“Salut
ngeliat Si A, getol banget nyari duitnya. Salut dengan kerja kerasnya yang
pantang mengeluh. Setiap hari kerja di kantor, hari Minggu masih dagang baju
bareng istrinya.” Cerita suamiku tentang rekan kerja sekaligus tetangga kami di
kompleks.
Orang yang
kami sebutkan ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Bekasi. Meski sebagai
karyawan staff biasa, tetapi gajinya masih lebih baik daripada karyawan bagian
produksi yang otomatis tenaganya diperas sedemikian rupa meski dengan penghasilan
pas-pasan. Sementara istrinya, setelah di-PHK dari perusahaan yang sama dengan
suaminya, mengelola usaha fasion di rumah. Setiap hari Minggu mereka menjual
baju-bajunya di sebuah pasar kaget di kompleks perumahan kami. Di perumahan
kami memang ada pasar kaget yang digelar setiap hari Minggu karena banyaknya
orang yang jalan-jalan atau olah raga di hari libur tersebut. Sebulan sekali
mereka membawa dagangannya ke sebuah pesantren di Karawang yang menggelar
pengajian umum di sana. Biasanya mereka berangkat siang hari setelah berjualan
di pasar kaget. Setiap Sabtu-Minggu konon ceritanya mereka menggelar
dagangannya ke beberapa tempat. Usahanya ini terus berkembang meski sempat
turun-naik. Kini mereka mulai membuka toko busana muslim.
“Kita
ikutan jualan aja, Mas, di pasar kaget.” Kataku iseng berkomentar.
“Ngapain
ngoyo-ngoyo nyari duit. Mending buat pacaran. Sabtu-Minggu kan waktu buat
keluarga, bukan buat kerja.” Jawab suami.
Hari libur
suamiku memang hanya Sabtu-Minggu. Setiap hari dia berangkat kerja mulai pukul
07.00 (seharusnya pukul 06.00 sih), biasanya sampai di kantor pukul 09.00.
Jarak perjalanan Bekasi (rumah kami) ke Ancol (kantor suami) memang cukup jauh.
Bisa dua jam perjalanan. Dia pulang kantor pukul 17.00., biasanya sampai rumah saat
adzan Isya atau setelahnya. Dengan mengendarai motor, dia lebih bebas berhenti
untuk jamaah shalat Maghrib dan Isya di
masjid yang dilewati. Otomatis waktu kebersamaan kami hanya malam hari. Itu
sebabnya Sabtu-Minggu bener-bener diopmalkan buat keluarga. Sabtu biasanya kami
pakai buat jalan-jalan berdua, nonton film di bioskop, ikut kajian, dan
sebagainya. Setiap hari Minggu kami mengunjungi anak kami yang bersekolah di
pesantren di daerah Karawang, sekitar satu jam perjalanan dari rumah kami.
Bukan kami
tidak butuh banyak uang untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Kami ingin
bisa segera melunasi cicilan rumah dan motor, bayar tagihan rutin bulanan,
ingin punya dana buat renovasi rumah, pengen punya tabungan yang cukup buat
pendidikan anak (kami ingin menyekolahkan anak di tempat terbaik), kami juga pengen
punya tabungan haji. Namun, waktu kebersamaan dengan keluarga, menemani anak,
juga menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.
“Usia
kanak-kanak kan hanya sebentar. Itu berarti masa bermain-main dengan mereka
juga tidak lama, paling-paling hanya sampai sekolah dasar. Setelah itu mereka
sudah punya dunia sendiri yang kadang tidak terlalu membutuhkan orang tua di
sampingnya. Masak sih kita mau melewatkan masa-masa itu begitu saja hanya
karena sibuk nyari uang. Masak untuk bermain dengan anak nunggu sampai punya
banyak uang dan terpenuhi segala kebutuhan materi keluarga. Saat ingin
bermain-main dengan anak-anak, tahu-tahu mereka sudah besar dan tidak mau
bermain seperti anak kecil lagi. Saat itu kita sudah tidak bisa menimang mereka
lagi.” Kata suami berdiskusi tentang prioritas kebutuhan saat ini.
Saya sangat
setuju dengan prinsip suami. Hal ini pula yang membuat saya semakin kagum
kepadanya. Bagi kami, anak adalah harta yang tidak ternilai harganya dan harus
menjadi prioritas. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan materinya, tetapi juga
kebutuhan psikologisnya. Mereka harus benar-benar bisa merasakan kehadiran
kedua orang tuanya di hatinya, harus benar-benar merasakan perhatian dan kasih sayang
kami.
“Keluarga itu
prioritas. Kalau waktu habis buat nyari duit, kapan bermesraan sama istri? Masak
mau bermesraan dengan istri aja nunggu nanti kalau sudah tua. Sudah jadi
aki-aki dan nini-nini baru mesra-mesraan. Mana nikmatnya?” kata suami lagi.
Bagaimana pun
kami sudah sangat bersyukur dengan kondisi kami. Meski banyak cicilan yang
harus dipenuhi, tapi kami masih bisa makan layak, bisa punya rumah meski kondisinya
sudah minta direnovasi di sana-sini, punya motor untuk memudahkan mobilitas
kami, dan bisa menyekolahkan anak di tempat yang layak meski biayanya tidak
sedikit. “Maka nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahmân)
Tanpa mengurangi
hormat kami kepada orang-orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja
membanting tulang memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, kami salut dengan
mereka. Namun, tidak sedikit orang yang kemudian lupa untuk memenuhi kebutuhan
psikologis mereka. Sibuk mengejar “kesuksesan” dalam ukuran materi, tetapi
kemudian sering mengabaikan kebutuhan lain, seperti kebersamaan dengan
keluarga, kebutuhan untuk menuntut ilmu agama (mengikuti kajian), dan
sebagainya.
Idealnya,
kita bisa seimbang menikmati dan menjalani hidup. Saya jadi teringat dengan kisah
yang banyak ditulis di internet tentang seorang nelayan dengan pengusaha. Cerita
ini banyak ditulis dalam berbagai versi. Saya akan merangkum dengan versi saya.
Senja di pinggir sebuah pantai saat itu tampak begitu
indah. Semburat merah jingga mentari di ujung pantai melukiskan keindahannya. Semilir
angin lembut khas pantai menyentuh kulit seseorang yang sedang santai berlibur
di pantai itu. Dia seorang pengusaha yang dibilang “sukses” di kotanya. “Bersantai”
seperti itu baginya merupakan suatu hal yang “mewah” dan jarang didapatkan. Maklum,
waktunya selama ini banyak dihabiskan untuk bekerja keras karena dia yakin bahwa
kekayaan dan kesuksesan hanya dapat diperoleh dengan bekerja keras. Tiada hari
tanpa bekerja.
Dia menyapu pandangannya ke seluruh penjuru pantai
untuk menikmati keindahannya. Dia kemudian melihat seorang nelayan yang sedang duduk
santai di atas kapal nelayan sambil menikmati pemandangan pantai. Terusik dengan
kesantaian orang tersebut, pengusaha ini pun mendekatinya.
“Pak, mengapa bapak tidak melaut?” sapa pengusaha
kepada nelayan itu.
“Saya sudah melaut semalam dan saya perlu beristirahat,” jawab nelayan singkat.
“Kalau bapak melaut lagi, Bapak akan menghasilkan banyak ikan sehingga Bapak
bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah perahu. Dengan perahu itu. Bapak
tidak perlu lagi menyetorkan sebagian keuntungan Bapak kepada pemilik perahu.”
“Lalu?” kata nelayan menyela.
“Bapak bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk membeli perahu kedua, perahu
ketiga, perahu keempat, perahu kelima, dan seterusnya.”
“Lalu?”
“Jika perahu Bapak sudah banyak. Bapak bisa menyewakannya kepada nelayan lain
sehingga Bapak tidak perlu lagi melaut.”
“Lalu?”
“Bapak bisa hidup tenang dan bersantai.”
Nelayan itu tersenyum dan berkata, “Menurut bapak, apa yang sedang saya lakukan
sekarang?”
Semoga kisah
ini memberikan pencerahan bagi kita akan pentingnya keseimbangan hidup. Jangan sampai
kita sibuk (yang biasanya untuk mengumpulkan pundi-pundi materi), tetapi
kehilangan kenikmatan dan kebahagiaan yang seharusnya bisa dinikmati kapan pun,
tidak harus menunggu kaya dan dibilang “sukses” oleh orang lain yang biasanya
ukurannya hanya sebatas materi.
Terima kasih untuk suamiku yang
mengajarkan aku untuk menikmati keseimbangan hidup. U are d’best. Aku bangga padamu. @
trima kasih atas postingannya bu...sangat bagus salam kenal..
BalasHapus