“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS Al Ahzab, 33: 72)
Sebuah ayat yang menggambarkan betapa beratnya amanat yang
dipikul oleh manusia sebagai Khalifatullah fil Ardh. Namun, pada
kenyataannya, amanat tersebut tidak jarang malah membuat manusia terlena dan
berbuat zalim dengan amanat-Nya. Wajar bila kemudian Allah Swt. menimpakan
azab atas kelalaian manusia. Betapa banyak bencana yang telah menimpa negeri
ini sebagai akibat perbuatan tangan manusia. Banjir, tanah longsor, kekeringan,
tsunami, meletusnya gunung berapi dan sebagainya, telah membuka luka perih di Bumi yang
terkenal gemah ripah loh jinawi ini.
Gunung berapi yang dimiliki negeri ini tidak luput pula
menorehkan sejarah kedahsyatan di balik keagungan ciptaan Allah Swt. salah
satunya Gunung Merapi yang terletak di wilayah Jawa Tengah.
Gunung Merapi,
Pesona Alam yang Tidak Pernah Padam
“Dan Kami hamparkan bumi itu, dan Kami letakkan padanya
gunung-gunung yang kokoh, dan Kami
tumbuhkan padanya segala
macam tanaman yang indah dipandang mata.”
(QS Qaaf, 50: 7)
Gunung Merapi mempunyai ketinggian 2968 m dari permukaan
laut, terletak + 25 km dari Yogyakarta. Gunung Merapi terbentuk pertama
kali sekitar 60.000 - 80.000 tahun yang lalu. Terkenal sebagai gunung berapi yang
masih sangat aktif hingga saat ini. Namun, sejarah aktivitasnya baru mulai
diamati dan ditulis sebagai dokumen sejak tahun 1791.
Puncak Merapi menjanjikan daya pikat keindahan matahari
terbit pada pagi hari dengan pemandangan alami dari jajaran Gunung Ungaran,
Telomoyo, dan Merbabu. Gunung Merapi dan sekitarnya juga menawarkan wisata
gunung api, seperti udara yang sejuk, lintas alam, keindahan kubah lava yang
masih aktif, bahkan “wedus gembel” yang banyak ditakuti orang pun kadang
menjadi pemandangan yang diburu para wisatawan.
Pesona alam yang unik dan indah ini, beserta aneka
kegiatannya, bahkan dapat dinikmati wisatawan saat Gunung Merapi "aktif
normal". Pada saat ada peningkatan kegiatan, juga ada peningkatan sajian
keindahan, tetapi tentu menyimpan bencana.
Bagi masyarakat desa di lereng Merapi sampai ketinggian
1700 m, Merapi membawa berkah material pasir. Sedang bagi pemerintah daerah,
Gunung Merapi menjadi obyek wisata bagi para wisatawan.
Keganasan Merapi
Gunung Merapi sebagai salah satu kekayaan negeri ini,
selain memberikan pesona alam yang indah, juga menyimpan kaganasan yang tak
tertanggungkan. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Letusan-letusan
kecil terjadi tiap 2 - 3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10 - 15 tahun sekali.
Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar antara lain di tahun 1006, 1786,
1822, 1872, dan 1930. Letusan besarnya di tahun 1006, membuat seluruh bagian
tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan, letusan tersebut menyebabkan
kerajaan Mataram Hindu harus berpindah ke Kediri dan memberikan peluang bagi umat
Muslim untuk menjadi penguasa. Letusannya di tahun 1930, menghancurkan 13 desa
dan menewaskan 1400 orang.
Secara morfologi, tubuh Gunung Merapi dapat dibagi menjadi
empat bagian, yaitu
kerucut puncak, lereng tengah, lereng kaki, dan dataran
kaki. Kerucut puncak dibangun oleh endapan paling muda berupa lava dan piroklastik.
Satuan lereng tengah dibangun oleh endapan lava, piroklastik, dan
lahar. Sedangkan lereng kaki dan dataran kaki tersusun dari
endapan piroklastik, lahar, dan aluvial.
Dari bentuknya, dibandingkan dengan Gunung Merbabu di
sebelahnya, Gunung Merapi jauh lebih runcing. Hal ini menunjukkan pertumbuhan
bagian puncaknya relatif lebih cepat. Kerucut puncak Merapi yang sering disebut
sebagai Gunung Anyar, merupakan bagian Merapi yang paling muda. Semua aktivitas
Merapi terpusat pada puncak kerucut ini. Kawah utama Merapi saat ini berupa
bukaan berbentuk tapal kuda yang mengarah ke barat-barat daya.
Aktivitas Gunung Merapi dicirikan oleh magma yang keluar
perlahan dari dalam tubuh gunung api (guguran lava pijar) dan
menumpuk di puncak hingga berbentuk kubah lava dengan volume 0,9 juta meter
kubik lebih. Di kubah lava dan sekitarnya, gas vulkanik dan uap air
dimanifestasikan sebagai lapangan solfatar/fumarol. Puncak Garuda
merupakan produk lava yang menyerupai burung garuda, yang merupakan titik
tertinggi Gunung Merapi dan merupakan lokasi untuk melihat kubah lava yang
masih aktif.
Jarak luncur guguran lava pijar tersebut sejauh 200 meter
dari puncak. Guguran lava pijar itu akan membahayakan jika meluap dari Puncak
Garuda dan meruntuhkan kubah yang mengelilinginya di puncak, lalu longsor ke
bawah. Jika longsoran itu volumenya sangat besar maka terjadilah wedus
gembel (awan panas). Wedus gembel, menurut salah satu sumber, berupa
awan panas dan debu dengan suhu 3000 derajat celsius yang meletus hingga
ketinggian 3.000 meter dari puncaknya.
***
Betapa Maha Kuasanya Allah melalui ciptaan-Nya berupa
gunung berapi ini, hingga Allah menggambarkan dalam QS Al Hajj, 22: 18. “Apakah
kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di
bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang
melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang
telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak
seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki.”
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap
di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. Perbuatan Allah yang
membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS An Naml, 27: 88)
“Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan, dan
menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang berterbangan.” (QS. l Muzammil, 73: 14)
Semoga kita termasuk hamba yang dapat mengambil pelajaran
dari keindahan dan keganasan bunung berapi ini. Sebagai bukti kadahsyatan gunung
berapi, terutama Gunung Merapi di Jawa Tengah, kami tampilkan salah satu korban
Gunung Merapi yang terkena semburan awan panas “wedus gembel” duabelas tahun
lalu, Bapak Maryoto.
Merapi memang bukan tipe gunung yang meletus dengan
meledak-ledak. Material yang ada dalam awan panas itu meliputi bongkahan batu,
kerikil, pasir dan abu yang bercampur dengan lava pijar sehingga panasnya
mematikan.
Menurut Ir. Dewi Sri Sayudi, Staf Ahli Geologi BPPTK, Lava
pijar itu bukan cairan panas yang meleleh dari dalam Bumi. Namun, bongkahan batu
yang pijar atau membara yang dibentuk oleh magma yang muncul ke permukaan Bumi.
“Ketika lava pijar tersebut longsor ke lereng, akan saling berbenturan satu
sama lain. Benturan tersebut menimbulkan ledakan gas dari dalam batuan yang
sangat panas. Itulah yang membuat wedus gembel bersuhu sangat tinggi,
sekitar 400 derajat celsius," terang Dewi Sri. Suhu panas yang cukup
membuat kulit meleleh seperti yang dialami Maryoto. (Indah, dari berbagai
sumber)***
Kisah TMQ_Juli 2006
Maryoto,
Anugerah Termahal yang Tidak Tergantikan
"Meski harus bekerja dan mengurus
suami, saya tetap bahagia karena masih bisa berkumpul dengan keluarga, saat
orang lain berpisah
dengan orang-orang yang disayangi." tutur istri Maryoto.
Sejak Merapi beraksi kembali sebulan
lalu dan menelan banyak korban, Merapi kembali menjadi pusat perhatian. Apalagi Mbah Marijan, kuncen
Merapi, ikut pula menjadi korban keganasan Merapi tahun ini.
Kalau “geger” Merapi tahun 2006 lalu
Mbah Marijan masih bisa selamat dari amuknya Merapi dan memilih tetap bertahan
di rumahnya, amuk Merapi kali ini membuatnya tidak berdaya lagi. Sapuan asap panas
“wedus gembel” telah mengakhiri
hidupnya, sekaligus mengakhiri tugasnya sebagai kuncen Merapi.
Fenomena Merapi 2010 ini kembali
mengingatkan kita pada peristiwa “beraksinya” Merapi tahun 1994. Saat itu Merapi
meletus dan menyemburkan awan panas yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan
sebutan “wedus gembel”. Letusan ini memorak-porandakan dan menyapu habis
Desa Turgo, Purwobinangun, Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sebanyak 68 warga Turgo harus
meradang nyawa karena amuk Merapi.
Untuk melihat langsung kondisi
terkini warga Turgo, Winarno dari MQ menyambangi relokasi warga Turgo di
Sudimoro, Purwobinangun, Pakem, Yogyakarta. Di relokasi ini, MQ sempat
berbincang-bincang dengan satu-satunya korban wedus gembel Merapi 1994
yang masih hidup. Beliau bernama Maryoto (saat itu berusia 58 tahun). Meski selamat dari wedus
gembel, tetapi ia harus hidup dalam keterbatasan. Bibirnya susah digerakkan
untuk sekadar berucap sepatah dua patah kata. Pendengarannya sudah berkurang,
bahkan kedua telinganya berubah bentuk karena meleleh. Jari-jari tangannya
menyatu karena meleleh terkena semburan awan panas sehingga sulit untuk
digerakkan, begitu pun kakinya.
Bagaimana kronologis kejadian Merapi saat hingga membuat
Maryoto mengalami luka bakar begitu dahsyat?
Selasa Kliwon, 22 November 1994 silam, sekitar pukul 08.00
pagi, Maryoto ikut bantu-bantu di rumah tetangganya yang sedang mengadakan
acara pernikahan. Selang beberapa jam, tepatnya pukul 11.00, tiba-tiba hari itu
menjadi gelap. Bumi berguncang karena gempa, barang-barang di rumah itu
berjatuhan, bahkan rumah pun roboh. Puncak Merapi terlihat mengeluarkan
gumpalan asap panas berwarna kemerah-merahan. Bentuknya yang seperti bulu
kambing gembel (wedhus gembel). Sementara petir terdengar berkali-kali,
memekakkan telinga.
Semua yang hadir dalam acara tersebut panik. Orang-orang
berusaha menyelamatkan diri. Namun, secepat orang lari tetap kalah oleh cepatnya
aliran awan panas yang menerjang mereka. Dalam sekejab, Desa
Turgo-Purwobinangun, Kabupaten Sleman, habis tersapu dahsyatnya awan panas. Turgo luluh lantak
bagaikan kota mati, batu-batu berserakan, rumah-rumah roboh. Dalam beberapa
menit kemudian, rumah-rumah, tanah, tanaman, semua dipenuhi gumpalan abu Gunung
Merapi.
“Yah, begitulah keadaan suami saya setelah cacat terkena
semburan wedus gembel tahun 1994. Bicara susah, pendengarannya
berkurang, makan saja harus disuapin. Pokoknya di rumah hanya duduk-duduk, nggak
bisa ngapa-ngapain kayak dulu,” ujar Kasiyem, istri Maryoto,
mengawali perbincangan dengan MQ sambil duduk berdampingan dengan Maryoto.
Saat terjadi bencana Merapi itu, Kasiyem sedang berjualan
di pasar Kaliurang. Anaknya yang paling kecil sekolah di TK, anak pertama dan
kedua sedang bekerja. Rumahnya kosong. Ketika melihat puncak Merapi
mengeluarkan awan panas, saat itu juga Kasiyem menutup jualannya di pasar untuk
pulang menengok keadaan rumah. Sebelum sampai di rumah, ia bertemu Pak Dukuh
yang mengabarkan bahwa suaminya terkena semburan awan panas dan sudah dibawa ke
RS Sardjito Yogyakarta. Kasiyem segera pergi ke RS Sardjito. Ia begitu sedih
dan prihatin melihat suaminya terbaring mengenaskan di rumah sakit bersama
korban lainnya. Tubuh Maryoto menghitam seperti luka bakar, kulitnya lengket
dengan baju yang dikenakannya.
“Semua orang yang datang di acara
hajatan pernikahan itu meninggal dunia, termasuk tuan rumah, kedua mempelai, dan
para tamu undangan, kecuali suami saya. Kalau dihitung, mungkin sekitar 25
orang yang meninggal. Makanya saya sangat bersyukur, meskipun suami saya
mengalami cacat seumur hidup. Alhamdulillah ia masih diberi umur. Inilah
anugerah Allah yang sangat berharga dalam hidup saya, ternyata Allah masih
menyayangi suami saya,” papar Kasiyem pasrah.
Maryoto dirawat selama lima bulan.
Biaya perawatannya ditanggung pemerintah. Setelah Maryoto dinyatakan sembuh dan
diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit, sekitar April 1994, ia sempat pulang
ke rumahnya di Turgo, lalu pindah ke tempat relokasi warga Turgo atas anjuran
Kepala Dusun, Bapak Waji.
Maryoto sekeluarga beserta warga Turga lainnya, kini
tinggal di tempat relokasi. Mereka dibuatkan kapling-kapling sebagai tempat
tinggal. Di tempat ini, Kasiyem mencoba membuka lembaran hidup baru dengan
menerima jasa cucian dari tetangganya. Ia tidak lagi berjualan di pasar
Kaliurang. Sebelum cacat, Maryoto berprofesi sebagai petani dan perajin anyaman
bambu. Beruntung sekali Maryoto memiliki istri seperti Kasiyem, ia begitu setia
tanpa mengeluh menggantikan posisinya sebagai penopang ekonomi keluarga.
Mereka memilih tetap tinggal di tempat relokasi karena
merasa aman dari Merapi. Sesekali Kasiyem menengok rumahnya di Turgo yang sudah
dikosongkan, sekalian mengurus tanaman di sawahnya. Ia rela meski harus
berjalan jauh menuju Turgo, lalu kembali ke tempat relokasi.
“Kadang saya merasa berat. Tapi mau
bagaimana lagi, ini semua sudah takdir dari Allah yang harus saya terima.
Inilah anugerah termahal selama hidup saya yang tak bisa digantikan dengan
apa pun. Meski harus bekerja dan mengurus suami, saya tetap bahagia karena masih
bisa berkumpul dengan keluarga, saat orang lain berpisah dengan orang-orang
yang disayangi,” ucap Kasiyem menutup perbincangan dengan MQ.
(Ditulis
oleh Indah berdasarkan
laporan Winarno/MQ) ***
Tanggapan Pakar
Ganasnya “Wedus Gembel”
Oleh dr. Tauhiid Nur Azhar, M.Kes
Wedus gembel adalah awan panas yang berisi
material vulkanik dari gunung berapi, tapi lebih didominasi unsur gas. Lava
gunung berapi biasanya keluar dalam bentuk unsur pijar dan gas. Bila lava ini
keluar bersentuhan dengan udara, dan mendapat tekanan, maka unsur gasnya lebih
dominan. Ia menjadi awan panas yang biasa dikenal dengan istilah wedus
gembel. Panasnya bisa mencapai 400 derajat celcius. Jadi, cukup membuat
tubuh manusia matang. Dalam radius 500 meter pun, panasnya sudah dapat
dirasakan.
Tubuh manusia 70 persennya terdiri dari air. Air tersebut
akan mendidih saat terkena awan panas ini. Kekuatan maksimal protein di tubuh
kita untuk menahan panas hanya sampai 96 derajat celcius. Saat terkena panas
yang melebihi angka tersebut, protein tubuh akan “pecah”. Begitu pun
unsur-unsur lain, semuanya tercerai-berai. Daya tahan lemak di tubuh terhadap
panas bahkan lebih rendah lagi. Di atas 70 derajat celcius lemak akan terurai.
Ada dua kerusakan dalam tubuh saat terkena awan panas. Pertama,
kerusakan organ tubuh (lemak, karbohidrat dsb.) putus ikatan kimiawinya,
sehingga tubuh berubah bentuk. Kedua, kerusakan dari dalam karena
air di dalam tubuh terkonduksi panas. Luka-luka ini ada tingkatannya: tingkat satu,
dua, tiga, dst. Luka bakar yang akut, meluas dan dalam, ada pula persentasenya.
Luka bakar yang diderita Maryoto, mungkin di atas 50
%. Secara logika sulit untuk bisa tertolong. Namun beliau bisa bertahan.
Ini sungguh luar biasa. Walau telah melakukan pengobatan, namun luka bakarnya
sudah membakar protein dalam tubuh, sehingga jaringan-jaringan yang tersisa
tidak cukup mampu membuat jaringan baru. Akibatnya, sisa jaringan yang ada
menarik jaringan tubuh lain. Kalau jaringan itu mengenai otot-otot rahang,
bibir dan mulut, maka akan membuat mulut tidak bisa terbuka. Inilah yang
menyebabkan tubuh menjadi cacad. Wallahu a’lam.@
Indah tapi ganas... dua sisi yang tak bisa dipisahkan. :D
BalasHapusMari merenung ....
BalasHapus'uluran tangan' yang mereka sangat perlukan...
BalasHapusBuat Anonim, Bang Aswi, dan Ade Truna...
BalasHapusmakasih komennya yah....
mengingatkan kita...bahwa kita hanya-lah manusia biasa yang nggak ada apa-apanya dibanding dengan Yang Maha Segalanya..
BalasHapushttp://ayahkuhebat.wordpress.com