Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Senin, November 23, 2009

Srikandi Pejuang Cinta




Penampilannya memang tomboy meski tetap berjilbab, celana jins dan kaos menjadi pakaian favoritnya setiap hari. Walaupun demikian, dia tetap muslimah yang taat. Setiap selesai shalat, dzikir dan doa khusyuk hampir tidak pernah ditinggalkannya. Kadang dia malah tampak lebih khusyuk dari doa-doaku. Jujur, setelah shalat kadang saya membaca dzikir sambil jalan, terutama kalau sedang dikejar banyak pekerjaan. Na’udzubillahi min dzalik. Ternyata saya masih kalah dengan kesibukan duniawi.

Agama baginya bukanlah sebuah doktrin seperti seorang santri yang tunduk manut dengan kiyainya. Akan tetapi, agama adalah sebuah kebenaran yang harus bisa dibuktikan. Itu sebabnya dia lebih suka gaya dakwah seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) atau Quraish Shihab. Mereka menyentuh hati umat muslim dengan pemikiran-pemikirannya. Dia bahkan menjadi penggemar berat Emha Ainun Najib (Cak Nun). Seorang yang dengan gaya pemikiran tersendiri (cuek dan cenderung bebas) tapi tetap mampu memahamkan kepada umat akan arti ma’rifatullah. Itu sebabnya dia dikenal dengan sebutan Kiyai Mbeling. Rugi berat baginya kalau sampai terlewat tidak mengikuti Kenduri Cintanya Cak Nun yang digelar di TIM Jakarta setiap bulan.

Tulisan ini bukan untuk menguliti tingkat religiusitas sahabat saya yang satu ini, tapi saya justru tertarik dengan kisah cintanya. Uraian tadi hanya prolog, untuk memberi gambaran lebih dalam karakter tokoh yang saya ceritakan ini.

Sebagai manusia normal, Aini, sahabatku yang satu ini juga pernah merasakan cinta kepada seorang pria. Yah, tentu saja bukan hanya seorang pria. Ada beberapa pria malah. Tapi, ada satu pria yang benar-banar nyantol di hatinya dan begitu sulit dienyahkan dari hati dan pikirannya. Dia kakak tingkatnya di kampus dan terkenal sebagai seniman. Wiro Sablon, begitu nama bekennya di kampus. Maklum, dia memang ahli sablon di kampusnya.

Aini pernah mencoba menyatakan perasaannya untuk Wiro lewat perantara sahabat dekat Aini. Tapi apa jawaban Wiro, “Masak sih, Aini naksir gue? Gue kan oon.” Kilahnya takpercaya. Meski sahabat Aini mencoba meyakinkan kalau Aini benar-benar naksir dia, tapi dia tetap takbergeming. Mungkin dia nggak pede.

Sebagai sesama wartawati (dulu, untung sekarang nggak jadi wartawati lagi), saya bisa merasakan kegundahan hati Aini. Saya sendiri nggak tahu stigma apa yang melekat pada diri wartawati sehingga dalam soal cinta seorang wartawati seolah dijauhi pria. Apa kesan seorang wartawati yang smart, lugas dalam berfikir, agresif (terutama ketika mengejar berita), berani dan mandiri yang membuat pria takut berdampingan hidup dengan wartawati? Apa pria takut bakal kalah wibawa bila menikah dengan wanita yang tampak pintar dan berani? Bukan berani menantang kaum pria sebenarnya, tapi berani menguak kebenaran dari sebuah berita yang akan ditulisnya. Berani menghadapi nara sumber dari berbagai kalangan, baik orang terkenal seperti selebriti atau bahkan para politikus dan pejabat. Bagaimanapun, keberanian inilah yang mutlak dimiliki seorang wartawan. Kalau soal kemampuan menulis itu bisa belajar sambil jalan atau learning by doing. Tapi, kalau seorang wartawan tidak memiliki keberanian, tamatlah riwayatnya.

Entahlah, apa Wiro juga dihinggapi pemikiran demikian tentang kesan seorang Aini sehingga tampak minder bila harus berpacaran atau bahkan menikah dengan Aini hanya karena dia seorang wartawati kampus. Setelah lulus pun dia menjadi wartawan di sebuah media Islami di Jakarta.

“Aini, dia nggak tahu aja kalau sebenarnya kita oon juga.” Candaku kepada Aini saat dia curhat tentang Wiro.
“Iya, bener, Mbak.” Kata Aini sambil tertawa. Kami pun tertawa lepas, bersama kami membuang penat di hati masing-masing. Mungkin, sebenarnya masalahku nggak jauh beda dengan Aini.

Sebagai wartawan, tentu senang kalau mendapatkan rekan kerja yang pintar dan memiliki banyak ide untuk materi liputan. Apalagi kalau rekan kerja kita sepemikiran dan enak diajak sharing soal pekerjaan. Tapi, untuk mendapatkan pasangan hidup tentu standarnya berbeda dengan mencari rekan kerja. Mencari pasangan hidup berkaitan erat dengan perasaan sehingga sangat subjektif. Kadang yang dibutuhkan hanya seseorang yang membuat kita nyaman berada di sampingnya, seseorang yang mampu memahami liak-liuk hati kita. Untuk itu kita tidak mesti menikah dengan pria yang ber-IPK di atas 3,5 dan berlabel coumlaude. Kita tidak butuh pria yang pandai berdebat di dalam rumah kita sendiri. Masa, di kantor pikiran kita sudah terforsir untuk debat tentang satu hal, di rumah pun masih debat juga dengan suami. Capek, deh… Bukan berarti pula mencari pria bodoh atau yang mau dibodohi, sih. Tapi, setidaknya seseorang yang bisa diajak untuk saling mamahami pemikiran kita masing-masing. Dia bisa memahami pemikiran kita dan terbuka untuk mau dipahami.

Seperti halnya Aini yang akhirnya tertambat pada pria seniman. Cintanya pada Wiro telah memenuhi relung hatinya begitu dalam sehingga tidak ada lagi tempat untuk pria lain. Sulit dipisahkan seperti darah yang mengalir dalam tubuh, dipisahkan berarti mati. “Kalau saya nggak bisa nikah dengan Wiro, lebih baik saya menjalani hidup sebagai sufi seperti Rabiah al Adawiyah.” Begitu tekadnya.

Saya sempat kaget dengan niat sahabatku yang satu ini. Saya jadi teringat dengan kata-katanya dulu waktu masih sering bertemu dengannya, “Saya paling tidak setuju kalau ketaatan beragama dikaitkan dengan ancaman neraka dan iming-iming surga. Kayak anak kecil. Bukankah ketaatan itu soal cinta hamba kepada Rabb-nya?”

Wah… Rabiah al Adawiyah banget. Selaras dengan ungkapan Rabiah yang sangat fenomenal, “Jika aku beribadah kepada-Mu karena aku takut akan neraka-Mu, maka bakarlah neraka-Mu. Jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharapkan surga-Mu, maka bakarlah surge-Mu. Tapi, jika aku beribadah kepada-Mu karena cintaku yang tulus kepada-Mu, maka jangan halangi aku untuk bertemu dengan kekasih hatiku kelak.”

Sufiyah yang fenomenal dalam sejarah ini memang pernah menjadi menu obrolan kami berdua, tapi saya tidak menyangka kalau dia bahkan ingin mengikuti jejaknya. Ketika Aini mengungkapkan keinginanya ini kepada ibunya, beliau tidak merestui keinginan anak gadisnya ini untuk malajang seumur hidup dan menjadi seorang sufi. Beliau tetap ingin anaknya menikah selayaknya perempuan lain yang menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya.

“Habis mau bagaimana lagi, rasanya aku taksanggup kalau harus menikah dengan pria lain,” bagitu alasan Aini.

Aini memang pernah mencoba menyelami pemikiran dan kehidupan seorang seniman dengan menikmati banyak pameran lukisan atau pentas seni lain. Setidaknya dia mencoba untuk memakai bahasa seorang seniman. Tapi, akhirnya Aini pun pasrah. Sampai kemudian, ketika kerinduan kepada Wiro tiba-tiba menyeruak, Aini terinspirasi untuk datang bersilaturahmi ke rumah Wiro. “Kalau toh saya tidak bertemu Wiro, setidaknya saya bisa mengenal keluarganya. Saya ingin menjalin hubungan baik dengan keluarganya meski mungkin saya tidak bisa menikah dengan Wiro.” Batin Aini. Dengan berbekal alamat dari buku wisuda kampusnya, dia pun menemukan rumah Wiro.

Begitu sampai di rumah Wiro dan mengenalkan diri sebagai Aini, orang yang menerimanya di rumah itu langsung nyeletuk, “Oh, ini yang namanya Aini.” Rupanya nama Aini sudah sangat familiar di keluarga Wiro lewat cerita-cerita Wiro kepada mereka, hanya saja mereka belum pernah bertemu langsung dengan orangnya. Wiro cukup kaget dengan kehadiran Aini di rumahnya. Kedatangannya inilah rupanya yang membuat Wiro merasa yakin kalau Aini memang benar-benar suka sama dia. Wiro pun akhirnya memiliki keberanian untuk menyatakan perasaannya kepada Aini. Tentu saja Aini menerima cinta Wiro yang memang sudah sangat diharapkannya dari dulu.

Beberapa bulan setelah itu mereka pun bertunangan. Paska tunangan, ada aturan taktertulis yang berlaku antara mereka. Wiro ingin Aini tampil lebih feminin. Aini pun mulai rajin menambah koleksi rok di lemari pakaiannya. Sedang Aini menginginkan Wiro lebih religi.

“Dia sekarang lagi rajin menghafal juz ‘amma buat disetor ke saya, mbak.” Cerita Aini tentang perkembangan hubungannya dengan Wiro.

Yah, bagaimana pun seorang suami adalah imam bagi keluarganya. Minimalnya dia harus bisa menjadi imam shalat. Kebayang kan, kalau setiap menjadi imam bacaan suratnya Al Ikhlas lagi, Al Ikhlas lagi. Hehehe.

Taklama setelah bertunangan, mereka pun menikah. Wah…happy ending, deh. Selamat buat Aini dan Arif, semoga menjadi keluarga samara. Maaf kalau saya tidak bisa menghadiri pernikahan kalian. Tapi, doa tulus untuk kebahagiaan kalian tetap saya panjatkan meski dari jauh. Anggaplah tulisan ini sebagai kado atas pernikahan kalian meski sudah lama berlalu.

Aini, sebenarnya Wiro hanyalah pria biasa, tidak jauh berbeda dengan pria-pria lain. Tapi, cintamu kepadanya yang begitu luar biasa telah membuatnya menjadi sesosok pria yang luar biasa juga. Salut untukmu, sahabatku.

Kapan yah, saya bisa sepertimu? Yang mampu mengikhlaskan cinta hingga di titik nol, sampai kemudian Allah mengembalikan cinta utuh untukmu dalam pernikahan suci, lalu menikah dengan orang yang benar-benar kau cintai.@

1 komentar:

Untaian kata darimu selalu kunantikan.