Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Jumat, Oktober 29, 2010

Mengenang Merapi, Terkenang Sahabat Seperjuangan

 
 
Merapi, memberi kesan banyak bagiku karena begitu banyak kejadian yang membuatku “membahasnya”.
Pertama, saat SMA, ketika Merapi “marah” dan mengeluarkan asap wedus gembel-nya pada tahun 1994 sehingga menelan lebih dari 60-an korban, guru sosiologiku memberi tugas kepada murid-murid kelas sosial untuk membuat kliping tentang perubahan sosial-psikologis orang-orang korban Merapi dan menganalisisnya menjadi sebuah makalah. Kalau sekadar membuat kliping, meski harus bekerja keras kesana ke mari untuk mencari datanya, tetapi masih bisa kami jangkau. Akan tetapi, menganalisis, duh….kayak orang kuliahan saja. Namun, demi tugas kami jalani semua tugas dengan baik.
Hasilnya, saya jadi semakin tahu bagaimana dahsyatnya bencana Merapi ini dan bagaimana pengaruhnya bagi para korban. Beberapa legenda tentang Merapi pun saya dapatkan dari hasil menyusun kliping ini.
Peristiwa Kedua, ketika saya mendaki Merapi sekitar tahun 1993, setahun sebelum Merapi mengeluarkan wedus gembelnya, menjadi saat-saat paling mengesankan dalam sejarah pendakian gunung bagi saya. Saya yang waktu itu tergabung dalam kelompok pecinta alam MAN Yogyakarta I mendaki bersama sekitar 20-an anggota pecinta alam lain. Menjelang petang kami masih di kaki gunung Merapi, perbekalan sudah mulai menipis dan tenaga mulai  terkuras. Ada dua opsi yang harus kami ambil, turun kembali ke bawah atau meneruskan hingga ke puncak gunung. Dua ketua rombongan kami berselisih pendapat tentang hal ini. Berfikir risiko yang harus kami jalani, baik ke puncak maupun turun gunung, dua-duanya sama-sama berisiko menguras tenaga dan perbekalan. Hanya saja, kalau turun kami sudah tahu medannya, sedangkan kalau terus naik kami sama sekali belum tahu medan dan risikonya.
Akhirnya, salah satu dari ketua rombongan memutuskan untuk menetap semalam di tempat tersebut dengan kondisi apa adanya, tanpa membuat tenda. Kami hanya berteduh di bawah pohon secara bergerombol. Ketika malam tiba, hujan deras mengguyur kaki gunung Merapi yang otomatis mengguyur tubuh kami. Hanya dipayungi ponco kami mencoba menahan dingin hawa gunung Merapi. Satu ponco dipakai berdua dengan seorang teman, selain karena ponconya memang terbatas, juga agar bisa saling menghangatkan, tentunya tidak boleh berdua dengan lawan jenis, yah….(itu sangat dilarang).
Untuk menghangatkan badan dan sedikit memberi penerangan, saya menyalakan lilin yang memang sudah saya persiapkan. Namun, karena kabut waktu itu begitu tebal, sinar lilin itu tidak bisa menampakkan sinarnya meski sudah menyala. Ketika saya teteskan lelehan lilin itu ke tangan, sama sekali tidak terasakan panas atau hangatnya karena saking dinginnya. Yah, entah berapa derajat suhunya, yang pasti sangat…sangat….sangat….dingin. saya belum pernah merasakan dingin sedingin waktu itu. Subhanallah. Hampir semua anggota pecinta alam yang mendaki Merapi saat itu tidak bisa tidur karena tergigit dingin yang teramat sangat.
Ketika sinar mentari sedikit demi sedikit menyembul di sela-sela pepohonan, hujan dan kabut pun telah lama berlalu, kami yang terkulai dalam duduk tertunduk mulai menengadahkan kepala menyambut sinar pagi. Satu per satu berdiri lalu melakukan peregangan tubuh. Kami menjalankan shalat subuh dalam kondisi tubuh yang basah. Lalu, kami pun melanjutkan perjalanan untuk turun gunung karena kami tidak yakin akan mampu meneruskan ke puncaknya. Lelah dan penat kami rasakan, tetapi sekaligus bahagia karena bisa merasakan “belaian” hawa Merapi plus keindahan pemandangan yang terhampar di sana. Sampai kini, mengenang Merapi membuat saya seolah kembali merasakan dinginnya Merapi yang menyuntik sumsum tulang.
          Peristiwa ketiga, saat saya bertugas meliput korban gempa Jogja tahun 2004. Waktu itu saya masih menjadi wartawan di Tabloid MQ. Saya berenam berangkat dari Bandung mengendarai mobil kantor. Karena rute perjalanan melewati Purwokerto, kami pun mampir ke rumah saya di sana. Sampai di rumah sekitar pukul tiga dini hari. Setelah makan-makan, membersihkan diri, dan shalat subuh, kami berangkat kembali meneruskan perjalanan yang tinggal empat jam lagi. Ibu saya membekali makanan lumayan banyak karena khawatir tidak menemukan penjual makanan di Jogja nanti.
          Sesampainya di Jogja kami disambut oleh Winarno, koresponden Tabloid MQ di Jogja. Begitu bertemu, Winarno memberikan sebongkah ceritanya tentang keluarga besarnya di Bantul yang menjadi korban gempa Jogja.
          Rumah Winarno sebenarnya ada di Magelang, di bawah kaki gunung Merapi. Ketika isu-isu Merapi akan meletus, Winarno pun mengungsikan anak dan istrinya ke Bantul, ke rumah saudaranya. Tentu karena ingin mereka aman dari “amuk” Merapi. Namun, bencana memang tidak bisa ditolak ketika harus datang menerpa. Merapi saat itu ternyata “aman-aman saja”. Justru Bantul yang ditimpa bencana berupa gempa yang lumayan dahsyat, hampir melumpuhkan sebagian besar Jogja.
          Lalu, bagaimana dengan nasib anak-istri Winarno? Saat gempa datang, istri Winarno sedang berada di rumah saudaranya di Bantul. Dia refleks jongkok di dekat meja yang bersebelahan dengan lemari pakaian. Gempa menggoyang lemari pakaian itu hingga roboh mengenai sisi atas meja tersebut, hanya menyisakan ruang di tempat istri Winarno terduduk. Posisinya mengingatkan kita pada anak yang sedang “nyumput” untuk main petak umpet. Alhamdulillah dia selamat dari gempa yang begitu dahsyat tanpa luka sedikit pun.
Setelah gempa reda, istri Winarno langsung ke luar rumah karena teringat dengan anaknya yang sedang bermain di luar. Beberapa saat menyapu pemandangan ke sekitar mencari-mencari anaknya, akhirnya tampak anaknya sedang berdiri berpegangan pohon belimbing di samping rumah. Padahal, rumah di samping kanan roboh ke arah kiri dan rumah di arah kiri roboh ke kanan, sehingga posisi anak itu tempat berdiri di tengah-tengah reruntuhan rumah yang roboh. Hanya tersisa ruang untuk anak itu berdiri di dekat pohon belimbing itu. Dengan penuh rasa syukur, istri Winarno pun memeluk anaknya yang juga selamat dari gempa.
          Winarno sendiri waktu itu sedang berada di rumahnya di Megelang. Begitu tahu berita tentang gempa di Jogja dia langsung ke Bantul, tempat istri dan anak semata wayangnya dititipkan. Betapa kagetnya dia melihat begitu banyak korban gempa sementara tidak ada tim relawan yang menolong. Setelah mengetahui anak dan istrinya sehat-sehat saja, dia langsung berinisiatif menolong para tetangganya. Kampung saudaranya ini terbilang mengalami rusak yang paling parah. Dia harus kehilangan lebih dari belasan saudara yang meninggal. Rumah-rumah porak-poranda.
Dia mengantarkan para korban ke rumah sakit semampunya. Dia sampai harus beberapa kali membeli bensin, sementara harga bensin mendadak naik karena persediaan minim dan bahkan jarang yang berjualan. Untuk makan para korban, dia mengoordinir orang-orang di kampungnya (di Magelang) untuk membuat rames lalu dibawa ke tempat-tempat pengungsian para korban gempa. Selama beberapa hari dia keliling Jogja untuk mencari daerah-daerah korban gempa yang mungkin belum tersentuh bantuan. Dia sampai lupa mandi, lupa makan, terus bergerak menolong para korban dengan menjalin kerja sama dengan para relawan dari berbagai lembaga. Dia juga sering diminta menyiarkan kondisi terkini para korban melalui radio-radio yang mengontaknya via handphone. Subhanallah, sebuah perjuangan tanpa kenal lelah dan tanpa bayaran. Bisa jadi inilah bentuk rasa syukurnya karena keluarganya telah diselamatkan Allah dari bencana.
          “Mas Win, udah makan belum?” tanya saya setelah dia selesai menceritakan semua kisahnya.
          “Belum, nggak sempat. Nggak ada warung makan yang buka. Kalau ada juga harganya mahal. Kalau makan jatah makan para korban nggak enak, kasihan mereka.” jawab Mas Win.
          “Ya udah mas, makan nih bekel kita,” kata saya sambil menyodorkan rantang berisi makanan seadanya.
          “Wah, kebetulan, nih.” Kata Mas Win tampak bersemangat.
          Mas Win tampak begitu lahap makan meski hanya dengan lauk ayam goreng dan kering tempe, seperti sudah berhari-hari tidak bertemu nasi sehingga mengalami kelaparan yang teramat sangat. Subhanallah.
Perjuanganmu sahabat, membuatku merasa malu karena belum berbuat apa-apa untuk umat. Semoga jasa-jasamu tercatat sebagai amal ibadah yang memberatkan timbanganmu menuju syurga kelak. Amin.
Merapi, saya banyak belajar darimu. @

1 komentar:

  1. sungguh sebuah pengalaman yang menarik untuk dikisahkan, semoga tetap menjadi kenangan yang indah ...

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.