Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Rabu, Oktober 27, 2010

Kemandirian Perempuan

“Manusia dilahirkan telanjang dan mati telanjang. Baju-baju ini hanyalah suatu pretense, sekadar pembungkus dalam upaya menutupi sifat asli.” 


Rasanya sulit bagi soerang perempuan memadukan kecantikan dengan kepandaian karena sejak kecil seorang gadis dibesarkan dengan keyakinan bahwa dirinya hanyalah sesosok tubuh, tidak lebih dari itu. Jadi, untuk selanjutnya pikirannya hanyalah bagaimana mengurus tubuhnya itu dan dia tidak menyadari bahwa dia pun memiliki kemampuan otak yang harus dijaga dan terus didorong agar berkembang. Mengapa demikian? Karena kaum laki-lakilah yang memegang kendali dan kedudukan penting dalam kehidupan tidak menginginkan kaum perempuan tumbuh menjadi pribadi lain kecuali sebagai “hewan” yang cantik dan tolol, tetapi dapat memenuhi keinginan mereka bila mereka menghendaki perempuan sebagai makhluk sesama atau mitra sejajar. Mereka menghendaki perempuan sebagai orang yang melayani mereka.

Setidaknya, ada tiga “titik lemah” yang disoroti para laki-laki dalam upaya menguasai perempuan, yaitu.
1) Keinginan perempuan untuk dilindungi laki-laki.
2) Kecemburuan laki-laki terhadap perempuan.
3) Laki-laki berkilah bahwa dia takut sesuatu terjadi terhadap istri atau pasangannya. Padahal, sesunguhnya dia takut untuk dirinya sendiri; menyatakan ingin melindungi wanita dengan maksud untuk memilikinya lalu membatasinya dengan cara memasang tembok di sekelilingnya.

“Rupanya laki-laki telah menarik simpulan bahwa pekerjaankulah (sebagai seorang dokter, red) yang memberi kekuatan kepadaku sehingga dia tidak dapat menguasai diriku. Dia berpendapat bahwa uang yang kuperoleh setiap bulan sebagai penghasilan, sedikit-banyaknya adalah suatu alasan untuk menegakkan kepala. Dia tidak menyadari bahwa kekuatanku bukan karena aku memiliki penghasilan sendiri, tetapi karena aku tidak dikejar oleh kebutuhan psikologis terhadap dirinya sebagaimana dia merasakannya terhadapku. Aku tidak memiliki perasaan seperti itu terhadap ibuku, ayahku, atau siapa pun karena aku memang tidak bergantung kepada siapa pun. Sebaliknya, dia sebelumnya sangat tergantung kepada ibunya, kemudian mengganti kedudukannya itu dengan diriku. Dia telah terbiasa melihat dirinya sebagai orang yang kuat di jalanan dan menyadari bahwa dia adalah pihak yang lemah di dalam rumahnya sendiri.”  

(Dikutip dari novel “Memoar Seorang Dokter Perempuan” karya Nawel el-Saadawi)  


Tentang Penulis  

Nawal el Saadawi adalah seorang feminis, penulis, aktivis, dokter, dan psikiater. Dia telah menulis banyak buku tentang masalah perempuan dalam Islam. Wanita kelahiran Kafr Tahla, Mesir, 27 Oktober 1931 ini adalah anak seorang pejabat pemerintah di Departemen Pendidikan yang telah berjuang melawan kekuasaan Raja dan Inggris dalam revolusi tahun 1919. Akibatnya, ayahnya diasingkan ke sebuah kota kecil di Delta Nil. Sikap keras cenderung radikal ini menurun kepada Saadawi, apalagi tempaan hidup yang diterima Saadawi cukup keras. Ketika kedua orang tuanya meninggal saat dia berusia 25 tahun, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dia harus menanggung beban tunggal menghidupi keluarga besarnya ini.

Saadawi lulus sebagai dokter pada tahun 1955 dari Universitas Kairo. Saat melakukan praktek medis dia mengamati fisik dan psikologis masalah perempuan dan menghubungkan mereka dengan praktek-praktek budaya penindasan, baik penindasan patriarkal, penindasan strata sosial, dan penindasan imperialis. Dia juga mengamati kesulitan dan kesenjangan yang dihadapi oleh perempuan pedesaan. Dia bahkan mencoba untuk melindungi salah satu pasiennya dari kekerasan dalam rumah tangga. Semua pengalamannya di dunia medis ini memberi pengaruh besar dalam tulisan-tulisannya.

Dia pernah menjabat sebagai Direktur Kesehatan Masyarakat. Di tempat inilah dia bertemu dengan suami ketiga, Sheriff Hetata, seorang dokter dan penulis yang pernah menjadi tahanan politik selama 13 tahun. Mereka menikah pada tahun 1964 dan memiliki seorang putra dan putri.

Tahun 1972 dia menerbitkan Al Mar'a wa Al Jins (Perempuan dan Seks) yang mengupas tentang subjek yang sangat tabu dunia perempuan dan seksualitas serta subyek sensitif politik dan agama. Karya non-fiksi pertamanya ini juga concern menghadapi berbagai agresi yang dilakukan terhadap tubuh perempuan, termasuk sunat perempuan yang menjadi fokus dasar feminisme gelombang kedua. Apalagi Saadawi pernah mengalami trauma saat harus disunat pada usia enam tahun karena mengikuti adat. Publikasi buku ini menimbulkan kemarahan dari otoritas politik dan teologis, bahkan Departemen Kesehatan tempatnya bekerja ditekan untuk memberhentikannya. Di bawah tekanan yang sama, dia juga kehilangan jabatannya sebagai Kepala Editor di sebuah jurnal kesehatan dan sebagai Asisten Sekretaris Jenderal di Asosiasi Medis di Mesir.

Namun, Saadawi tetap berkarya. Dari tahun 1973 − 1976 dia bekerja pada lembaga penelitian masalah perempuan dan neurosis di Universitas Ain Syams Fakultas Kedokteran. Tahun 1979 − 1980 dia menjadi Penasihat Program Perempuan PBB di Afrika.

Pemikiran-pemikirannya dipandang kontroversial dan berbahaya oleh pemerintah Mesir sehingga Presiden Anwar Sadat memenjarakan dirinya pada bulan September 1981 bersama dengan penentang lain untuk Perjanjian Perdamaian Yerusalem dan Timur Tengah. Inilah proses panjang perjuangannya yang akhirnya berujung di penjara. Dia dibebaskan setelah meninggalnya Anwar Sadat tahun 1982.

Walaupun tubuh terpenjara dalam jeruji besi, tetapi pemikirannya terus berkembang. Saadawi terus menulis di penjara menggunakan pensil alis pendek hitam dan gulungan kecil kertas toilet tua dan compang-camping." Akhirnya, lahirlah bukunya yang berjudul Memoar dari Penjara Perempuan yang dirilis tahun 1982 dan terbit 1983. Dalam penutup memoarnya dia menulis tentang sifat korup dari pemerintah negaranya, bahaya penerbitan di bawah kondisi otoriter tersebut dan tekad untuk terus menulis kebenaran.  

“Ketika aku keluar dari penjara ada dua jalan yang bisa kuambil. Aku bisa saja menjadi salah satu ‘budak’ pemerintah yang berkuasa sehingga memperoleh keamanan, kesejahteraan, penghargaan negara dan lebel ‘penulis besar’, aku bisa melihat foto saya terpampang di koran dan di televisi. Atau aku bisa terus berada di jalur yang sulit, salah satu yang telah membawaku ke penjara ... Bahaya telah menjadi bagian dari hidupku sejak aku mengambil pena dan menulis. Tidak ada yang lebih berbahaya daripada kebenaran di dunia. Tidak ada yang lebih berbahaya dalam dunia keilmuan selain pemilik pengetahuan dianggap ‘berdosa’ sejak Adam dan Hawa ... Tidak ada kekuasaan di dunia yang bisa mencabut tulisan-tulisanku dariku.”  

Saadawi membentuk Solidaritas Perempuan Arab Association setelah keluar dari penjara (1982). AWSA adalah sebuah organisasi internasional yang didedikasikan untuk "mengangkat sekat pikiran" wanita Arab dan merupakan organisasi feminis independen di Mesir yang memiliki 500 anggota lokal dan lebih dari 2.000 secara internasional. Asosiasi menyelenggarakan konferensi internasional dan seminar, menerbitkan majalah dengan memulai program untuk meningkatkan pendapatan bagi perempuan di daerah pedesaan. AWSA dilarang pada tahun 1991 setelah mengkritik keterlibatan AS dalam Perang Teluk. Menurutnya, seharusnya konflik tersebut diselesaikan di antara orang Arab.

Meski dia telah bebas dari penjara, Saadawi hidup dalam ancaman oleh mereka yang menentang pekerjaannya, terutama fundamentalis Islam. Penjaga bersenjata ditempatkan di luar rumahnya di Giza selama beberapa tahun. Tahun 1988, Saadawi terpaksa melarikan diri dari Mesir dan menerima tawaran untuk mengajar di Departemen Bahasa Duke University's Asia dan Afrika di North Carolina serta University of Washington di Seattle. Dia pernah mengajar di sejumlah perguruan tinggi bergengsi dan universitas termasuk Universitas Kairo, Harvard, Yale, Columbia, Sorbonne, Georgetown, Florida State University, dan University of California, Berkeley. Pada tahun 1996, dia pindah kembali ke Mesir.  

Karya-Karya Nawel El-Saadawi

Tulisan pertamanya berupa cerita pendek berjudul I Learned Love (1957) dan Memoar Seorang Dokter Perempuan (1958). Hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku Perempuan dan Neurosis di Mesir (1976) yang mendalami 20 studi kasus dunia perempuan dalam penjara dan rumah sakit. Penelitian ini juga terinspirasi oleh novel Perempuan di Titik Nol yang didasarkan pada hukuman mati perempuan yang dinyatakan bersalah membunuh suaminya.

Pada tahun 1977, dia menerbitkan karyanya yang paling terkenal, The Hidden Face of Eve, yang meliputi sejumlah topik berkaitan dengan wanita Arab, seperti agresi terhadap anak perempuan dan mutilasi alat kelamin perempuan, prostitusi, hubungan seksual, perkawinan dan perceraian dan fundamentalisme Islam. Karya lainnya God Dies by the Nile, The Circling Song , Pencarian, Kejatuhan Imam, dan Perempuan di Titik Nol. Total karyanya ada sekitar 35 buah dan sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa dunia.

“Masa-masa tersulit telah dilaluinya. Kini tidak ada yang mampu membuatnya takut. ‘Di usia 70 tahun, Sadaawi yang beruban masih tetap seorang petarung,’ kata sebuah koran. Dia kini bukan lagi bertarung untuk harga dirinya dan hak-hak wanita, dia bertarung untuk sesuatu yang kadang dikritiknya keras-keras.” Demikian tulis Qaris Tajudin dari Koran Tempo, Rabu, 30 Mei 2001. @

1 komentar:

  1. bagus nih quotes: Tidak ada yang lebih berbahaya daripada kebenaran di dunia. Tidak ada yang lebih berbahaya dalam dunia keilmuan selain pemilik pengetahuan dianggap ‘berdosa’ sejak Adam dan Hawa ...
    Ijin, langsung aku copy

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.