Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Kamis, Januari 14, 2010

In Memoriam Wahyu Ajeng Suminar



Ketika saya melihat buku "Endless Life: KIsah Perjuangan Hidup Seorang Marfan's Symdrome", saya teringat beberapa tahun lalu saat mewawancarai penulisnya, Wahyu Ajeng Suminar. Saat ini beliau telah tiada, namun semangatnya dalam menjalani hari-hari bersama Marfan's Symdrome menjadi inspirasi tersendiri bagi saya, mungkin juga buat orang-orang yang mengenalnya.

Berikut tulisan saya tentang Ajeng yang pernah dimuat di Tabloid MQ.

Bersahabat dengan Marfan's Syndrome
“Alhamdulillah, teman-teman terus memberi dukungan. Baik melalui telepon, SMS, atau menjenguk langsung. Ada teman dari luar kota, luar wulau juga wartawan. Mereka ingin saya tetap hidup”.

Sekilas, sosoknya yang tinggi kurus itu tidak nampak sebagai seorang pesakitan. Padahal ia mengidap Marfan Syndrome yang setiap saat bisa merenggut nyawanya. Cara bicaranya tegas dan penuh semangat. Pembawaannya penuh rasa percaya diri serta mudah akrab dengan siapa pun. Setiap diskusi dengannya, akan muncul bahasan-bahasan yang cukup intelek seperti anak kuliahan. Padahal ia tidak pernah sekali pun mengenyam pendidikan formal layaknya remaja seusianya. Dialah Wahyu Ajeng Suminar.

Divonis Mati

Penyakit Marfan's Syndrome, sebenarnya sudah bisa dideteksi sejak dalam kandungan. Tapi Marfan's yang diderita Ajeng, baru diketahui setelah dia menginjak usia tujuh tahun. Padahal, Wijayaning Wahyuni, ibunda Ajeng, seharusnya sudah bisa melihat “kejanggalan” pada putrinya ini sejak bayi. Pada waktu lahir, tinggi badan Ajeng sudah mencapai 56 cm dengan berat 4,3 kg. Untuk ukuran seorang bayi, tinggi badannya ini tergolong tidak normal.

Baru, setelah Ajeng mengalami gangguan pada penglihatannya, orangtuanya memeriksakan kelainan Ajeng itu ke poli mata RSUD Dr. Sutomo. Anehnya, setelah diperiksa oleh dokter spesialis mata, semua alat yang digunakan untuk memeriksa tidak mampu menembus mata Ajeng. Akhirnya dokter menyarankan untuk melakukan general check-up. Pemeriksaan terakhir dari rangkaian general check-up dilakukan di genetikal klinik. Di sana, Prof. dr. Amitaba memberi vonis Marfan's Syndrome pada Ajeng.

Sejak itu, baru diketahui mengapa selama ini tulang dan syaraf Ajeng mengalami pertumbuhan yang abnormal. “Tubuh saya gagal membentuk lemak. Akibatnya menjadi kurus dan tinggi,” ungkap gadis kelahiran Surabaya, 17 Maret 1985 ini. Pertumbuhan tulang yang abnormal itu mengakibatkan semua sendi tertarik. Lambat laun, hingga 1992, tertariknya semua sendi ini membuat aorta atau pembuluh darah besar jantungnya mengalami pembesaran. Kondisi ini juga membuat penglihatan Ajeng semakin menurun akibat banyaknya jaringan pengikat lensa mata yang lepas. Dokter memerkirakan dirinya akan mengalami kebutaan dan mati muda.

Sebagai upaya menangani penyakit Ajeng, RSUD Dr. Sutomo membentuk satu tim yang terdiri 27 dokter spesialis. Tetapi, akhirnya tim dokter ini angkat tangan. “Seluruh ilmu medis di dunia belum menemukan obat bagi penyakit yang saya derita,” ungkapnya.

Ditolak Sekolah

Akibat penyakit tersebut, Ajeng ditolak masuk SD. Alasannya, pihak sekolah tidak dapat memberi fasilitas khusus buatnya. “Waktu itu, jangkauan penglihatan saya hanya 3 cm dan jarak pandang hanya 3 m. Itu alasan pihak sekolah menolak saya,” papar Ajeng.

Untuk mengejar ketertinggalan dengan teman-teman seusianya, Ajeng belajar otodidak dengan membaca buku-buku pelajaran kakaknya. Kegiatan ini, setidaknya membuatnya tidak “kuper”. Apalagi Ajeng memang suka bergaul, sehingga membuatnya tidak terasing dari anak-anak lain.

Ketika berumur 8 tahun, atas saran dokter, Ajeng belajar huruf braille di Yayasan Pendidikan Anak Buta di Tegalsari, Surabaya. Namun, kondisi tubuhnya yang sakit-sakitan, membuatnya hanya bertahan tiga bulan. Akhirnya dokter menyarankan Ajeng kembali belajar di rumah.

Dengan metode home schooling yang diciptakannya sendiri, Ajeng mampu mengembangkan kreativitasnya. Dia ikut lomba cerdas cermat, lomba baca Al Quran, membuat perpustakaan mini, menulis cerpen dan puisi, ikut grup shalawat, bahkan pernah menjadi dai cilik yang memberi ceramah di kampungnya, kawasan perumahan Rungkut, Surabaya. “Rasanya seperti anak yang tidak sakit. Kondisi itu berjalan sampai saya berumur 12-13 tahun,” ungkapnya.

Ketika berusia 15 tahun, Ajeng mulai aktif mengembangkan potensi dirinya dengan mengikuti pelatihan fans club gratis untuk berlatih teater, menulis puisi, dan menjadi penyiar radio. Inilah yang membuatnya jadi lebih pede. Pelatihan itu dijalaninya tujuh bulan lamanya. “Terkadang ada perasaan minder. Namun alhamdulillah, banyak orang yang mendukung saya,” lontarnya. “Sehingga saya berkesempatan membaca puisi di gedung kesenian Cak Durasim,” lanjutnya kembali.

Dirikan Drugs Free Family

Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-18, Ajeng mendirikan kelompok gerakan moral anti narkoba dengan nama Drugs Free Family. Dia tergerak mendirikan gerakan moral ini setelah kakaknya meninggal akibat kecanduan narkoba. Melalui program PERDANA (Peduli Remaja dan Dewasa Anti Nerkoba), Ajeng dan timnya mencoba mengajak masyarakat untuk menanggulangi narkoba mulai dari keluarga. Tapi sayang, perjuangannya hanya berjalan beberapa bulan saja. Pasalnya, di akhir 2003, beberapa relawan mengundurkan diri, kondisi keuangan makin menipis, ditambah kesehatan Ajeng yang terus menurun.

Membuat Puisi yang Memotivasi

Tahun 2005, ketika kesehatannya mulai membaik, Ajeng kembali menekuni hobinya menulis puisi. Karya puisinya berjudul I Wait The Sun dan I See The Sun, berhasil memikat perusahaan asing, High Desert, yang mematenkan puisi Ajeng sebagai milik perusahaannya. Puisi tersebut dihargai dua setengah juta rupiah.

Tidak hanya sampai di situ, High Desert memberinya kesempatan menjadi motivator tingkat nasional dalam sebuah seminar yang mereka adakan. “Waktu itu sambutannya luar biasa. Saya memecahkan rekor standing offision terlama seminar tingkat nasional,” lontarnya. “Yang membuat saya bangga, sebagian besar peserta bilang, Ajeng saya terinspirasi oleh kamu. Alhamdulillah, ternyata saya dipakai Allah untuk tujuan yang bermanfaat,” sambungnya bangga.

Ajeng semakin sering diundang oleh radio-radio swasta di Surabaya untuk menjadi pembicara seputar motivasi. Dia pun kadang menjadi konselor. “Banyak yang minta motivasi dan konsultasi seputar keluarga, pribadi, dan kadang masalah rumahtangga. Padahal, saya sendiri belum nikah,” papar Ajeng sambil tertawa.

Dengan potensi yang dimilikinya, Ajeng pun berani membuat metode terapi super. Bahkan untuk mengembangkan potensinya, pengagum Aa Gym ini menawarkan kata-kata motivasi kepada Aa Gym untuk dipakai di salah satu produknya. Aa malah menyarankannya untuk membuat buku melalui penerbit MQS.

Selain ingin menerbitkan buku terapi super, Ajeng juga ingin mendirikan trainning centre motivasi yang diberi nama IQ (Inspiration of Qudwah) yang bertujuan memberikan inspirasi kepada orang untuk menjadi lebih baik.

Semalam Berjuang dengan Kematian

Januari 2006 lalu, kesehatan Ajeng kembali drop, bahkan sempat kritis beberapa kali. Pada saat itu, Prof. Dr. Teddy Ontoseno, SpA(K), Sp.JP. sampai berdiskusi dengan tiga dokter, yaitu Prof. JRG Kulpers (Belanda), Prof. Alberto (Brasil) dan Prof. Nakamura (Jepang). Mereka menyarankan operasi dengan menggantikan aorta jantung dengan bahan elastis. Tapi diperkirakan, keberhasilannya di bawah 50 persen. Pasalnya, Marfan Syndrome yang diderita Ajeng sudah akut.

Di saat kritis itu, Ajeng yang cerdas, penuh semangat, dan ceria itu benar-benar tak berdaya. “Leher saya seperti tercekik. Rasanya sakit banget. Nafas saya megap-megap (tersenggal-sengal, red). Jantung sering sakit, nyeri, dan badan kayak rapuh seperti orang sakau. Waktu itu keluarga saya sudah tidak punya uang untuk berobat ke rumahsakit. Jadi saya tetap bertahan di rumah, meski ibu memaksa saya ke rumahsakit,” katanya. “Alhamdulillah, banyak teman yang memberi dukungan. Baik melalui telepon, SMS, atau menjenguk langsung. Ada teman dari luar kota, luar pulau, juga wartawan. Pokoknya, yang datang ke sini tak pernah sepi. Mereka ingin saya tetap hidup,” kenangnya haru.

“Dari situ, motivasi saya untuk hidup bangkit kembali. Dalam hati saya katakan, saya harus bisa! Kalau kemarin saya bisa melewati masa kritis, sekarang pun saya harus bisa!,” ungkapnya penuh semangat. “Saya berjuang semalaman untuk tidak mati,” sambung Ajeng kembali.

Dengan izin Allah, masa-masa kritis itu berhasil dilewatinya. Bahkan, pada 3 Januari 2007 kemarin, diameter jantungnya menurun, dari 4,27 cm menjadi 2,6 cm. Jantung normal biasanya berdiameter sekitar 2 cm. Itu berarti jantung Ajeng sudah mendekati normal. Subhanallah. (Indah/MQ, laporan DIS) ***


Tanggapan Pakar;   

"Marfan's Syndrome, Termasuk Penyakit Langka" 

Oleh Prof. Dr. dr. Teddy Ontoseno, SpA(K), SpJP

Marfan's Syndrome adalah suatu kumpulan gejala klinis yang pertama kali ditemukan oleh Marfan. Sejenis penyakit kelainan genetik yang bersifat familiar. Kelainan genetik ini sebagai akibat terjadinya masalah pada gen fibrillin 1 yang terletak pada kromosom nomor 5 yang mengalami mutasi, sehingga kelainan ini mengandung sifat outosoma dominant (bersifat mempengaruhi sel-sel penyusun tubuh meski hanya terdapat di satu kromosom)

Gen ini bertugas mengendalikan fungsi dan pertumbuhan jaringan ikat di seluruh tubuh. Jaringan ikat itu menempati hampir seluruh organ tubuh, terutama pada sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah). Dari sistem jantung dan pembuluh darah ini, akan menimbulkan berbagai kelainan jantung. Dan yang paling rawan terserang adalah pembuluh darah aorta yang mengakibatkan dinding jantung menjadi tipis, sehingga tidak mampu untuk menahan aliran dan tekanan darah yang normal. Akibatnya, aorta jantung mengalami pelebaran, menipis, dan menggelembung yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan aneurisma atau pecahnya pembuluh darah yang bisa mengakibatkan penderitanya mati mendadak.

Di Indonesia, penderita Marfan's Syndrome termasuk langka, perbandingannya 1:10.000 bayi yang lahir. Manifestasi klinisnya, Marfan's Syndrome bisa muncul sejak bayi baru lahir, atau setelah dewasa. Tergantung derajat kelainannya.

Selain jantung, Marfan's Syndrome juga menyerang jaringan ikat yang ada di seluruh tubuh, di antaranya yang terdapat pada tulang dan syaraf mata. Ciri-ciri penderita Marfan Syndrome, mereka memiliki tubuh yang tinggi, lengan dan tangannya panjang dan lentur sekali, sehingga bisa ditekuk-tekuk. Badannya akan mengalami kebongkokan, sendi-sendi seluruh pergelangan tangan dan kaki mengalami kontraktur (adanya ketidakseimbangan antara jaringan otot dan jaringan ikat) sehingga menimbulkan kecacatan. Sedang pada syaraf mata, yang mengalami gangguan adalah daya akomodasi lensa dan retina mata, sehingga memengaruhi kemampuan melihat dan membaca. Bahkan bisa berakibat kebutaan.

Kemungkinan sembuh bagi penderita Marfan Syndrome sangat tipis. Pengobatan yang dilakukan pada mereka, tidak untuk menyembuhkan, tapi hanya mengurangi gejalanya saja. Marfan's Syndrome yang diderita Ajeng ini menarik perhatian saya untuk melakukan penelitian dengan mencari pedegri atau silsilah dari keluarga Ajeng yang menderita Marfan's Syndrome. Tetapi, itu sulit dilacak, karena Marfan's Syndrome ini bisa dialami oleh enam atau delapan generasi dari keluarga Ajeng yang lalu. Ajeng sekarang, mungkin terkena dampak dari kakek-neneknya dulu yang menderita Marfan's Syndrome.

Saya merawat Ajeng sudah sejak umur empat tahun. Ini adalah Marfan's Syndrome yang paling lama saya ikuti. Selama mengikuti perkembangannya, saya melihat Ajeng memiliki semangat untuk hidup mandiri, tidak mau bergantung dengan orang lain, pantang menyerah, dan selalu ingin mengoptimalkan kemampuannya.

Dulu Ajeng bisa membaca, tapi akhir-akhir ini dia sering sms ke saya dan mengatakan kalau penglihatannya menurun. Meski begitu, saya sangat respek sekali terhadap Ajeng, karena semangat hidupnya yang luar biasa. Saya menyarankan Ajeng agar tidak beraktifitas terlalu keras, karena pembuluh aorta jantungnya sudah sangat tipis.@

Tentang Buku Endles Life


"Pernahkan kau melihat seseorang yang hampir sepanjang hidupnya diberi kesehatan cuma sekian persen, dan sisanya adalah kesakitan namun dia ingin terus memberi manfaat pada orang lain?" begitu kata penulis pendamping Ajeng di buku Endless Life-nya.

Endless Life-Segala Sesuatu yang Tidak Membuatku Mati, Akan Membuatku Semakin Kuat


Kehidupan sering menghantarkan kita pada sebuah kenyataan dimana kita takdapat memilih. Kita tak mampu menghindari apalagi melawannya. Kita hanya bisa menjalaninya dengan ikhlas. Apakah itu takdir? Mungkin saja, tetapi bukankah kita sebagai manusia harus terus berusaha?

Kisah demi kisah kehidupan kerap menyentuh dan menginspirasi siapa saja. Begitu juga dengan kisah ini. Ketika anak manusia berikhtiar untuk kesembuhan dan mengisi harinya dengan berkarya secara nyata. Di antaranya adalah menulis sebuah buku yang kini ada di tangan Anda.

Buku ini merupakan sebuah biografi seorang Wahyu Ajeng Suminar, seorang pengidap Marfan’s Syndrome, sebuah penyakit yang tak biasa. Ketika buku ini diterbitkan, Ajeng tidak smepat menikmati hasilnya. Takdir menentukan lain. Suatu siang hari ke-18 bulan Ramadhan 1429 H (18 September 2008), Ajeng meninggalkan kefanaan di belakangnya untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.

Ajeng memiliki harapan yang luar biasa besar dengan terbitnya buku ini. Buku ini merupakan salah satu impiannya untuk mengantarkan pada impian-impiannya yang lain. Impian yang paling sering dia ungkapkan dalam setiap sesi wawancara dengan penulis adalah dia ingin menjadi seorang inspirator. Ajeng menganggap buku ini adalah sebuah milestone pencapaian prestasi hidupnya yang sarat dengan pengikatan hikmah dan makna. Dia percaya setiap orang adalah inspirator bagi yang lain, bahwa kebaikan kecil seseorang pada yang lain akan selalu berbalas, dan nilai luhur terbaik manusia adalah adanya kesadaran untuk menjadi lebih bermanfaat bagi sekelilingnya.

Menarik untuk disimak, perjalanan panjang seorang pengidap Marfan’s Syndrome yang takmenyerah kalah sampai detik terakhir kehidupannya. Ajeng memilih untuk berdamai dengan penyakitnya yang langka, berdamai dengan ujian kehidupan yang seakan tak kunjung reda menerpa, serta berdamai dengan mimpi-mimpinya sebagai manusia normal yang memiliki keinginan, cita, dan cinta. Menelusuri kisah kehidupan gadis yang tubuhnya terus ini membawa kita pada satu kesimpulan; hidup harus serta layak diperjuangkan, seberat dan sesulit apa pun jalannya. Hubungan yang sangat harmonis serta kompak antara Ajeng dengan Bu Yuni, ibunya, membuat sebagian diri kita menjadi malu dan meninjua ulang hubungan kita dengan orang tua, khususnya ibu. Tidak penting apa dan bagaimana hidup memberikan berbagai macam ujian pada kita, namun yang terpenting adalah bagaimana kita tidak menyerah olehnya.@

5 komentar:

  1. selamat jalan...

    May you rest in Peace :)

    death just beginning for everything...

    BalasHapus
  2. kematian seseorang adalah akhir kebersamaan kita dengannya, tapi bagi "si mati" itu adalah awal kehidupannya yang baru (di alamnya).

    terima kasih Fakhri untuk komennya.

    BalasHapus
  3. aldya nur3:21 PM

    assalamualaykum..ukh,punya contact person atau alamat ibunda ajeng?kita dari ITS surabaya ingin bikin bedah bukunya beliau,,jazaakillah

    BalasHapus
  4. to Aldya Nur:
    ada nomor ibunya almarhumah Ajeng, tapi nggak bisa sy tulis di sini. bisa kontak ke emailku: ratnamutumanikam77@yahoo.co.id

    BalasHapus
  5. Anonim8:40 AM

    assalamualaikum mbak, saya juga mau minta nomor ibunya mbak ajeng, saya teman lama mbak ajeng, kehilangan kontak dengan ibunya setelah beliau pindah rumah di surabaya.

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.