Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Senin, Januari 04, 2010

Ternyata Dia Memang "Bidadari"




Hari ini dia sengaja datang ke kampus lebih pagi. Selain karena takingin terlambat di kuliah pertama, dia ada janji bertemu dengan Ustdz. Faridz di mushala kampus. Dia tegakkan dua rakaat shalat Tahiyatul Masjid, disusul dengan 4 rakaat shalat Dluha. Lalu, dia tengadahkan tangan melantunkan doa.
Dia menyambung ibadah paginya dengan tilawah tartil sambil menunggu ustadz datang. Seorang kawan menghampirinya. Dia tutup tilawahnya setelah menyelesaikan satu pojok.

“Assalamualaikum, Akh Ilham…,” sapa sang kawan ramah.
“Waalaikum salam warahmatullah… apa kabar, Akhi?” jawabnya sambil taklupa bertanya kabar.

“Alhamdulillah ana bikhoiir… antum sendiri gimana? Kabarnya udah siap nikah, nih…” mata sang kawan mengerling menggodanya. Dia cuma tersenyum, takberniat menanggapi gurauannya.
“Akh, di sini ada bidadari.”

Bidadari? Darahnya berdesir. Ah, bidadari, kesannya indah.

“Sini, ana tunjukkan orangnya. Ini akhwat luar biasa, anak kedokteran, prestasinya brilian, aktivis kampus, ketua pembinaan dan kaderisasi akhwat, akhlaknya mengagumkan, ibadahnya tidak diragukan. Dia pembina adik ane. Cocok banget sama antum!” kawannya menjelaskan panjang lebar, membuatnya penasaran.

Lalu, telunjuknya mengarah ke sosok seorang akhwat. Taklama, yang dibilang bidadari itu sudah terlihat jelas.

“Masya Allah… itu yang dibilang bidadari? Mana ada bidadari hitam legam? Yang kubaca dalam Ibnu Katsir, bidadari itu cantik sekali, kulitnya putih transparan seperti putih telur. Eh, mana ada di dunia yang begitu ya.. paling gak, kuning langsatlah. Masa black begitu. Black sweet, sih masih banyak yang mau, ini aku belum lihat sweet-nya.” Dia menggerutu dalam hati. Takberminat meneruskan percakapan.

“Akh, ane ke perpustakaan dulu, yaa….Bidadari itu, buat Antum, aja.” Dia berpamitan.
“lho… sama ane mah ga sekufu, akh!”
“Ya udah, assalamualaikum.”

Ilham beranjak meninggalkan kawannya. Baru beberapa langkah, seorang marbot memanggilnya dan menyerahkan amplop putih titipan dari Ustadz Faridz. Ustadz tidak bisa datang, makanya dia meniitpkan amplop itu.

“Hmm… ini biodata akhwat yang dijanjikan Ustadz,” langkahnya mantap menuju perpustakaan, tempat paling aman untuk membuka dan membaca biodatanya.

Dia duduk di sana, mengatur nafasnya yang terengah, bukan karena capek, tapi sibuk menahan deburan dalam dada. Perlahan dia membuka amplop itu, sengaja dia tinggalkan selembar foto di dalamnya, dia akan melihatnya nanti.

“Bismillahirrahmaanirrahiim…,” dia kuatkan hati membaca susunan huruf demi huruf dalam biodata. “Akhwat luar biasa, usianya, dua tahun dibawahku, lumayan. Pendidikan, kedokteran umum XX (sedang koas), Alhamdulillah… ayah dan ummi pasti senang sekali. Sepertinya pas untukku.” Gumannya bahagia. Dia berbunga-bunga. Lalu, diambilnya selembar foto di dalam amplop, ah… sebentar, biar kutenangkan diri… Bismillah…

Ah… kenapa akhwat ini?? Keluhnya. Bunga-bunga yang tadi bermekaran luruh satu persatu, beterbangan diterpa angin. Lunglai tubuhnya seolah tidak bertenaga. Sesak memenuhi rongga dada.

Kenapa akhwat ini yang disodorkan padaku? Dia kembali mengeluh. Terbayang kembali akhwat berkulit legam dan sama sekali tidak cantik menurut ukurannya. “Semoga dia bukan jodohku…” doanya lancang. Ustadz… masa sih, nyariin aku kayak gini? Kalau kayak gini sih, aku juga bisa nyari sendiri. Congkak mulai merasuk.

Dikeluarkannya selembar foto. Foto diri yang sangat dibanggakan. Dia menatap mata elang yang mengagumkan. Hidung yang mancung, bentuk muka yang menawan. “Apakah salah jika aku menginginkan akhwat sholihah yang cantik?” Dia mendesah resah.

Dia Memang Bidadari

Ilham berusaha menyerahkan semua keputusan pada Allah. Dia akan berikhtiar dengan wajar dan berdoa dengan kesungguhan. Walau dia belum punya kemantapan, namun dia akan mengosongkan perasaan buruk di hatinya. Dia akan berangkat dengan perasaan netral. Dia ingin semua langkah dimulai dengan kebersihan hati, kelurusan niat, ketergantungan yang besar pada Allah, dan kesungguhan ikhtiar. Dia takingin mengedepankan nafsu apalagi diiringi segala penyakit yang mengusamkan kalbu.

Taaruf yang dijalaninya bersama ukhti Dede--nama akhwat yang disodorkan Ustadz Faridz--sangat wajar dan biasa saja. Dia didampingi Ustadz Faridz, sedangkan Dede didampingi istri beliau. Komunikasi berjalan dengan baik, penyatuan persepsi lancar, pengungkapan kondisi keluarga dan latar belakangnya juga lancar.

Ilham merasakan ada yang menarik hatinya. Wajah berkulit hitam itu memendarkan cahaya. Benar kata adiknya, jika berbicara sedap dipandang dan didengar. Inilah relativitas kecantikan, meski ada kecantikan yang diakui semua orang.

Ilham sempat deg-degan dan merasa was-was ikhtiarnya akan gagal ketika orang tua Dede mengujinya.

“Abah sudah dengar tentang kebaikan akhlak dan aktivitasmu. Sekarang Abah ingin mendengar langsung bacaan Quranmu. Abah takkan menyerahkan putri Abah pada seseorang yang tidak bagus bacaan Qurannya.” Begitulah ujiannya. Alhamdulillah semua lancar dan dia diterima meski banyak catatan.

Hingga tibalah waktu yang dinanti. Hari ini seharusnya Ilham dan keluarganya datang untuk mengkhitbah Dede. Hari ini seharusnya rombongan berangkat dengan wajah berseri. Namun, Allah membuat rencana yang sangat berbeda. Ilham yang semalam penuh diliputi senyum simpul, kini banyak menunduk dan beristighfar.

Sungguh siapa sangka, lamaran kali ini gagal. Dede, sang aktivis dakwah yang telah menjual diri dan jiwanya untuk berjihad fii sabiilillah, pulang ke rumah orang tuanya, bukan untuk dilamar, melainkan untuk dimakamkan.

Takdir Allah terjadi atasnya. Selama ini dia giat berdakwah di sebuah desa tertinggal. Desa yang dahulu nyaris kehilangan keislamannya, bergairah kembali dengan pembinaan rutin dari Dede dan kawan-kawannya. Rupanya, hal itu tidak disenangi oleh misionaris yang selama ini hampir berhasil memurtadkan penduduk desa itu.

Dia dibunuh dalam perjalanannya sepulang dari baksos di desa itu karena mempertahankan akidahnya. Mereka tidak berhasil memaksanya untuk menukar keyakinannya dan meninggalkan aktivitas dakwahnya.

Ilham tercenung menatap tanah merah basah di pekuburan itu. Di dalamnya bersemayam jasad sang mujahidah. Bidadari yang hendak disuntingnya. Semilir angin menghembuskan wangi kesturi, wangi para syuhada.

Dalam desahnya dia bergumam, “Kau ternyata wanita agung. Kau lebih mulia daripada bidadari. Seorang Ilham tidak diizinkan Allah untuk sekadar mengkhitbahmu, apalagi memilikimu. Maafkan aku yang dulu sempat sombong terhadapmu.” Wajahnya tertunduk dalam.

“Subhanallah… aku takmengira bahwa kau adalah bidadari yang diturunkan Allah untukku. Allah menurunkanmu bukan untuk kumiliki, tetapi untuk menegurku dari segala kesombongan,” Gumamnya penuh penyesalan.

(Lembaga Muslimah Wahdah Bandung)

2 komentar:

  1. Aduh teh.......keren banget, ajarin aq, pengen bisa bikin cerita sekeren ini.....!!!!!!

    BalasHapus
  2. itu tulisan dari teman yang dikirim via email. karena bagus, makanya saya posting di blog-ku.

    sy tulis sumbernya, kok, di bawah tulisan (Wahdah Bandung)

    saya juga masih sama2 belajar nulis, kok, bu.

    makasih komentarnya, yah...

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.