, sempat muncul kekhawatiran di benak Bu Elis akan masa depan anaknya, terutama dalam soal pendidikannya. Apa ada sekolah yang mau menerima anak saya nanti dengan kondisi fisik seperti itu? Begitu batin Bu Elis. Waktu itu dia belum mendapat informasi memadai tentang Sekolah Luar Biasa (SLB). Kalau memasukkan anaknya ke sekolah umum, dia khawatir Dini tidak bisa mengikuti pelajaran sekolah dengan baik. Meski otak anaknya normal, tetapi cara geraknya serba terbatas. Siapa yang akan membantunya bila dia ingin ke kamar kecil, misalnya. Bagaimana kalau teman-temannya tidak bisa menerima dirinya sepenuhnya, bahkan mengolok-olok dirinya? Serta banyak pertimbangan dan kekhawatiran lain yang membuatnya sibuk mencari informasi sekolah khusus untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan seperti anaknya.
            Akhirnya, Bu Elis memasukkan Dini ke sekolah khusus untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan, SLB. Sekolah seperti ini jarang ada di tempat tinggalnya. Kalau toh ada jaraknya lumayan jauh. Bu Elis pun harus mencari orang yang bersedia mengantarkan anaknya setiap hari dengan kendaraan bermotor. Otomatis harus merogoh kocek lebih banyak daripada kalau naik angkot. Namun, tidak ada jalan lain karena kondisi Dini tidak memungkinkannya untuk pulang-pergi sekolah dengan naik angkot, apalagi kalau berangkat sendiri.
***
            Dalam hal agama, Bu Elis mengakui kalau ilmunya masih sangat kurang. Namun, dia sadar betul akan pentingnya agama dalam kehidupan. Oleh karena itu, dia memasukkan Dini ke sekolah TPA saat usianya masih kanak-kanak. Setelah masuk SDLB, sepulang sekolah Dini ikut ngaji sore. Meski Bu Elis tidak pernah mengajari Dini membaca Al Qur’an, tetapi ternyata Dini termasuk cepat menguasai Iqra. Saudara sepupu Dini yang usianya sama dan sering ngaji bareng malah kalah cepat dibanding Dini. Padahal dia normal, tidak ada gangguan dalam berbicara dan sebagainya. Saat Dini sudah masuk Iqra jilid III, misalnya, dia masih sibuk dengan Iqra I.
            Dini juga termasuk anak yang rajin beribadah meski tanpa disuruh. Saat masih di bangku kelas IV SD, Dini bahkan sudah berniat memakai jilbab. Katanya, itu wajib bagi muslimah. Bu Elis sampai merasa terharu dan kaget. Namun, saat itu Bu Elis belum bisa mengizinkan Dini untuk memakai jilbab karena khawatir baju panjang akan menyulitkan ruang gerak Dini nantinya. Yah, dengan cara jalan Dini yang masih sedikit terseok memang sempat membuat ibunya khawatir jatuh bila mamakai rok panjang. Karena tekad Dini untuk berjilbab begitu kuat, Bu Elis pun mengizinkannya mengenakan jilbab ketika masuk SLTP.
            Satu lagi kelebihan Dini, dia sangat gemar membaca. Bu Elis pun mencoba menunjang hobi anaknya ini dengan membelikannya buku-buku bacaan dan majalah. Dia sangat menyukai buku-buku agama dan mendengarkan radio yang menyiarkan acara-acara Islami. Dari sanalah pengetahuan agama anaknya semakin berkembang. Bu Elis pun sering mendapat masukan dalam soal agama dari anaknya ini. Hal inilah yang sangat dibanggakan dari putri tunggalnya.
“Daripada memiliki banyak anak tetapi nakal, mending memiliki satu anak seperti Dini asal shalehah,” Bu Elis mengatakan dengan bangga. “setidaknya kalau saya meninggal nanti ada yang mendoakan saya,” lanjut Bu Elis dengan rona penuh kebahagiaan. Ada ketenangan memancar dari wajahnya saat mengungkapkan kalimat tersebut.
            Mereka memang ibu dan anak yang sama-sama beruntung. Dini merasa beruntung memiliki ibu yang menyayanginya dengan sepenuh hati, Bu Elis pun merasa beruntung memiliki anak shalihah seperti Dini. Namun, ada sedikit kegundahan di dalam hati Bu Elis. “Kalau saya meninggal lebih dulu, bagaimana dengan Dini? Siapa yang akan mengurus segala kebutuhan dirinya?”
            Bu Elis pun mulai berpikir bagaimana membuat anaknya mandiri dan tidak bergantung kepada dirinya. Sedikit demi sedikit dia mulai mengajarkan kemandirian kepada Dini. Semua memang bertahap dan berproses, Bu Elis pun menyadari itu. Ketika Dini sudah mulai bisa memegang alat mainnya sendiri, saat itulah Bu Elis mulai mengajarkan anaknya makan sendiri. Dini memang hanya bisa menfungsikan tangan kirinya, tetapi Bu Elis yakin Dini akan mampu melakukan aktivitas kesehariannya kelak kalau dia terus dilatih. Sedikit demi sedikit, Dini pun dilatih mandi sendiri, pergi ke kamar mandi sendiri, dan seterusnya. Satu tahapan yang bagi anak lain mungkin bisa melakukannya sendiri tanpa latihan, tetapi tidak bagi Dini, dia harus dilatih sedikit demi sedikit.
            Ketika usianya sudah mulai beranjak besar, masuk sekolah dasar, Dini sudah mulai dilatih untuk mencuci pakaian dalamnya. Ini dirasa tidak membebani karena ukurannya kecil. Ketika sudah mampu melakukannya sendiri, Dini pun harus mampu mencuci bajunya sendiri. Bukan hanya itu, Dini pun dilatih untuk menyapu dan mengepel lantai rumahnya. Semua tahapan disesuaikan dengan tingkat kemampuan Dini. Mungkin awalnya berat bagi Dini. Bu Elis selalu menekankan kepada Dini bahwa semua itu dia lakukan bukan untuk menyiksa Dini, tetapi sebaliknya, untuk melatih Dini agar mandiri.
“Ibu nggak selamanya bisa berada di samping Dini. Bagaimana kalau Ibu meninggal lebih dulu daripada Dini, siapa yang akan mengurus Dini kalau bukan diri Dini sendiri?” Itulah nasihat Bu Elis sebelum memberikan anaknya beberapa pekerjaan rumah.
Alhamdulillah, tidak ada penolakan atau pemberontakan dari Dini karena Dini pun menyadari semua itu untuk kebaikan dirinya, semua karena rasa sayang ibunya kepadanya yang tidak ingin melihat anaknya sengsara sepeninggalnya. Meskipun soal ajal tidak ada yang tahu, mana yang lebih dulu, anak atau orang tuanya.
            Memang, kadang ada tetangga yang sedikit protes kepada Bu Elis, “Kenapa anakmu disuruh melakukan pekerjaan rumah seperti itu? Nggak kasihan?”
            “Justru ini untuk kebaikan anak saya. Saya tidak ingin anak saya lemah. Kalau tidak dilatih, selamanya dia tidak akan bisa melakukan apa-apa,” jawab Bu Elis bijak.
            Hanya saja, untuk mencuci piring Bu Elis tidak mengizinkan Dini melakukannya karena licin, sedangkan pegangan tangan Dini terlalu lemah. Dia khawatir anaknya akan terkena pecahan barang pecah belah ini kalau sampai piring atau gelas yang dipegangnya jatuh.
Selayaknya anak remaja lain, Dini pun ingin bermain bersama teman-teman sebayanya. Dini paling suka pergi ke pengajian atau menghadiri seminar tertentu. Bu Elis tidak pernah menghalangi selama cuaca bersahabat, tidak hujan lebat. Dia tinggal mengontak orang yang biasa mengantar-jemput Dini. Selagi semua akan membawa kebaikan bagi perkembangan jiwa Dini, Bu Elis tidak pernah melarang.
“Tidak ada yang harus disembunyikan dari seorang anak meski dia memiliki keterbatasan. Tidak perlu malu mengakui kondisi itu di hadapan orang lain. Semua sudah diatur oleh Allah. Jangan pula terlalu memanjakan anak hanya karena kasihan melihat kondisi fisiknya. Justru kita harus merasa kasihan kalau anak kita tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya menjadi beban bagi orang lain.” Begitulah pesan Bu Elis kepada orang tua yang mungkin memiliki anak seperti Dini.

Menjadi Single Parent

Bu Elis menikah tahun 1986 pada usia 21 tahun. Hanya sayangnya pernikahannya ini tidak mendapat restu dari mertuanya hingga setahun kemudian mereka memutuskan untuk bercerai. Anak pertama mereka yang masih bayi pun ikut Bu Elis sebagai mamanya. Dengan penuh kasih sayang dia merawat anak kesayangannya ini.
Saat usia Dini masih balita, Bu Elis menikah lagi dengan seorang pengacara. Akan tetapi, pernikahannya yang kedua ini ternyata berbuntut konflik karena dia berstatus sebagai istri kedua. Merasa tidak enak dengan istri pertama, Bu Elis pun memutuskan untuk bercerai dengan suami keduanya ini pada saat Dini berusia sekitar enam tahun.
Mulai saat itu Bu Elis harus menghidupi diri sendiri dan seorang anaknya. Dia sebenarnya masih mendapat uang tunjangan dari suami keduanya, tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Apalagi dia juga ikut membiayai seorang keponakannya (anak dari kakaknya).
Untuk menghidupi diri dan anaknya, Bu Elis rela melakukan pekerjaan apa pun asal halal. Dia pernah menjadi tukang kredit baju-baju, barang-barang elektronik, hingga membuka kios kelontong di pasar. Namun, bukan keuntungan yang didapat, dia malah sering rugi, bahkan terlilit hutang. Untuk menutupi hutang-hutangnya, Bu Elis sampai harus menggadaikan sertifikat rumahnya. Akan tetapi, hutang belum terlunasi juga hingga akhirnya dia harus menjual rumahnya meski dengan harga murah. Setelah rumah dijual, dia tinggal di rumah orang tuanya. Hasil penjualan rumah ternyata masih belum bisa menutupi hutang-hutangnya ini.
Dalam tekanan akan kebutuhan ekonomi yang mendesak, hampir-hampir membuat Bu Elis putus asa. Namun, ketika teringat dengan Dini, semangat hidupnya kembali berkobar. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan diri saya, bagaimana dengan anak saya? Batin Bu Elis. Satu-satunya yang terlintas dalam pikirannya saat itu adalah menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Konon banyak TKW dan TKI yang berhasil, mereka pulang kembali ke Indonesia dengan membawa banyak uang untuk membangun rumah dan mengumpulkan modal usaha. Meski dia juga sering mendengar kabar miring tentang TKI yang akhirnya pulang hanya tinggal nama, tetapi toh banyak juga yang berhasil. Memang, segalanya masih serba tidak pasti, mungkin berhasil dan mungkin juga tidak. Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba. Begitu pikir Bu Elis waktu itu.
Akhirnya, Bu Elis memutuskan untuk menjadi TKW di Arab Saudi. Sebuah keputusan yang sangat berat sebenarnya. Apalagi dia harus berpisah dengan Dini, satu-satunya anak kesayangan yang telah menjadi jantung hatinya. Terlebih kondisi fisik Dini yang nyaris selalu membutuhkan orang lain untuk melakukan segala aktifitas hidupnya. Usia Dini saat itu baru delapan tahun. Anak yang normal sekali pun masih sangat membutuhkan kasih sayang dan kehadiran ibunya lebih intens pada usia seperti itu. Namun, Bu Elis merasa tidak menemukan jalan lain kecuali menjadi TKW.
Dini melepas ibunya ke luar negeri dengan deraian air mata. Seandainya mampu, tentu dia ingin mencegah ibunya pergi, dia ingin ibunya tetap berada di sisinya, mendampingi setiap aktifitasnya, mendampingi saat bermain dan bersekolahnya. Yah, saat itu Dini baru mulai masuk sekolah di SDLB. Tentu Dini sangat ingin mendapat bimbingan belajar langsung dari ibunda tercintanya. Akan tetapi, segalanya menjadi sulit bagi mereka. Betapa pun Bu Elis juga sangat ingin terus mendampingi anaknya, tetapi demi masa depan anaknya pula dia harus meninggalkan anaknya untuk sementara waktu. Demi mendapat biaya pendidikan dan kehidupan yang lebih layak untuk anaknya inilah Bu Elis rela terbang ke Arab Saudi, negara yang katanya kejam—banyak menelan korban para TKI—tetapi sekaligus memberi impian surga buat para pencari pekerjaan.
Begitu sampai di Arab, majikan Bu Elis menyuruhnya membuat surat untuk keluarganya di Indonesia. Majikannya sangat baik, bahkan menganggap Bu Elis seperti keluarganya sendiri. Namun, sekitar delapan bulan berada di sana, kemudian muncul masalah baru. Majikan perempuannya memintanya untuk menjadi istri kedua Babah, panggilan untuk majikan laki-lakinya. Bu Elis sempat heran mengapa ada istri yang mencarikan istri kedua untuk suaminya sendiri. Meski majikannya sangat baik, bahkan meminta Bu Elis untuk menjemput anaknya di Indonesia agar bisa tinggal bersama di Arab, tetapi Bu Elis tetap tidak bisa memenuhi permintaan majikan perempuannya ini. Kondisi ini mulai membuatnya merasa tidak betah dan kembali teringat dengan keluarganya di rumah, terutama dengan anak perempuannya.
Selama Bu Elis bekerja di Arab, dia menitipkan anaknya ini kepada neneknya. Dia percaya 100% dengan orang tuanya yang selama ini sangat menyayangi Dini lebih dari cucu-cucunya yang lain. Akan tetapi, tetap saja Dini pasti sangat membutuhkan ibunya, ibu yang selama ini melahirkan, merawat, dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Kerinduan kepada anaknya ini selalu mengusik hari-harinya, bahkan saat dia tertidur.
“Sedang apa anakku sekarang? Apakah dia makan dengan baik? Apa kebutuhan hidupnya terpenuhi? Apa dia di sana benar-benar mendapatkan kasih sayang seperti yang dibutuhkannya?” segala pertanyaan berkecamuk di hati Bu Elis.
Namun, apa daya jarak memisahkan mereka begitu jauh. Hanya doa tulus seorang ibu demi kabahagiaan, kesehatan, dan keselamatan anaknya yang selalu dia panjatkan kepada pemilik makhluk-makhluk-Nya, termasuk yang memiliki Dini. Bagaimana pun Dini hanyalah titipan dari Allah, dia tidak berhak memiliki, hanya diamanahi untuk merawat dan membesarkan anaknya. Selain jarak, Bu Elis juga terikat kontrak kerja selama dua tahun.
Bu Elis sangat sadar kalau peluang dirinya untuk pulang ke Indonesia dalam waktu dekat sangatlah tidak mungkin. Namun, rasa rindu kepada anaknya sepertiya tidak tertahan lagi. Pada awalnya, majikannya sempat tidak mengizinkannya pulang ke Indonesia dengan alasan belum habis masa kontrak kerjanya. Kalau masa kerjanya sudah dua tahun, majikannya bahkan berjanji akan menghajikan Bu Elis dan mengantarnya langsung ke Indonesia. Akan tetapi, tekad Bu Elis untuk pulang saat itu sudah bulat. Dia bahkan sampai kabur dari rumah majikannya dan pergi ke Kedubes RI. Ketika majikannya datang ke Kedubes atas permintaan pihak Kedubes, Bu Elis terpaksa bilang kalau majikannya telah memperlakukannya dengan tidak baik. Ini demi meluluskan keinginannya untuk segera pulang ke Indonesia. Pihak Kedubes pun akhirnya menyerahkan kembali Bu Elis kepada majikannya. Planning pertama tidak berhasil, rencana kedua pun mulai dijalankan. Bu Elis mogok makan hingga akhirnya majikannya merasa kasihan dan meluluskan permintaanya untuk pulang kembali ke Indonesia.
Gajinya selama bekerja di Arab ternyata belum bisa melunasi hutang-hutangnya di Indonesia, ditambah lagi dengan hutang-hutang ibunya. Setelah mencoba mencari peluang kerja dan belum menghasilkan sejumlah uang untuk melunasi hutang-hutangnya, ide untuk menjadi TKW pun kembali muncul di pikiran Bu Elis. Keputusan menjadi TKW kali ini sebenarnya lebih berat. Kalau sebelumnya dia bisa menitipkan putri tunggalnya kepada ibunya, saat itu ibunda tercintanya telah meninggal dunia. Dalam kebimbangan, ternyata Allah menunjukkan jalan. Ada salah satu kakaknya yang mengaku siap mengurus Dini selama dia pergi bekerja ke luar negeri. Bu Elis pun kembali menginjakkan kakinya di Arab Saudi untuk mengais rezeki.
Di negara Arab ini Bu Elis seharusnya bekerja sebagai babysitter sesuai dengan kontrak kerja yang diajukannya kepada biro penyalur tenaga kerja. Namun, ternyata setelah sampai di sana dia harus bekerja hampir seperti pembantu. Dia kadang harus mengangkat galon air mineral dari lantai satu hingga lantai tiga. Bayi yang seharusnya diasuhnya ternyata belum lahir. Namun, setelah anak majikannya lahir dan ternyata bayi tersebut memiliki keterbatasan fisik yang hampir mirip dengan anaknya, membuat Bu Elis begitu menyangi anak majikannya. Dia pun mulai betah tinggal di sana.
Akan tetapi, masa-masa manis ini ternyata tidak bertahan lama. Keluarga muda majikannya ini kemudian bercerai dengan penyebab yang tidak diketehui pasti oleh Bu Elis. Akhirnya, Bu Elis harus ikut orang tua majikannya dan merawat majikan yang sudah jompo. Sayang, majikan yang sudah mulai pikun ini sangat cerewet dan membuatnya tidak betah. Kondisi ini kembali mengusik kerinduannya kepada jantung hatinya di tanah kelahirannya. Di negara yang sangat jauh dari keluarganya, Bu Elis sering terus teringat dengan putri tunggalnya ini. Merasa tidak tahan dengan perlakuan majikannya, Bu Elis pun memutuskan untuk kembali ke tanah air. Apalagi, selama tinggal di sana dia hampir tidak diizinkan mengirim surat ke Indonesia oleh majikannya. Terhitung hanya sekali dia mengirim surat kepada keluarganya di tanah air. Dia terpaksa berbohong kepada keluarganya dengan mengatakan kalau dia di Arab dalam kondisinya baik-baik saja. Padahal keadaan yang sesungguhnya tidaklah demikian. Dia hanya tidak ingin membuat keluarganya di tanah air panik dan sedih memikirkannya.
Berbulan-bulan berada di Arab tanpa kabar berita, sempat membuat keluarganya panik dan mengira dia sudah meninggal dunia. Salah satu kakaknya bahkan ada yang berencana memasukkan Dini ke panti asuhan kalau dia meninggal dunia. Hal ini sungguh membuat Dini sedih luar biasa. Dia merasa dibuang oleh kelurganya sendiri. Kehadiran suratnya itu membuat Dini kembali berbinar. Setidaknya dia masih bisa berharap untuk tetap berada di lingkungan keluarga yang menyayanginya, bukan di panti asuhan. Setelah sebelas bulan berada di Arab, Bu Elis akhirnya kembali ke Indonesia dengan sedikit pertentangan dengan majikannya. Yah, sesuai kontrak memang seharusnya dia belum boleh pulang. Kabur menjadi senjatanya, tetapi dia akhirnya tertangkap lagi dan kembali dipertemukan dengan majikannya. Namun, tekad kuat Bu Elis untuk pulang ke kampung halaman membuat majikannya luluh dan mengizinkannya pulang meski dengan biaya sendiri.
Bu Elis akhirnya kembali berkumpul dengan keluarganya di Bandung. Dini, anak semata wayangnya ini tentu menyambut gembira kedatangan ibunya. Meski masalah demi masalah kembali bermunculan setelah itu, tetapi Bu Elis sudah mulai terlatih dan menjalaninya dengan tegar. Masalah ekonomi masih menjadi masalah terbesarnya, tetapi dia tidak mau mengambil risiko untuk kembali menjadi TKW ke luar negeri. Sudah cukup pengalamannya makan asam garam di luar negeri. Dia pun mencoba peruntungan di negeri sendiri.

Membuka Usaha Panti Pijat
Allah Swt. Yang Maha Agung ternyata memberi jalan rezekinya melalui kemampuan terpendam yang selama ini tidak disadarinya. Pada awalnya dia ikut bekerja menjadi tukang pijat bersama adiknya yang sudah lebih dulu menjalani profesi ini. Ketika dia sudah merasa percaya diri dengan kemampuannya, atas persetujuan adiknya, dia pun mencoba mandiri. Sedikit demi sedikit pelanggannya mulai bertambah, apalagi dia sudah mulai mampu melobi beberapa hotel untuk menjadi pelanggannya. Ketika pelanggan mulai bertambah dan tidak tertangani sendiri, dia pun mulai merekrut anak buah.
Bu Elis sangat sadar risiko berbisnis di jalur ini. Kalau tidak benar-benar mampu menjaga imej, namanya akan tercemar. Maklum, tidak sedikit pelaku di bisnis ini yang menjadikan bisnis pijat plus-plus yang cenderung ke arah negatif. Satu hal yang selalu menjadi prisip bisnis Bu Elis, bahwa dia hanya mau menerima order pijat murni, bukan yang plus-plus. Dia benar-benar menjaga profesionalismenya sebagai tukang pijat. Prinsip ini juga diterapkan kepada semua anak buahnya. Kalau orang sudah berani membayar mahal jasa pijatnya, dia pun harus mampu memberi servis semaksimal mungkin. Dia tidak mau asal-asalan dalam bekerja. Risikonya, mungkin keuntungannya tidaklah besar. Namun, dia tetap yakin bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah, manusia hanya diberi kuasa untuk berusaha semaksimal mungkin. Yah, meski pandapatannya turun-naik dan tidak pasti, tetapi berapa pun hasilnya tetap disyukurinya.
Demi kebahagiaan Dini dan agar dia memiliki figur ayah, sekitar setahun lalu Bu Elis memutuskan untuk menikah lagi dengan ayah kandungnya Dini. Saat itu mertua yang dulu tidak merestui hubungan mereka sudah meninggal dunia, jadi tidak ada yang menghalangi pernikahan mereka. Mereka berharap dengan pernikahan kembali ini akan membawa angin kebahagiaan di rumah tangga mereka dan menjadi keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara). Amin.@

#Tulisan ini dalam Buku "Cerita Cinta Ibunda" terbitan Mizan