Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, September 08, 2009

Bukan Cinta Adam & Hawa, Tapi Cinta Azam & Aya #1

Melihat sikap Azam dan Aya di sinetron TV “Para Pencari Tuhan”, membuatku merasa gemas. Mereka saling cinta tapi sikap kesehariannya seperti sepasang musuh, bagai “anjing dan kucing” yang setiap kali bertemu selalu bertengkar.

Namun, sikap mereka yang seperti itu ternyata ada di lingkungan saya sendiri. Kisah nyata versi Azam dan Aya yang satu ini lahir di sebuah perguruan tinggi Islam di Bandung. Bermula dari perkenalan Azam dengan Aya sekitar sepuluh tahun lalu saat masih kuliah. Waktu itu Aya menjadi bendahara panitia Ospek mahasiswa baru tingkat Jurusan Muamalah (Fakultas Syariah). Azam yang menjadi sekretaris Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Muamalah, didaulat untuk mengisi materi tentang Tehnik Sidang Rapat untuk pemilihan ketua angkatan.

Sebelum masuk ruang kelas tempat mahasiswa baru mengikuti kegiatan, moderator yang akan mendampingi Azam membantunya mengisi biodata. Saat itulah Aya tahu data dirinya, nama, asal daerahnya, dsb.

“Oh…orang Indramayu,” komentar Aya waktu moderatornya menuliskan tempat dan tanggal lahirnya.

“Kok, nggak potongan kayak orang Indramayu?” tanya Aya sambil melihat ke arah Azam dari ujung rambut hingga sepatu.

Aya tidak memungkiri kalau wajah Azam lumayan ganteng. Tapi, bukan berarti Aya langsung naksir dia. Waktu itu Aya masih sedikit “under estimate” dengan cowok ganteng. Aya punya saudara sepupu yang lumayan ganteng, tapi playboy. Hampir setiap tiga bulan sekali dia ganti pacar. Sialnya, wajahnya itu mirip dengan wajah Azam. Aya pun sempat berpikir kalau Azam tidak berbeda dengan cowok ganteng lain. Apalagi waktu dia masuk kelas untuk menunaikan tugasnya mengisi materi di acara ospek itu, para mahasiswi baru begitu heboh menyambutnya, diiringi suara riuh seperti menyambut artis idolanya.

Para mahasiswi baru pada keganjenan amat, sih. Lihat cowok kayak lihat apaan. Biasa aja, napa. Batin Aya. Di satu sisi Aya salut dengan sikap Azam yang tetap tenang menghadapi perempuan-perempuan ganjen itu. Tidak tampak ke-GR-an atau grogi. Tapi, di sisi lain Aya sedikit ilfil. Udah ganteng, banyak penggemar, pasti dia playboy. Pikir Aya. Sebuah praduga yang pada akhirnya diakui Aya salah besar.
***

Selama dua tahun Aya kuliah, baru saat itu Aya melihat sosoknya. Mungkin karena kos-kosan kami berjauhan, makanya saya nggak pernah lihat dia, baik di kampus maupun di lingkungan kos mahasiswa. Batin Aya. Namun, Aya sempat kaget waktu Azam bilang kalau dia tinggal di Jalan Desa Cipadung, daerah tempat Aya kos. Lebih kaget lagi saat dia menyebut kosannya yang khusus cowok itu ternyata pas berada di depan rumah kos Aya.

“Saya kan, sering main ke kosan, Mas. Kok, saya gak pernah lihat orang yang bentuknya kayak, Mas!” tanya Aya.
Azam hanya tersenyum.

Aya memang sering main ke kosan itu karena ada anak sedaerahnya yang tinggal di sana. Mereka punya perkumpulan mahasiswa daerahnya dan sering mengadakan rapat organisasi di sana. Tapi, Aya tidak pernah melihat sosoknya.

“Dia kan, aktivis, makanya jarang ada di kosan,” kata Bram, temen sekosan Azam sekaligus temen sekampung Aya waktu Aya bertanya tentang Azam.

Sejak saat itu Aya sering bertemu dengan Azam dalam berbagai kegiatan organisasi maupun di kosannya.
***

“Ini, kan, seharusnya tugas sekretaris,” kata Aya waktu mendapat tugas dari Ketua Umum HMJ untuk memasukkan data semua mahasiswa baru jurusan Muamalah ke buku besar milik HMJ.

Ya, tugas Aya sebagai bendahara panitia seharusnya hanya memanaj dan melaporkan keuangan selama kegiatan ospek berlangsung. Tapi, karena bendara panitia ospek sebelumnya juga melakukan pekerjaan itu, akhirnya Aya pun mengalah. Kompensasinya, Aya meminta Azam sebagai sekretaris HMJ untuk membantunya menyelesaikan tugas itu. Untung Azam dengan senang hati mau membantunya.

“Aya udah semester berapa?” tanya Azam sambil menempelkan foto-foto mahasiswa baru di buku yang cukup besar, tebal, dan berat. Sementara Aya mencari foto dan mencocokkan dengan nama yang tertera di buku itu.

Sebuah pertanyaan yang aneh, masak sih, dia nggak tahu saya sekarang semester berapa. Batin Aya. Tapi, Aya tetap menjawabnya.

“Semester lima, emang kenapa?”
“Udah saatnya punya pacar, tuh,” kata Azam.
“Emang apa enaknya punya pacar? Enakan juga gak punya pacar, kemana-mana bebas, gak ada yang ngelarang. Kalo punya pacar, kan harus izin dulu kalo mau pergi-pergi.”

Meski Aya bukan seorang aktivis dakwah yang berjubah waktu itu, tapi jiwa santri tertanam cukup kuat di hatinya sehingga membuat Aya berprinsip untuk tidak pacaran. Aya memang pernah mengenyam pendidikan di pesantren sejak SMP-SMA. Kalau ada cowok yang mengajakku pacaran, saat itu juga akan aku bilang ‘tidak’. Tapi, kalau ada yang mengajakku untuk menikah, akan aku pertimbangkan. Begitu prinsip Aya.

Meski Aya berprinsip demikian, bukan berarti Aya menjauhi kaum pria. Teman cowoknya tetap banyak, terutama sesama aktivis karena Aya juga aktif di beberapa organisasi baik intra maupun ekstra kampus, hanya saja tidak berkaitan langsung dengan dunia dakwah.
***

Waktu berlalu begitu cepat hingga Aya memasuki masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di luar kota Bandung. Susan, salah satu teman KKN yang beda fakultas pernah nanya ke Aya, “Aya, kamu kan jurusan Muamalah? Kenal sama Kang Azam, dong?”

“Kenal, emang kenapa? Kamu kenal juga?” jawab Aya.
“Nggak. Cuma adik tingkat yang sekosan sama saya sering banget cerita tentang dia. Dia pelatih Taekwondo di kampus?”
“Iya.”

“Adik tingkatku itu naksir berat sama Kang Azam sampai mencoba menarik perhatiannya dengan berbagai cara, terutama waktu Kang Azam melatih Taekwondo. Kebetulan adik tingkatku itu aktif di Taekwondo. Tapi, Kang Azam sepertinya acuh aja, tuh. Saya jadi penasaran, emang seperti apa, sih, dia?” papar Susan.

“Masak sih, dia cuek ama cewek. Setahu saya dia baik ke sumua orang sampai banyak cewek yang ke-GR-an sama sikapnya.”

Bukan sekali-dua kali Aya melihat kamar Azam dikunjungi cewek-cewek. Aneh memang, biasanya cowok ngapelin cewek, ini kebalikannya, cowok yang diapelin sama cewek.

“Tau, tuh, Azam. Cewek yang naksir banyak, tapi jomblo aja,” kata Bram waktu Aya melihat di kamar Azam sedang dikunjungi banyak tamu cewek.
“Yah … mungkin belum ketemu cewek yang cocok, kali,” balas Aya.

Setahu Aya, semua cewek yang main ke kosannya diperlakukan dengan baik selayaknya tamu pada umumnya. Begitupun saat Aya main ke kosannya. Saking baiknya, sampai ada temen sekosannya yang sedikit protes sama dia.
“Azam, ngapain kamu baik-baik sama Aya? Dapet apa kamu dari dia?”
Azam menjawab ringan, “Ya, Aya kan tamu saya, jadi harus dibaikin. Ya nggak, Ay?” tanya Azam sama Aya yang saat itu sedang berada di kosan Azam. Bukan ngapelin Azam, tapi memang sedang ada perlu dengannya.

Aya sebenarnya merasa nggak enak dengan pertanyaan teman Azam itu, seolah-olah dia hanya memanfaatkan kebaikan Azam untuk kepentingan dirinya semata. Tapi, mau bagaimana lagi, dia saat itu memang sedang membutuhkan bantuan Azam.
***

Pernyataan Susan, teman KKN Aya tentang diri Azam ini membuat Aya berpikir lain tentang Azam. Selama ini Aya menganggap kebaikan-kebaikan Azam kepadanya sebagai sebuah kebaikan layaknya seorang sabahat, tanpa tendensi apa pun. Aya pikir, mungkin dia memang baik kepada semua orang, baik cowok maupun cewek. Aya pun tidak mau ke-GR-an kayak cewek-cewek lain, bahkan ada seorang cewek yang mengaku kepada teman-temannya kalau dia itu pacarnya Azam. Tapi, ketika Aya mengonfirmasi langsung ke Azam, ternyata itu hanya gosip belaka.

Tentu saja Aya tidak langsung percaya. Sampai suatu ketika saat Aya datang ke kosannya untuk minta dianterin ke wartel, Aya melihat cewek itu sedang main ke kosan Azam. Penampilannya cukup rapi seperti hendak pergi kuliah, kulitnya yang putih nampak semakin menor dengan lipstik merah merona yang dipakainya. Semakin menonjolkan kecantikannya. Sangat kontras dengan penampilan Aya waktu itu yang terlalu apa adanya. Kaos pendek yang dipakai Aya ditutupnya dengan jaket, dipadu jilbab kaos dengan ikatan di belakang (persis anak TPA), warna jaket dengan celana panjang gak matcing, wajahnya dibiarkan polos tanpa riasan sedikit pun. Pokoknya penampilan Aya saat itu “nggak banget”, deh.

Begitu Aya datang, Azam langsung bilang, “Oh iya, saya kan, ada janji mau nganterin Aya, yah. Hayu, atuh!” ajaknya seolah takpeduli dengan kehadiran cewek itu.

Sebenarnya Aya merasa nggak enak dengan cewek itu, sudah capek-capek dandan secantik itu, dicuekin sama Azam. Tapi, karena Aya memang sudah janjian sebelumnya, Aya pun tetap berangkat. Cewek itu memutuskan untuk ikut ke luar kosan. Sekalian pulang ke kosannya sendiri, katanya. Kalau cewek ini benar pacarnya Azam, seharusnya Azam lebih peduli sama dia dong, dibanding sama Aya. Tapi, ternyata tidak. Berarti, di antara mereka benar-benar tidak ada hubungan khusus.

Yah, saat itulah Aya mulai berpikir, Apa kebaikan-kebaikan yang selama ini diberikan Azam kepada saya adalah bentuk perhatiannya kepada saya? Bukan semata-mata kebaikan seorang sahabat? Andai itu yang terjadi, betapa bahagianya saya. Tapi, Aya mencoba menepis harapan kosong itu, mencoba berpikir realistis. Jangan-jangan saya hanya ke-GR-an.

Ketika Aya berusaha keras untuk menepis hayal itu, Susan kembali bertanya-tanya tentang Azam. Akhirnya, keluar juga cerita Aya tentang kebaikan-kebaikan Azam kepadanya. Aya sering minjem buku-bukunya sebagai referensi membuat tugas makalah plus minta masukan ide untuk makalahnya itu. Dia sering minta dianterin Azam kalau butuh teman pria, sering curhat sama dia kalau hati lagi penat, …dsb… dia pun tidak pernah menolak permintaan Aya. Dia pendengar yang baik, pemberi masukan terbaik, sahabat sekaligus kakak yang baik, membuat Aya merasa nyaman berada di sampingnya.

Pernah sih, Azam tidak bisa memenuhi permintaan Aya waktu Aya meminta bantuannya untuk membuatkan makalah. Biasanya Aya paling anti meminta bantuan untuk hal yang satu ini. Dia lebih puas kalau membuat makalah sendiri walaupun tidak sebagus bikinan orang lain. Tapi, waktu itu Aya benar-benar nggak ada waktu untuk membuatnya. Aya sedang terhimpit dengan jadwal organisasi yang padat dan tidak bisa ditinggalkan. Mungkin Aya sudah terbawa tren aktivis mahasiswa kampusnya yang tidak merasa puas kalau hanya aktif di satu organisasi saja. Waktu itu Aya aktif di empat organisasi sekaligus.

“Makanya, Aya cari pacar. Pacar cukup satu, satu di rumah, satu di kampus. Pacar yang di kampus kan bisa diminta buat bikinin tugas,” canda Azam.
“Oh, gitu to, fungsi pacar. Hanya sekedar buat bikinin tugas. Kasihan banget, dong ya, cuma dimanfaatin doang,” jawab Aya sekenanya.
“Ya, itu kan, cuma salah satu,” ungkap Azam.
“Jadi, bisa nggak nih, bantuin saya!” pinta Aya menegaskan kembali.
“Ya, gimana, dong. Kamu lihat sendiri, kan. Kakiku terkilir gini waktu latihan Taekwondo. Makalah itu kan butuh referensi. Saya nggak bisa keluar rumah buat nyari referensinya.”

Akhirnya Aya mengalah. Aya maklum kalau Azam nggak bisa membantunya saat itu karena kondisinya memang tidak memungkinkan. Tiga hari kemudian Aya bertemu Azam di kampus.
“Gimana tugasnya, udah selesai?” tanya Azam menanyakan tugas makalah yang kemarin.
“Ngapain nanya-nanya, bantuin juga nggak,” jawab Aya sedikit sewot.
Azam hanya tersenyum sambil melihat reaksi marahnya Aya. Aneh kali melihat Aya kalau lagi marah, hidung pesek, bibir yang manyun. Hehehe….

Bercerita soal Azam, Aya kembali teringat ketika mereka menjadi panitia Basic Training HMI. Aya, Azam, dan beberapa panitia lainnya sedang makan malam di warung. Orang yang makan di warung waktu itu lumayan banyak sampai gelas untuk minum kurang. Hanya tinggal satu gelas, sementara yang belum kebagian ada dua, Aya dan Azam.

“Yah, saya nggak kebagian minum, tinggal buat Mas Azam,” kata Aya sambil ngelirik gelas yang dipegang Azam.

Tanpa diduga, Azam memberikan jatah minumnya, “Ya udah, ini buat Aya, aja.”
Tanpa ragu-ragu, Aya pun menerima gelas itu. Maklum, Aya terbiasa minum dulu sebelum makan, meski hanya seteguk.

Selesai makan, Aya pun menghabiskan air minum di gelas. Baru saja Aya meletakkan gelas di meja, dia langsung mengambil gelas itu.

“Mau buat apa, Mas, gelasnya?” Tanya Aya yang duduk di sampingnya.
“Ya, buat minum.”
“Tapi, kan, baru Aya pakai, belum dicuci. Aya cuci dulu, sini.” Aya menawarkan.
“Gak, usah.”
Azam langsung menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas itu.

Aya hanya membatin. Kok, dia gak jijik, sih, make gelas bekas orang lain. Padahal, saya paling nggak mau minum memakai gelas bekas cowok, kecuali keluarga.

Aya memang lebih menyukai kebaikan yang diberikan orang lain secara spontan, meski itu kecil. Kabaikan yang diberikan secara spontan menunjukkan kalau orang itu memang benar-benar baik, bukan karena ada maunya, atau ada udang di balik batu.

Keesokan harinya, Aya melihat Azam sedang sibuk di dapur membantu panitia bagian konsumsi untuk memotong-motong sayuran. Aya dekati dia, memperhatikan cara dia memotong sayuran.

Aya pun berkomentar enteng, “Wah, seneng dong ya, orang yang nanti jadi istri Mas, setiap hari dibantuin masak.”

Entah mengapa, tiba-tiba tangannya bergetar hebat, ngadegdeg, kata orang Sunda, mah. Apa mungkin dia grogi dibilang begitu? Entahlah. Aya sempat khawatir kalau-kalau pisau itu akan melukai tangannya. Walau itu tidak terjadi. Rada aneh, sih, seorang aktivis seperti dia, yang terbiasa berbicara di depan publik, ternyata bisa grogi juga. Hehehe….

Ah … tiba-tiba Aya merasa rindu kepadanya. Untuk pertama kalinya Aya merasakan kengen sama Azam setelah setahun mereka berteman. Kadang kita baru menyadari arti penting kehadiran seseorang setelah orang itu tidak berada di dekat kita. Jangan-jangan saya sudah jatuh cinta kepadanya? Oh no … jangan hadirkan cinta ini sebelum hamba siap menikah, ya Allah….. Aya seperti mengiba.

Tapi sayang, saat perasaan cinta itu hadir di hati Aya, Azam keburu lulus. Mungkin Allah tahu kalau saat itu Aya belum siap menikah, sehingga Dia menjauhkan Aya dari Azam. Entahlah, mungkin juga karena mereka memang tidak berjodoh.
***

Azam lulus dan harus meninggalkan kampus tempatnya menimba ilmu agama selama ini. Sebelum Azam meninggalkan Bandung, Aya sempat main ke kosan Azam. Aya seperti merasa berhutang budi atas kebaikan-kebaikan yang telah Azam berikan untuknya. Aya ingin membalas hutang budi itu, tapi nggak tahu harus membalas dengan cara apa.

Selama ini Aya berhasil menolak secara halus pemberian dalam bentuk materi dari temen-teman prianya. Menurut Aya, kalau kita mudah menerima, kita akan sulit menolak. Tidak selamanya kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita benar-benar tulus tanpa pamrih. Kalau mereka sudah memberikan ini dan itu dalam bentuk materi, sementara kita tidak bisa memenuhi keinginannya, dia pasti kecewa. Aya pun tidak ingin mengecewakan orang lain, apalagi kalau sampai terkesan seperti cewek matre yang memanfaatkan kebaikan pria untuk memenuhi kebutuhan materinya. Na’uzubillahi min zalik.

Namun, ada satu hal yang luput dari pemikiran Aya, kalau ternyata pemberian dalam bentuk jasa akan lebih sulit membalasnya. Materi mudah dihitung, kalau orang lain menuntut atau mengungkit-ungkit kebaikannya, misalnya, akan mudah mengembalikan. Tapi, tidak demikian dengan pemberian jasa. Sulit mengembalikannya. Aya tidak mungkin balik mengantar/mengawal Azam, misalnya, demi untuk membalas kebaikannya yang sudah sering jadi bodyguard ketika dia butuh ditemani seorang pria. Atau balas meminjamkan buku kepada Azam kalau Azam sendiri sedang tidak membutuhkannya.

“Jadi, apa nih, balasannya? Kamu kan, udah sering dipinjami buku, ditemenin pergi-pergi ama Azam,” kata Bram mewakili Azam yang duduk di sampingnya.

Aya pun bernyanyi dengan santainya, “Menghitung jasa, satu demi satu,” menirukan nada lagu Menghitung Hari-nya Krisdayanti.

“Nyak, sok atuh, mo minta apa? Kalau saya mampu ngasih, insya Allah saya kasih. Asal jangan minta diambilin bintang di langit aja, nggak mungkin bisa,” kata Aya.

Namun, mereka berdua hanya diam tanpa komentar sepatah kata pun. Mungkin nggak enak kalau harus nuntut ini dan itu. Akhirnya, Aya hanya bisa memberikan kartu ucapan selamat atas kelulusan Azam. Setiap Aya bertemu dengannya, Azam selalu mengucapkan kata “terima kasih” atas kartu ucapan yang Aya buat khusus dengan tangannya sendiri. Kalau dihitung-hitung, mungkin dia mengucapkan ungkapan “terima kasih” sampai tiga kali. Entahlah, apa karena saking bahagianya atau karena lupa sudah mengucapkan terima kasih.

Aya tahu, kartu ucapan itu tidak bisa membalas semua kebaikan Azam kepadanya. Tapi, setidaknya bisa menjadi kenangan terakhir untuk Azam.

Pascakelulusan Azam, mereka nyaris hilang komunikasi. Apalagi bertemu muka langsung, tidak pernah. Setahun kemudian, Allah mempertemukan mereka kembali sehari sebelum Aya wisuda. Aya sempat mengira kalau Azam sudah menikah, makanya Aya menjawab sekadarnya waktu dia nanya, “Aya, udah ada PW-nya, belum,” Maksudnya Pendamping Wisuda.

“Udah,” jawab Aya. Padahal maksudnya, sih, orang tuanya.
“Oh, kirain belum. Tadinya saya mau mendaftarkan diri.”
Aya hanya tersenyum sambil membatin, Kan, Mas udah ada yang punya.
Itulah pertemuan terakhir mereka di tahun 2000. Beberapa bulan setelah itu Aya baru tahu kalau Azam sebenarnya belum nikah.

Lalu, apa mereka bisa bertemu kembali? Padahal, mereka tinggal di dua kota yang berbeda, Aya tetap tinggal di Bandung sedang Azam kembali ke kampung halamannya di Indramayu.

BERSAMBUNG…………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untaian kata darimu selalu kunantikan.