Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Bila seseorang diuji dengan masalah tertentu, itu berarti Allah menganggapnya mampu untuk menghadapi masalah tersebut. Setiap insan di dunia ini akan diuji oleh Allah Swt. dengan ujian yang berbeda-beda. Maka, nikmatilah ujian itu sebagai proses meningkatkan kualitas diri dan keimanan.
Seperti ujian hidup yang dialami oleh Dian Syarif, seseorang yang mengidap penyakit Lupus bertahun-tahun lamanya. Satu penyakit yang luar biasa sakitnya. Kata seorang teman yang mengidap penyakit ini, saat Lupus menyerang, selembar kain yang menempel di kulit pun menimbulkan rasa sakit yang mendalam, seperti pisau yang mengiris-iris kulit. Itu pun katanya adalah penyakit teringan dari Lupus. Tidak terbayangkan bagaimana rasanya seseorang yang mengalamiLupus akut seperti yang dialami Dian Syarif yang pernah menjalani operasi hingga 15 kali karena penyakitnya ini. Subhanallah. Kisah hidupnya juga sudah dibukukan secara lengkap dengan judul “The Miracle of Love: Dengan Lupus Menuju Tuhan”.
Berikut wawancara saya dengan Dian Syarif sekitar tahun 2006 lalu. Kisah Dian pernah dimuat di Tabloid MQ.
Ingin Bahagia Dunia-Akhirat
Lupus yang Mengubah Hidup
Wanita yang terkenal aktif dan mandiri ini, selama 33 tahun hidupnya boleh dibilang tidak pernah sakit. Ia selalu nampak sehat dan fit. Gejala awal Lupus yang dideritanya pun hampir tidak ia rasakan. Justru teman-teman sekerjanya yang melihat gejala sakit di wajahnya yang nampak pucat. Saat melihat bintik-bintik merah di kulitnya, Dian pikir itu hanya penyakit kulit biasa. Ketika berobat ke dokter kulit, dokter menyarankan untuk cek darah. Dari hasil laboratorium, ternyata trombosit darahnya tinggal 10% dibanding trombosit normal. Bintik-bintik merah di kulitnya, diduga akibat demam berdarah. Dokter pun menyarankan untuk opname.
Hanya dalam beberapa jam, trombositnya semakin menurun hingga di ambang gawat. Akhirnya Dian opname di RS Pondok Indah. Ketika sumsum tulang belakangnya diambil, baru ketahuana kalau ternyata Dian terkena Lupus. Sejak itu Dian mulai mengonsumsi obat-obatan sejenis kortikosteroid dosis tinggi. Dalam sehari ia harus menelan 20 tablet Prednison. Obat itu memang ampuh menormalkan kembali trombositnya dalam waktu sebulan. Namun efek sampingnya, kulit Dian menjadi keriput seperti nenek-nenek, kaki mengecil seperti belalang, muka menjadi bulat seperti bakpao, mulutnya dipenuhi sariawan yang parah.
Hilangnya Penglihatan
Akibat terparah dari penyakit Lupus yang dideritanya adalah hilangnya penglihatan. Cornea matanya memang normal, tapi akibat Prednison dosis tinggi yang dikonsumsinya, Dian mengalami infeksi otak atau abses sehingga merusak syaraf penglihatannya.
Bagi sebagian besar orang, hilangnya penglihatan setelah menikmati indahnya dunia melalui mata adalah pukulan yang sangat berat, begitupun bagi Dian. Wanita kelahiran Bandung, 21 Desember 1965 ini merasakan hilangnya nikmat melihat saat pernikahan adik lelakinya. Waktu itu Dian dan suaminya, Eko Priyo Pratomo, ditugasi membacakan Al Quran dan saritilawah. Karena ingin tampil optimal, sebelum acara, Dian mencoba latihan. Saat membuka Al Quran terjemah, yang terlihat hanya tulisan yang membayang samar dan tak terbaca. Dicobanya membuka mata lebih lebar, dikucek-kucek, didekatkan, tapi tetap tak terlihat. Lalu ia mengganti dengan Al Quran yang lebih besar, tetap tak terbaca.
Merasa hal itu hanya kebetulan, Dian tetap berniat mengisi acara itu. Dalam perjalanan menuju masjid tempat dilangsungkannya pernikahan, Dian melihat gedung-gedung di sekitarnya nampak seperti bayang-bayang yang tak jelas. Sampai tiba menjelang prosesi akad nikah, Dian menjadi was-was, takut tidak bisa menunaikan tugas karena terganggu penglihatannya. Tapi keajaiban kemudian terjadi. Saat Mas Eko selesai membacakan beberapa ayat dari surat An Nisa, tiba-tiba matanya mampu menangkap dengan jelas huruf demi huruf di Al Quran terjemah yang ia pegang. Akhirnya Dian pun mampu membaca saritilawah Al Quran itu dengan lancar. Tapi, setelah itu penglihatannya kembali kabur, hanya berupa siluet dan bayangan hitam. “Alhamdulillah, untunglah tulisan terakhir yang bisa kubaca itu adalah ayat-ayat Al Quran”, ungkap Dian penuh syukur.
Melakukan Operasi
Kondisi penyakit Dian saat itu semakin kritis, sehingga harus berpacu dengan waktu. Karena harus segera mengambil keputusan, atas saran dari orangtua Dian yang juga seorang dokter, akhirnya Dian dibawa ke RS Mount Elizabeth, Singapura. Selama sebulan Dian dirawat di sana, ia harus menjalani enam kali operasi di kepala.
Karena penyakit ini tidak bisa disembuhkan kecuali mengurangi rasa sakitnya, proses pengobatan terus dilakukan Dian Setelah kembali dari Singapura. Selama lima tahun Lupus menggerogoti tubuhnya, total Dian mengalami operasi sebanyak 17 kali. Terakhir, Dian harus operasi pengangkatan rahim. Bagi wanita, kenyataan ini sungguh berat. Menjadi ibu dari anak yang dikandung dan dilahirkan dari rahimya adalah impian setiap wanita. Tapi, impian ini pun harus kandas. Meski berat, toh Dian tetap harus merelakan rahimnya demi keselamatan jiwanya.
Dukungan Orang-orang Terkasih
Tepat tanggal 24 Desember 2006 kemarin, Dian-Eko merayakan ultah perkawinannya yang ke-16. Perjalanan panjang penuh liku sebuah pernikahan telah mereka lalui bersama. Penuh romantika, banyak kejutan, dsb., apalagi saat diuji sakit. Enam belas tahun adalah waktu yang tidak sebentar. Kondisi sakit yang dialami Dian, ternyata malah semakin mempererat tali suci pernikahan mereka.
Mas Eko sangat berperan besar dalam menyemangati Dian saat menghadapi masa-masa kritisnya. “Sakitmu ini adalah penggugur dosa-dosamu,” hibur Mas Eko. Begitupun saat Dian selesai operasi pengangkatan rahim. Satu kehilangan yang sangat berat bagi wanita. Mas Eko malah bercanda, “Selamat ya, hari ini kamu telah melahirkan si uterina (rahim, red).” Ungkapan-ungkapan seperti ini cukup membuat hati Dian terhibur. “Kalau saja tujuan utama kami menikah hanya untuk mendapatkan keturunan, mungkin sekarang kami sudah bubar,” tegas Dian.
Lalu, apa arti pernikahan bagi mereka? “Dalam pernikahan, hal yang penting adalah toleransi, keterbukaan, komunikasi, dan tentu saja cinta. Menurut saya, kekuatan cinta dapat menimbulkan keajaiban, mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin, bisa menjadi sumber energi, menimbulkan semangat serta gairah hidup,” ungkap Dian dengan hati berbunga.
Dian memang boleh berbangga dan berbahagia memiliki suami yang setia seperti Mas Eko. Setia, bukan hanya pada saat senang, tapi juga saat Dian sedang terpuruk dalam hidup. Presiden Direktur PT. Fortis Investment ini pun merasa bersyukur dititipi Dian sebagai istrinya, karena melalui Dian, tujuan hidupnya pun semakin terarah.
Mas Eko, yang menurut Dian agak introvert dan kurang romantis, ternyata pria yang sabar dan penuh pengertian. “Saya mulai memahami, bahwa sebenarnya keikhlasan Mas Eko merawatku adalah untuk kebaikannya juga. Saya bahagia menjadi ladang amal baginya”, ucap Sarjana Farmasi ini bahagia. Hal yang paling membahagiakan bagi Dian adalah ketika suaminya menghadiahi buku berjudul 15 tahun Perjalanan Cinta yang ditulis Mas Eko khusus untuk Dian di ultah perkawinan mereka yang ke-15. Mungkin inilah sisi romantis Mas Eko. Hal ini pula yang membuat Dian menganggap Mas Eko sebagai soulmate, belahan jiwanya yang sejati.
Selain suami, orang yang berperan besar dalam mensupport hidupnya adalah ibu kandungnya. Satu kalimat penyemangat dari ibunda tercinta yang masih terus terngiang di benaknya adalah saat Dian harus menghadapi kenyataan menurunnya fungsi penglihatan. “Dian, kalau sekarang mata kita tidak bisa digunakan lagi, kelak fungsinya akan digunakan oleh yang lain. Bisa oleh telinga, oleh hidung, oleh kulit, oleh rambut, oleh perasaan dsb.” Tentu saja masih banyak orang-orang terkasih yang mensupport Dian, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Dari merekalah Dian merasa ada. Dan mungkin juga, mereka ada untuk Dian.
Mendirikan Syamsi Dhuha Foundation
Sakit yang dialami Dian, tidak membuatnya terpuruk atau mengasingkan diri dari lingkungan. Saat sakit menyerang, ada saatnya ia harus istirahat. Namun, ketika fisiknya bisa kembali difungsikan, ia tetap siap bergerak mengabdikan kemampuannya untuk kebaikan bagi orang lain. Sakit fisik tidak menjadi penghalang baginya untuk berbuat sesuatu. “Kalau seseorang masih memiliki jiwa yang sehat, berarti ia masih bisa berbuat sesuatu yang berguna,” tegas Dian.
Melihat banyaknya penderita odapus (orang dengan Lupus) yang akhirnya meninggal karena kurang tertangani secara medis, atau kurang dukungan moral dari orang-orang terdekat, mengetuk hati Dian untuk berbuat sesuatu bagi mereka. Dian merasa beruntung dapat berikhtiar maksimal dari sisi medis, padahal biaya pengobatan odapus cukup tinggi, antara 3,5 juta - 7,5 juta per bulan. Sementara odapus tidak hanya menyerang orang kaya, tidak sedikit para penderita OKM (Odapus Kurang Mampu). Rasa syukur dan kepedulian ini ia wujudkan dengan mendirikan Syamsi Dhuha Foundation, sebuah yayasan yang peduli terhadap para odapus.
Sesuai misinya, “Sebagai sarana ladang amal untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat”, saat ini Syamsi Dhuha (SD) memiliki empat program; pertama, care for lupus and care for low vision. Kegiatannya antara lain support group, kunjungan ke tempat-tempat odapus dan LoVi (low Vision), olahraga dan rekreasi, dll. Kedua, MIRSa. Sebuah tempat sharing dan diskusi untuk pengayaan wawasan di dari sisi spiritual. Ketiga, MEDISa. Selain melakukan pengobatan, memberikan pendidikan tentang Lupus, juga melakukan kegiatan sosial. Keempat, FINSa. Membuat kegiatan berkaitan dengan keuangan keluarga Islami, zakat dll.
Hikmah di Balik Ujian
Sebelum sakit, Dian menjalani kehidupan bak air mengalir, semua berjalan lancar tanpa kesulitan yang berarti. Nuansa keindahan selalu mengiringi hari-harinya, dari mulai masa kecil, sekolah, kuliah, bekerja, dan manikah. Namun, Dian mengakui, kesibukan dunia sempat melalaikannya dari kewajiban beribadah kepada Pencipta-Nya. Shalat sering dijalaninya sebagai sisa waktu, bahkan kadang terlewat karena kesibukan.
Ujian sakit ini, bagi Dian adalah bentuk kasih sayang Allah Swt. untuk kembali mengingat-Nya. Dian seolah tersadarkan akan tujuan hidup yang sebenarnya. Ia terus menggali hikmah di balik setiap kejadian yang dialaminya. Sambil tersungkur dalam sujud di sepertiga malam, Dian memohon ampunan Ilahi Rabbi, lalu berusaha menata kembali hidup dan kehidupannya. Doa dalam setiap shalat yang dilakukannya begitu tersemat di hati, mengiringi setiap langkahnya. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Swt.”
Dian pun semakin akrab dengan ayat-ayat Al Quran, terutama yang berkenaan langsung dengan masalah hidupnya. Seperti Q.S. Al Baqarah, 2: 153, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". Atau Q.S. Al Insyirah, 94: 5. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
Setelah berikhtiar maksimal, Dian pun menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Allah-lah penggenggam setiap makhluk, Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Betapapun berat menjalani hidup dengan keterbatasan penglihatan, tapi justru kondisi inilah yang memotivasi Dian untuk mengoptimalkan panca indranya yang lain. Ia mulai menikmati keindahan dunia ini melalui indra pendengaran, indra penciuman dst. Ia mulai melatih kepekaan melalui alam, merasakan hangatnya mentari, hembusan angin. Bila Dian sempat mengunjungi pantai, mungkin Dian pun akan merasakan suara deburan ombak, bau anyir ikan yang kadang tersangkut di tepian pantai, pasir di kaki yang kadang terasa menggelikan, atau mengenali bau pasir.
Indra peraba pun ia optimalkan dengan belajar huruf braille, meraba serat baju dan membayangkan modelnya, dst. Dan satu lagi aset yang tak ternilai adalah pikiran. Melalui visual memory, menuntun Dian berasosiasi dan membayangkan apa yang seharusnya terlihat.
Satu lagi yang nampak secara fisik adalah lahirnya Syamsi Dhuha Foundation. Kalau Dian tidak sakit Lupus, mungkin saat ini Dian sedang menikmati karier puncak di bidang perbankan. Kalau Dian tidak sakit Lupus, mungkin Syamsi Dhuha Foundation tidak pernah ada. Mungkin inilah skenario Allah untuk Dian. Mungkin inilah tugas yang diamanahkan Allah kepada Dian. Dengan sakitnya, ia bisa care terhadap sesama odapus, bisa berempati sehingga mudah masuk untuk mensupport mereka. (Indah/MQ)***
Eko Priyo Pratomo (Suami Dian Syarif)
"Dian, Jalan Meraih Syurga Bagiku"
Dulu Dian tidak pernah sakit, sangat sehat dan aktif sekali. Tiba-tiba dalam tiga bulan pertama, mulai bulan puasa tahun 1999, kondisinya semakin droup. Saya sendiri nggak tahu apa itu Lupus. Maka ikhtiar pertama yang saya lakukan adalah mencari informasi melalui internet. Selain mencari informasi, ikhtiar pengobatannya dimaksimalkan. Makanya Dian sempat pindah dari satu rumahsakit ke rumahsakit yang lain. Meski merasa sedih, tapi kami tidak bisa diam, karena harus berpacu dengan waktu. Jadi harus cepat mencari info dan melakukan ikhtiar pengobatan.
Saat Dian berobat di Singapura, sekitar Februari-April, menurut saya dia sangat luar biasa. Keinginannya untuk sembuh, besar sekali. Apalagi ketika Dian harus mengalami operasi di kepala berkali-kali. Saya yang melihatnya saja merasa miris, karena saya bisa merasakan seperti apa sakitnya. Tapi Dian tetap mau menjalaninya.
Selama sebulan berobat di Singapura, saya terus berdoa untuk Dian agar cepat sembuh. Tapi, kenyataannya bukan malah sembuh, tapi tambah parah. Akhirnya saya sampai berfikir, “Wah kayaknya saya salah nih minta sembuh ke Allah.” Tapi, Dian tetap semangat menjalani operasinya. Saya bersyukur bahwa dia punya semangat yang begitu tinggi. Pada saat bersamaan, saya juga sudah menyiapkan diri menerima apa yang terbaik menurut Allah, apakah dia sembuh atau tidak. Jadi, saya sudah lebih pasrah. Mungkin semangatnya yang besar itulah yang memberinya kekuatan, sehingga keadaannya berangsur membaik.
Sebelum Dian diuji dengan sakit, saya dulu juga pernah mengalami cobaan dan sempat down. Saat itu saya menyadari bahwa setiap orang akan punya ujian yang sudah ditentukan oleh Allah. Tidak mungkin Allah memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Karena saya sudah pernah mengalami ujian sebelumnya, ketika Dian yang mengalami, mungkin satu-satunya yang bisa saya lakukan untuknya adalah bagaimana membuatnya tetap kuat. Saya katakan pada Dian, bahwa ujian hidup berupa sakit, adalah bagian dari cara melebir dosa. Itu support yang kasih ke dia secara spiritual.
Wajar kalau setiap pasangan ingin memiliki keturunan. Saat Dian divonis sakit, kami sebenarnya sedang dalam proses ikhtiar untuk mendapatkan keturunan. Tapi, akhirnya Dian sendiri sakit dan kondisinya seperti itu. Maka konsentrasi saya pun lebih terfokus untuk merawat Dian. Jadi, saya pikir, mungkin Allah tidak memberikan kami keturunan karena Allah punya ujian yang lain. Karena orang yang memiliki keturunan pun punya ujian. Memang anak adalah karunia. Tapi, semua itu tergantung bagaimana orangnya, bisa mendidik atau tidak. Kalau tidak bisa mendidik, akhirnya bisa menjadi cobaan yang mungkin lebih berat. Maka, semua kembali lagi kepada Allah, bahwa Allah punya rencana yang berbeda-beda bagi setiap orang.
Kalau ditanya apa yang membuat saya bisa sabar menyikapi sakitnya Dian, sebetulnya sederhana. Kalau saya lihat kembali proses selama Allah memberi ujian, menurut saya, ini adalah kesempatan bagi saya untuk belajar. Alhamdulillah saya diberi kesempatan, bahwa justru dengan sakitnya Dian, saya jadi termotivasi untuk belajar agama lebih banyak, belajar untuk membaca ayat-ayat Allah dari sisi sakitnya Dian. Dari situlah saya mendapatkan formulasi tujuan hidup yang lebih benar karena dulu, hidup seolah mengalir begitu saja; sekolah, bekerja, dst.
Allah selama ini telah memberikan banyak kemudahan kepada kami. Dengan segala kemudahan, belum tentu kami bisa berada di jalan yang benar. Tapi, setelah mendapatkan ujian ini, kami mencoba mencari hikmah yang sebenarnya di balik semua ini, sampai akhirnya menemukan tujuan hidup yang disepakati, yaitu bahagia di dunia dan di akhirat masuk syurga. Sekarang tinggal berfikir, apa yang bisa menjadi jalan bagi kami untuk bahagia di dunia dan akhirat? Dan saya menganggap, Dian ini sebagai jalan bagi saya untuk meraih syurga. Insya Allah. (Indah)***
Tentang Buku
“The Miracle of Love: Dengan Lupus Menuju Tuhan”
Penulis : Eko P. Pratomo (Suami Dian Syarif)
Penerbit : Grup Syaamil, Bandung
Terbit : Tahun 2007
Tebal Buku : 228 Halaman
Sinopsis Buku:
Penyakit itu, yang kemudian dikenal sebagai LUPUS, adalah penyakit yang asing bagiku. Jangankan mengenalnya, mendengar nama itu sebagai penyakit pun baru aku ketahui ketika istriku tiba-tiba menjadi tidak berdaya dan harus menerima kenyataan bahwa dia harus hidup dengan penyakit Lupus. Padahal sebelumnya, kondisi kesehatan istriku cukup prima dan dia sangat aktif dalam berbagai kegiatan.
Barulah aku tahu, Lupus adalah penyakit autoimun, sejenis alergi terhadap diri sendiri. Zat anti yang dibentuk sistem kekebalan tubuh yang biasanya berfungsi melindungi tubuh melawan kuman, virus, dan benda asing, malah berbalik menyerang jaringan tubuh itu sendiri.
Ya…waktu itu istriku sempat bertanya, mengapa ini terjadi kepadanya, apa salah dan dosa yang pernah dia lakukan, mengapa harus Lupus, dan sederet pertanyaan lain. Inilah awal dari perjuangan panjang…perjuangan bukan hanya untuk mengatasi segala kesakitan dan kesulitan yang timbul, tetapi juga perjuangan mencari makna hidup di balik “musibah”.
Namun, Tuhan tidak pernah salah. Apa pun yang Tuhan berikan untuk hamba-Nya dalam setiap kejadian, ternyata selalu ada maksud baik-Nya, termasuk ujian dan “musibah” yang ditimpakan kepada kami berdua. Melalui sakitlah Tuhan hadir. Melalui sakit pula kami bias merasakan keajaiban cinta, kasih saying, dan kedekatan dengan-Nya.@
mbak saya tulis ini ketika nonton kick andy... can i be your friend?
BalasHapusvera
Shubhanallaahh.
BalasHapusThe ReaL UnconditionaL LOVE
Subhaanallaah... Thanks God for giving me such a 'True Friend' in my life... I promise to hold his hand tightly, walking together under the rain of YOUR endless love....(anin wh)
BalasHapusbuat VEra, Anonim, dan Wirasti.
BalasHapustank to your comment.
aku mau beli bukunya...
BalasHapustapi di gramed kok kosong terus ya???
buat kado mamaku ni...
ada yang tau beli dimana???
elisa_freak@yahoo.com.sg
bagi yang berminat membeli buku "Miracle of Love" bisa kontak Indah di nomor 081320 264978.
BalasHapusthe fact of unconditional love
BalasHapusMba, saya minta ijin copy tulisannya buat temanku yg sdg berjuang melawan kanker. Boleh yaaa???
BalasHapusAna, boleh banget, silahkan.
BalasHapussalam buat temenmu itu, semoga terus semangat dan cepat sembuh.
its true love..
BalasHapussaluut..
subhanallah..jadi tertarik sama seluk-beluk penyakit lupus. dan salut banget sama mbak dian yg selalu sabar&tabah dalam menghadapi cobaan yg begitu berat.
BalasHapusmbak, ijin share ya...juga sebagai bahan sumber tumblr. salam kenal
BalasHapusAdhita.....silahkan....
Hapussalam kenal balik....
mbak... tolong diupload lagu yang dciptakan pak Eko di ultah pkawinan mereka donk...
BalasHapusBuku itu apakah ana msh punya kesempatan untuk mendapatkanny krn tdk mdah mencariny
BalasHapusMba... Boleh minta alamat Syamsi Dhuha Foundation? Mksh
BalasHapusBaru tadi pagi (26-Feb-2016) mendengar kisah ini di SMARTFM dalam wawancara dengan mas Arvan Pradiansyah. Pak Eko, Anda luar biasa, very inspiring.....
BalasHapus