Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Kamis, Agustus 04, 2011

Menentukan Prioritas Rumah Tangga



Setiap orang yang membangun rumah tangga─kalau bisa─pasti ingin memiliki kehidupan sempurna; memiliki pasangan hidup yang saling mencintai dan setia, anak-anak manis yang pintar dan saleh dengan pendidikan tinggi, berkecukupan secara materi (memiliki rumah megah, mobil mewah, dan uang setampah). Dari sisi pribadi bisa terus meningkatkan pendidikan dan karier dengan kedudukan atau status sosial tinggi di masyarakat.

Namun, realitasnya kehidupan tidaklah sesempurna itu. Bila semua itu tidak mungkin diraih secara bersamaan, mana yang harus diprioritaskan? (1) Mengejar pemenuhan materi rumah tangga terlebih dahulu sehingga bisa segera memiliki rumah bagus sesuai harapan, memiliki mobil yang nyaman sebagai sarana mobilitas, serta tabungan yang cukup untuk hari tua, (2) Mengembangkan karier setinggi mungkin, termasuk membekali diri dengan terus meningkatkan strata pendidikan, (3) Memiliki anak-anak yang pintar dan saleh dengan menyekolahkan di sekolah terbaik meski dengan biaya yang tidak sedikit (tentu kasih sayang dan pendidikan orang tua tetap diprioritaskan), (4) atau prioritas lain.

Semuanya sah-sah saja kita lakukan. Namun, perlu diingat bahwa akan ada risiko lain yang kadang harus ditanggung bila mengejar salah satu prioritas tersebut. Saya tidak akan menyalahkan siapa pun dengan apa pun prioritas seseorang dalam membangun rumah tangganya. Saya hanya akan mengajak berfikir bersama kira-kira risiko apa yang akan kita tanggung bila mengambil satu prioritas tersebut, atau mungkin prioritas yang lain.

Prioritas pertama, Mengejar pemenuhan materi rumah tangga terlebih dahulu sehingga bisa segera memiliki rumah bagus sesuai harapan, memiliki mobil yang bagus dan nyaman sebagai sarana mobilitas, serta tabungan yang cukup untuk hari tua. Kebutuhan inilah yang menjadi prioritas utama pada banyak rumah tangga, apalagi keluarga baru. Bukankah sedari SD dulu kita diajarkan tentang prioritas kebutuhan manusia? Ada kebutuhan primer, sekunder, dan tertier. Kebutuhan primer (seperti yang selama ini kita kenal) adalah sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan sandang dan pangan sejak sebelum menikah pun biasanya sudah terpenuhi. Karenanya, saat menikah, kebutuhan lain yang sering menjadi prioritas adalah “rumah sebagai tempat berteduh”. Bisa ngontrak rumah, tinggal di mertua indah, dan bila materi mencukupi bisa langsung mengambil kredit rumah atau bahkan membeli secara cash.

Pada awalnya, rumah memang merupakan kebutuhan pokok karena bagaimana pun kita harus memiliki tempat berteduh yang layak. Namun, dalam perkembangannya, memiliki rumah sering diiringi dengan kebutuhan akan prestice atau kebanggaan. Kalau ada teman, saudara, atau keluarga yang berkunjung ke rumah kita, bangga rasanya bila mereka terkagum-kagum dengan desain rumah dan keunikan furniture rumah yang kita miliki. Tidak cukup hanya dengan memiliki rumah, kebanggaan lain yang sering menjadi pemikat prestice seseorang adalah memiliki mobil mewah sehingga kalau kita pergi kemana-mana akan ada orang yang berdecak kagum dengan kendaraan kita. (Padahal, apakah kebanggaan seperti ini yang sebenarya kita cari dalam hidup?) 

Memang, sah-sah saja kita memiliki semua itu asal halal. Saya hanya ingin memberikan satu ilustrasi kisah yang semoga bisa membuka kesadaran kita akan prioritas kebutuhan rumah tangga yang sebenarnya. Semoga kita tidak salah dalam memilih prioritas dalam rumah tangga kita. Kesalahan menentukan prioritas bisa jadi akan menghilangkan tujuan menikah yang sebenarnya, yaitu untuk mendapatkan "kebahagiaan". Jangan sampai kita mengejar prioritas yang hanya sebatas "prestice", tetapi kebahagiaan yang sesungguhnya kita butuhkan malah melayang jauh dari jangkauan kita. Na'udzubillahi min dzalik.



Fahri dan Rifa (sebut saja begitu), pasangan suami-istri yang baru beberapa bulan menikah ini memiliki impian untuk punya rumah dengan desain tertentu dan dirasa unik. Setelah melakukan kalkulasi kebutuhan dana untuk pembangunan rumah itu, tersebutlah angka yang tidak sedikit. Demi memenuhi “nominal angka” tersebut, kedua pasangan ini berpikir keras bagaimana cara untuk segera mendapatkan sejumlah uang yang mereka anggarkan demi mewujudkan rumah impian mereka. Akhirnya diambillah keputusan mereka untuk bahu-membahu mencari alternatif sumber-sumber ekonomi tambahan. Fahri sebagai suami, selain bekerja kantoran sebagaimana biasa, juga mencoba membuka peluang usaha rekanan dengan temannya. Sementara Rifa melamar kerja ke beberapa perusahaan dan akhirnya diterima sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar di kotanya dengan gaji lumayan.

Sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, waktu terus berjalan dan mereka masih mengejar mimpi untuk membangun rumah impian mereka. Rupiah demi rupiah pun terkumpul hingga mereka bisa membeli tanah yang dirasa strategis untuk membangun rumah tersebut. Sampai akhirnya mereka bisa mulai membangun rumah. Tidak langsung sempurna sesuai keinginan mereka, tetapi setidaknya rumah itu sudah bisa ditempati sambil terus melakukan pembangunannya. Mereka pun tidak sabar ingin segera menyelesaikan rumah impian mereka. Karenanya, mereka terus memacu diri lebih keras dalam mengumpulkan rupiah hingg tanpa sadar ada sesuatu yang hilang dalam rumah tangga mereka, yaitu kebersamaan dan perhatian antarpasangan.

Fahri mulai merasakan perhatian Rifa kepadanya sudah berkurang, tidak ada lagi kopi dan sarapan pagi buatan istri tercintanya, tidak ada lagi ciuman tangan istri saat menyambutnya pulang dari kantor. Pagi-pagi sekali Rifa sudah pergi ke kantor hingga urusan masak dan menyiapkan makanan beralih ke tangan pembantu. Saat pulang kerja, istrinya kadang belum pulang ke rumah karena ada lembur di kantor, atau ada di rumah tapi sudah lelap dalam tidurnya.

Rifa pun ternyata merasakan hal yang sama. Keromantisan Fahri seperti hilang entah ke mana. Tidak ada lagi candaan suaminya ketika menjelang tidur, tidak ada lagi ciuman hangat suami yang selama ini selalu dirindukannya. Suasana panas selalu melingkupi hati mereka ketika berada di rumah. Masalah kecil saja bisa memantik kemarahan dan pertengkaran.

Rifa justru merasakan kenyamanan ketika mendapatkan perhatian dari bosnya. Pria yang juga sudah menikah ini seolah memberikan perhatian dan kasih sayang lebih daripada Fahri, suaminya. Akhirnya, jalinan kasih terlarang itu pun terbina di antara mereka. Tanpa sepengetahuan Rifa, Fahri pun ternyata punya "hubungan gelap” dengan rekan kerjanya di kantor. Sinta, wanita single yang terkenal seksi di kantornya ini begitu mengagumi kinerja Fahri yang rajin dan ulet. Di matanya, Fahri adalah lelaki impiannya selama ini. Dia bahkan tidak malu-malu untuk menyatakan kekagumannya ini kepada Fahri. Sebagai pria yang tidak lagi mendapat penghargaan apalagi sanjungan dari istri merasa begitu melambung ketika mendapat sanjungan dan perhatian dari wanita lain.

Berbilang bulan, “hubungan gelap” masing-masing pasangan ini pun terus berlanjut hingga membuat mereka terperosok begitu jauh. Mereka tidak lagi menganggap pasangan sahnya─sebagai suami-istrimenjadi pasangan yang menyenangkan lagi. Rumah sudah menjadi seperti neraka bagi mereka ketika pertengkaran demi pertengkaran terus membakar rumah mereka. Atau bisa menjadi seperti kuburan bila mereka sedang melakukan perang dingin. Rumah impian mereka “belum jadi sempurna” seperti yang mereka inginkan, mungkin tinggal sedikit melakukan renovasi tambahan lagi. Namun, ironisnya rumah tangga mereka malah hancur sebelum mereka bisa menikmati rumah impian itu. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak mengalami hal demikian.


Prioritas kedua, mengembangkan karier setinggi mungkin, termasuk membekali diri dengan terus meningkatkan strata pendidikan. Banyak alasan mengapa seseorang harus mengembangkan karier termasuk meningkatkan pendidikannnya. Alasan utama biasanya untuk mandapatkan penghasilan lebih demi memenuhi kebutuhan hidup sehingga perlu meningkatkan strata kariernya, bisa juga untuk mengejar prestice. Begitu pun dalam meningkatkan strata pendidikan, biasanya karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan karyawannya memiliki strata pendidikan tertentu. Meski ada juga yang murni karena ingin menuntut ilmu.

Banyak yang memulai bekerja dengan bekal ijazah SMA, dengan lamanya waktu bekerja, posisinya pun sedikit demi sedikit meningkat hingga perusahaan menuntutnya untuk memiliki ijazah sarjana atau minimal D3, bagi yang S1 dituntut memiliki ijazah S2, dan seterusnya. Pada saat yang sama kebutuhan rumah tangga, terutama pendidikan anak, terus meningkat. Dia seolah dihadapkan dengan pilihan untuk memilih meningkatkan strata pendidikannnya sendiri sehingga dapat memuluskan peningkatan kariernya (termasuk meningkatkan gajinya), tetapi di sisi lain dia harus berbagi atau mengurangi jatah dana pendidikan anaknya.

Dengan dana yang ada, dia harus membiayai kuliahnya dan juga pendidikan anaknya. Kalau dia memakai dana itu sepenuhnya untuk pendidikan anak, dia bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang bagus (yang notabene berbiaya mahal). Namun, bila harus berbagi untuk membiayai juga kuliahnya, otomatis dia hanya bisa menyekolahkan anak di sekolah seadanya, bila perlu di sekolah negeri yang gratis. Bila ditunjang dengan pendidikan orang tua di rumah yang memadai, tentu tidak masalah, anaknya bisa tetap berprestasi meski dia bersekolah di sekolah biasa. Namun, bila anak bisa bersekolah di sekolah yang banyak memberikan keunggulan dibanding sekolah umum, biasanya potensi anak pun akan lebih terasah. Apalagi sekarang banyak sekolah yang menawarkan pengembangan potensi anak bukan hanya sisi kognisi atau intelektualnya semata, tapi juga sisi religi, leadership, dan lain-lain. Namun, harganya tentu berbeda jauh dengan sekolah umum.


Saya punya kisah nyata seorang sahabat seputar masalah karier ini. Sebut saja namanya Zahra. Dia bekerja di sebuah perusahaan makanan dengan modal ijazah SMA. Pada awalnya dia bekerja sebagai Cleaning Service. Kinerjanya yang rajin mulai dilirik atasannya sehingga dia menjanjikan untuk menaikkan posisi kerja yang otomatis akan menaikkan pula gajinya. Namun, dengan syarat dia harus memiliki ijazah D3. Tergiur dengan posisi yang menjanjikan dan keinginan untuk menaikkan taraf hidup dan pendidikan, dia pun mengambil kuliah program D3. Berbagi waktu dengan pekerjaan kantor, kuliah, dan mengurus anak, membuat kuliahnya sedikit tersendat hingga baru bisa menyelesaikan kuliah empat tahun kemudian.
Pada saat yang sama, di perusahaan tempatnya bekerja terjadi restrukturisasi karyawan. Bosnya yang dulu pernah menjanjikan sebuah posisi yang lebih baik malah terkena PHK. Jadi, meski saat itu dia sudah mengantongi ijazah D3, tetapi tetap tidak bernilai apa-apa di perusahaannya. Dia bisa naik posisi, tapi harus dipindahkan ke perusahaan cabang yang lebih jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya, dia malah memilih keluar dari pekerjaan. Dengan ijazah D3 yang dimiliki akhirnya dia bisa diterima sebagai pengajar di sebuah SMK di kotanya. Namun, gajinya masih jauh dari yang diharapkan. Akhirnya, dia hanya bertahan satu semester lalu kembali keluar. Kini, dia malah nyaman menjadi ibu rumah tangga. Usahanya untuk meningkatkan taraf pendidikan memang tidak sia-sia karena dia mendapatkan ilmu dari sana. Namun, bila tujuannya untuk meningkatkan posisi dalam kariernya, realitasnya itu malah jauh dari genggamannya. Sementara, dia sudah kehilangan banyak waktu yang seharusnya dipergunakan untuk mendidik anak-anaknya.

Prioritas ketiga, memiliki anak-anak yang pintar dan saleh dengan menyekolahkan di sekolah terbaik meski dengan biaya yang tidak sedikit. Bila dana yang kita miliki cukup atau bahkan berlebih mungkin tidak menjadi masalah. Namun, bagaimana bila dana yang dimiliki sebenarnya terbatas?

Saya pernah melihat sebuah keluarga sederhana, tetapi menurut saya sangat terpelajar. Suaminya seorang guru PNS dengan gaji tergolong biasa. Maklum, ijazahnya hanya SPG. Sementara istrinya seorang ibu rumah tangga biasa tanpa memiliki penghasilan tambahan lain. Namun, mereka ternyata mampu menyekolahkan kelima anaknya hingga menjadi sarjana. Bila mereka memiliki penghasilan besar, tentu memiliki lima anak yang bertitel sarjana merupakan hal mudah. Namun, dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas mereka tetap mampu menyekolahkan kelima anaknya hingga perguruan tinggi adalah hal yang luar biasa. Tentu saja ada risiko yang harus mereka tanggung. Hingga kelima anaknya menjadi sarjana, rumah mereka masih sangat sederhana, hanya rumah berdinding kayu dan lantai berkalang tanah. Subhanallah. Anak-anak mereka pasti bangga memiliki orang tua seperti mereka yang rela hidup sederhana demi memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.

Prioritas ketiga inilah yang sekarang sedang dibangun dalam rumah tangga kami. Saya menikah dengan seorang duda beranak dua. Rumahnya sangat sederhana, tipe 21 dengan cicilan masih beberapa tahun lagi. Namun, beberapa bagian rumah sudah minta direnovasi. Saya saja sampai harap-harap cemas kalau hujan tiba karena ada bagian rumah kami yang bocor. Namun, saya tetap bangga dengan suamiku, terutama dengan caranya mendidik anak-anak. Demi menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik sesuai kemampuan, dia rela menunda pembangunan rumahnya ini. Padahal, rekan-rekan kerja seangkatannya yang gajinya kurang lebih sama sudah memiliki rumah bagus.

Bukan hanya itu, dia juga rela mengesampingkan kesempatan peningkatan karier di kantornya demi fokus memberikan sarana pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Dengan ijazah SMA yang dimilikinya memang agak sulit untuk mencapai posisi di atas staf. Bila ingin mencapai jenjang karier lebih tinggi dia harus memiliki ijazah S1. Namun, pada saat yang sama anak pertamanya membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit. Maklum, dia memilih menyekolahkan anaknya di SDIT yang biayanya tidak sedikit. Uang masuknya saja waktu itu sudah mencapai 4,5 juta.

“Biarin Mas begini saja asal anak-anak bisa sekolah di tempat terbaik. Kini masanya untuk perbaikan pendidikan mereka, bukan pendidikan Mas. Yang penting Mas masih bisa membiayai mereka.” begitu jawaban suamiku kalau ditanya tentang alasannya.

Namun, pengorbanannya menurut saya tidaklah sia-sia. Kini, anak pertama kami itu sudah duduk di kelas II MTs (setingkat SMP) dengan prestasi yang bisa dibanggakan. (Semoga ini bukan untuk tujuan riya' atau sum'ah, tapi sharing saja) Sedari SD rangkingnya tidak kurang dari 3, bahkan pernah 2x rangking 1. Semester kemarin dia juga rangking pertama. Alhamdulillah. Meski kini anak kami jauh dari kami karena tinggal di pesantren, tetapi kami masih terus memantau perkembangannya dengan mengunjunginya seminggu sekali. Alhamdulillah, kini dia sudah memiliki hafalan Al Qur’an 5 juz. Semoga dia bisa istiqamah menjadi hafidzah. Amiin.

Kini tinggal membimbing anak kedua kami yang masih sekolah di TKIT. Kalau kakaknya mulai serius menghafal Al Qur’an sejak SMP, kami berharap anak kedua bisa menjadi penghafal Al Qur’an lebih dini, yakni sejak sekolah dasar. Bagi kami, anak-anak inilah prioritas utama dalam rumah tangga kami. Saya akan dengan sukarela menyimpan ijazah sarjana saya demi fokus mendidik mereka. Allah…bimbing hamba menjadi ibu terbaik bagi anak-anak kami, anak-anak yang akan menjadi generasi penentu masa depan bangsa.

Setiap rumah tangga pasti memiliki prioritas tujuan yang berbeda-beda. Namun, satu hal yang perlu diingat, masa depan bangsa bisa jadi berawal dari prioritas setiap rumah tangga ini. Apakah prioritasnya sebatas pemenuhan ekonomi (sukses materi), prestice diri (sukses diri pribadi), atau menyukseskan anak-anak untuk membangun generasi bangsa ke depan yang salih, tangguh, dan berkepribadian utuh?

Semoga tulisan kecil ini memberikan sumbangsih besar bagi bangsa ini. Amiin.

3 komentar:

  1. Anonim1:12 PM

    duh, wanita cantik ini memang pinter ngasih support dan motivasi. semoga allah semakin menyuburkan cinta-kasih dalam rumah tangga. amin.

    "jikalau dua gunung emas ditawarkan kepada anak adam, dia akan mencari yang ketiga."

    dunia seisinya dihamparkan untuk menutupi semua kebutuhan manusia dan makhluk didalamnya. tapi, walau diciptakan dua atau tiga dunia lagi bahkan tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keinginan satu manusia.

    BalasHapus
  2. Anonim ini pasti jelmaan suami kan?.....

    BalasHapus
  3. trimakasih buat sharingnya, kami baru menikah 1 tahun. kami memiliki banyak impian, doakan kami agar bisa menjadi pasangan yang berbahagiaaa... amien,,

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.