Merapi,
memberi kesan banyak bagiku karena begitu banyak kejadian yang membuatku
“membahasnya”.
Pertama, saat SMA,
ketika Merapi “marah” dan mengeluarkan asap wedus gembel-nya pada tahun 1994 sehingga
menelan lebih dari 60-an korban, guru sosiologiku memberi tugas kepada
murid-murid kelas sosial untuk membuat kliping tentang perubahan
sosial-psikologis orang-orang korban Merapi dan menganalisisnya menjadi sebuah
makalah. Kalau sekadar membuat kliping, meski harus bekerja keras kesana ke
mari untuk mencari datanya, tetapi masih bisa kami jangkau. Akan tetapi,
menganalisis, duh….kayak orang kuliahan saja. Namun, demi tugas kami jalani
semua tugas dengan baik.
Hasilnya, saya
jadi semakin tahu bagaimana dahsyatnya bencana Merapi ini dan bagaimana
pengaruhnya bagi para korban. Beberapa legenda tentang Merapi pun saya dapatkan
dari hasil menyusun kliping ini.
Peristiwa Kedua, ketika saya
mendaki Merapi sekitar tahun 1993, setahun sebelum Merapi mengeluarkan wedus
gembelnya, menjadi saat-saat paling mengesankan dalam sejarah pendakian gunung
bagi saya. Saya yang waktu itu tergabung dalam kelompok pecinta alam MAN
Yogyakarta I mendaki bersama sekitar 20-an anggota pecinta alam lain. Menjelang
petang kami masih di kaki gunung Merapi, perbekalan sudah mulai menipis dan
tenaga mulai terkuras. Ada dua opsi yang
harus kami ambil, turun kembali ke bawah atau meneruskan hingga ke puncak
gunung. Dua ketua rombongan kami berselisih pendapat tentang hal ini. Berfikir
risiko yang harus kami jalani, baik ke puncak maupun turun gunung, dua-duanya
sama-sama berisiko menguras tenaga dan perbekalan. Hanya saja, kalau turun kami
sudah tahu medannya, sedangkan kalau terus naik kami sama sekali belum tahu medan
dan risikonya.
Akhirnya,
salah satu dari ketua rombongan memutuskan untuk menetap semalam di tempat
tersebut dengan kondisi apa adanya, tanpa membuat tenda. Kami hanya berteduh di
bawah pohon secara bergerombol. Ketika malam tiba, hujan deras mengguyur kaki
gunung Merapi yang otomatis mengguyur tubuh kami. Hanya dipayungi ponco kami
mencoba menahan dingin hawa gunung Merapi. Satu ponco dipakai berdua dengan seorang
teman, selain karena ponconya memang terbatas, juga agar bisa saling
menghangatkan, tentunya tidak boleh berdua dengan lawan jenis, yah….(itu sangat
dilarang).
Untuk
menghangatkan badan dan sedikit memberi penerangan, saya menyalakan lilin yang
memang sudah saya persiapkan. Namun, karena kabut waktu itu begitu tebal, sinar
lilin itu tidak bisa menampakkan sinarnya meski sudah menyala. Ketika saya
teteskan lelehan lilin itu ke tangan, sama sekali tidak terasakan panas atau
hangatnya karena saking dinginnya. Yah, entah berapa derajat suhunya, yang
pasti sangat…sangat….sangat….dingin. saya belum pernah merasakan dingin
sedingin waktu itu. Subhanallah. Hampir semua anggota pecinta alam yang mendaki
Merapi saat itu tidak bisa tidur karena tergigit dingin yang teramat sangat.
Ketika sinar
mentari sedikit demi sedikit menyembul di sela-sela pepohonan, hujan dan kabut
pun telah lama berlalu, kami yang terkulai dalam duduk tertunduk mulai menengadahkan
kepala menyambut sinar pagi. Satu per satu berdiri lalu melakukan peregangan
tubuh. Kami menjalankan shalat subuh dalam kondisi tubuh yang basah. Lalu, kami
pun melanjutkan perjalanan untuk turun gunung karena kami tidak yakin akan
mampu meneruskan ke puncaknya. Lelah dan penat kami rasakan, tetapi sekaligus
bahagia karena bisa merasakan “belaian” hawa Merapi plus keindahan pemandangan
yang terhampar di sana. Sampai kini, mengenang Merapi membuat saya seolah
kembali merasakan dinginnya Merapi yang menyuntik sumsum tulang.
Peristiwa
ketiga, saat
saya bertugas meliput korban gempa Jogja tahun 2004. Waktu itu saya masih
menjadi wartawan di Tabloid MQ. Saya berenam berangkat dari Bandung mengendarai
mobil kantor. Karena rute perjalanan melewati Purwokerto, kami pun mampir ke
rumah saya di sana. Sampai di rumah sekitar pukul tiga dini hari. Setelah
makan-makan, membersihkan diri, dan shalat subuh, kami berangkat kembali
meneruskan perjalanan yang tinggal empat jam lagi. Ibu saya membekali makanan
lumayan banyak karena khawatir tidak menemukan penjual makanan di Jogja nanti.
Sesampainya di Jogja kami disambut
oleh Winarno, koresponden Tabloid MQ di Jogja. Begitu bertemu, Winarno memberikan
sebongkah ceritanya tentang keluarga besarnya di Bantul yang menjadi korban
gempa Jogja.
Rumah Winarno sebenarnya ada di
Magelang, di bawah kaki gunung Merapi. Ketika isu-isu Merapi akan meletus,
Winarno pun mengungsikan anak dan istrinya ke Bantul, ke rumah saudaranya.
Tentu karena ingin mereka aman dari “amuk” Merapi. Namun, bencana memang tidak
bisa ditolak ketika harus datang menerpa. Merapi saat itu ternyata “aman-aman
saja”. Justru Bantul yang ditimpa bencana berupa gempa yang lumayan dahsyat,
hampir melumpuhkan sebagian besar Jogja.
Lalu, bagaimana dengan nasib anak-istri
Winarno? Saat gempa datang, istri Winarno sedang berada di rumah saudaranya di
Bantul. Dia refleks jongkok di dekat meja yang bersebelahan dengan lemari
pakaian. Gempa menggoyang lemari pakaian itu hingga roboh mengenai sisi atas meja
tersebut, hanya menyisakan ruang di tempat istri Winarno terduduk. Posisinya mengingatkan
kita pada anak yang sedang “nyumput” untuk main petak umpet. Alhamdulillah dia
selamat dari gempa yang begitu dahsyat tanpa luka sedikit pun.
Setelah gempa
reda, istri Winarno langsung ke luar rumah karena teringat dengan anaknya yang
sedang bermain di luar. Beberapa saat menyapu pemandangan ke sekitar
mencari-mencari anaknya, akhirnya tampak anaknya sedang berdiri berpegangan
pohon belimbing di samping rumah. Padahal, rumah di samping kanan roboh ke arah
kiri dan rumah di arah kiri roboh ke kanan, sehingga posisi anak itu tempat
berdiri di tengah-tengah reruntuhan rumah yang roboh. Hanya tersisa ruang untuk
anak itu berdiri di dekat pohon belimbing itu. Dengan penuh rasa syukur, istri
Winarno pun memeluk anaknya yang juga selamat dari gempa.
Winarno sendiri waktu itu sedang
berada di rumahnya di Megelang. Begitu tahu berita tentang gempa di Jogja dia
langsung ke Bantul, tempat istri dan anak semata wayangnya dititipkan. Betapa
kagetnya dia melihat begitu banyak korban gempa sementara tidak ada tim relawan
yang menolong. Setelah mengetahui anak dan istrinya sehat-sehat saja, dia
langsung berinisiatif menolong para tetangganya. Kampung saudaranya ini
terbilang mengalami rusak yang paling parah. Dia harus kehilangan lebih dari
belasan saudara yang meninggal. Rumah-rumah porak-poranda.
Dia
mengantarkan para korban ke rumah sakit semampunya. Dia sampai harus beberapa kali
membeli bensin, sementara harga bensin mendadak naik karena persediaan minim dan
bahkan jarang yang berjualan. Untuk makan para korban, dia mengoordinir
orang-orang di kampungnya (di Magelang) untuk membuat rames lalu dibawa ke tempat-tempat
pengungsian para korban gempa. Selama beberapa hari dia keliling Jogja untuk
mencari daerah-daerah korban gempa yang mungkin belum tersentuh bantuan. Dia
sampai lupa mandi, lupa makan, terus bergerak menolong para korban dengan
menjalin kerja sama dengan para relawan dari berbagai lembaga. Dia juga sering
diminta menyiarkan kondisi terkini para korban melalui radio-radio yang
mengontaknya via handphone.
Subhanallah, sebuah perjuangan tanpa kenal lelah dan tanpa bayaran. Bisa jadi
inilah bentuk rasa syukurnya karena keluarganya telah diselamatkan Allah dari
bencana.
“Mas Win, udah makan belum?” tanya
saya setelah dia selesai menceritakan semua kisahnya.
“Belum, nggak sempat. Nggak ada warung
makan yang buka. Kalau ada juga harganya mahal. Kalau makan jatah makan para korban
nggak enak, kasihan mereka.” jawab Mas Win.
“Ya udah mas, makan nih bekel kita,”
kata saya sambil menyodorkan rantang berisi makanan seadanya.
“Wah, kebetulan, nih.” Kata Mas Win tampak
bersemangat.
Mas Win tampak begitu lahap makan
meski hanya dengan lauk ayam goreng dan kering tempe, seperti sudah
berhari-hari tidak bertemu nasi sehingga mengalami kelaparan yang teramat
sangat. Subhanallah.
Perjuanganmu
sahabat, membuatku merasa malu karena belum berbuat apa-apa untuk umat. Semoga
jasa-jasamu tercatat sebagai amal ibadah yang memberatkan timbanganmu menuju
syurga kelak. Amin.
Merapi, saya
banyak belajar darimu. @
sungguh sebuah pengalaman yang menarik untuk dikisahkan, semoga tetap menjadi kenangan yang indah ...
BalasHapus