Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Senin, Desember 28, 2009

Infotainment vs Jurnalis




“Perlu diingat, infotainment bukan jurnalis. Mereka hanya bekerja kepada perusahaan hiburan,” tegas Nezar Patria, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) seperti dilansir okezone.com, Sabtu (19/12/2009).

Penolakan kepada para pekerja infotainment sebagai wartawan atau jurnalis sebenarnya sudah lama terjadi. Salah satu alasannya karena infotainment sudah terlalu jauh masuk ranah pribadi nara sumber, mereka banyak memberitakan privasi seseorang, padahal wartawan tidak berkepentingan dengan hal itu. Meski mereka melakukan pekerjaan selayaknya seorang jurnalis−melakukan wawancara dengan nara sumber, kadang melakukan proses investigasi sebelum menemui nara sumber, lalu memberitakan hasil kerja mereka kepada publik−tapi fokus pemberitaan dan cara-cara kerja mereka dianggap tidak sesui dengan kode etik jurnalis.

Wartawan atau jurnalis lebih fokus pada hal-hal di ranah publik, kalau toh harus memberitakan seseorang, kepentingannya pun untuk publik. Misalnya, memberitakan tentang tokoh A karena dia banyak berjasa di lingkungannya atau di bidang yang selama ini digelutinya, atau memberitakan tokoh B karena diduga terlibat dalam tindak korupsi yang banyak merugikan negara. Memang, dunia pers tetap mengakui keberadaan wartawan hiburan, tapi lebih pada penyiaran tentang acara konser atau pertunjukan yang perlu disiarkan kepada publik. Ini jauh pengertiannya dengan infotainment yang biasanya lebih fokus pada artisnya dibanding acara konsernya.

Namun, mereka takmau berhenti untuk memperjuangkan keinginan mereka hingga akhirnya memiliki wadah dan diakui sebagai wartawan dengan diterimanya mereka sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 2005. PWI berpendapat, para pekerja infotainment justru harus dirangkul agar tidak bertindak liar. Itulah alasan mereka menerima pekerja infotainment sebagai anggota PWI yang berarti mengakui mereka sebagai wartawan atau jurnalis.

Siapa sangka kalau keberadaan dan eksistensi mereka yang sudah diakui sebagai wartawan kembali terusik dengan munculnya kasus Luna Maya kemarin. Para pekerja infotainment melaporkan Luna Maya, artis yang naik daun sejak menjadi host acara Dahsyat ini karena ulahnya yang dianggap menyinggung para pekerja infotainment.

Luna, seperti dilansir okezone.com, terancam denda Rp.1 miliar dan kurungan enam tahun penjara karena dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE, pasal 310, 311 dan 315 KUHP. Pasal-pasal itu menyangkut pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan, dan perbuatan tidak menyenangkan. Masalah itu berawal ketika Luna hadir menyaksikan akting perdana kekasihnya, Ariel 'Peterpan' sebagai Arai di film Sang Pemimpi yang digelar di XXI EX, Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (14/12). Usai menonton, kepala Alea, anak Ariel yang berada dalam gendongan Luna terbentur kamera infotainment. Luna kesal hingga menuliskan caci-maki untuk infotainment via twitter dengan akun Lunmay.

Tindakan pelaporan para awak infotainment ini kepada Polda Metro Jaya kemudian mendapat kecaman dari Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) karena pemakaian pasal 27 ayat 3 UU ITE yang digunakan untuk menjerat Luna. Padahal, para jurnalis dan wartawan pada umumnya, melalui Dewan Pers, AJI, dan PWI sendiri sedang mengupayakan penghapusan pasal yang dianggap kontroversi atau pasal karet ini. Pasal ini dianggap telah mengebiri kebebasan pers dan kebebasan berpendapat bagi masyarakat umum. Pasal ini pula yang telah menjerat para kru jurnalis ke dalam jeruji besi karena pemberitaan mereka dianggap telah mencemarkan nama baik seseorang. Berita terbaru adalah kasus Prita Mulyasari yang juga dianggap telah mencemarkan nama baik RS OMNI International. Juga dijerat dengan pasal ini.

Ironis sekali bila kemudian perjuangan para jurnalis untuk menghilangkan hegemoni pemerintah dalam membungkam kebebasan pers ini kemudian dimentahkan oleh para awak infotainment yang mengaku jurnalis ini.

Saya tidak bermaksud untuk membela Luna Maya yang telah begitu arogan mengata-ngatai infotaiment sebagai pihak yang derajatnya lebih rendah dari pelacur. Kata-katanya ini memang pedas. Tapi toh itu hanya luapan emosi sesaat akibat perbuatan awak pekerja infotainment yang bersikap arogan pula memperlakukan Luna sebagai nara sumbernya. Ada akibat pasti karena ada sebabnya.

Saya juga tidak bermaksud untuk mengecilkan rasa kecewa para awak infotainment yang telah bekerja mati-matian mencari berita. Siapa pun orangnya pasti tidak ada yang mau derajatnya dianggap lebih rendah dari pelacur. Bukan pula ingin membela mana yang benar dan mana yang salah antara AJI, PWI, dan Dewan Pers. Begaimana pun saya juga pernah menjadi wartawan meski tidak mendaftarkan diri sebagai anggota dari ketiga lembaga pers yang telah saya sebutkan tadi.

Tetapi, yang menjadi titik persoalan di sini adalah penggunaan pasal karet untuk menjerat Luna. Menurut saya kurang tepat. Bila dunia pers menghendaki kebebasan berpendapat, seharusnya tidak kebakaran jenggot dengan wujud ekspresi kebebasan berpendapat yang dilakukan Luna. Ada alur panjang mengapa Luna mengungkapkan kekesalannya melalui akun pribadi Twitter. Dia, sekian lama merasa telah menjadi korban bulan-bulanan media infotainment akibat pemberitaan yang menurutnya kurang berimbang dan banyak merugikan dirinya secara pribadi.

Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers, menegaskan, kalau tetap nekat menggunakan UU ITE dalam kasus itu, hal itu sama artinya baik pekerja infotainmentt maupun PWI Jaya setuju dan mendukung UU ITE, yang juga berarti mendukung upaya mengkriminalisasi pers sendiri. Hal seperti itu teramat ironis dan memprihatinkan.

“Nanti pemerintah kan juga senang, ternyata ada wartawan infotainment setuju kebijakan yang bisa menjadi produk aturan yang represif bagi pers sendiri. Yang seperti itu malah jadi preseden di masa mendatang. Padahal kita berjuang agar dua pasal itu dicabut. Kami akan undang PWI Jaya supaya mereka paham apa itu kemerdekaan pers,” ujar Leo.

Jurnalis: Antara Idealisme dan Hiburan


Melihat pro dan kontra pekerjaan seorang jurnalis, saya jadi teringat beberapa tahun lalu saat masih menjadi wartawan di sebuah media Islami di Bandung. Waktu itu saya bertugas mewawancarai Zaskia Adya Mecca yang sedang mengisi acara di Bandung. Usai acara saya langsung menemui nara sumber. Namun, banyaknya para fans Zaskia membuat saya sulit untuk melakukan wawancara langsung dengannya. Akhirnya kami janjian untuk wawancara di sebuah restorant di Bandung. Kami pun bertemu di sana. Aman, tanpa kejaran para fansnya. Kami pun leluasa melakukan wawancara. Setahu saya Zaskia hanya ditemani ibundanya dan Haikal, adik lelakinya. Di luar dugaan, ternyata ada Syahrul Gunawan di sana.

“Nggak papa yah, ketemu di sini? Sekalian, soalnya Kang Alul ngajak saya dinner, ya udah ketemu di sini aja,” kata Zaskia setelah bertemu saya.
“Oh, iya, nggak papa, kok. Lagian lebih aman dari kejaran para fans Mbak Zaskia,” jawabku singkat.

Sebenarnya saat itu saya sudah mulai curiga, “Syahrul Gunawan ngajak Zaskia dinner? Apa mereka punya hubungan khusus?” Tetapi, saya mencoba tetap berkhusnudzan, toh nggak ada salahnya seorang sahabat mengajak makan malam sahabatnya.

Kami pun memulai wawancara. Satu per satu pertanyaan dijawab dengan lancar oleh Zaskia.

“Terus kapan nih, rencana Mbak Zaskia nikah?” tanya saya.
Zaskia tidak langsung menjawab, malah balik nanya kepada Syahrul, “Kapan?”
“Dua tahun lagi, deh,” jawab Syahrul kepada Zaskia.
“Yah, dua tahun lagi,” Zaskia menjawab balik pertanyaan saya.

Seolah menambah kecurigaan saya akan hubungan mereka berdua. Kalau mengikuti rasa kecurigaan saya, ingin rasanya saya menulis besar-besar judul tentang hubungan mereka berdua yang waktu itu belum ditulis oleh media mana pun. Tetapi, saya tidak ingin terjebak dengan penulisan yang berbau ghibah. Saya pun menuliskan apa adanya bahwa ketika saya bertanya rencana nikahnya, Zaskia malah berbalik bertanya kepada Syahrul. Bla…bla…tanpa ada kata pacaran atau status hubungan mereka.

Ketika saya serahkan hasil tulisan saya di rapat redaksi menjelang naik cetak, ternyata tulisan saya dikritik habis. “Kita bukan media gosip, jangan memberitakan hal-hal yang berbau gosip. Kabar terakhir Syahrul kan sedang menjalin hubungan dengan Intan Nuraini. Nanti kita diprotes gara-gara memberitakan hubungan Syahrul dengan Zaskia yang belum tentu benar.” Saya pun mandah diam dan menerima saja keputusan mereka karena saya juga mengakui kebenaran pendapat mereka. Saya waktu itu tidak punya bukti kalau mereka berpacaran, apalagi belum ada media yang memberitakan tentang hubungan mereka. Saya tahu, sebagai media Islami, kami juga tidak mengenal istilah pacaran. Jadi, sangat ironis kalau kami memberitakan tentang hubungan pacaran seseorang. (Itu pun kalau benar pacaran). Akhirnya saya hanya memberitakan tentang bincang-bincang singkat kami dengan Zaskia tentang acara yang baru diikutinya. Klise memang kesannya, tapi prinsip kebenaran sebuah berita memang harus benar-benar kami pegang. Daripada kami harus memberitakan hal yang belum pasti dan berbau ghibah pula, lebih baik memberitakan hal yang pasti kami tahu kebenarannya, meski terkesan klise.

Sebulan setelah hasil wawancara saya dengan Zaskia tayang di media kami, berita tentang kedekatan hubungan Zaskia dengan Syahrul Gunawan pun mencuat di media. Rupanya hubungan mereka sudah tercium oleh media gosip. Bersyukur saya tidak ikut-ikutan menggosip, biarlah itu menjadi bagian kerjaan para kru infotainment. Toh akhirnya mereka putus dan memiliki pasangan hidup masing-masing.

Seharusnya perseteruan antara Luna Maya dan infotainment tidak perlu terjadi karena sebenarnya mereka saling membutuhkan. Namun, bila semua sudah terlanjur terjadi, kita hanya dapat mengambil hikmahnya. Mungkin inilah proses pendewasaan masyarakat kita dalam menyikapi media. Sudah seharusnya masyarakat kita kritis dalam memilih berita yang sehat, bukan sebatas menyenangkan dan menghibur kita.

Beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2006, PB NU pernah mengeluarkan fatwa haram infotainment karena dianggap berita ghibah. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj, seperti dilansir Detik.com menilai, tayangan berisi gosip artis ini tergolong ghibah atau bergunjing. Keputusan mengharamkan tayangan televisi dengan rating tinggi ini diambil dalam Musyawarah Nasional NU di Asrama Haji Sukolilo, tahun 2006. Tetapi, fatwa ini tidak digubris oleh masyarakat karena mereka enjoy menikmati tayangan-tayangan infotainment yang waktu itu sedang menjamur di TV-TV nasional kita. Nggak gaul rasanya kalau belum tahu berita tentang artis A, ketinggalan rasanya kalau sampai nggak tahu berita tentang perceraian artis B, dan sebagainya. Mengikuti prinsip dagang, dimana ada pembelian pasti ada penawaran. Selama orang masih membutuhkan barang tertentu pasti ada yang menjualnya. Begitupun infotainment, selama masih ada yang mau nonton pasti akan ada yang menyiarkannya. Apalagi selama rating acara infotainment masih tinggi yang didasarkan pada penelitian Ac Nielsen sebagai standar media untuk meraup iklan, tentu acara ini akan terus ditayangkan.

"Mau apa lagi. Masyarakat kita seolah benci tapi rindu kepada infotainment," ungkap Ketua AJI Nezar Patria seperti diberitakan Detik.com.

Harapan saya, semoga kebebasan pers dan kebebasan berpendapat semakin kuat mengakar di negeri ini. Semoga masyarakat kita pun semakin cerdas untuk memilih dan memilah mana tayangan yang bagus dan sehat untuk dirinya, bukan sebatas yang mampu menghibur. Amin. @

3 komentar:

  1. heran yaaa

    blog keren kek gini koq miskin komentar
    :(

    BalasHapus
  2. mungkin karena sy kurang promonya kali, ya. maklum orang baru. blogku ini ngelink ke facebook, yang komen banyakan via facebook.

    BalasHapus
  3. mutiara tidak selamanya harus nyembul ke permukaan. hanya orang orang pilihan yang mampu mengamatinya. termasuk blog ini. jangan heran klo hanya sedikit yang koment. sedikit bukan berarti minim, tapi, karena memang pilihan.

    sip. maju terus untuk penulisan blog ini. tebarkan cinta dan semangat berbagi.

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.