Setiap orang yang membangun rumah tangga─kalau bisa─pasti ingin memiliki kehidupan sempurna; memiliki pasangan hidup yang saling mencintai dan setia, anak-anak manis yang pintar dan saleh dengan pendidikan tinggi, berkecukupan secara materi (memiliki rumah megah, mobil mewah, dan uang setampah). Dari sisi pribadi bisa terus meningkatkan pendidikan dan karier dengan kedudukan atau status sosial tinggi di masyarakat.
Namun, realitasnya kehidupan tidaklah
sesempurna itu. Bila semua itu tidak mungkin diraih secara bersamaan, mana yang
harus diprioritaskan? (1) Mengejar pemenuhan materi rumah tangga terlebih
dahulu sehingga bisa segera memiliki rumah bagus sesuai harapan, memiliki mobil
yang nyaman sebagai sarana mobilitas, serta tabungan yang cukup untuk hari tua,
(2) Mengembangkan karier setinggi mungkin, termasuk membekali diri dengan terus
meningkatkan strata pendidikan, (3) Memiliki anak-anak yang pintar dan saleh
dengan menyekolahkan di sekolah terbaik meski dengan biaya yang tidak sedikit
(tentu kasih sayang dan pendidikan orang tua tetap diprioritaskan), (4) atau
prioritas lain.
Semuanya sah-sah saja kita lakukan.
Namun, perlu diingat bahwa akan ada risiko lain yang kadang harus ditanggung
bila mengejar salah satu prioritas tersebut. Saya tidak akan menyalahkan siapa
pun dengan apa pun prioritas seseorang dalam membangun rumah tangganya. Saya
hanya akan mengajak berfikir bersama kira-kira risiko apa yang akan kita
tanggung bila mengambil satu prioritas tersebut, atau mungkin prioritas yang
lain.
Prioritas
pertama, Mengejar pemenuhan materi rumah
tangga terlebih dahulu sehingga bisa segera memiliki rumah bagus sesuai
harapan, memiliki mobil yang bagus dan nyaman sebagai sarana mobilitas, serta
tabungan yang cukup untuk hari tua. Kebutuhan inilah yang menjadi prioritas
utama pada banyak rumah tangga, apalagi keluarga baru. Bukankah sedari SD dulu
kita diajarkan tentang prioritas kebutuhan manusia? Ada kebutuhan primer,
sekunder, dan tertier. Kebutuhan primer (seperti yang selama ini kita kenal) adalah
sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan sandang dan pangan sejak sebelum menikah
pun biasanya sudah terpenuhi. Karenanya, saat menikah, kebutuhan lain yang
sering menjadi prioritas adalah “rumah sebagai tempat berteduh”. Bisa ngontrak
rumah, tinggal di mertua indah, dan bila materi mencukupi bisa langsung
mengambil kredit rumah atau bahkan membeli secara cash.
Pada awalnya, rumah memang merupakan
kebutuhan pokok karena bagaimana pun kita harus memiliki tempat berteduh yang
layak. Namun, dalam perkembangannya, memiliki rumah sering diiringi dengan
kebutuhan akan prestice atau
kebanggaan. Kalau ada teman, saudara, atau keluarga yang berkunjung ke rumah
kita, bangga rasanya bila mereka terkagum-kagum dengan desain rumah dan
keunikan furniture rumah yang kita miliki. Tidak cukup hanya dengan memiliki
rumah, kebanggaan lain yang sering menjadi pemikat prestice seseorang adalah memiliki mobil mewah sehingga kalau kita
pergi kemana-mana akan ada orang yang berdecak kagum dengan kendaraan kita. (Padahal, apakah kebanggaan seperti ini yang sebenarya kita cari dalam hidup?)
Memang, sah-sah saja kita memiliki semua itu asal halal. Saya hanya ingin memberikan satu ilustrasi kisah yang semoga bisa membuka kesadaran kita akan prioritas kebutuhan rumah tangga yang sebenarnya. Semoga kita tidak salah dalam memilih prioritas dalam rumah tangga kita. Kesalahan menentukan prioritas bisa jadi akan menghilangkan tujuan menikah yang sebenarnya, yaitu untuk mendapatkan "kebahagiaan". Jangan sampai kita mengejar prioritas yang hanya sebatas "prestice", tetapi kebahagiaan yang sesungguhnya kita butuhkan malah melayang jauh dari jangkauan kita. Na'udzubillahi min dzalik.
Memang, sah-sah saja kita memiliki semua itu asal halal. Saya hanya ingin memberikan satu ilustrasi kisah yang semoga bisa membuka kesadaran kita akan prioritas kebutuhan rumah tangga yang sebenarnya. Semoga kita tidak salah dalam memilih prioritas dalam rumah tangga kita. Kesalahan menentukan prioritas bisa jadi akan menghilangkan tujuan menikah yang sebenarnya, yaitu untuk mendapatkan "kebahagiaan". Jangan sampai kita mengejar prioritas yang hanya sebatas "prestice", tetapi kebahagiaan yang sesungguhnya kita butuhkan malah melayang jauh dari jangkauan kita. Na'udzubillahi min dzalik.
Fahri dan Rifa (sebut saja begitu), pasangan
suami-istri yang baru beberapa bulan menikah ini memiliki impian untuk punya rumah
dengan desain tertentu dan dirasa unik. Setelah melakukan kalkulasi kebutuhan
dana untuk pembangunan rumah itu, tersebutlah angka yang tidak sedikit. Demi
memenuhi “nominal angka” tersebut, kedua pasangan ini berpikir keras bagaimana
cara untuk segera mendapatkan sejumlah uang yang mereka anggarkan
demi mewujudkan rumah impian mereka. Akhirnya diambillah keputusan mereka untuk
bahu-membahu mencari alternatif sumber-sumber ekonomi tambahan. Fahri sebagai
suami, selain bekerja kantoran sebagaimana biasa, juga mencoba membuka peluang
usaha rekanan dengan temannya. Sementara Rifa melamar kerja ke beberapa
perusahaan dan akhirnya diterima sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar
di kotanya dengan gaji lumayan.
Sebulan,
dua bulan, setahun, dua tahun, waktu terus berjalan dan mereka masih mengejar
mimpi untuk membangun rumah impian mereka. Rupiah demi rupiah pun terkumpul
hingga mereka bisa membeli tanah yang dirasa strategis untuk membangun rumah
tersebut. Sampai akhirnya mereka bisa mulai membangun rumah. Tidak langsung
sempurna sesuai keinginan mereka, tetapi setidaknya rumah itu sudah bisa
ditempati sambil terus melakukan pembangunannya. Mereka pun tidak sabar ingin
segera menyelesaikan rumah impian mereka. Karenanya, mereka terus memacu diri
lebih keras dalam mengumpulkan rupiah hingg tanpa sadar ada sesuatu yang hilang
dalam rumah tangga mereka, yaitu kebersamaan dan perhatian antarpasangan.
Fahri
mulai merasakan perhatian Rifa kepadanya sudah berkurang, tidak ada lagi kopi
dan sarapan pagi buatan istri tercintanya, tidak ada lagi ciuman tangan istri
saat menyambutnya pulang dari kantor. Pagi-pagi sekali Rifa sudah pergi ke
kantor hingga urusan masak dan menyiapkan makanan beralih ke tangan pembantu.
Saat pulang kerja, istrinya kadang belum pulang ke rumah karena ada lembur di
kantor, atau ada di rumah tapi sudah lelap dalam tidurnya.
Rifa
pun ternyata merasakan hal yang sama. Keromantisan Fahri seperti hilang entah
ke mana. Tidak ada lagi candaan suaminya ketika menjelang tidur, tidak ada lagi
ciuman hangat suami yang selama ini selalu dirindukannya. Suasana panas selalu
melingkupi hati mereka ketika berada di rumah. Masalah kecil saja bisa memantik
kemarahan dan pertengkaran.
Rifa justru merasakan kenyamanan ketika
mendapatkan perhatian dari bosnya. Pria yang juga sudah menikah ini seolah
memberikan perhatian dan kasih sayang lebih daripada Fahri, suaminya. Akhirnya,
jalinan kasih terlarang itu pun terbina di antara mereka. Tanpa sepengetahuan
Rifa, Fahri pun ternyata punya "hubungan gelap” dengan rekan kerjanya di
kantor. Sinta, wanita single yang
terkenal seksi di kantornya ini begitu mengagumi kinerja Fahri yang rajin dan
ulet. Di matanya, Fahri adalah lelaki impiannya selama ini. Dia bahkan tidak
malu-malu untuk menyatakan kekagumannya ini kepada Fahri. Sebagai pria yang
tidak lagi mendapat penghargaan apalagi sanjungan dari istri merasa begitu
melambung ketika mendapat sanjungan dan perhatian dari wanita lain.
Berbilang
bulan, “hubungan gelap” masing-masing pasangan ini pun terus berlanjut hingga
membuat mereka terperosok begitu jauh. Mereka tidak lagi menganggap pasangan
sahnya─sebagai
suami-istri─menjadi
pasangan yang menyenangkan lagi. Rumah sudah menjadi seperti neraka bagi mereka
ketika pertengkaran demi pertengkaran terus membakar rumah mereka. Atau bisa
menjadi seperti kuburan bila mereka sedang melakukan perang dingin. Rumah
impian mereka “belum jadi sempurna” seperti yang mereka inginkan, mungkin
tinggal sedikit melakukan renovasi tambahan lagi. Namun, ironisnya rumah
tangga mereka malah hancur sebelum mereka bisa menikmati rumah impian itu. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak mengalami hal
demikian.
Prioritas
kedua, mengembangkan karier setinggi
mungkin, termasuk membekali diri dengan terus meningkatkan strata pendidikan. Banyak
alasan mengapa seseorang harus mengembangkan karier termasuk meningkatkan
pendidikannnya. Alasan utama biasanya untuk mandapatkan penghasilan lebih demi
memenuhi kebutuhan hidup sehingga perlu meningkatkan strata kariernya, bisa
juga untuk mengejar prestice. Begitu pun dalam meningkatkan strata pendidikan,
biasanya karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan karyawannya memiliki
strata pendidikan tertentu. Meski ada juga yang murni karena ingin menuntut
ilmu.
Banyak yang memulai bekerja dengan
bekal ijazah SMA, dengan lamanya waktu bekerja, posisinya pun sedikit demi
sedikit meningkat hingga perusahaan menuntutnya untuk memiliki ijazah sarjana
atau minimal D3, bagi yang S1 dituntut memiliki ijazah S2, dan seterusnya. Pada
saat yang sama kebutuhan rumah tangga, terutama pendidikan anak, terus
meningkat. Dia seolah dihadapkan dengan pilihan untuk memilih meningkatkan
strata pendidikannnya sendiri sehingga dapat memuluskan peningkatan kariernya
(termasuk meningkatkan gajinya), tetapi di sisi lain dia harus berbagi atau
mengurangi jatah dana pendidikan anaknya.
Dengan dana yang ada, dia harus
membiayai kuliahnya dan juga pendidikan anaknya. Kalau dia memakai dana itu
sepenuhnya untuk pendidikan anak, dia bisa menyekolahkan anaknya di sekolah
yang bagus (yang notabene berbiaya mahal). Namun, bila harus berbagi untuk
membiayai juga kuliahnya, otomatis dia hanya bisa menyekolahkan anak di sekolah
seadanya, bila perlu di sekolah negeri yang gratis. Bila ditunjang dengan
pendidikan orang tua di rumah yang memadai, tentu tidak masalah, anaknya bisa
tetap berprestasi meski dia bersekolah di sekolah biasa. Namun, bila anak bisa
bersekolah di sekolah yang banyak memberikan keunggulan dibanding sekolah umum,
biasanya potensi anak pun akan lebih terasah. Apalagi sekarang banyak sekolah
yang menawarkan pengembangan potensi anak bukan hanya sisi kognisi atau
intelektualnya semata, tapi juga sisi religi, leadership, dan lain-lain. Namun, harganya tentu berbeda jauh dengan
sekolah umum.
Saya punya kisah nyata seorang sahabat seputar
masalah karier ini. Sebut saja namanya Zahra. Dia bekerja di sebuah perusahaan
makanan dengan modal ijazah SMA. Pada awalnya dia bekerja sebagai Cleaning Service. Kinerjanya yang rajin mulai
dilirik atasannya sehingga dia menjanjikan untuk menaikkan posisi kerja yang
otomatis akan menaikkan pula gajinya. Namun, dengan syarat dia harus memiliki
ijazah D3. Tergiur dengan posisi yang menjanjikan dan keinginan untuk menaikkan
taraf hidup dan pendidikan, dia pun mengambil kuliah program D3. Berbagi waktu
dengan pekerjaan kantor, kuliah, dan mengurus anak, membuat kuliahnya sedikit
tersendat hingga baru bisa menyelesaikan kuliah empat tahun kemudian.
Pada saat yang sama, di perusahaan tempatnya bekerja
terjadi restrukturisasi karyawan. Bosnya yang dulu pernah menjanjikan sebuah
posisi yang lebih baik malah terkena PHK. Jadi, meski saat itu dia sudah
mengantongi ijazah D3, tetapi tetap tidak bernilai apa-apa di perusahaannya.
Dia bisa naik posisi, tapi harus dipindahkan ke perusahaan cabang yang lebih
jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya, dia malah memilih keluar dari pekerjaan.
Dengan ijazah D3 yang dimiliki akhirnya dia bisa diterima sebagai pengajar di
sebuah SMK di kotanya. Namun, gajinya masih jauh dari yang diharapkan.
Akhirnya, dia hanya bertahan satu semester lalu kembali keluar. Kini, dia malah
nyaman menjadi ibu rumah tangga. Usahanya untuk meningkatkan taraf pendidikan
memang tidak sia-sia karena dia mendapatkan ilmu dari sana. Namun, bila
tujuannya untuk meningkatkan posisi dalam kariernya, realitasnya itu malah jauh
dari genggamannya. Sementara, dia sudah kehilangan banyak waktu yang seharusnya
dipergunakan untuk mendidik anak-anaknya.
Prioritas
ketiga, memiliki anak-anak yang pintar dan
saleh dengan menyekolahkan di sekolah terbaik meski dengan biaya yang tidak
sedikit. Bila dana yang kita miliki cukup atau bahkan berlebih mungkin tidak
menjadi masalah. Namun, bagaimana bila dana yang dimiliki sebenarnya terbatas?
Saya pernah melihat sebuah keluarga sederhana, tetapi menurut saya sangat terpelajar. Suaminya seorang guru PNS dengan gaji tergolong biasa. Maklum, ijazahnya hanya SPG. Sementara istrinya seorang ibu rumah tangga biasa tanpa memiliki penghasilan tambahan lain. Namun, mereka ternyata mampu menyekolahkan kelima anaknya hingga menjadi sarjana. Bila mereka memiliki penghasilan besar, tentu memiliki lima anak yang bertitel sarjana merupakan hal mudah. Namun, dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas mereka tetap mampu menyekolahkan kelima anaknya hingga perguruan tinggi adalah hal yang luar biasa. Tentu saja ada risiko yang harus mereka tanggung. Hingga kelima anaknya menjadi sarjana, rumah mereka masih sangat sederhana, hanya rumah berdinding kayu dan lantai berkalang tanah. Subhanallah. Anak-anak mereka pasti bangga memiliki orang tua seperti mereka yang rela hidup sederhana demi memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.
Prioritas ketiga inilah yang sekarang
sedang dibangun dalam rumah tangga kami. Saya menikah dengan seorang duda
beranak dua. Rumahnya sangat sederhana, tipe 21 dengan cicilan masih beberapa
tahun lagi. Namun, beberapa bagian rumah sudah minta direnovasi. Saya saja
sampai harap-harap cemas kalau hujan tiba karena ada bagian rumah kami yang
bocor. Namun, saya tetap bangga dengan suamiku, terutama dengan caranya
mendidik anak-anak. Demi menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik sesuai
kemampuan, dia rela menunda pembangunan rumahnya ini. Padahal, rekan-rekan
kerja seangkatannya yang gajinya kurang lebih sama sudah memiliki rumah bagus.
Bukan hanya itu, dia juga rela
mengesampingkan kesempatan peningkatan karier di kantornya demi fokus
memberikan sarana pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Dengan ijazah SMA yang
dimilikinya memang agak sulit untuk mencapai posisi di atas staf. Bila ingin
mencapai jenjang karier lebih tinggi dia harus memiliki ijazah S1. Namun, pada
saat yang sama anak pertamanya membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit.
Maklum, dia memilih menyekolahkan anaknya di SDIT yang biayanya tidak sedikit.
Uang masuknya saja waktu itu sudah mencapai 4,5 juta.
“Biarin Mas begini saja asal anak-anak
bisa sekolah di tempat terbaik. Kini masanya untuk perbaikan pendidikan mereka,
bukan pendidikan Mas. Yang penting Mas masih bisa membiayai mereka.” begitu jawaban
suamiku kalau ditanya tentang alasannya.
Namun, pengorbanannya menurut saya
tidaklah sia-sia. Kini, anak pertama kami itu sudah duduk di kelas II MTs
(setingkat SMP) dengan prestasi yang bisa dibanggakan. (Semoga ini bukan untuk tujuan riya' atau sum'ah, tapi sharing saja) Sedari SD rangkingnya
tidak kurang dari 3, bahkan pernah 2x rangking 1. Semester kemarin dia juga
rangking pertama. Alhamdulillah.
Meski kini anak kami jauh dari kami karena tinggal di pesantren, tetapi kami
masih terus memantau perkembangannya dengan mengunjunginya seminggu sekali. Alhamdulillah, kini dia sudah memiliki
hafalan Al Qur’an 5 juz. Semoga dia bisa istiqamah menjadi hafidzah. Amiin.
Kini tinggal membimbing anak kedua
kami yang masih sekolah di TKIT. Kalau kakaknya mulai serius menghafal Al
Qur’an sejak SMP, kami berharap anak kedua bisa menjadi penghafal Al Qur’an
lebih dini, yakni sejak sekolah dasar. Bagi kami, anak-anak inilah prioritas
utama dalam rumah tangga kami. Saya akan dengan sukarela menyimpan ijazah
sarjana saya demi fokus mendidik mereka. Allah…bimbing hamba menjadi ibu
terbaik bagi anak-anak kami, anak-anak yang akan menjadi generasi penentu masa
depan bangsa.
Setiap rumah tangga pasti memiliki
prioritas tujuan yang berbeda-beda. Namun, satu hal yang perlu diingat, masa
depan bangsa bisa jadi berawal dari prioritas setiap rumah tangga ini. Apakah
prioritasnya sebatas pemenuhan ekonomi (sukses materi), prestice diri (sukses diri pribadi), atau menyukseskan anak-anak untuk membangun
generasi bangsa ke depan yang salih, tangguh, dan
berkepribadian utuh?
Semoga tulisan kecil ini memberikan sumbangsih besar bagi bangsa ini. Amiin.
duh, wanita cantik ini memang pinter ngasih support dan motivasi. semoga allah semakin menyuburkan cinta-kasih dalam rumah tangga. amin.
BalasHapus"jikalau dua gunung emas ditawarkan kepada anak adam, dia akan mencari yang ketiga."
dunia seisinya dihamparkan untuk menutupi semua kebutuhan manusia dan makhluk didalamnya. tapi, walau diciptakan dua atau tiga dunia lagi bahkan tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keinginan satu manusia.
Anonim ini pasti jelmaan suami kan?.....
BalasHapustrimakasih buat sharingnya, kami baru menikah 1 tahun. kami memiliki banyak impian, doakan kami agar bisa menjadi pasangan yang berbahagiaaa... amien,,
BalasHapus