Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, November 10, 2009

Belajar dari Pasangan Dian Nitami dan Anjasmara




“Masihkah Kau Mencintaku?” yang ditayangkan di sebuah TV swasta di bulan puasa kemarin pernah menayangkan tentang seorang suami yang merasa terzalimi oleh istrinya karena istrinya terlalu sibuk di luar rumah. Sebagai seorang istri, Rosi yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan bergengsi di Jakarta, waktu luangnya lebih suka dihabiskan untuk kongkow dengan teman-temannya, entah untuk shoping di mall, pergi ke salon, atau arisan. Sementara pekerjaan rumah nyaris tidak pernah disentuhnya. Kalau rumah berantakan, mau nggak mau suaminya yang harus turun tangan, dari mulai menyapu, mengepel lantai, mencuci pakaian dan piring, bahkan mengurus anak-anaknya.

Mereka memang memiliki pembantu, tapi sering gonta-ganti karena nyaris semua pembantu nggak ada yang betah bekerja lama di rumah mereka. Maklum, Rosi yang tergolong manja ini gayanya persis bos yang galak dan suka main perintah. Masalah menjadi semakin runyam ketika pembantu mereka harus mudik pulang kampung untuk berlebaran. Sudah hampir empat tahun mereka menikah, masalah seperti ini terus mengusik dan merongrong kabahagiaan mereka. Suaminya pun mulai tidak tahan lagi sehingga berniat menceraikan istrinya. Tentu saja Rosi tidak mau dicerai dan kehilangan suami yang selama ini sudah begitu sabar mendampinginya. Tapi, keputusan sang suami untuk menceraikan istrinya rupanya sudah bulat.

Pada awalnya, istrinya tidak mau disalahkan dengan kebiasaannya yang seolah lalai dari tugasnya sebagai seorang istri. Jangankan beres-beres rumah, letak sapu dan lap pel di rumah saja dia tidak tahu. Dia malah menyalahkan suaminya kenapa dia mau mengerjakan semua pekerjaan rumah kalau dia sebenarnya keberatan melakukan semua itu. “Kenapa tidak jujur saja?” tanyanya dengan emosi tinggi. Bukan hanya itu, dia juga menyalahkan suaminya yang terlalu terburu-buru mengajaknya nikah padahal dulu dia sebenarnya belum siap menikah.

Keluarga Rosi, terutama ibunya tetap membela anak perempuannya. “Dari awal kan kamu tahu kalau Rosi itu anak manja dan tidak biasa mengerjakan pekerjaan rumah,” kata mamanya Rosi kepada Rafi, suami Rosi.

Rupanya di keluarga mamanya Rosi pun hampir sama kondisinya, ayahnya Rosi lebih rajin mengerjakan pekerjaan rumah dibanding ibunya. Hanya saja ayahnya Rosi tidak pernah protes. Mungkin karena itulah Rosi tidak merasa bersalah meski dia tidak melayani suami dan mengurus rumah tangganya dengan baik. Toh kondisi mama-papanya sama dengan dirinya.

Mereka menikah karena saling cinta, soal keterampilan mengurus rumah tidak menjadi pertimbangan besar buat mereka. Rosi merasa nyaman karena toh calon suaminya waktu itu siap menerima apa adanya dirinya meski dia tahu kalau dirinya manja dan tidak terampil mengerjakan pekerjaan rumah. Rafi pada awalnya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu karena dia berharap bahwa dengan berjalannya sang waktu akan menyadarkan istrinya akan kewajibannya sebagai seorang istri. Namun, ketika waktu terus berjalan dan anak-anak mereka lahir meramaikam rumah, sepertinya Rosi masih terus sibuk dengan dirinya sendiri. Dia terus sibuk mengejar karir dan mengikuti pergaulan metropolis pada umumnya.

Rafi yang juga bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta, setiap pulang kerja kadang masih harus beres-beres rumah, memandikan dan menyuapi anak mereka. Sedang istrinya sibuk arisan bersama teman-temannya. Setahun dua tahun Rafi masih mencoba bersabar, tapi memasuki usia empat tahun perkawinan mereka, rupanya Rafi sudah tidak tahan lagi. Orang tua Rafi tentu tidak mengharapkan perceraian karena sudah ada anak di keluarga mereka.

Akhirnya, hanya ada satu pilihan kalau Rosi tidak mau dicerai oleh suaminya, yaitu Rosi harus mau mengubah sikap dan lebih peduli lagi terhadap keluarganya. Ternyata Rosi menyanggupinya. Yah, cinta yang masih tersemat di dasar hati Rosi membuatnya memiliki kekuatan untuk mengubah diri demi kebahagiaan pasangannya.
***

Gaya hidup manusia zaman sekarang yang cenderung meterialistis dan ingin serba instan, membuat sebagian kaum perempuan menjadi malas dengan pekerjaan-pekerjaan domestik. Pekerjaan seperti ini dianggap pekerjaan pembantu, dia akan merasa rendah kalau mengerjaan pekerjaan yang juga dianggapnya rendah. Padahal mereka butuh akan kebersihan, kesehatan, dan makanan sehat. Lalu, bagaimana rumah akan bersih dan sehat kalau penghuninya malas membersihkan rumah? Bagaimana bisa mendapatkan makanan sehat kalau yang dikonsumsi selalu yang serba instan karena malas memasak?

Belajar dari Dian Nitami

Di akhir acara, Dian Nitami, host acara “Masihkah Kau Mencintaku?”, mencoba sharing kepada Rosi tentang pengalamannya ketika baru membina rumah tangga.

“Awal menikah, saya akui kalau saya tidak terampil mengurus pekerjaan rumah. Selama ini saya hanya tahu soal fasion dan make-up. Setahun pertama, saya masih dibiarkan menjadi bak ratu di rumah sendiri. Tidak pernah mengerjakan pekerjaan dapur, beberes rumah, dan sebagainya. Tapi, di tahun kedua, Anjas, suami saya mengajak saya untuk tinggal di sebuah apartemen tanpa pembantu. Dia kemudian mengajari saya bagaimana mengerjakan pekerjaan rumah, dari mulai menyapu, ngepel, masak, mencuci baju dan piring,” begitu papar Dian memulai kisahnya.

“Saya tahu hasil pekerjaan saya kurang bagus, tapi Anjas selalu bilang kalau pekerjaan saya bagus, bersih. Betapapun saya sadar kalau hasil setrikaan saya kurang rapi, tapi Anjas selalu bilang rapi. Betapapun saya sadar kalau masakan saya tidak enak, Anjas selalu bilang enak. Sebagai istri tentu saya terharu, betapa sebagai seorang suami dia begitu menghargai proses belajar istrinya.” papar Dian kepada ribuan penonton TV saat itu.

Saya sangat respek dengan usaha Anjas dalam mendidik istrinya agar paham akan kewajibannya sebagai seorang istri sekaligus membuatnya terampil mengerjakan pekerjaan rumah. Saya bahkan tidak menyangka kalau Seorang Anjas ternyata bisa begitu Islami dalam mendidik istrinya. Sementara di luar sana, mungkin tidak sedikit pria yang bahkan tidak pernah menghargai pelayanan istrinya. Masakannya selalu dibilang nggak enak, meski tetap dihabiskan juga. Pekerjaan rumah selalu dibilang tidak bersih dan tidak rapi, tapi dengan seenaknya mengotori rumah.

Rasulullah Saw. adalah seorang suami yang sangat menghargai istrinya. Beliau tidak pernah mencela makanan, baik masakan orang lain, apalagi hasil masakan istrinya. Ketika beliau tidak berkenan dengan suatu makanan, beliau diam dan tidak meneruskan makan. Beliau juga seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya. Kasih sayang Rasul ini diungkapkan dalam sebuah hadits, ”Fathimah ra. adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkanku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku.” (Ibnul Abdil Barr dalam Al-Istii’aab)

Suatu hari Fathimah mengeluh kepada Rasul tentang tangannya yang sakit dan kapalan gara-gara setiap hari harus menumbuk gandum dengan batu dan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang seolah tiada henti. Meski begitu besar rasa sayang kepada putrinya, Rasulullah tidak langsung memberinya seorang pembantu seperti yang diharapkan Fatimah. Rasul malah menasehati putrinya, Fathimah: "Kalau Allah berkehendak, hai Fathimah, niscaya batu penggiling itu akan bergerak dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus keburukan-keburukanmu serta mengangkat derajatmu.

Hai Fathimah, mana saja seorang istri yang membuatkan tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, Allah mencatat baginya kebaikan dari setiap butir biji yang tergiling dan menghapus keburukannya serta meninggikan derajatnya.

Hai Fathimah, mana saja istri yang berkeringat di sisi alat penggilingannya karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, Allah akan memisahkan atas dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.

Hai Fathimah, mana saja seorang istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci baju mereka, Allah akan mencatat baginya pahala seperti pahalanya orang yang memberikan makan kepada seribu orang yang sedang kelaparan dan seperti pahalanya orang yang memberikan pakaian kepada seribu orang yang sedang telanjang.

Hai Fathimah, mana saja istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar, dirinya akan terbebas dari dosa-dosanya bagaikan bayi yang baru dilahirkan ibunya. Dia keluar dari dunia (yakni mati) tanpa membawa dosa, dia menjumpai kuburnya sebagai taman surga, Allah memberinya pahala seperti pahala seribu orang yang naik haji dan berumrah dengan seribu malaikat memohonkan ampun untuknya sampai hari kiamat".

Hai Fathimah, mana saja seorang istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam disertai hati baik, niat yang ikhlas dan benar, Allah akan mengampuni semua dosa-dosanya. Pada hari kiamat kelak dirinya akan diberi pakaian berwarna hijau dan dicatatkan untuknya pada setiap rambut yang ada di tubuhya dengan seribu kebajikan dan Allah memberi pahala untuknya sebanyak orang yang pergi haji dan umrah".

Hai Fathimah, mana saja seorang istri yang tersenyum manis di muka suaminya, kecuali Allah akan memerhatikannya dengan penuh rahmat.

Hai Fathimah, tetapi yang lebih utama dari itu semua adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak akan mendoakan dirimu". "Bukankah engkau mengerti, hai Fathimah, bahwa keridhaan suami itu menjadikan sebagian dari keridhaan Allah dan kebencian suami merupakan bagian dari kebencian Allah.” (HR Abu Hurairah ra.)

Subhanallah, begitu besar ladang pahala yang Allah berikan kepada seorang istri yang benar-benar mau berbakti kepada suami dan keluarganya. Dari sana pulalah pintu surga akan terbuka untuknya.

Di sinilah letak keadilan Allah, ada pembagian pekerjaan yang jelas antara suami-istri agar mereka sama-sama memiliki kesempatan untuk meraih pahala dalam pernikahan. Suami mendapat pahala dengan mencari nafkah untuk anak-istri, sedang istri mendapat kesempatan pahala dengan mengurus pekerjaan domestik, termasuk mengurus kebutuhan anak dan suami, mendidik dan membesarkan anak-anaknya. @

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untaian kata darimu selalu kunantikan.