Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, November 30, 2010

Asap Rokok Kandung 4.000 Zat Kimia Berbahaya



Aku  paling sebel sama yang namanya asap rokok. Apalagi kalo lagi di angkutan umum ada orang yang seenaknya merokok tanpa peduli apakah orang di sekitarnya terganggu dengan asap rokok yang mereka keluarkan atau tidak. Udah gitu kalau ditegur sering malah marah, seolah itu kendaraan pribadi mereka sendiri sehingga mereka bebas melakukan apa saja, termasuk merokok sembarangan.

Pas baca artikel ini semoga membuka kesadaran para perokok untuk tidak menyebarkan racun rokok ke orang-orang di sekitarnya. Kita berhak untuk mendapatkan suasana bersih dan sehat di sekitar kita, jangan kotori dnegan rokok kalian.

Yogyakarta (ANTARA) - Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 zat kimia berbahaya seperti karbon monoksida, sianida, uap fosfor, uap senyawa belerang, dan uap hasil pembakaran zat tambahan, kata mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kartono Muhammad.

"Bahaya asap rokok 10 kali lebih besar daripada zat `ter` dalam rokok," katanya pada lokakarya Menuju Kawasan Tanpa Rokok 100 Persen di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di Asri Medical Center (AMC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin.

Oleh karena itu, menurut dia, asap rokok lebih membahayakan perokok pasif daripada perokok aktif. Dalam asap rokok kadarnya beberapa kali lebih besar dibanding yang diserap oleh perokok aktif.

"Dalam satu batang rokok mengandung sekitar 1,5 persen nikotin. Endapan asap rokok yang berupa hasil pembakaran nikotin mudah melekat di benda-benda dalam ruangan, dan bisa bertahan sampai lebih dari tiga tahun, dan tetap berbahaya," katanya.

Advisor Indonesia Institute Social for Development Sudibyo Markus mengatakan Indonesia merupakan konsumen rokok peringkat tiga terbesar di dunia setelah China dan India.

Menurut dia, sekitar 240 miliar batang rokok telah dihisap oleh 240 juta penduduk Indonesia. Tingginya jumlah perokok tersebut disebabkan masih rendahnya kesadaran mengenai bahaya nikotin dalam rokok.
Selain itu, juga masih adanya anggapan di kalangan masyarakat bahwa rokok adalah warisan budaya. Anggapan tersebut membuat sebagian besar masyarakat enggan untuk meninggalkan kebiasaan merokok.

"Kondisi itu ditambah dengan iklan-iklan di media yang menganggap bahwa merokok adalah gaul, modern, dan jantan," katanya.

Rektor UMY Dasron Hamid mengatakan aturan mengenai larangan merokok penting diterapkan di ruang-ruang publik, karena asap rokok berbahaya bagi kesehatan manusia.

"Aturan tersebut diharapkan dapat diimplementasikan di ruang-ruang publik terutama sekolah, kampus, dan kantor. Dengan adanya aturan itu diharapkan nanti seluruh ruang publik bisa benar-benar 100 persen bebas rokok," katanya.

Senin, November 29, 2010

Kearifan di Balik Arung Jeram


Berarung jeram bareng kru MQ Media di Situ Cileunca, Pangalengan.
  

Hanya orang-orang yang berani mengarungi terjalnya kehidupanlah, yang tidak akan ngeri lagi dengan kemelut hidup. Maka arungilah hidup ini, meski jeram dan batu cadas menghadang di depan.

Arung jeram, bagiku adalah sebuah olah raga yang tampaknya sangat mengerikan. Sang pemain harus bisa menaklukkan arus yang deras, jeram yang curam, batu-batu besar dan tajam di sana-sini yang siap menghantam tubuh sang pemain. Hanya orang-orang yang menyukai tantangan yang berani melakukannya.

Namun, alhamdulillah Allah Swt. pernah memberi saya kesempatan untuk mencoba menikmati olah raga ini. Awalnya memang ada rasa ngeri. Tapi setelah dijalani, ternyata mengasyikkan juga, bahkan membuatku ketagihan. “Rahasia agar bisa mengapung di air dengan selamat adalah tenang, jangan panik. Karena kalau panik, malah akan tenggelam,” bagitu sang pelatih memberi pembekalan pada kami saat memulai pelajaran mangapung di air dengan mengenakan baju pelampung sebelum melakukan arung jeram.

Saya tetap merasa khawatir, karena nggak bisa renang. “Terus terang saya nggak bisa renang, tapi asal kita paham dan mau mematuhi aturan yang ada, insya Allah selamat. Tapi kita juga jangan merasa sombong, merasa pasti bisa. Jadi tetaplah menggantungkan harapan keselamatan hanya pada Allah,” kata sang pelatih memberi kayakinan pada kami.

Setelah dijelaskan segala safety procedure yang ada, satu per satu kami pun mulai turun sungai. Saat tiba giliranku masuk sungai di air yang dalamnya setinggi leher, aku mulai mengangkat satu kaki, kemudian dua kaki, mulailah mengapung. Sesaat kemudian aku seperti mau tenggelam. Teringat pesan pelatih, maka aku coba menenangkan hati, mencoba keluar dari kepanikan. Dan alhamdulillah sampai juga di batas akhir pemberhentian. Di sana telah menunggu pelatih lain yang siap dengan tali bantu untuk kami naik.

Selesai pembekalan mengapung di air, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Arung jeram. Kami naik perahu karet bertujuh, enam orang peserta duduk di lantai (dasar) perahu karet dan seorang pelatih sebagai pemandu duduk di bibir perahu bagian belakang. Sesekali ia berdiri. Pemandu inilah yang menjadi nahkoda kapal, kapan kami harus mengayunkan dayung dan kapan berhenti mengayun. Perahu karet kami terus berlayar mengikuti arus air sungai.

“Ayun!”, seru pemandu di belakang.

“Berhenti!”, serunya kemudian.

Rupanya di depan kami ada jeram kecil, di sekitarnya tampak batu-batu besar menyembul dari permukaan air.

“aa…uu…!”, kami menjerit antara rasa ngeri dan girang. Ini petualangan baru, kapan lagi bisa menjerit lepas selain di sini.

“Ayun!”, kembali pemandu memberi aba-aba saat arus mulai tenang. “Lebih keras lagi!”.

Selesai melakukan arung jeram, tangan mulai terasa pegal. Rasa capek, panas terik matahari yang membakar muka, dan basah kuyup seluruh tubuh, tidak kami hiraukan. Kepuasan di sisi hati lebih mampu menghapus semua keluh kesah itu. Apalagi karena kami sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Hari itu saya bukan sekadar mendapat pengalaman baru tentang olah raga arung jeram, tapi sekaligus dapat pelajaran hidup. Ternyata banyak rahasia alam yang harus dipelajari untuk mengarungi segala ciptaan Allah. Gunung, lembah, laut, sungai besar, jeram curam, dsb. bisa ditaklukkan asal kita tahu ilmunya. "Maka nikmat Allah manakah yang akan engkau dustakan?" (QS Ar Rahman)

Tapi lebih penting dari itu semua adalah insigh-nya. Kadang persoalan hidup hadir di hadapan kita, lalu kita merasa takut dan ngeri karena yang terbayang di benak kita adalah kesulitan dan kesedihan. Sedang kita tidak mau merasakan semua itu. Anehnya lagi, kadang manusia suka mendramatisir masalah. Sehingga masalah yang dihadapi terasa semakin berat.

Namun, bagi seorang petualang, dia malah akan tertantang untuk menaklukkannya. Lalu, berguru pada seorang alim yang akan memandunya pada tujuan hidup yang sebenarnya. Dia hadapi segala persoalan hidup dengan terus belajar dan mengolahnya menjadi sebuah perjalanan penuh hikmah. Kadang dia harus terus mengayun dayungnya, memompa semangatnya. Namun, kadang harus berhenti mendayung, saat arus yang dilalui tenang.

Untuk menjalani dan menapaki kehidupan perlu kiranya seperti orang yang ingin mengapung di air dengan selamat, yaitu memiliki jiwa yang tenang tanpa kesombongan karena sang pengapung tidak tahu akan selamatkah dia nanti sebelum benar-benar sampai di daratan. Tentu harus terus mengingat Allah sebagai penguat keimanan. Kita juga tidak akan bisa melihat kesuksesan seseorang kecuali kalau ia meninggal dunia, apakah khusnul khatimah atau su’ul khatimah. Kalau dia khusnul khatimah maka berarti sukses.

Seorang yang berarung jeram tidak harus mereka yang pandai berenang asal paham aturan main dan mau mengikutinya. Begitupun dalam kehidupan, keselamatan bukan mutlak milik mereka yang bertitel, berharta atau segala atribut lain. Asal mampu menjalani aturan-aturan Allah, insya Allah selamat.

Persoalan hidup sering membuat pemiliknya merasa capek, lelah dan getir. Namun, bila dia telah mampu menaklukkan persoalan hidupnya, kepuasan akan lebih mampu memenuhi rongga hatinya. Apalagi bila semua itu justru bermuara pada penemuan cinta kepada Yang Esa, yaitu Allah Swt. Wallahu’alam. @@











Minggu, November 28, 2010

Video Erupsi Merapi




Tidak sabar rasanya ingin segera berbagi dengan pembaca blogku tentang hasil jalan-jalan di Merapi.

Alhamdulillah saya bisa kembali dengan selamat dan tiba di Bandung setelah dua hari tinggal dengan para pengungsi penduduk Merapi. Kebetulan saya punya seorang sahabat yang tinggal di Ngampel-Sengi, Kecamatan Ndukun, Kabupaten Magelang, sekitar 8 km dari Merapi. Bersilaturahmi sekaligus jalan-jalan mengelilingi Merapi membawa banyak hikmah. Salah satu oleh-olehnya saya upload hasil yang ada sebagai oleh-oleh utama, yaitu video erupsi Merapi yang terjadi hari Rabu, 3 November 2010. Gambar ini diambil oleh sahabat saya, Winarno, penduduk asli Merapi yang lahir dan besar di sana sehingga sangat mengenal Merapi secara mendalam.

Boleh dibilang hari Rabu itulah awal mula Merapi bergejolak. Saat gambar tersebut diambil sekitar pukul 10 atau 11 siang. Warga Ngampel-Sengi masih sedikit santai (meski tetap terselip rasa khawatir) karena awan panas Merapi bergerak ke arah Selatan kampung mereka. Sore harinya, sekitar pukul empat sore, Merapi semakin bergejolak mengeluarkan awan panas "wedus gembel" sehingga membuat penduduk panik dan mulai turun gunung menuju tempat yang dirasa aman. Penduduk Desa Ngampel yang berada 8 km dari Merapi turun ke desa yang berkisar 13 km dari Merapi. Dua hari berikutnya menjadi masa yang sangat menegangkan sekaligus menakutkan, puncaknya malam Jumat tanggal 5 November 2010 pukul 24.00 wib. Gemuruh Merapi sangat jelas terdengar seperti gemuruhnya suara kereta. Gemuruh ini dirasa lebih besar dan terasa lebih mencekam dibanding amuk Merapi sebelum-sebelumnya, bahkan hingga beberapa tahun ke belakang saat Merapi pernah mengamuk dan mengeluarkan aksinya.

Penduduk Ngampel-Sengi bahkan harus turun lagi ke tempat lebih aman karena status aman Merapi terus meluas dari 10 km bertambah menjadi 15 km, bahkan lebih luas lagi hingga 20 km dari Merapi. Sampai akhirnya mereka mengungsi di radius 25 km dari Merapi yang dianggap sebagai status aman. Hal ini tentu bukan perkara mudah. "Amuk Merapi" ini hampir selalu terjadi pada malam hari hingga mereka pun pernah turun gunung pada pukul 00.00 untuk menghindari bencana akibat Merapi ini. Kondisi ini terjadi pada malam Jumat tanggal 5 November 2010. VIVAnews.com. bahkan menyebut letusan Gunung Merapi yang terjadi pada 5 November dini hari ini sebagai letusan terhebat. Letusan itu membuat abu vulkanik menyebar hingga ke Bandung. Bahkan, pada pukul 01.10, lava pijar sempat keluar dari Merapi. Lava pijar ini mengarah ke barat menuju Kali Kuning, Kali Gendol dan sebagian ke Kali Woro. Lava juga mengalir ke arah timur.

Korban tewas bencana Gunung Merapi hingga hari Kamis (11/11/2010) mencapai 198 orang. Sedangkan 303.233 warga Merapi menjadi pengungsi. Demikian data yang diberikan Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam pesan singkat yang diterima, Kamis (11/11/2010) yang dilansir oleh VIVAnews.com. Korban terbanyak terdapat di kampungnya Mbak Marijan, Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Total korban Merapi yang tewas dengan rincian di Sleman 163 orang, Magelang 17 orang, Boyolali 3 orang, dan Klaten 15 orang.

Semoga bencana ini menjadi pelajaran kehidupan terbaik bagi kita, baik untuk yang mengalaminya maupun tidak. Hidup hanya sementara, tinggal bagaimana kita memperbanyak amal ibadah kita kepada Allah Swt. Wallahu'alam.@

Jembatan Sungai Tlingsing, desa Ngampel-Sengi, Ndukun-Magelang sebelum erupsi Merapi 2010. Tampak indah dan anggun dengan pemandangan hijau di sekelilingnya.


Jembatan Sungai Tlingsing pascaerupsi Merapi 2010. Lahar dingin mengaliri atas jembatan, bahkan dua batu sebesar kerbau dengan seenaknya nongkrong di tengah-tengah jembatan. Pembatas/pagar jembatan di samping kanan-kirinya sampai hilang diterjang lahar dingin Merapi. DAHSYAT!

Jembatan Sungai Tlingsing saat lahar dingin surut. Dalam kondisi normal seharusnya air mengalir di bawah jembatan.



Orang-orang kampung Ngampel-Sengi sedang bergotong-royong menyingkirkan dua batu besar yang menghalangi jalan di jembatan tersebut


Kamis, November 25, 2010

Berita dari Pengungsian Merapi #2


Suasana sepi kampung Ngampel-Sengi, Ndukun-Magelang (radius 8 km Merapi) saat ditinggal mengungsi para penghuninya.

Meski penduduk sekitar Merapi sudah terbiasa dengan suara gemuruhnya Merapi saat sedang beraksi, tetapi gemuruh kali ini terasa sangat berbeda. Winarno yang sudah sejak lahir dan besar di wilayah Merapi (kampungnya berada pada radius 8 km dari Merapi), tetap merasa merinding, ada rasa takut yang tiba-tiba menyengat sekujur tubuhnya begitu gemuruh itu muncul. Begitu pun istrinya yang sejak dinikahinya lebih dari sepuluh tahun lalu sudah diboyong ke sebuah kampung yang cukup asri di tepian Merapi. Namun, keindahan dan keasrian kampung ini bisa sewaktu-waktu bisa menjadi mencekam, bahkan seolah mengancam nyawa setaip penghuninya. Ancaman besar itu datang dari mana lagi kalau bukan dari Merapi.

Saat saya datang bersilaturahmi ke tempat pengungsiannya di kompleks Perumahan Prayudan, sekitar 25 km dari Merapi, istri Winarno sudah kembali ke kampung halamannya di desa Ngampel-Sengi, Ndukun, Magelang. Rupanya masyarakat sekitar Merapi sudah menganggap aman dan yakin Merapi tidak berulah lagi sehingga berani kembali ke rumah masing-masing. Namun, para pengungsi resmi yang dikondisikan oleh pemerintah (baik di barak-barak pengungsian atau tempat-tempat umum lain yang disediakan khusus) belum diizinkan pulang. Status Merapi saat itu masih ditetapkan dalam kondisi “AWAS” oleh pemerintah.

Jalanan kampung masih dipenuhi debu vulkanik Merapi.
Jalanan yang sudah dibersihkan dari debu, Debu-debu vulkanik Merapi disisihkan di penggir-pinggir jalan.
Tanaman rusak akibat erupsi Merapi, lahar dingin sempat menyapu habis lahan ini.

Keesokan harinya, Sabtu, 20 Nopember 2010, pagi hari, saya berkesempatan mengunjungi kampung halaman mereka. Sepanjang jalan menuju kampung Ngampel-Sengi hampir seperti kota mati. Tanaman-tanaman sayuran dataran tinggi sebagai mata pendaharian utama mereka kering terkena sapuan awan panas. Debu-debu Merapi masih menghiasi segala yang terhampar di Bumi mereka. Konon ceritanya kondisi ini sudah lebih baik karena sudah terguyur hujan beberapa hari terakhir. Terbayang bagaimana kondisi awal kampung-kampung tersebut saat pertama tersapu awan panas atau tertutup debu vulkanik yang begitu tebal. 

Saat gemuruh pertama datang terasa mencekam hari Rabu, 3 Nopember 2010. Beberapa penduduk ada yang turun ke km 13 dari Merapi, mencari tempat yang dirasa aman. Hampir semua penduduk kampung turun ke bawah tanpa komando dengan tujuan berbeda-beda. Ada yang ikut tidur di malam hari di barak pengungsian, di sekolahan, di masjid, di kantor kecamatan, dan lain-lain. Saat pagi menjelang mereka kembali ke rumah masing-masing. Malam Kamis masih seperti itu hingga malam Jumat tanggal 5 Nopember 2010 menjadi malam yang benar-benar mencekam. Gemuruh Merapi terasa sangat dahsyat. Kondisi ini menuntut para pengungsi mencari titik paling aman yang ditetapkan pemerintah, yaitu 20 km dari Merapi. Winarno beserta keluarganya pun mengungsi secara resmi (bukan sekadar ikut tidur) di kompleks perumahan yang dihuni Buliknya, yaitu Perum Prayudan. Dengan mengendari dua motor, satu motor diisi oleh tiga orang. Suami-istri yang memiliki seorang putri ini membawa serta kedua orang tuanya dan tetangganya. Mereka harus melintasi jalanan yang lumayan licin akibat sisa-sisa debu Merapi dalam gelapnya malam. Apalagi lampu listrik sengaja dimatikan oleh PLN. Pada saat yang sama orang lain pun sibuk mengungsi.

Terbayang bagaimana paniknya penduduk sekitar Merapi pada hari-hari itu. Tidur malam tidak pernah lelap karena takut ancaman Merapi dengan keluarnya lahar dingin, siang hari terkadang muncul ancaman wedus gembel. Antara satu tetangga dengan tetangga lain tidak saling tahu mengungsi di mana, semua sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Sampai kemudian mereka sepakat untuk mengungsi di tempat yang sama, Perum Prayudan. Alhamdulillah, di tempat ini segala fasilitasnya jauh lebih memadai dibandingkan bila mengungsi di barak atau di tempat-tempat umum yang disediakan oleh pemerintah. Hanya saja, risikonya mereka harus mencari dana secara swadaya. Karena itulah pihak tuan rumah kemudian membentuk kepanitiaan untuk mengurus sekitar 400-an orang pengungsi di kompleks mereka. Panitia ini kemudian menjalin kerja sama dengan berbagai LSM yang khusus menangani korban Merapi atau mencari para dinatur dari kenalan-kenalan mereka, termasuk bantuan dana, sarana dan prasarana dari penghuni kompleks tersebut. Mereka juga tetap mengajukan bantuan logistic untuk para pengungsi kepada pemerintah setempat karena bagaimana pun hal ini sebenarnya tanggung jawab pemerintah. Meski jumlah bantuan dari pemerintah jauh dari memadai, tetapi tetap mereka syukuri. Toh mereka tidak hanya menerima bantuan dari satu sumber.

Secara pribadi saya merasa salut dengan kesigapan dan kerjasama yang baik para penghuni kompleks yang begitu peduli dengan para pengungsi korban erupsi Merapi. Mereka bukan hanya rela menyumbangkan harta mereka jutaan rupiah untuk para pengungsi yang jumlahnya tidak sedikit, tetapi juga rela meminjamkan rumah mereka meski dengan risiko pintu rusak, meja makan yang terbuat dari kaca menjadi pecah. Namun, mereka tidak merasa kapok membantu para pengungsi ini. Apalagi mereka yang didaulat menjadi panitia untuk mengurusi para pengungsi ini, seolah tidak bisa tidur nyenyak sebelum para pengungsi dipastikan semua sehat, mendapat jatah makan layak, menerima bantuan sesuai kebutuhan mereka.
Suasana di pengungsian di kompleks Bumi Prayudan, Magelang.
Para korban Merapi saat menerima bantuan dari LSM.


Subhanallah. Bila banyak warga yang begitu peduli dengan sesamanya saat kesusahan seperti ini, mungkin musibah sebesar apa pun akan lebih terasa ringan. Memang, tidak semua pengungsi merasakan kenikmatan seperti mereka. Namun, kisah yang segelintir ini semoga menginspirasi banyak orang untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik dari mereka untuk sesamanya. Mereka bergerak dan berbuat tanpa menunggu instruksi dari pihak lain, apalagi pemerintah. Semua digerakkan oleh rasa kemanusiaan yang dalam atas dasar keimanan kepada Allah Swt.  @

Rabu, November 24, 2010

Berita dari Pengungsian Merapi #1

 
Ketika mendengar berita Merapi bergolak kembali saya langsung teringat dengan sahabat lama saya sesama kru Tabloid MQ, hanya saja dia koresponden untuk wilayah Jogjakarta dan sekitarnya. Sebenarnya saya jarang bertemu dia, kalau dihitung mungkin hanya dua kali, saat dia berkunjung ke Bandung, ke kantor Tabloid MQ dan saat saya dan beberapa rekan kru Tabloid MQ meliput kondisi pascagempa Jogja tahun 2006 lalu.

Meski jarang bertemu, bukan berarti tidak harus peduli dengan penderitaan dia dan orang-orang di kampungnya saat Merapi kembali beraksi. Winarno, sahabat saya ini lahir dan besar di Magelang hingga menikah dan punya anak. Wajar jika dia sudah sangat akrab dan mengenal betul dengan Merapi dan segala tingkahnya.

“Biasanya saat Merapi beraksi orang-orang sibuk turun ke bawah mencri tempat aman, tapi saya malah asyik mengambil gambar Merapi beraksi,” kata Winarno yang hobi fotografi dan Merapi sering menjadi objek favoritnya.

“Tapi aksi Merapi kali ini membuat saya takut dan trauma bukan main. Mendengar dero motor saja sudah membuat jantungku bedebar keras seolah mendengar gemuruh Merapi saat beraksi,” lanjut Winarno yang selama ini dikenal tegar dan kuat menghadapi segala “kenakalan” Merapi.

Yah, aksi Merapi 2010 ini memang terasa berbeda, bukan hanya dirasakan oleh Winarno yang usianya baru sekitar 35 tahunan. Seorang bapak yang tinggal di sebuah desa Stabelan, radius 5 km dari Merapi pun mengungkapkan hal yang sama. “Merapi sekarang beda dari tahun-tahun kemarin. Biasanya seminggu beraksi sudah reda. Sekarang, sudah lebih dari dua minggu masih belum ada kepastian kapan akan berhenti,” ungkap seorang bapak yang saya temui di dekat lahannya saat kembali dari mengungsi.

Usia bapak ini sekitar 65 tahunan. Dia asli kampung ini, lahir dan besar di dekat Merapi. Seperti halnya Winarno, dia pun sudah mengenal Merapi. Ternyata dia pun mengalami ketakutan dan debaran yang sama dengan penduduk kampungnya, apalagi kampungnya lebih dekat dibanding kampungnya Winarno. Sudah lebih dari dua minggu dia mengungsi beserta orang-orang di kampungnya ke tempat yang lebih aman. Setelah peristiwa meninggalnya Mbah Marijan pada 26 Oktober 2010, banyak masyarakat kampung sekitar Merapi yang mengungsi karena status "Awas" Merapi yang belum juga turun.

Baru sekitar dua hari sebelumnya (18-19 Nopember 2010)  dia bisa naik lagi menengok rumah dan lahannya. Biasanya dia naik ke kampungnya mulai pagi hari untuk mengurus ternak dan melihat-lihat sawahnya atau membersihkan rumah. Mulai siang hari sekitar pukul 14.00 atau menjelang asar dia kembali ke barak pengungsian. Tidak semua orang kampungnya pulang kembali ke kampung saat pagi hingga siang hari, hanya beberapa orang saja. Suasana kampung yang berbatasan dengan Boyolali ini pun sepi, hampir seperti kota mati. Apalagi debu vulkanik sisa-sisa hujan debu Merapi masih melekat di setiap bagian kampung, dari mulai jalanan aspal, halaman rumah, atap rumah, dan sebagainya. Mungkin karena hujan sudah banyak mengguyur kampung ini, debu-debu di jalanan aspal sudah tidak begitu tebal, tetapi masih tampak sisa-sisanya sehingga membuat jalanan licin. Suasana seperti ini juga didaptkan di Desa Trinjing yang berjarak 4 km dari Merapi.

Desa Trinjing, kampung tertinggi di ujung Merapi, sekitar 4 km dari Merapi. Di desa ini pula pos pemantauan didirikan. Namun, saat penulis berkunjung ke sana petugas pos pemantau Merapi sudah tidak berada di tempat karena daerah ini sebenarnya sudah disterilkan dan tidak boleh dikunjungi bahkan oleh penduduk desa ini sekalipun. Mereka sudah mengungsi, tetapi sesekali masih berkunjung ke desanya.

Bila berjalan lebih tinggi ke radius 4 km dari Merapi di atas kampung Belang Selo-Boyolali yang berbatasan dengan Magelang tersebut, jalanan aspal masih digenangi debu Merapi yang tebalnya sekitar 5 cm. Saya yang dibonceng sahabat saya dengan mengendarai motor pun sempat jatuh karena oleng akibat jalanan yang licin oleh debu Merapi. Sepanjang jalanan di kampung ini benar-benar masih dipenuhi debu, bahkan pada radius 2 km dari Merapi suasana hampir seperti kota salju yang seluruhnya putih, hanya saja putihnya bukan karena salju, tetapi karena debu yang begitu tebal.

Bila ingin aman, masker harus selalu kita kenakan, kaca mata pelindung dan helm pun harus dipakai. Tentu saja pakain harus serba tertutup memakai baju lengan panjang dan celana panjang. Bila perlu memakai kaus tangan dan sepatu bot. Saya yang waktu itu tidak mengenakan kaus tangan dan sepatu bot harus menikmati setiap debu yang menempel di tangan dan kaki hingga membuat kulit terasa begitu kering. Meski sudah dicuci dengan air (yang juga sedikit berbau debu Merapi) tetap terasa kering kecuali setelah memakai hand-body lotion. Bagi masyarakat sekitar mungkin sudah terbiasa sehingga tidak berpengaruh, tetapi bagi saya yang baru menginjakkan kaki di lereng Merapi ini, debu ini sungguh mengganggu. Meski saya memakai kaus kaki dan sepatu pendek, tetap saja debu masuk kaki saya. Sepatu saya yang berwarna hitam pun berubah menjadi putih tertutup abu.
Di perkampungan dengan radius 2 km dari Merapi debu yang melekat bisa setebal ini. Di jalanan aspal saja tebalnya bisa mencapai 5 cm, apalagi di atap rumah.

Bukan hanya debu yang mengganggu, bau belerang pun mulai terasa pada radius 4 km dari Merapi, baunya semakin menyengat pada radius 2 km Merapi, di Kampung Belang-Tlogolele, Boyolali (perbatasan Magelang).

Bantuan untuk Para Pengungsi

Bencana seperti apa pun bentuknya tidak ada yang mengenakkan, begitupun bencana amuknya Merapi ini. Selain banyaknya korban meninggal, juga banyak yang terbakar terkena hembusan awan panas “wedus gembel”. Bila yang terbakar sekujur tubuh tentu pemulihannya butuh waktu  lama. Meski biaya pengobatan ditanggung pemerintah, tetapi menanggung derita terbakar seperti itu tentu bukan main penderitaannnya. Siapa pun pasti tidak ingin mengalaminya. Tentang bagaimana ganasnya akibat “pembakaran” Merapi ini di tubuh manusia bisa membaca kisah Maryoto.

Menangani ratusan ribu pengungsi akibat erupsi Merapi saja bukan hal yang mudah. Mulai dari mencarikan tempat yang aman dari radius 15 – 20 km dari Merapi, membuat tempat tinggal sementara (barak) atau menampung di tempat luas yang bisa menampung banyak orang juga bukan hal yang mudah. Bila mereka mengungsi di tempat-tempat umum, seperti GOR, sekolahan, barak-barak, pasti butuh tempat MCK (Mandi, Cuci, Kakus) yang banyak. Ini berarti butuh banyak sarana air bersih. Selain untuk bersih-bersih, mereka juga butuh air untuk minum dan makanan siap saji. Sebenarnya bisa saja diberikan mekanan mentah, mereka toh bisa masak sendiri, tetapi tentu harus ada sarana untuk memasaknya.

Para penduduk Ngampel-Sengi, Kecamatan Ndukun, Kabupaten Magelang, sekitar 8 km dari Merapi berjalan menjauhi Merapi untuk menghindari amuknya.

Mereka berjalan kaki dari malam dini hari (Kamis, 4 Nopember 2010 pk. 00.00) menuju km 25 dari Merapi. Tidak ada kendaraan yang mengangkut mereka. Hingga pagi sekitar pk. 08.00 mereka belum sampai di lokasi tujuan.

Pengalaman Winarno yang waktu itu mengungsi dengan penduduk kampungnya bahkan sampai harus berpindah tempat hingga empat kali, dari 8 km Merapi (kampungnya) pindah ke 13 km desa di bawahnya, lalu ke 15 km, 20 km, sampai akhirnya pindah ke 25 km dari Merapi. Dia dan penduduk kampungnya pernah tinggal di barak pengungsian yang bocor ketika hari hujan, hawa dingin menyusup dari celah-celah tenda barak begitu terasa, apalagi bila malam menjelang. Sedangkan mereka tinggal di barak atau pengungsian lebih sering pada malam hari. Mulai pagi hingga siang hari biasanya mereka kembali ke kampungnya. Ada yang ikut tinggal di rumah saudaranya yang aman dari batas “AWAS” Merapi. Memang tinggal di rumah orang lain (bukan di posko pengungsian resmi yang disediakan pemerintah) relatif nyaman dari segi fasilitas, seperti air bersih, tempat tinggal, dan sebagainya. Akan tetapi, risikonya mereka tidak mendapat bantuan dari pemerintah untuk biaya makan dan lain-lainnya. Begitu pun ketika ada dana swadaya masyarakat yang memberikan bantuan tentu tidak akan sampai ke tangan mereka kerena tidak semua masyarakat tahu dia pengungsi Merapi.

Hal ini pun pernah dialami Winarno dan orang-orang sekampungnya. Winarno dan keluarganya (orang tua, anak, dan istrinya) pada awalnya hanya ikut di rumah saudaranya (Bu liknya) yang berjarak 25 km dari Merapi. Namun, warga desanya yang lain ternyata ingin ikut ke tempat Winarno mengungsi yang berada di perumahan yang tergolong elit di Megelang (Perum Prayudan). Akhirnya Winarno meminta izin kepada warga kompleks Bu liknya untuk mengizinkan mereka tinggal di masjid kompleks mereka. Malah ada yang berbaik hati meminjamkan rumah mereka yang masih kosong. Akhirnya sekitar 300 warga pengungsi tinggal di kompleks perumahan tersebut tinggal dalam beberapa rumah. Satu rumah ada yang dihuni 30 – 40 orang. Buliknya beserta beberapa warga kompleks pun membuat kepanitiaan untuk mengurusi sekitar 300-warga. Mereka harus mencari nasi rames untuk makan malam sekitar 300-an warga tersebut. Ketua panitia membagi-bagi tugas membuat rames itu kepada beberapa rumah di kompleks tersebut. Ternyata pada malam harinya bertambah lagi sekitar seratus pengungsi dari kampung Ndukun (tempat tinggal Winarno). Penitia pun sempat sedikit kalang kabut untuk mencari seratus nasi bungkus tambahan dalam waktu singkat. Namun, subhanallah, ketika nasi yang terkumpul dibagikan ke semua warga pengungsi, ternyata bisa cukup, bahkan lebih beberapa bungkus. Ternyata, ada orang yang mengaku dari kota mengirimkan rames seratus bungkus, pas sesuai kekurangan yang mereka butuhkan. Ketika orang yang menerima nasi itu dikorfirmasi siapa yang memberikan nasi tersebut, dia mengaku tidak mengenalnya, “Dia cuma bilang dari kota”. Subhanallah. Pertolongan Allah benar-benar tidak disangka-sangka datang dari sisi mana pun.
Masyarakat kampung Ngampel-Sengi, Kecamatan Ndukun,  Kabupaten Magelang setelah sampai tujuan, mendapat tempat tinggal layak dan bantuan logistik. Namun, semua ini swadaya masyarakat.

Tempat tinggal enak, setidaknya lebih enak dibandingkan para pengungsi yang tinggal di barak-barak atau di GOR dan tempat-tempat umum lain. Akan tetapi, panitia harus ekstra keras mencari bantuan ke sana-kemari untuk memenuhi kebutuhan sekitar 400-an warga pengungsi, terutama kebutuhan logistik. Winarno, herus berperan ganda, sebagai pengungsi sekaligus relawan yang mencari bantuan untuk semua warga yang mengungsi bersamanya. Dia sudah melaporkan ke pemerintah jumlah pengungsi dan kebutuhannya. Akhirnya mengucur dana bantuan dari pemerintah Rp 4.500.-/orang pengungsi setiap hari. Tentu saja dana ini tidak cukup. Panitia terus mencari dana swadaya, selain dari warga kompleks, juga dari kenalan-kenalan Winarno atau penitia lain di beberapa kota lain.

Tinggal di perumahan elit ternyata bukan berarti hidup tanpa masalah. Bagi masyarakat kampung yang tidak terbiasa dengan peralatan mahal ternyata menimbulkan masalah dan cerita lucu tersendiri. Ada rumah yang kamar mandinya “tidak biasa” dalam pandangan mereka. Ketika seseorang masuk kamar mandi, pintu langsung terkunci. Karena terburu-buru seseorang masuk tanpa tahu bagaimana membuka pintu tersebut. Ketika selesai menunaikan hajatnya di kamar mandi dan hendak membuka pintu , dia bingung bagaimana membuka pintu tersebut. Sementara pintu tersebut hanya bisa dibuka dari dalam. Karena tidak ada cara lain, pemilik rumah pun menginstruksikan untuk membobol pintu itu.

Ada lagi peristiwa di dapur yang membuat “kelucuan” dan sedikit  kekacauan. Meja dapur rumah itu terbuat dari kaca. Ketika salah seorang pengungsi di tempat tersebut selesai memasak, seperti kebiasaan dia di rumah, langsung menaruh panci di meja. Dalam kondisi panas, panci pun ditaruh di atas meja kaca tersebut. Bisa ditebak apa yang terjadi. BRAK! Kaca pun pecah. Padahal, pasti meja kaca itu tidak murah harganya. Panitia di kompleks itu pun harus mengganti kaca meja tersebut. Lucu dan menggelikan. Begitulah hidup dengan banyak orang dan aneka kebiasaan yang berbeda-beda.

Sebuah Ironi

Ada yang peduli, ada juga yang memanfaatkan keadaan. Bukan berita baru bila para pengungsi ini ada yang kehilangan hewan ternaknya saat mereka mengungsi. Kalau hewan ternak mati pasti ada bangkainya. Ini, sama sekali nggak ada tanda-tanda matinya binatang tersebut.

“Kok tega ya, mengambil barang milik pengungsi?!” Padahal, mereka sudah sangat menderita dengan musibah Merapi yang menimpa mereka. Seharusnya bencana ini memberikan pelajaran bahwa hidup di dunia hanya sementara sehingga amal kebajikanlah yang harus selalu kita tanam sepanjang hari. Harta benda sebanyak apa pun tidak ada yang kita bawa. Eh…lha kok malah “nyolong” alias mencuri. Entah siapa yang mencuri, apakah warga kampung itu sendiri atau dari luar. Ada yang bilang, mereka mengaku “relawan” yang ingin mengamankan hewan ternak warga. Lha kok dibawa kabur. Na’udzubillahi min dzalik.

Ada juga tingkah warga yang serakah. Memang mereka berhak dengan bantuan dari berbagai pihak, dari pakaian baru hingga pakaian bekas layak pakai, sembako, dan sebagainya. Ada saja pengungsi yang serakah ingin menguasai sendiri. Datang ke posko mengatasnamakan beberapa orang di kelompok ngungsinya untuk meminta bantuan, dari mulai sembako maupun baju layak pakai. Beberapa kali meminta selalu dikasih oleh petugas posko. Saat salah seorang anggota kelompoknya yang lain mengajukan bantuan yang sama (ini benar-benar butuh), petugas di posko mengecek catatan dan ternyata bantuan untuk kelompok tersebut sudah tersalurkan. Otomatis tidak bisa mengambil jatah yang sudah diberikan. Usut punya usut, orang pertama yang meminta bantuan ke posko tidak menyampaikan (membagikannya) kepada anggotanya yang lain, tetapi malah dibawa pulang ke rumah pribadinya. Padahal, saat saya lihat rumahnya, lumayan bagus. Lebih bagus dari rumah-rumah tetangganya. Boleh dibilang dia termasuk keluarga berpunya di lingkungannya.

Saat orang lain sibuk mengumpulkan harta pribadinya untuk membantu para korban Merapi, ternyata ada segelintir orang (bahkan korbannya) yang malah mengumpulkan hasil bantuan tersebut untuk kepentingan pribadinya. Inilah ironisme yang memprihatinkan. Ternyata kaya dan miskin bukan soal uang, tetapi soal “paradigm berfikir”. Seorang anak SD kelas 1 dari keluarga berekonomi lemah bisa jadi lebih kaya dibanding “Bapak pengungsi” tadi. Nun jauh dari Merapi, seperti yang saya lihat pada tayangan TV swasta, ada seorang anak SD berekonomi lemah yang memiliki keinginan kuat untuk membantu para korban Merapi. Subhanallah.

Di sudut salah satu sungai yang biasa dialiri lahar dingin Merapi sudah mulai dilakukan penambangan pasir oleh orang luar Merapi saat para penduduk asli Merapi sibuk mengungsi dan menyelamatkan jiwa mereka. Seharusnya ini menjadi hak para masyarakat sekitar Merapi. Setidaknya bisa menjadi mata pencaharian mereka selama lahan pertanian mereka belum pulih dan bisa ditanami kembali. Padahal, mata pencaharian mereka selama ini kebanyakan dari bertani dan beternak. Bila lahan hancur akibat Merapi, tentu butuh waktu lama untuk memulihkannya kembali. Minimal sekitar enam bulan ke depan. Namun, bila mata pencaharian alternatif pun “dilahap” pihak luar Merapi, bagaimana dengan nasib mereka? Inilah yang menjadi pemikiran sahabat saya Winarno melihat nasib orang-orang kampungnya pascaerupsi Merapi.

Kondisi sungai yang dialiri lahar dingin Merapi.
Kerusakan tanaman akibat erupsi Merapi. Seharusnya sudah siap panen, tapi gagal panen karena tersirami debu vulkanik yang begitu tebal. Ada juga beberapa tanaman yang benar-benar kering akibat tersapu awan panas "wedus gembel"
Kita hanya bisa berharap semoga Merapi bisa kembali bersahabat dengan warga di sekitarnya dan kehidupan mereka pulih seperti sedia kala. Amiiin.@

Penulis (Indah) saat meliput dan napak tilas kegiatan Merapi di Bendungan/Dam Senowo.

Winarno, penduduk asli Merapi saat menemani penulis berkeliling Merapi.

Selasa, November 09, 2010

Keganasan di Balik Keindahan Gunung Merapi

 
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” 
(QS Al Ahzab, 33: 72)

Sebuah ayat yang menggambarkan betapa beratnya amanat yang dipikul oleh manusia sebagai Khalifatullah fil Ardh. Namun, pada kenyataannya, amanat tersebut tidak jarang malah membuat manusia terlena dan berbuat zalim dengan amanat-Nya. Wajar bila kemudian Allah Swt. menimpakan azab atas kelalaian manusia. Betapa banyak bencana yang telah menimpa negeri ini sebagai akibat perbuatan tangan manusia. Banjir, tanah longsor, kekeringan, tsunami, meletusnya gunung berapi dan sebagainya, telah membuka luka perih di Bumi yang terkenal gemah ripah loh jinawi ini.

Gunung berapi yang dimiliki negeri ini tidak luput pula menorehkan sejarah kedahsyatan di balik keagungan ciptaan Allah Swt. salah satunya Gunung Merapi yang terletak di wilayah Jawa Tengah.
         
Gunung Merapi,
Pesona Alam yang Tidak Pernah Padam


“Dan Kami hamparkan bumi itu, dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh,  dan  Kami  tumbuhkan  padanya  segala  macam  tanaman  yang indah dipandang mata.” (QS Qaaf, 50: 7)

Gunung Merapi mempunyai ketinggian 2968 m dari permukaan laut, terletak + 25 km dari Yogyakarta. Gunung Merapi terbentuk pertama kali sekitar 60.000 - 80.000 tahun yang lalu. Terkenal sebagai gunung berapi yang masih sangat aktif hingga saat ini. Namun, sejarah aktivitasnya baru mulai diamati dan ditulis sebagai dokumen sejak tahun 1791.

Puncak Merapi menjanjikan daya pikat keindahan matahari terbit pada pagi hari dengan pemandangan alami dari jajaran Gunung Ungaran, Telomoyo, dan Merbabu. Gunung Merapi dan sekitarnya juga menawarkan wisata gunung api, seperti udara yang sejuk, lintas alam, keindahan kubah lava yang masih aktif, bahkan “wedus gembel” yang banyak ditakuti orang pun kadang menjadi pemandangan yang diburu para wisatawan.

Pesona alam yang unik dan indah ini, beserta aneka kegiatannya, bahkan dapat dinikmati wisatawan saat Gunung Merapi "aktif normal". Pada saat ada peningkatan kegiatan, juga ada peningkatan sajian keindahan, tetapi tentu menyimpan bencana.

Bagi masyarakat desa di lereng Merapi sampai ketinggian 1700 m, Merapi membawa berkah material pasir. Sedang bagi pemerintah daerah, Gunung Merapi menjadi obyek wisata bagi para wisatawan.

Keganasan Merapi

Gunung Merapi sebagai salah satu kekayaan negeri ini, selain memberikan pesona alam yang indah, juga menyimpan kaganasan yang tak tertanggungkan. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2 - 3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10 - 15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar antara lain di tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan besarnya di tahun 1006, membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan, letusan tersebut menyebabkan kerajaan Mataram Hindu harus berpindah ke Kediri dan memberikan peluang bagi umat Muslim untuk menjadi penguasa. Letusannya di tahun 1930, menghancurkan 13 desa dan menewaskan 1400 orang.

Secara morfologi, tubuh Gunung Merapi dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
kerucut puncak, lereng tengah, lereng kaki, dan dataran kaki. Kerucut puncak dibangun oleh endapan paling muda berupa lava dan piroklastik. Satuan lereng tengah dibangun oleh endapan lava, piroklastik, dan lahar. Sedangkan lereng kaki dan dataran kaki tersusun dari endapan piroklastik, lahar, dan aluvial.

Dari bentuknya, dibandingkan dengan Gunung Merbabu di sebelahnya, Gunung Merapi jauh lebih runcing. Hal ini menunjukkan pertumbuhan bagian puncaknya relatif lebih cepat. Kerucut puncak Merapi yang sering disebut sebagai Gunung Anyar, merupakan bagian Merapi yang paling muda. Semua aktivitas Merapi terpusat pada puncak kerucut ini. Kawah utama Merapi saat ini berupa bukaan berbentuk tapal kuda yang mengarah ke barat-barat daya.

Aktivitas Gunung Merapi dicirikan oleh magma yang keluar perlahan dari dalam tubuh gunung api (guguran lava pijar) dan menumpuk di puncak hingga berbentuk kubah lava dengan volume 0,9 juta meter kubik lebih. Di kubah lava dan sekitarnya, gas vulkanik dan uap air dimanifestasikan sebagai lapangan solfatar/fumarol. Puncak Garuda merupakan produk lava yang menyerupai burung garuda, yang merupakan titik tertinggi Gunung Merapi dan merupakan lokasi untuk melihat kubah lava yang masih aktif.

Jarak luncur guguran lava pijar tersebut sejauh 200 meter dari puncak. Guguran lava pijar itu akan membahayakan jika meluap dari Puncak Garuda dan meruntuhkan kubah yang mengelilinginya di puncak, lalu longsor ke bawah. Jika longsoran itu volumenya sangat besar maka terjadilah wedus gembel (awan panas). Wedus gembel, menurut salah satu sumber, berupa awan panas dan debu dengan suhu 3000 derajat celsius yang meletus hingga ketinggian 3.000 meter dari puncaknya.

***

Betapa Maha Kuasanya Allah melalui ciptaan-Nya berupa gunung berapi ini, hingga Allah menggambarkan dalam QS Al Hajj, 22: 18. “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. Perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS An Naml, 27: 88)

“Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan, dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang berterbangan.” (QS. l Muzammil, 73: 14)

Semoga kita termasuk hamba yang dapat mengambil pelajaran dari keindahan dan keganasan bunung berapi ini. Sebagai bukti kadahsyatan gunung berapi, terutama Gunung Merapi di Jawa Tengah, kami tampilkan salah satu korban Gunung Merapi yang terkena semburan awan panas “wedus gembel” duabelas tahun lalu, Bapak Maryoto.

Merapi memang bukan tipe gunung yang meletus dengan meledak-ledak. Material yang ada dalam awan panas itu meliputi bongkahan batu, kerikil, pasir dan abu yang bercampur dengan lava pijar sehingga panasnya mematikan.

Menurut Ir. Dewi Sri Sayudi, Staf Ahli Geologi BPPTK, Lava pijar itu bukan cairan panas yang meleleh dari dalam Bumi. Namun, bongkahan batu yang pijar atau membara yang dibentuk oleh magma yang muncul ke permukaan Bumi. “Ketika lava pijar tersebut longsor ke lereng, akan saling berbenturan satu sama lain. Benturan tersebut menimbulkan ledakan gas dari dalam batuan yang sangat panas. Itulah yang membuat wedus gembel bersuhu sangat tinggi, sekitar 400 derajat celsius," terang Dewi Sri. Suhu panas yang cukup membuat kulit meleleh seperti yang dialami Maryoto. (Indah, dari berbagai sumber)***

Kisah TMQ_Juli 2006

Maryoto,  
Anugerah Termahal yang Tidak Tergantikan


"Meski harus bekerja dan mengurus suami, saya tetap bahagia karena masih bisa berkumpul dengan keluarga, saat orang lain berpisah
dengan orang-orang yang disayangi." tutur istri Maryoto.

Sejak Merapi beraksi kembali sebulan lalu dan menelan banyak korban, Merapi kembali menjadi pusat perhatian. Apalagi Mbah Marijan, kuncen Merapi, ikut pula menjadi korban keganasan Merapi tahun ini. Kalau “geger” Merapi tahun 2006 lalu Mbah Marijan masih bisa selamat dari amuknya Merapi dan memilih tetap bertahan di rumahnya, amuk Merapi kali ini membuatnya tidak berdaya lagi. Sapuan asap panas “wedus gembel” telah mengakhiri hidupnya, sekaligus mengakhiri tugasnya sebagai kuncen Merapi.

Fenomena Merapi 2010 ini kembali mengingatkan kita pada peristiwa “beraksinya” Merapi tahun 1994. Saat itu Merapi meletus dan menyemburkan awan panas yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “wedus gembel”. Letusan ini memorak-porandakan dan menyapu habis Desa Turgo, Purwobinangun, Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sebanyak 68 warga Turgo harus meradang nyawa karena amuk Merapi.

Untuk melihat langsung kondisi terkini warga Turgo, Winarno dari MQ menyambangi relokasi warga Turgo di Sudimoro, Purwobinangun, Pakem, Yogyakarta. Di relokasi ini, MQ sempat berbincang-bincang dengan satu-satunya korban wedus gembel Merapi 1994 yang masih hidup. Beliau bernama Maryoto (saat itu berusia 58 tahun). Meski selamat dari wedus gembel, tetapi ia harus hidup dalam keterbatasan. Bibirnya susah digerakkan untuk sekadar berucap sepatah dua patah kata. Pendengarannya sudah berkurang, bahkan kedua telinganya berubah bentuk karena meleleh. Jari-jari tangannya menyatu karena meleleh terkena semburan awan panas sehingga sulit untuk digerakkan, begitu pun kakinya.

Bagaimana kronologis kejadian Merapi saat hingga membuat Maryoto mengalami luka bakar begitu dahsyat?

Selasa Kliwon, 22 November 1994 silam, sekitar pukul 08.00 pagi, Maryoto ikut bantu-bantu di rumah tetangganya yang sedang mengadakan acara pernikahan. Selang beberapa jam, tepatnya pukul 11.00, tiba-tiba hari itu menjadi gelap. Bumi berguncang karena gempa, barang-barang di rumah itu berjatuhan, bahkan rumah pun roboh. Puncak Merapi terlihat mengeluarkan gumpalan asap panas berwarna kemerah-merahan. Bentuknya yang seperti bulu kambing gembel (wedhus gembel). Sementara petir terdengar berkali-kali, memekakkan telinga.

Semua yang hadir dalam acara tersebut panik. Orang-orang berusaha menyelamatkan diri. Namun, secepat orang lari tetap kalah oleh cepatnya aliran awan panas yang menerjang mereka. Dalam sekejab, Desa Turgo-Purwobinangun, Kabupaten Sleman, habis tersapu dahsyatnya awan panas. Turgo luluh lantak bagaikan kota mati, batu-batu berserakan, rumah-rumah roboh. Dalam beberapa menit kemudian, rumah-rumah, tanah, tanaman, semua dipenuhi gumpalan abu Gunung Merapi.

“Yah, begitulah keadaan suami saya setelah cacat terkena semburan wedus gembel tahun 1994. Bicara susah, pendengarannya berkurang, makan saja harus disuapin. Pokoknya di rumah hanya duduk-duduk, nggak bisa ngapa-ngapain kayak dulu,” ujar Kasiyem, istri Maryoto, mengawali perbincangan dengan MQ sambil duduk berdampingan dengan Maryoto.

Saat terjadi bencana Merapi itu, Kasiyem sedang berjualan di pasar Kaliurang. Anaknya yang paling kecil sekolah di TK, anak pertama dan kedua sedang bekerja. Rumahnya kosong. Ketika melihat puncak Merapi mengeluarkan awan panas, saat itu juga Kasiyem menutup jualannya di pasar untuk pulang menengok keadaan rumah. Sebelum sampai di rumah, ia bertemu Pak Dukuh yang mengabarkan bahwa suaminya terkena semburan awan panas dan sudah dibawa ke RS Sardjito Yogyakarta. Kasiyem segera pergi ke RS Sardjito. Ia begitu sedih dan prihatin melihat suaminya terbaring mengenaskan di rumah sakit bersama korban lainnya. Tubuh Maryoto menghitam seperti luka bakar, kulitnya lengket dengan baju yang dikenakannya.

“Semua orang yang datang di acara hajatan pernikahan itu meninggal dunia, termasuk tuan rumah, kedua mempelai, dan para tamu undangan, kecuali suami saya. Kalau dihitung, mungkin sekitar 25 orang yang meninggal. Makanya saya sangat bersyukur, meskipun suami saya mengalami cacat seumur hidup. Alhamdulillah ia masih diberi umur. Inilah anugerah Allah yang sangat berharga dalam hidup saya, ternyata Allah masih menyayangi suami saya,” papar Kasiyem pasrah.

Maryoto dirawat selama lima bulan. Biaya perawatannya ditanggung pemerintah. Setelah Maryoto dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit, sekitar April 1994, ia sempat pulang ke rumahnya di Turgo, lalu pindah ke tempat relokasi warga Turgo atas anjuran Kepala Dusun, Bapak Waji.

Maryoto sekeluarga beserta warga Turga lainnya, kini tinggal di tempat relokasi. Mereka dibuatkan kapling-kapling sebagai tempat tinggal. Di tempat ini, Kasiyem mencoba membuka lembaran hidup baru dengan menerima jasa cucian dari tetangganya. Ia tidak lagi berjualan di pasar Kaliurang. Sebelum cacat, Maryoto berprofesi sebagai petani dan perajin anyaman bambu. Beruntung sekali Maryoto memiliki istri seperti Kasiyem, ia begitu setia tanpa mengeluh menggantikan posisinya sebagai penopang ekonomi keluarga.

Mereka memilih tetap tinggal di tempat relokasi karena merasa aman dari Merapi. Sesekali Kasiyem menengok rumahnya di Turgo yang sudah dikosongkan, sekalian mengurus tanaman di sawahnya. Ia rela meski harus berjalan jauh menuju Turgo, lalu kembali ke tempat relokasi.

“Kadang saya merasa berat. Tapi mau bagaimana lagi, ini semua sudah takdir dari Allah yang harus saya terima. Inilah anugerah termahal selama hidup saya yang tak bisa digantikan dengan apa pun. Meski harus bekerja dan mengurus suami, saya tetap bahagia karena masih bisa berkumpul dengan keluarga, saat orang lain berpisah dengan orang-orang yang disayangi,” ucap Kasiyem menutup perbincangan dengan MQ.

(Ditulis oleh Indah berdasarkan laporan Winarno/MQ) ***

Tanggapan Pakar

Ganasnya “Wedus Gembel

Oleh dr. Tauhiid Nur Azhar, M.Kes


 Wedus gembel adalah awan panas yang berisi material vulkanik dari gunung berapi, tapi lebih didominasi unsur gas. Lava gunung berapi biasanya keluar dalam bentuk unsur pijar dan gas. Bila lava ini keluar bersentuhan dengan udara, dan mendapat tekanan, maka unsur gasnya lebih dominan. Ia menjadi awan panas yang biasa dikenal dengan istilah wedus gembel. Panasnya bisa mencapai 400 derajat celcius. Jadi, cukup membuat tubuh manusia matang. Dalam radius 500 meter pun, panasnya sudah dapat dirasakan.

Tubuh manusia 70 persennya terdiri dari air. Air tersebut akan mendidih saat terkena awan panas ini. Kekuatan maksimal protein di tubuh kita untuk menahan panas hanya sampai 96 derajat celcius. Saat terkena panas yang melebihi angka tersebut, protein tubuh akan “pecah”. Begitu pun unsur-unsur lain, semuanya tercerai-berai. Daya tahan lemak di tubuh terhadap panas bahkan lebih rendah lagi. Di atas 70 derajat celcius lemak akan terurai.

Ada dua kerusakan dalam tubuh saat terkena awan panas. Pertama, kerusakan organ tubuh (lemak, karbohidrat dsb.) putus ikatan kimiawinya, sehingga tubuh berubah bentuk. Kedua, kerusakan dari dalam karena air di dalam tubuh terkonduksi panas. Luka-luka ini ada tingkatannya: tingkat satu, dua, tiga, dst. Luka bakar yang akut, meluas dan dalam, ada pula persentasenya.

Luka bakar yang diderita Maryoto, mungkin di atas 50 %. Secara logika sulit untuk bisa tertolong. Namun beliau bisa bertahan. Ini sungguh luar biasa. Walau telah melakukan pengobatan, namun luka bakarnya sudah membakar protein dalam tubuh, sehingga jaringan-jaringan yang tersisa tidak cukup mampu membuat jaringan baru. Akibatnya, sisa jaringan yang ada menarik jaringan tubuh lain. Kalau jaringan itu mengenai otot-otot rahang, bibir dan mulut, maka akan membuat mulut tidak bisa terbuka. Inilah yang menyebabkan tubuh menjadi cacad. Wallahu a’lam.@