Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Kamis, November 25, 2010

Berita dari Pengungsian Merapi #2


Suasana sepi kampung Ngampel-Sengi, Ndukun-Magelang (radius 8 km Merapi) saat ditinggal mengungsi para penghuninya.

Meski penduduk sekitar Merapi sudah terbiasa dengan suara gemuruhnya Merapi saat sedang beraksi, tetapi gemuruh kali ini terasa sangat berbeda. Winarno yang sudah sejak lahir dan besar di wilayah Merapi (kampungnya berada pada radius 8 km dari Merapi), tetap merasa merinding, ada rasa takut yang tiba-tiba menyengat sekujur tubuhnya begitu gemuruh itu muncul. Begitu pun istrinya yang sejak dinikahinya lebih dari sepuluh tahun lalu sudah diboyong ke sebuah kampung yang cukup asri di tepian Merapi. Namun, keindahan dan keasrian kampung ini bisa sewaktu-waktu bisa menjadi mencekam, bahkan seolah mengancam nyawa setaip penghuninya. Ancaman besar itu datang dari mana lagi kalau bukan dari Merapi.

Saat saya datang bersilaturahmi ke tempat pengungsiannya di kompleks Perumahan Prayudan, sekitar 25 km dari Merapi, istri Winarno sudah kembali ke kampung halamannya di desa Ngampel-Sengi, Ndukun, Magelang. Rupanya masyarakat sekitar Merapi sudah menganggap aman dan yakin Merapi tidak berulah lagi sehingga berani kembali ke rumah masing-masing. Namun, para pengungsi resmi yang dikondisikan oleh pemerintah (baik di barak-barak pengungsian atau tempat-tempat umum lain yang disediakan khusus) belum diizinkan pulang. Status Merapi saat itu masih ditetapkan dalam kondisi “AWAS” oleh pemerintah.

Jalanan kampung masih dipenuhi debu vulkanik Merapi.
Jalanan yang sudah dibersihkan dari debu, Debu-debu vulkanik Merapi disisihkan di penggir-pinggir jalan.
Tanaman rusak akibat erupsi Merapi, lahar dingin sempat menyapu habis lahan ini.

Keesokan harinya, Sabtu, 20 Nopember 2010, pagi hari, saya berkesempatan mengunjungi kampung halaman mereka. Sepanjang jalan menuju kampung Ngampel-Sengi hampir seperti kota mati. Tanaman-tanaman sayuran dataran tinggi sebagai mata pendaharian utama mereka kering terkena sapuan awan panas. Debu-debu Merapi masih menghiasi segala yang terhampar di Bumi mereka. Konon ceritanya kondisi ini sudah lebih baik karena sudah terguyur hujan beberapa hari terakhir. Terbayang bagaimana kondisi awal kampung-kampung tersebut saat pertama tersapu awan panas atau tertutup debu vulkanik yang begitu tebal. 

Saat gemuruh pertama datang terasa mencekam hari Rabu, 3 Nopember 2010. Beberapa penduduk ada yang turun ke km 13 dari Merapi, mencari tempat yang dirasa aman. Hampir semua penduduk kampung turun ke bawah tanpa komando dengan tujuan berbeda-beda. Ada yang ikut tidur di malam hari di barak pengungsian, di sekolahan, di masjid, di kantor kecamatan, dan lain-lain. Saat pagi menjelang mereka kembali ke rumah masing-masing. Malam Kamis masih seperti itu hingga malam Jumat tanggal 5 Nopember 2010 menjadi malam yang benar-benar mencekam. Gemuruh Merapi terasa sangat dahsyat. Kondisi ini menuntut para pengungsi mencari titik paling aman yang ditetapkan pemerintah, yaitu 20 km dari Merapi. Winarno beserta keluarganya pun mengungsi secara resmi (bukan sekadar ikut tidur) di kompleks perumahan yang dihuni Buliknya, yaitu Perum Prayudan. Dengan mengendari dua motor, satu motor diisi oleh tiga orang. Suami-istri yang memiliki seorang putri ini membawa serta kedua orang tuanya dan tetangganya. Mereka harus melintasi jalanan yang lumayan licin akibat sisa-sisa debu Merapi dalam gelapnya malam. Apalagi lampu listrik sengaja dimatikan oleh PLN. Pada saat yang sama orang lain pun sibuk mengungsi.

Terbayang bagaimana paniknya penduduk sekitar Merapi pada hari-hari itu. Tidur malam tidak pernah lelap karena takut ancaman Merapi dengan keluarnya lahar dingin, siang hari terkadang muncul ancaman wedus gembel. Antara satu tetangga dengan tetangga lain tidak saling tahu mengungsi di mana, semua sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Sampai kemudian mereka sepakat untuk mengungsi di tempat yang sama, Perum Prayudan. Alhamdulillah, di tempat ini segala fasilitasnya jauh lebih memadai dibandingkan bila mengungsi di barak atau di tempat-tempat umum yang disediakan oleh pemerintah. Hanya saja, risikonya mereka harus mencari dana secara swadaya. Karena itulah pihak tuan rumah kemudian membentuk kepanitiaan untuk mengurus sekitar 400-an orang pengungsi di kompleks mereka. Panitia ini kemudian menjalin kerja sama dengan berbagai LSM yang khusus menangani korban Merapi atau mencari para dinatur dari kenalan-kenalan mereka, termasuk bantuan dana, sarana dan prasarana dari penghuni kompleks tersebut. Mereka juga tetap mengajukan bantuan logistic untuk para pengungsi kepada pemerintah setempat karena bagaimana pun hal ini sebenarnya tanggung jawab pemerintah. Meski jumlah bantuan dari pemerintah jauh dari memadai, tetapi tetap mereka syukuri. Toh mereka tidak hanya menerima bantuan dari satu sumber.

Secara pribadi saya merasa salut dengan kesigapan dan kerjasama yang baik para penghuni kompleks yang begitu peduli dengan para pengungsi korban erupsi Merapi. Mereka bukan hanya rela menyumbangkan harta mereka jutaan rupiah untuk para pengungsi yang jumlahnya tidak sedikit, tetapi juga rela meminjamkan rumah mereka meski dengan risiko pintu rusak, meja makan yang terbuat dari kaca menjadi pecah. Namun, mereka tidak merasa kapok membantu para pengungsi ini. Apalagi mereka yang didaulat menjadi panitia untuk mengurusi para pengungsi ini, seolah tidak bisa tidur nyenyak sebelum para pengungsi dipastikan semua sehat, mendapat jatah makan layak, menerima bantuan sesuai kebutuhan mereka.
Suasana di pengungsian di kompleks Bumi Prayudan, Magelang.
Para korban Merapi saat menerima bantuan dari LSM.


Subhanallah. Bila banyak warga yang begitu peduli dengan sesamanya saat kesusahan seperti ini, mungkin musibah sebesar apa pun akan lebih terasa ringan. Memang, tidak semua pengungsi merasakan kenikmatan seperti mereka. Namun, kisah yang segelintir ini semoga menginspirasi banyak orang untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik dari mereka untuk sesamanya. Mereka bergerak dan berbuat tanpa menunggu instruksi dari pihak lain, apalagi pemerintah. Semua digerakkan oleh rasa kemanusiaan yang dalam atas dasar keimanan kepada Allah Swt.  @

2 komentar:

  1. setiap manusia pasti punya empati, hanya saja beda kepala beda isi, beda pula cara tersaji. ada yang langsung terjun, ada yang menyisihkan harta. ada yang.....

    semua cara mesti berbeda agar terbentuk sinergi.

    BalasHapus
  2. Salwangga, betul bangt. kehidupan memang butuh sinergi. sinergi akan memudakan kita mencapai suatu tujuan, termasuk dalam berbuat kebaikan. saya bisa lancar menuju Merapi pun karena bersinergi (bekerjasama) dengan tim relawan sana.

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.