Sejak Aya lulus, jarak dan waktu seolah begitu sulit mempertemukan Azam dan Aya kembali. Mungkin dia memang bukan untukku. Batin Aya. Mereka pun sibuk dengan aktifitas masing-masing. Aya tetap beraktivitas di Bandung sedangkan Azam kembali ke kota kelahirannya. Di tengah kesibukan sebagai wartawan di sebuah media Islami di Bandung, tiba-tiba Aya teringat akan Azam. Lima tahun setelah Aya lulus, entah mengapa Aya masih sulit melupakannya meski pernah mencoba berta’aruf dengan ikhwan lain.
Waktu itu Aya mengira kalau Azam sudah menikah. Tapi, menikah dengan siapa dan kapan nikahnya, Aya takpernah tahu. Aku hanya ingin tahu kabarnya. Batin Aya. Mumpung bulan Ramadhan, Aya mengirimkan tabloid (media kerja Aya selama ini) dan kartu ucapan lebaran. Di kartu lebaran, Aya mencantumkan nomor HP-nya dan ucapan salam untuk istri dan anak-anak Azam.
Seminggu kemudian datang SMS dari Azam, “Makasih kiriman tabloidnya. Maaf lahir batin. Salam juga buat suami dan anak-anakmu.”
Aya hanya tersenyum membaca SMS-nya. Lalu, Aya menelepon Azam, bertanya kabar, aktivitas, dsb. Suaranya tidak berubah, begitu pun gaya bicaranya.
“Gimana, salam saya sudah disampaikan belum buat istri dan anak-anak Mas?” tanya Aya.
“Belum.”
“Kenapa?”
“Karena saya belum nikah.”
Aya mengira kalau Azam bercanda. “Masak, sih. Mas kan, banyak penggemar, masak belum nikah?”
“Ya … gimana Ay, cewek sekarang banyak yang matre.”
“Nggak semua cewek matre, kali ….”
Dia tidak berkomentar lebih jauh, malah mengalihkan ke pertanyaan lain, “Salamku udah disampein juga belum buat suami dan anak-anakmu.
Aya tertawa, “Belum juga, tuh.”
“Kenapa?”
“Karena saya juga belum nikah,” jawab Aya.
Sebuah harapan baru seperti kembali membentang di hadapan Aya, tapi tetap, Aya tidak mau berharap banyak. Aya sadar, kalau harapan dan hayal dipupuk makin tinggi, maka kekecewaan sedang ditarik makin dekat. Seperti orang naik pohon kelapa, semakin tinggi naik, kalau kemudian jatuh, maka sakitnya akan lebih terasa. Berbeda kalau naiknya belum terlalu tinggi, kalau jatuh pun sakitnya tidak terlalu. Apalagi kondisi hubungan Aya dengan Azam hanya sebatas persahabatan. Mereka yang sudah menjalin komitmen sebagai sepasang kekasih pun bisa putus, yang nikah bisa cerai, apalagi Aya dan Azam yang tidak memiliki komitmen apa pun.
Aya berharap pertemuan mereka itu bisa lebih mendekatkan mereka lagi, meski hanya lewat udara. Tapi, ternyata tetap tidak ada jalan yang mulus ke arah sana. Komunikasi sering hanya searah, kalau Aya kontak dia balas, kalau tidak, kabarnya pun hilang entah kemana. Kadang Aya berpikir, "Mungkin saya sama sekali tidak pernah ada di hatinya. Duh, sedihnya.”
Biasanya, cowok tuh kalau sedang naksir sama cewek, dia getol banget ngontak cewek itu. Dia akan berusaha mencari tahu lebih banyak tentang cewek itu. Azam sudah punya nomor HP Aya, sudah tahu di mana Aya tinggal. Tapi, tidak pernah ada usaha darinya untuk membuat hubungan mereka menjadi lebih dekat. Itu sudah satu pertanda kalau Aya memang takpernah ada di hati Azam.
Yah, Aya harus puas hanya sebagai sahabat. Tapi, walau bagaimana pun Aya tetap bahagia meski hanya sebagai sahabat. Toh, memang itulah status hubungan mereka dari dulu.
Mereka berdua pernah saling curhat tentang kecengan mereka masing-masing. Azam curhat tentang cewek yang sedang dia taksir, tapi kemudian ditinggal nikah. Begitu pun Aya, curhat ke Azam tentang cowok yang lagi ditaksir tapi akhirnya cowok itu memilih cewek lain. Wah, ternyata mereka senasib.
“Memangnya kenapa kamu belum nikah?” tanya Azam suatu hari kepada Aya lewat telepon.
“Hmm…gimana, yah? Sebenarnya sih, ada tiga cowok yang mau sama saya, tapi saya tolak semua,” jawab Aya enteng.
“Emang kenapa, kok, ditolak?” Azam bertanya penasaran.
“Ya …gimana lagi, cowok yang pertama ‘mau’ nampar, yang kedua ‘mau’ nendang, yang ketiga ‘mau’ muntah begitu lihat saya. Ya udah, saya tolak aja. Emang saya cewek apaan …,” canda Aya.
“Hahaha …,”Azam tertawa renyah.
Pasti awalnya dia mengira kalau Aya gadis yang sombong dan angkuh, begitu mudah dan bangganya menolak cowok. Tapi, ternyata ……
Tapi, di lain waktu, Azam membawa berita yang sempat membuat Aya sedikit syok. Azam bilang kalau dia sebenarnya sudah nikah.
“Saya sudah nikah dua minggu lalu, tolong jangan kontak saya lagi.” Begitu bunyi sms yang dikirimkan Azam untuk Aya.
Apa salah saya sehingga Azam memberi ancaman sekeras ini kepada saya? Batin Aya.
Mungkin Azam bosan karena Aya sempat beberapa kali nanya ke Azam kapan dia nikah (dengan perempuan lain tentunya) karena dia pernah bilang sedang dekat dengan seorang cewek yang sedaerah dengannya. Maksudnya biar Aya bisa menyiapkan kadonya jauh-jauh hari. Akhirnya, terlontar pernyataan seperti itu. Atau pernyataannya adalah satu cara Azam untuk menghindari Aya. Azam seolah ingin membuat dinding tebal yang menghalangi Aya untuk memasuki kehidupannya dan di dinding itu tertulis kata, “Don’t touch me”. Huhu …sedihnya.
Aya jelas merasa sakit hati, tapi itu tidak seberapa dibanding “rasa tersinggung” atas pernyataan Azam ini. Selama Aya memiliki teman cowok, baik dekat atau hanya berteman sekadarnya saja, tidak ada yang melarangnya untuk saling kontak meski mereka menikah dengan wanita lain.
“Kalau saya ini mantan pacarnya, wajar kalau Azam melarang saya untuk mengontak dia lagi karena mungkin dia ingin menjaga perasaan istrinya, khawatir istrinya cemburu. Kalau itu yang terjadi, pasti saya maklum dan tanpa disuruh pun saya akan membatasi berhubungan dengan pria beristri. Tapi, saya ini kan hanya teman biasa saja. Tidak pernah ada komitmen apa pun antara saya dan dia. Kenapa dia melarang saya mengontaknya setelah dia menikah? Pacar bisa putus ketika salah satunya harus menikah dengan yang lain. Tapi, apa pernah ada suatu persahabatan yang harus putus hanya karena salah satunya menikah duluan? Atau mungkin saya dinilai terlalu agresif sehingga dia takut saya akan mendekati dan terus mengejarnya? Oh … serendah itukah nilai diriku di matanya?” Aya masih belum bisa menjawab segala tanya yang berkecamuk di benaknya pasca mendapat kiriman sms dari Azam itu.
“Yah, kalau memang itu yang dia inginkan, baiklah, saya pun tidak akan mengontak dia lagi.” Tekad Aya sedikit geram.
Sesekali Aya masih mengirimkan sms, sekadar mengirimkan kata-kata mutiara seperti yang sering dia kirimkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain, atau sekadar sapaan ringan lainnya. Aya hanya ingin menunjukkan kepada Azam kalau dia “tidak pernah menabuh genderang permusuhan” meski mungkin Azam telah menganggapnya seperti musuh. Aya tidak ingin memiliki musuh atau bermusuhan dengan siapa pun, apalagi dengan orang yang pernah dekat dan dicintainya. Kalau toh orang yang dicintainya ternyata tidak membalas cintanya, Aya berharap bisa saling bersahabat.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Azam meng-sms Aya kalau dia sedang berada di Bandung, di tempat kerja Aya dulu. Tapi, sayangnya waktu itu Aya sedang pulang kampung sehingga tidak bisa menemuinya.
“Wah, kecewa dong, gak bisa ketemu temen lama,” tulis Azam di sms.
Perasaan siapa, yah, yang udah ngelarang saya buat ketemu dia? Bukannya dia sendiri? Batin Aya.
“Datengnya sama istrimu, nggak?” balas sms Aya ke Azam.
“Nggak, saya bareng temen-temen kantor.”
“Wah, sayang banget. Padahal saya pengen ketemu sama istrimu.”
Sepertinya dia udah nggak marahan lagi sama saya. Semoga persahabatan kami bisa baik kembali seperti dulu. Batin Aya antara optimis dan sedikit pesimis.
Meski seperti mendapat lampu hijau untuk melanjutkan persahabatan (just to friendship), tapi bukan berarti hubungan mereka kembali akur seperti dulu. Kontak-kontakan hanya sekadarnya saja. Seperti biasa, itu pun lebih banyak dimulai dari Aya. Seolah-olah hanya Aya yang membutuhkan Azam. Hal inilah yang membuat Aya sedikit sedih, khawatir kalau sebenarnya Azam tidak mengharapkan kehadirannya sebagai sahabat. Aya sudah ikhlas melepas perasaan cintanya pada Azam, kalau memang Azam tidak mengharapkan cinta darinya. Tapi, apa untuk menjadi sahabat pun tidak bisa? Sebegitu bencikah Azam kepada saya? Batin Aya.
Dulu, waktu Aya sadar kalau dia mulai menyukai Azam, Aya sempat berharap agar Azam membenci dirinya karena Aya sadar sepertinya dirinya bukanlah tipe wanita yang diinginkan Azam. Tapi, entah mengapa sikap Azam malah sebaliknya. Dia begitu baik hingga membuatnya sulit melupakan Azam.
Namun sekarang, saat Aya ingin cinta bertumbuh di antara mereka berdua, Azam malah seperti berbalik membenci dirinya. Semua kenyataan ini membuat Aya sadar akan kenaifan dirinya selama ini. Sepuluh tahun berlalu sejak perkenalan pertama mereka, Aya masih berharap bahwa Azam masih sebaik dulu, bahkan mungkin masih menyisakan rasa cinta untuknya seperti perasaannya kepada Azam. Padahal, kenyataannya itu tidaklah mungkin terjadi. Azam kini telah memilih wanita lain untuk mengisi hatinya.
***
Dunia tulis-menulis kembali mengisi kesibukan Aya hingga terbit dua buku karyanya. Satu buku berkaitan dengan dunia wanita. Aya pun berniat memberikan buku itu untuk istrinya Azam. Aya mengontak HP Azam, ternyata tidak aktif. Berkali-kali dikontak tetap tidak aktif. Mungkin dia sudah ganti nomor HP. Rasanya nggak afdol kalau mengirimkan buku untuk istrinya Azam, sementara Aya tidak tahu siapa nama istrinya.
Setelah berfikir keras, akhirnya Aya menemukan cara untuk mendapatkan nomor kontak Azam. Dia masih mengantongi alamat sekolah bibinya Azam, alamat yang diberikan Azam waktu Aya hendak mengirimkan kado ultah untuk Azam. Melalui layanan 108, Aya bisa mendapatkan nomor telepon sekolah tersebut. Tanpa melalui kesulitan, Aya pun bisa berbincang dengan bibinya Azam melalui telepon.
“Saya temannya Azam, saya mau mengirimkan buku untuk istrinya. Tapi, saya nggak tahu siapa nama istrinya. Kalau boleh tahu, siapa ya, nama istrinya Mas Azam?” tanya Aya setelah sedikit berbasa-basi sebelumnya dengan bibinya Azam.
“Oh, Azam belum nikah,” jawab bibinya Azam.
Deg! Aya sedikit kaget. Saya dibohongi lagi nih, sama Azam. Batin Aya.
“Oh, gitu. Kirain sudah nikah.”
Akhirnya, Aya bisa mendapatkan nomor kontak Azam yang baru dari Bibinya ini. Aya pun mengontak Azam.
“Mas Azam, tadinya saya mau ngirimin buku baruku buat istri Mas. Waktu saya nanya nama istrinya Maz Azam sama Bibinya Mas, ternyata nama istri Mas belum tercantum di KUA, yah?” tanya Aya sedikit bercanda.
Terdengar tawa Azam di ujung telepon.
“Katanya Mas udah nikah dan ngelarang saya buat mengontak Mas lagi.”
“Kata siapa?” Azam pura-pura lupa.
“Kan, Mas yang bilang di sms, dulu.”
“Orang iseng kali yang ngirim, tuh,”
“Gak mungkin orang lain, sms-nya dari HP-nya Mas, kok.”
“Iya, gitu? Emang gimana bunyi sms-nya?” Azam masih pura-pura lupa.
“Ya, pokoknya gitu, deh. Intinya, Mas ngelarang saya buat ngontak karena Mas udah nikah.”
Mungkin merasa terdesak, Azam mengalihkan ke pembicaraan lain.
“Kemarin Bram nelpon ke saya, Ay.”
Rupanya Azam masih sering kontak-kontakan sama sahabat lamanya di kampus dulu. Bram, sahabat dekat Azam sekaligus teman sekabupaten Aya.
“Oh, ya? Ngobrol apaan? Lama nelponnya?”
“Cukup lama. Biasalah, obrolan teman lama,” jawab Azam tidak mau berbicara lebih spesifik.
Setelah pembicaraan itu usai, Aya meng-sms Bram.
“Kata Azam, Mas Bram kemarin telpon-telponan sama dia. Ngobrol apa aja sama Azam?”
“Ngobrol kalau dia naksir kamu,” balas Bram.
“Ah bohong. Saya nanya serius, nih,” Aya penasaran.
“Suer! Nggak percaya?!”
Akhirnya Aya nelpon langsung Bram.
“Mas Bram, saya nanya serius, nih!”
“Saya juga jawab serius, kok. Awalnya sih, ngobrol-ngobrol soal masa lalu waktu kuliah. Trus dia nanya, ‘Bram, Aya kabarnya gimana? Sudah nikah belum? Tinggal di mana dia sekarang?’ Ngapain coba dia nanyain gitu kalau dia nggak naksir kamu.”
“Masak, sih. Tapi, kenapa dia nggak pernah nelpon saya langsung? Kenapa sikapnya seperti ketus ke saya. Dia ngakunya udah nikah, terus ngelarang saya buat ngontak saya. Kata-katanya juga jarang yang bagus, sering ketus.”
“Yah … mungkin dia malu kali, Ay.”
“Malu sama saya? Emang saya pernah mempermalukan dia?”
“Ya, nggak tahu, sih, Ay.”
Aya semakin nggak ngerti dengan sikap Azam. Di depannya sikapnya nggak pernah bagus, kata-katanya sering ketus. Tapi, kenapa di belakangnya dia seperti penasaran dengan dirinya. Kalau dia memang benci dan tidak peduli lagi pada Aya, kenapa dia masih nanya-nanya kabar tentang diri Aya?
Keesokan harinya Aya sms-an dengan Azam. Tiba-tiba Azam nanya, “Aya, calon suamimu orang mana?”
Aya sempat kaget. “Tumben dia nanya gini.” Batin Aya.
“Calon suamiku ya orang Indramayu, yang lagi baca sms ini, nih. Hehehe …,” balas Aya dengan nada bercanda meski itulah keinginan dirinya yang sebenarnya.
“Jadi GR, nih. Saya nanya serius, kok dibalas bercanda gitu.”
“Saya juga serius. Emang Mas Azam mau jadi suamiku? Saya akan sangat berbahagia kalau Mas Azam mau menerima saya apa adanya sebagai istri Mas.”
“SERIUS?!”
“1000rius!” Tapi sayang, sms terakhirnya ini tidak terkirim ke HP Azam karena ternyata Aya kehabisan pulsa.
Padahal, jawaban itulah yang mungkin sangat dinanti-nantikan Azam. Tapi, kenapa pulsa Aya harus habis pada saat genting seperti itu. Kalau secara logika, hanya butuh Rp.100,00 untuk membalas sms-nya karena nomor mereka satu operator. Tapi, Rp.100,00 pun tidak ada di HP Aya.
“Ya Allah, kenapa harus terjadi seperti ini? Apa ini pertanda bahwa dia bukan jodohku?” batin Aya.
Mungkin karena lama tidak ada balasan, Azam mengirimkan sms kembali, “Maaf, Ay, saya nggak bisa. Saya sudah punya calon istri.”
Deg. Sebuah jawaban yang mengejutkan, membuat Aya merasa seperti diombang-ambingkan. Padahal, tadinya Aya berharap Azam akan balik meneleponnya begitu sms-nya lama takberbalas. Tapi, justru jawaban menyakitkan itu yang harus diterima Aya.
Tiga hari kemudian, setelah Aya mengisi pulsa kembali, dia menelepon Azam. Obrolan terasa kaku, tidak seperti biasanya. Aya meminta maaf kepada Azam kalau kemarin tidak bisa membalas sms terakhirnya karena pulsanya benar-benar habis. Tapi, mungkin Azam tidak percaya. Azam sepertinya marah banget. Aya pun menanyakan kebenaran pernyataan Azam yang mengatakan kalau dia sudah punya calon istri. Azam mengiyakan, tapi Aya sebenarnya tidak langsung percaya. Yah, bukan sekali ini Azam bilang kalau dia sudah punya calon istri, bahkan sudah menikah. Tapi, kenyataannya bohong. Tapi, Aya tidak mau mendesak Azam untuk mengakui hal yang sebenarnya. Aya yakin Azam punya alasan melakukan hal itu.
Kalau ditanya siapa yang kecewa, dua-duanya merasa kecewa dan tersakiti. Tapi, keadaan sepertinya sulit diperbaiki. Selain mosi tidak percaya sama-sama merasuki hati mereka, terpisahnya jarak dan waktu sekian lama juga semakin memperuncing masalah mereka. Sehingga masalah kecil/sepele jadi tampak besar.
Untuk sementara Aya hanya bisa pasrah dan mengendapkan masalah barang sejenak. Kalau menelepon lagi pada saat Azam masih emosi, sepertinya akan sulit menemukan titik temu.
***
Sebulan kemudian, saat lebaran tiba, seperti biasa Aya menelepon Azam untuk maaf-maafan. Semua masih tampak baik-baik saja seolah tidak ada masalah di antara mereka berdua. Tapi, beberapa minggu setelah itu, mereka berdua seperti musuhan kembali.
Aya membahas kembali pertanyaan Azam yang pernah dilontarkan kepadanya beberapa minggu lalu tentang siapa calon suami Aya. Jawabannya sungguh mengejutkan, Azam bilang kalau itu pertanyaan biasa, satu pertanyaan yang juga pernah ditanyakan kepada wanita lain. Hm … apa setiap sahabat wanitanya juga ditanya demikian oleh Azam? Batin Aya.
Mungkin saja Azam memang pernah merasa penasaran tentang perasaan Aya yang sebenarnya, tapi ketika dia sudah tahu jawabannya, maka hilang rasa penasarannya tanpa ada maksud lain untuk menjalin hubungan lebih lanjut. Padahal bagi wanita, pertanyaan seperti itu adalah gerbang menuju sebuah komitmen.
“Oh, jadi Mas nanya seperti itu hanya sekadar iseng?” tanya Aya sedikit kesal.
“Berarti menurut Mas, perempuan seperti saya pantas untuk diiisengin, ya Mas?” sambung Aya sambil menahan sakit hatinya.
“Ah, sudahlah, kalau gini caranya mending kita nggak usah sahabatan lagi. Percuma!” Azam tampak sangat marah. Mungkin karena dia sudah merasa terdesak.
Aya pun kesal, Seharusnya yang marah, kan saya. Kok, malah dia yang marah. Batin Aya sambil menutup telepon.
Aya sadar, tidak baik meneruskan pembicaraan pada saat lawan bicaranya dalam keadaan emosi. Aya kesal dengan sikap Azam yang seperti tidak memiliki ketegasan, Azam pun kesal dengan Aya yang mungkin tampak seperti cuek dan egois.
***
“Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk penantian sebuah cinta, ternyata harus berakhir dengan sad ending. Tapi, saya tetap bahagia, setidaknya dalam hidup saya pernah mengenal sosok sebaik Mas Azam.” Tulis Aya dalam sms untuk Azam.
Azam membalas dengan ungkapan yang agak kasar hingga membuat Aya sakit hati. Tapi, Aya mencoba untuk bersabar menyikapi semua itu. Dulu, waktu mereka masih sama-sama kuliah, Aya menemukan sosok yang sabar penuh pengertian pada diri Azam. Kadang membuat Aya berpikir, “Kok, ada ya, orang yang sesabar dan sebaik Azam. Hatinya terbuat dari apa, sih dia?” Aya nyaris tidak pernah melihat Azam marah, walau diperlakukan seperti apa pun. Dia hanya punya dua ekspresi, diam dan tersenyum. Kalau ada sikap atau perilaku yang membuatnya merasa tidak berkenan, dia hanya diam. Tapi, lebih sering tersenyum. Aya sampai merasa penasaran ingin melihat marahnya Azam hingga pernah mencoba membuat Azam marah dengan beberapa cara, tapi tidak pernah berhasil. Sekarang, saat Aya tidak ingin melihat kemarahan Azam, justru Azam marah karena dirinya. Oh….
Kalau dulu dia begitu sabar menghadapi saya, mungkin saatnya saya sekarang yang herus bersabar menghadapi dia. Batin Aya.
Sebenarya tidak masalah kalau memang Azam tidak mencintai Aya. Aya sadar, cinta memang tidak bisa dipaksakan. Aya hanya tidak ingin persahabatannya dengan Azam harus berakhir dengan saling membenci. Aya pernah menanyakan perihal Azam kepada Bram, sahabat dekatnya via telepon.
“Mas Bram, sebagai sesama cowok sekaligus sahabat dekatnya, sebenarnya gimana, sih, perasaan Azam sama saya?” tanya Aya.
“Setahu saya sih, dia suka sama kamu, Ay.”
“Apa buktinya?”
“Setiap saya ngobrol sama dia lewat telepon, dia yang selalu memulai pembicaraan tentang kamu, Ay. Kalo dia nggak suka, ngapain juga dia nanya-nanya kabar kamu,” papar Bram.
“Tapi, kenapa sikapnya ke saya, kok sangat tidak bersahabat?”
“Nggak tahu juga, sih. Dulu waktu di kampus, dia juga pernah naksir cewek, tapi malah menghindar. ”
“Sikap yang aneh,” batin Aya.
Beberapa bulan mereka saling mendiamkan dan tidak saling kontak. Suatu hari, iseng-iseng Aya mengetikkan nama Azam di Pencarian Teman Facebook-nya. Ternyata ada nama Azam, langsung Aya nge-add nama Azam. Sedikit pesimis, apakah Azam mau mengonfirmasinya atau tidak, mengingat hubungan persahabatan mereka yang sedang dalam kondisi kritis. Sehari kemudian, ternyata Azam mengonfirmasi pertemanannya di facebook. Sebuah langkah baru kembali membentang.
Aya langsung tertawa begitu melihat wall facebook Azam, di situ tertulis kalau Azam baru mengubah statusnya dari “lajang” menjadi “rumit”. Aya sering komen di postingan Azam, tapi Azam sangat jarang komen di postingan Aya. Ternyata, posisi Aya dari dulu masih selalu lebih dominan. Aya pun tahu diri, lama-lama dia mulai mengurangi komennya di wall Azam. Bahkan nyaris tidak berkunjung lagi di wall Azam selama beberapa bulan. Selain karena disibukkan dengan kerjaan kantor, facebook di kantor Aya pun tidak bisa bebas diakses kecuali saat istirahat siang selama satu jam. Sebenarnya bisa saja mereka chattingan via Yahoo Messenger, tapi Azam sangat jarang mengaktifkan YM-nya. Akhirnya, komunikasi mereka pun tetap terhambat.
Sebenarnya bukan soal facebook atau chatting, toh itu hanya sarana. Intinya karena hati mereka sepertinya sudah tidak saling peduli. Sampai kemudian, tiba-tiba Azam mengontak Aya via chatting di YM. Dia curhat tentang cewek yang sedang ditaksirnya tapi sulit diajak nikah.
“Dia kan masih semester tiga, wajar kalau dia belum berfikir soal pernikahan. Tunggu aja lima tahun lagi sesuai ramalan di facebook. Hehehe …” Balas Aya sedikit bercanda.
“Iya, tuh, ramalan ngarang aja.” Balas Azam lagi.
Azam memang pernah mengikuti kuis tentang jodoh di facebook, jawabannya, jodohnya masih jauh, sekitar lima tahun lagi.
Meski agak sedikit kecewa, tapi Aya mencoba untuk bersikap netral. Dia menyikapi curhatan Azam seperti menerima curhatan sahabat-sahabatnya yang lain. Dia mencoba membangun imej dalam pikirannya bahwa Azam bukanlah pria yang pernah dicintainya. Sepertinya Azam benar-benar serius ingin membangun mahligai rumah tangga dengan wanita itu, hanya saja terkendala dengan ketidakjelasan dari wanita itu.
“Azam, di hati ini masih ada cinta untukmu, tapi kalau kebahagiaanmu ada pada wanita lain, maka aku pun hanya bisa turut mendoakan kebahagiaanmu, aku hanya bisa menatap kebahagiaanmu dari jauh. Hanya seuntai doa, siapa pun wanita yang akan mendampingimu kelak, semoga dia bisa membuatmu bahagia,” tulis Aya sambil menutup buku hariannya seperti menutup masa lalunya bersama Azam.
Aya sadar, mengejar cinta manusia hanya akan membuatnya “capek”. Hanya cinta Allahlah yang akan membuat hidup kita bahagia dan penuh makna. “Ya Allah … penuhi hati ini dengan cinta kepada-Mu. Bahagiakan hati ini dengan cinta-Mu.”
TAMAT!
cinta manusia tak perlu dikejar. pasrahkan kepada sang maha pemilik cinta, dengan izin-nya, cinta akan disemikan kedalam hatimu dan hatinya tanpa perlu kau berengah-engah mengejarnya.
BalasHapuskalau 'pembolak balik hati' sudah menetapkan cinta bersemayam dalam hati anak adam dan anak hawa, tiada sesuatupun sanggup menghapuskan rasa itu. pun, sebaliknya.
kalau 'sang maha pencinta' tidak ridho dan tidak menyematkan rasa suka dalam hati manusia, walau kekuatan seluruh langit dan bumi bersatu tak jua sanggup menyisipkan walau secuil cinta.
azam dan aya...hmmm.....