Kado untuk Para Pecinta Sejati, Seperti Cinta Ibu kepada Anaknya, Bagai Mentari yang Menyinari Dunia ini.
Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!
Jumat, November 13, 2009
Suami Mengeksploitasi Istri
Beberapa minggu lalu saya pernah menulis tentang suami yang menjadi “sapi perahan” istri. Kali ini saya menulis masalah sebaliknya, seorang suami yang “mengeksploitasi” istrinya sendiri demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kasusnya masih saya ambil dari episode “Masihkah Kau Mencintaiku?” yang ditayangkan di sebuah TV swasta. Dari beberapa episode yang pernah saya tonton, episode kali ini boleh dibilang paling heboh, bikin kesal dan gemas semua penonton.
Sofie dan Hendri sudah menikah selama 13 tahun. Awal menikah, kondisi perekonomian mereka boleh dibilang serba kurang. Lama kelamaan mereka dapat membangun bisnis hingga memiliki penghasilan yang lebih dari cukup. Saat kondisi ekonomi mereka mulai terangkat, Sofie justru menuntut cerai kepada suaminya karena merasa sudah tidak tahan lagi dijadikan alat untuk melancarkan bisnis suaminya. Sebelum menikah, dia pernah bekerja sebagai Public Relation (PR) di sebuah perusahaan swasta, rupanya kemampuannya inilah yang dimanfaatkan oleh suaminya untuk menjamu para kliennya. Hendri membangun sebuah perusahaan proyek yang sering harus berjuang keras untuk mendapatkan tender. Demi melancarkan usaha mendapatkan tender inilah, Hendri memanfaatkan kecantikan, keramahan dan kecerdasan istrinya di bidang PR. Hampir sebagian besar klien yang dijamu dan diservis oleh istrinya merasa puas dan akhirnya memberikan tender tersebut untuk Hendri.
Sebagai seorang yang beriman, hati kecil Sofie berontak. Kalau hanya menjamu biasa, makan-makan dan ngobrol-ngobrol, mungkin Sofie masih bisa menerima. Tapi, Sofie bahkan kadang harus melayani mereka “di kasur” hingga dia pernah mengidap penyakit kelamin. Namun, bila dia menolak permintaan suaminya untuk menjamu kliennya, Hendri akan marah dan memukulnya. Hendri bahkan pernah mengancam akan menjadikan anak perempuan mereka yang baru berumur 12 tahun untuk menggantikannya kalau dia tidak mau membantu menjamu kliennya. Sebagai seorang ibu, tentu saja berang mendengar anaknya akan dijadikan umpan untuk pria-pria hidung belang. Akhirnya, dia mandah mengalah daripada harus melihat anaknya yang menjadi korban.
Kisah Sofie menambah daftar korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT). Sofie telah mengalami KdRT dalam dua kasus sekaligus, pertama dieksploitasi secara ekonomi oleh suaminya, kedua kekerasan fisik dan psikis yang membuat Sofie merasakan kesedihan yang berkepanjangan.
Satu hal yang mengherankan, suaminya sama sekali tidak tampak merasa bersalah atas kelakuannya ini. “Sebagai suami, sebagai kepala keluarga, wajar dong kalau saya meminta bantuan istri untuk melancarkan bisnis saya. Kan memang sudah menjadi kewajiban istri untuk tunduk dan taat dengan perintah suami.” Tandasnya tanpa malu-malu.
Dua penasihat perkawinan yang dihadirkan di situ sampai geram, bahkan Mbak Rae, menyebut Hendri sebagai “Wong edan”.
Dengan memakai kaca mata mana pun--baik adat, budaya, lingkungan sosial, psikologi, apalagi agama--menyuruh istri sendiri untuk melayani pria lain demi membantu perekonomian keluarga, jelas tidak dibenarkan. Tapi, Hendri bahkan membiarkan istrinya pergi dengan pria lain atas sepengetahuannya bahkan atas permintaannya. Hendri tidak pernah panik walaupun istrinya pulang larut malam, bahkan kadang hingga dini hari.
Jelas, tata nilai yang dipakai oleh Hendri sangat bertentangan dengan norma kebenaran yang dianut masyarakat secara umum, terlebih lagi norma agama. Dalam Islam, seorang perempuan bila hendak bepergaian jauh atau hingga larut malam, harus didampingi mahram atau suaminya. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian menempuh perjalanan satu hari melainkan bersamanya seorang muhrimnya.” (Hadits Riwayat Muttaffaqun ‘alaihi)
Satu kesesatan berfikir Hendri yang membuat istrinya terjerumus melakukan perbuatan dosa besar, dia telah menggunakan kekuasaannya sebagai kepala rumah tangga tapi dalam hal kemaksiatan. Padahal, Islam jelas melarang seorang istri menuruti perintah suaminya dalam kemaksiatan. Seorang suami seharusnya menjadi imam yang membawa keluarganya pada kebahagiaan dunia akhirat. Seperti tertera dalam Q.S. At Tahrim, 66: 6. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Allah memberi ganjaran yang keras bagi suami yang menjerumuskan keluarganya dalam dosa dan kesesatan. Sebuah hadits menyebutkan, “Tiga golongan yang Allah haramkan masuk surga, yaitu peminum minuman keras, orang yang durhaka kepada ibu-bapaknya, dan orang yang berbuat dayyuts yang menanamkan perbuatan dosa kepada keluarganya.” (H.R. Nasa’i)
Belajar dari Kemurahan Hari Umar bin Khattab
Selain mengeksploitasi ekonomi terhadap istri dan menjerumuskannya dalam kemaksiatan, Hendri juga telah melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya. Dia sering memukuli Sofie saat istrinya itu menolak menemui kliennya. Padahal, Islam sangat melarang untuk menyakiti wanita.
Ustadz Subki Al Bughury yang dihadirkan dalam acara itu menjelaskan bagaimana Islam memandang kekerasan dalam rumah tangga ini. Beliau menceritakan kisah Khalifah Umar bin Khattab ra. yang terkenal memiliki fisik yang sangat kuat, berperawakan tinggi besar dan tegap, pemberani, terutama saat berperang sehingga disegani oleh kawan maupun lawan. Umar bahkan dijuluki Abu Hafshin (Bapaknya Singa) karena keberaniannya ini.
Suatu hari ada seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khattab. Dia ingin mengadu pada khalifah karena taktahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istrinya. Tapi, tidak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja sambil terus mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya, lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melaporkan istrinya kepada Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khattab yang disegani kawan maupun lawan berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa dia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, dia selalu tegas kepada siapa pun?
Saat Umar diam mendengarkan keluhan istrinya, ternyata dia sedang mencoba berempati kepada istrinya, “Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya.” ungkapnya.
Setidaknya, seorang istri telah berperan besar dalam empat hal, istri telah berusaha membentengi suami dari api neraka (saat godaan syahwat menghampiri), memelihara harta suami saat suami tidak berada di rumah, menjaga penampilan suami, mengasuh anak-anak, dan menyediakan hidangan untuk keluarganya.
Untuk segala kemurahan hati sang istri itulah, Umar rela mendengarkan keluh kesah buah lelah istrinya. Umar lebih memililih untuk mengingat kebaikan-kebaikan istrinya daripada mencela kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah dia menasehati dengan cara yang baik, kadang malah dengan bercanda sehingga terhindar dari caci maki yang takterpuji.
Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilaku Umar ini? Dia tidak hanya berhasil memimpin negara, tapi juga menjadi imam idaman bagi keluarganya. Dia tampak garang dan tegas di luar rumah, tapi begitu perhatian dan lembut kepada istrinya.
Meski kewajiban seorang istri adalah taat kepada suami, tapi suami tidak boleh memanfaatkan haknya ini demi kepuasan pribadi yang tidak berdasar pada hukum syar’i. Bagaimanapun, segala perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Rasulullah saw. mengingatkan akan hal ini, "Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya dan dia akan diminta pertanggungan jawab tentang kepemimpinannya." (Muttafaq Alaih). Wallahu’alam bish shawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
berbuatlah sekehendakmu, sesungguhnya kamu akan dimintai pertanggungjawaban.
BalasHapus'ambisi', kata sakti bermata dua. tak ada ambisi, loyo. kebanyakan ambisi, mati (hati). sangat dibutuhkan suritauladan untuk mengawal si kata sakti tersebut.
Salwangga, okelah qalo beqitu...
BalasHapus