Kado untuk Para Pecinta Sejati, Seperti Cinta Ibu kepada Anaknya, Bagai Mentari yang Menyinari Dunia ini.
Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!
Kamis, Desember 03, 2009
Membangun Mimpi Menjadi Penulis Besar
Ketika membaca pengumuman Lomba Menulis "Saya Ingin Menjadi Penulis Hebat!" di blognya Jonru Ginting, saya kembali teringat dengan tulisan yang pernah saya upload di Facebook beberapa bulan lalu tentang mimpi saya menjadi penulis. Hanya saja waktu itu saya tidak berani menyatakan kalau saya bermimpi menjadi PENULIS HEBAT.
Dalam tulisan itu saya mengatakan kalau gairah saya membuka facebook kembali bangkit ketika saya bergabung dengan grup sekolahmenulisonline-nya Jonru Ginting. “Ada manfaat lebih yang bisa saya ambil di sini. Saya yang hobi nulis serasa menemukan tempat yang tepat. Melalui tulisan-tulisan Bang Jonru, saya seolah dimotivasi untuk serius menekuni bidang tulis-menulis, bahkan kalau bisa menjadi penulis besar. (Amin). Satu hal yang belum pernah berani saya impikan selama ini. (Terima kasih Bang Jonru atas ilmu-ilmu menulisnya yang inspiring banget).” Begitu kutipan tulisanku di facebook tersebut.
Lalu, apa yang bisa saya lakukan untuk membangun mimpi dalam dunia penulisan? Saya hanya mencoba merealisasikan mimpi-mimpi kecil untuk mewujudkan mimpi besar. Sesuai rumus 3M-nya Aa Gym; Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, dan Mulai saat ini juga.
Menurut saya, ada dua pertanyaan penting yang harus kita jawab saat kita ingin mengambil jalan hidup sebagai penulis: “Mengapa menulis?” dan “Bagaimana cara menulis?”
Mengapa Saya Menulis?
Kegiatan menulis pada awalnya saya lakukan hanya sebagai self therapy dengan menulis di buku harian sejak SMP. Waktu itu saya sekolah di pesantren yang jauh dari orang tua. Satu-satunya sahabat setia saya adalah buku harian. Melalui buku itu saya tumpahkan segala kegundahan dan penat di hati, semua kesedihan dan kebahagiaan hidup pun tertuang di sana. Dari seringnya menulis buku harian, saya mulai terbiasa memformulasikan pemikiran dan perasaan melalui tulisan. Lama-kelamaan saya merasakan kalau ternyata menulis itu mengasyikkan. Lalu, muncul keinginan untuk melakoni kegiatan menulis sebagai profesi, misalnya menjadi penulis fiksi, atau menjadi wartawati. Tapi, kendala batin seketika menyergap. “Apa sanggup aku menjadi penulis? Penulis kan harus cerdas dan pintar? Sementara aku….”
Akhirnya mimpi tinggallah mimpi. Saya pun hanya puas menulisi buku harianku dengan segala corat-caretnya. Kadang saya menuangkan isi hati dalam bentuk puisi.
Waktu SMA, saya pernah melamar menjadi pengurus Mading di sekolah, tapi tidak diterima karena dianggap tidak berbakat sebagai penulis. Sedikit sakit hati. Langsung deh, saya mengklaim diri kalau saya memang benar-benar tidak berbakat menjadi penulis.
Ketika masuk dunia kampus, saya mulai kembali terusik dengan dunia tulis-menulis, apalagi di kampus ada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Saya pun mendaftar sebagai peserta pelatihan jurnalistik tingkat dasar. Di sanalah saya bertemu dengan Pemimpin Umum LPM. Dia menganggap saya berbakat dalam dunia tulis-menulis. Dia bahkan mengajak saya untuk bergabung di pers kampus. Setengah tidak percaya sebenarnya. Tapi, saya menganggap ini kesempatan emas. Kapan lagi saya bisa aktif dalam dunia tulis-menulis kalau bukan sekarang, apalagi ada wadah yang pas untuk menyalurkan hobi saya.
Akhirnya, saya pun bergabung di pers kampus. Namun, teman-teman pers memercayai saya untuk menjadi bendahara LPM, bukan sebagai wartawan kampus seperti yang saya idamkan. Yah, tidak mengapa, setidaknya saya bisa belajar bagaimana cara kerja para wartawan kampus. Toh saya tetap dilibatkan dalam setiap rapat redaksi sehingga saya tahu sedikit demi sedikit perkembangan dunia pers kampus. Untuk terus mengasah ilmu jurnalistik, saya pun sering mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat menengah dan pelatihan jurnalistik lain baik di dalam dan di luar kampus. Namun, tetap saja keberanian saya untuk menulis di media belum terpatri. Minder, nggak pede, sering menjadi belenggu terbesar menuju impian menjadi penulis.
Paling banter saya hanya berani menulis di buletin, baik saat masih kuliah maupun setelah lulus. Sampai kemudian saya mendapat informasi lowongan wartawan di sebuah media Islami di Bandung. Alhamdulillah saya diterima meski awalnya baru freelance. Sekitar dua tahun saya menjalani profesi sebagai wartawan sampai akhirnya harus berhenti ketika media tersebut menyatakan tidak terbit lagi. Sedih, sih. Tapi, saya harus tetap bersemangat untuk menulis. Saya menulis apa saja yang ada dalam pikiran sebagai konsumsi pribadi saja karena belum menemukan media yang pas dengan karakter penulisan saya.
Ada satu kebahagiaan tersendiri bila tulisan kita dipublikasikan di media yang berarti berpeluang untuk dibaca banyak orang. Apalagi bila kemudian tulisan kita memberi manfaat kepada pembaca. Duh, senangnya. Kapan tulisanku kembali dipublikasikan? Pertanyaan itu kembali mengusik.
Saya kemudian join dengan seorang teman untuk membuat buku tentang kisah hidupnya, saya bertugas sebagai penulis pendamping. Alhamdulillah buku itu akhirnya diterima salah satu penerbit di Bandung setelah ditolak oleh beberapa penerbit lain. Itulah buku pertama hasil tulisan saya yang berhasil diterbitkan. Tidak puas tentu saja menggelayuti hati saya. Apalagi saya baru menjadi penulis pendamping di mana nama saya belum tercantum di cover buku tersebut. Ada sebuah ambisi besar saya untuk membuat buku atas namaku sendiri. Buku kedua pun saya tulis atas pesanan satu penerbit. Tapi, lagi-lagi saya harus puas hanya sebagai penulis pendamping.
Selain menjadi penulis buku atas namaku sendiri, ambisi besarku saat ini adalah menjadi penulis fiksi. Andai saya bisa menulis novel setenar Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, atau seperti J.K. Rowling yang menghebohkan dunia lewat Harry Potter. Saya ingin menjadi penulis yang bisa mewakafkan karya-karya saya meski mungkin jasad ini telah terkubur di tanah, saya ingin mendunia dengan karya-karya saya. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana cara menjadi penulis hebat? Pertanyaan kedua setelah “Mengapa menjadi penulis?” pun menghinggapi hati ini.
Saya sudah pernah mencoba menulis novel, tapi mentok di halaman ke-80, saya merasa ceritanya kurang greget sehingga untuk sementara saya meninggalkan novel itu. Entah karena malas mencari ide atau karena kesibukan lain, novel itu kini hanya teronggok di dalam laptop saya tanpa pernah saya sentuh kembali.
Gairah dan mimpi-mimpi saya untuk menjadi penulis hebat kembali mengemuka ketika saya membaca sebagian ebook “Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat” di http://www.penulishebat.com. Pertama kali saya mendapatkan informasi buku ini sebenarnya dari http://www.facebook.com/penulishebat . Atau bisa juga dilihat di http://www.twitter.com/penulishebat .
Saya banyak mengikuti pelatihan jurnalistik, baik ketika masih kuliah atau setelah lulus, dari tingkat dasar, menengah, hingga tingkat lanjutan. Tetapi, semua itu hanya memberi saya ilmu teknis jurnalistik atau ilmu teknis menulis. Nyatanya saya masih ragu untuk bermimpi menjadi penulis hebat, saya masih menganggap menulis adalah ruang untuk orang yang berbakat besar menjadi penulis, menulis hanya untuk orang-orang cerdas ber-IQ tinggi. Sementara saya….
Ternyata, menjadi penulis hebat bukan soal seberapa mahir kita mengusai tata bahasa, mengusai teknis menulis, tapi pada seberapa besar mental kita untuk bersungguh-sungguh menjadi penulis. Penulis hebat juga bukan diukur dari seberapa banyak karyanya yang sudah dipublikasikan. Buku “Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat” membuka wacana saya kalau menjadi penulis sukses adalah hak setiap orang yang bersungguh-sungguh untuk berusaha mewujudkannya. Penulis sukses, seperti halnya pengusaha sukses, bukan lahir karena keturunan atau bakat dari lahir. Itu berarti, kita semua bisa menjadi penulis.
Selaras dengan ungkapan Deporter dan Hernacki, “Percaya atau tidak, kita semua adalah penulis. Di suatu tempat dalam diri setiap manusia ada jiwa unik yang berbakat yang mendapat kepuasan mendalam karena menceritakan suatu kisah, menerangkan bagaimana melakukan sesuatu, atau sekadar berbagi rasa dan pikiran. Dorongan untuk menulis itu sama besarnya dengan dorongan untuk berbicara; untuk mengomunikasikan pikiran dan pengalaman kita pada orang lain; untuk paling tidak, menunjukkan kepada mereka siapa diri kita.”
Sebenarnya saya lebih nyaman membaca buku versi cetak, tapi sayang buku “Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat” baru ada dalam bentuk ebook. Tetapi, ada kabar gembiranya. Versi ebooknya ini memberikan sejumlah PENAWARAN FANTASTIS yang tidak berlaku untuk versi cetak. (Menarik, nih….) Ebooknya yang hanya seharga Rp 49.500, memberikan voucher diskon Rp 200.000 dari SMO (Sekolah Menulis Online). Ini adalah DISKON SMO TERBESAR yang pernah diberikan. Selama ini belum pernah ada dan tidak tersedia di tempat lain.
Terima kasih, Bang Jonru, bukumu ini sudah membuat saya berani bermimpi menjadi penulis sukses dan hebat dan sekaligus memberi saya jalan untuk mewujudkan impian saya.
***
Hal lain yang membuat saya tetap semangat menulis saat saya sedang malas dan bad mood adalah kisah Jean-Dominique Bauby, pemimpin redaksi majalah Elle, majalah kebanggaan Prancis yang digandrungi wanita seluruh dunia.
Betapa mengagumkan tekad, semangat hidup, dan kemauannya untuk tetap menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Dia meninggal tiga hari setelah bukunya diterbitkan. Struk telah membuatnya mengalami locked-in syndrome, kelumpuhan total yang disebutnya "seperti pikiran di dalam botol". Dia masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat difungsikan adalah kelopak mata kirinya. Itulah yang digunakannya untuk berkomunikasi dengan para perawat, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.
Menulis mungkin dianggap sulit oleh sebagian orang, tapi cara menulis yang dilakukan Jean lebih sulit lagi. Dia dibantu orang lain untuk menuliskan pemikirannya. Orang yang membantunya menulis akan menunjukkan satu demi satu huruf di hadapan Jean. Bila menemukan huruf yang dimaksud, Jean akan mengedipkan mata kirinya. Jadi, kalau menulis kata “NAMA” misalnya, orang itu harus menunjuk huruf demi huruf hingga bertemu dengan empat huruf “N-A-M-A” tersebut. Lalu, Jean akan mengedipkan mata kirinya. Sebuah proses menulis yang sangat melelahkan. Tapi, Jean tidak menyerah, dia bahkan mampu menamatkan bukunya itu yang konon cukup tebal, sekitar 200 halaman.
Tahun 1996 dia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang ditulisnya secara sangat istimewa. Judulnya, "Le Scaphandre" et le Papillon (The Bubble and the Butterfly).
Kisah hidup yang sangat mengagumkan bagi saya. Bila Jean dengan kondisi fisik demikian bisa menyelesaikan bukunya, mengapa saya tidak bisa menulis dengan kondisi fisik yang lebih sempurna? Mengapa selalu saja ada alasan untuk menunda menulis padahal sebenarnya Allah memberikan banyak waktu dan kesempatan kepada kita? Mengapa selalu banyak alasan untuk menunda menjadi penulis sukses?
Allah, bimbing hamba agar menjadi penulis yang bisa menginspirasi banyak umat. Semoga menulis bisa menjadi tanda syukur hamba atas segala nikmat kesehatan baik fisik maupun mental. Sebab hanya ada satu alasan mengapa seseorang tidak bisa menjadi penulis, kalau Engkau mengambil kesehatan mental seseorang alias gila atau stress berat.@
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
aku sedang berselancar di blog ini, dan, mulai meresapi tulisan tulisannya.
BalasHapussalam kenal,
salwangga
Salwangga, terima kasih. silahkan membaca sajian pemikiran, perasaan, dan curahan hati saya dalam tulisan-tulisan di blog ini. semoga bermanfaat.
BalasHapussalam kenal kembali.
baru ketemu lagi. ternyata kita sama sama 'korban' smo. sekolah menulis online. sama sama jadi korban 'sayembara' jonru.
BalasHapussal juga sempat kirim tulisan waktu itu. dan, sal dapet urutan tiga yang dapet kesempatan gratis jadi siswa smo.
duh, memang semangat juga ketika itu belajar nulis sama jonru. malam-malam chat-confree pake ym. sampai sekarang masih saling konek antara sesama alumni. sampai-sampai kinoysan -ari wulandari- sempet geregetan. "kinoysan naik ojek 30rb demi ketemu salwangga", tulisku.
dan, memang ketika itu ari wulandari sedang ada launching buku terbarunya di gramedia matraman. ketika itulah, pertama kali aku ber ha ha hi hi sama penulis.
hmmm, semoga aku juga lekas kesampaian bisa nerbitin buku tulisanku sendiri. secara, aku tuch kuli pabrik gitu loh. single parent pula he..he..he.... mesti berjuang sangat sangat sangat ekstra keras mengatur hobby-minat-kerja-bayar cicilan-bayar sekolah-bayar..bayar...bayar..... duh ribet dah pokoknya.
tapi, tetap aja... santaaaaaaiiiiiii.......