Salah satu cara Allah Swt. mencintai pecinta ilmu adalah dengan mengaruniakan ilmu hikmah kepadanya, sehingga ia memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam hidupnya.
TAKTERASA, telah 18-19 tahun kita menjalani pendidikan formal. Selama itu, otak terus kita isi dengan berbagai disiplin ilmu yang kita geluti selama ini. Dalam tenggat waktu itu, sang waktu pun mengajarkan kita banyak hal. Dari mulai belajar main ayunan sewaktu TK, mengeja huruf dan menata angka-angka di SD, melalui masa-masa puber SMP-SMU hingga belajar berdebat di bangku kuliah. Hasilnya, titel sarjana kita lekatkan dalam sekian huruf nama kita.
Sahabat…
Cukupkah semua itu membuat kita patut disebut 'alim (orang berilmu)? Cukupkah selembar ijazah yang kita miliki menjawab persoalan hidup yang muncul silih berganti dalam kehidupan kita? Bukankah ketika selembar ijazah kita tawarkan dor to dor ke berbagai perusahaan –demi mengamalkan ilmu yang diperoleh selama ini, tak satu perusahaan pun menerima karena mereka mencari yang berpengalaman dan professional? Sekalipun diterima, bukankah lebih sering tidak sesuai dengan bidang keilmuan yang tertera di ijazah?
Sahabat …
Sebatas itukah arti menuntut ilmu? Sekadar memiliki selembar ijazah yang di sana terpampang nama dan titel kita? Lulus dengan predikat cumlaude dan mendapat pekerjaan dengan gaji lumayan? Jika hal itu benar, di mana sejati sang penuntut ilmu?
Sahabat …
Salah satu cara Allah Swt. mencintai pecinta ilmu adalah dengan cara memberinya ilmu hikmah, sehingga ia memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam hidupnya. Kearifan yang menjadi sifat induk akan melahirkan sifat-sifat terpuji lain, seperti mata rantai yang saling terkait. Sifat adil misalnya, akan mendorong seseorang memiliki sifat takwa, sabar, berilmu, tekad kuat, semangat dan sifat terpuji lain.
Sahabat …
Mengapa harus ilmu hikmah? Karena ilmu hikmah memiliki sentuhan-sentuhan yang berpengaruh dan begitu membekas pada pribadi seorang manusia. Seperti butiran-butiran tanah yang menumpuk lalu menjadi bukit, atau tetesan-tetesan air yang mengumpul kemudian menjadi sungai atau air terjun, atau seperti manusia yang berjalan di atas tanah, maka akan tampak padanya telapak kaki. Begitupun ilmu hikmah. Ia akan meninggalkan bekas dan pengaruh pada para pencinta ilmu. Lalu, seperti apa tapak-tapak ilmu hikmah yang membekas pada mereka? Khalil Al-Musawi dalam bukunya “Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana”, menjelaskan 5 di antaranya, yaitu ;
Pertama, kematangan akal. Artinya, akal manusia menjadi kuat, dewasa, produktif, dan mampu menjangkau berbagai urusan kehidupan yang berlaku di sekelilingnya serta mampu berpikiran logis. Bebas dari penyakit akal seperti bodoh, sophisme (kepandaian memutarbalikkan hakikat) dan penyakit lainnya.
Kedua, mengambil pelajaran. Artinya, mampu mengambil nasihat dan pelajaran dari pengalaman masa lalu untuk masa mendatang, tanpa harus memulai dari nol pada setiap urusan, melainkan dari akhir pengalaman diri atau orang lain. Dalam Al-Quran, surat Al-Mu’min ayat 21 Allah Swt berfirman, “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengadzab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari adzab Allah”.
Ketiga, melemahnya syahwat. Imam Ali as berkata, “Bilamana hikmah menguat maka syahwat melemah”. Menguatnya hikmah pada diri seseorang akan melemahkan kerakusan syahwat, baik seksual, makan dan minum, rakus pada kekayaan dan kekuasaan, serta syahwat lainnya.
Keempat, sabar meninggalkan hal-hal yang menyimpang. Orang yang bijak hakim) akan sabar menjauhi sifat tamak yang merupakan lawan dari sifat qana’ah, sifat pengecut yang merupakan lawan dari sifat dermawan, sifat takabur yang merupakan lawan dari sifat tawadhu, sifat cemas dan gelisah yang merupakan lawan dari sifat sabar dan tenang, sifat dusta yang merupakan lawan dari sifat jujur dan seterusnya.
Kelima, ketenangan dan kewibawaan. Salah satu pengaruh pada diri manusia ialah menjadikannya besar dalam pandangan orang lain, menjadikannya terhormat di sisi mereka, memiliki kepribadian yang kuat, kemampuan, kemuliaan dan pengaruh. Imam Ali as. berkata,”Barangsiapa mengetahui hikmah maka mata manusia memandangnya penuh kewibawaan dan ketenangan”.
Sahabat….
Adakah salah satu dari kelima hal di atas tampak pada diri kita? Mampukah kita menapaki ilmu hikmah? Jawabannya, semoga! Wallahua’lam. (Indah/Tabloid MQ/ Mei 2004)
wah, teteh nyindir aq ya??? aq khan kerjanya ga di HRD...trus ipk aq payah juga heheheh huhuhu hik..hik...hiks
BalasHapuswah...kalo jadi malapraktek, mah, sama dong ama saya. saya jurusan ekonomi Islam tapi jadi penulis. tapi penulis kan gak harus dari jurnalistik. bidang papun bisa jadi penulis, tentu disesuikan ama kapasitas keilmuan kita.
BalasHapuslagian itu tulisan lama, pernah dimuat di Tabloid MQ waktu saya masih jadi wartawan.
cerdas inteligensi, bangku sekolah tempat kau cari. cerdas emosi, pergaulan luas hendaklah kau selami. cerdas hakiki (religi) hanya kau capai jika pengalaman hidup telah kau jejali.
BalasHapussebagaimana ada yang berkata, "dan dunia adalah gelap jikalau tanpa pengetahuan. pengetahuan tanpa ilmu adalah dusta. ilmu tanpa amal adalah bohong. dan tiada amalan jikalau tanpa cinta."
Salwangga, trimakasih masukannya. sangat berharga.
BalasHapus