Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Juni 14, 2011

Keseimbangan Hidup





“Salut ngeliat Si A, getol banget nyari duitnya. Salut dengan kerja kerasnya yang pantang mengeluh. Setiap hari kerja di kantor, hari Minggu masih dagang baju bareng istrinya.” Cerita suamiku tentang rekan kerja sekaligus tetangga kami di kompleks.

Orang yang kami sebutkan ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Bekasi. Meski sebagai karyawan staff biasa, tetapi gajinya masih lebih baik daripada karyawan bagian produksi yang otomatis tenaganya diperas sedemikian rupa meski dengan penghasilan pas-pasan. Sementara istrinya, setelah di-PHK dari perusahaan yang sama dengan suaminya, mengelola usaha fasion di rumah. Setiap hari Minggu mereka menjual baju-bajunya di sebuah pasar kaget di kompleks perumahan kami. Di perumahan kami memang ada pasar kaget yang digelar setiap hari Minggu karena banyaknya orang yang jalan-jalan atau olah raga di hari libur tersebut. Sebulan sekali mereka membawa dagangannya ke sebuah pesantren di Karawang yang menggelar pengajian umum di sana. Biasanya mereka berangkat siang hari setelah berjualan di pasar kaget. Setiap Sabtu-Minggu konon ceritanya mereka menggelar dagangannya ke beberapa tempat. Usahanya ini terus berkembang meski sempat turun-naik. Kini mereka mulai membuka toko busana muslim.

“Kita ikutan jualan aja, Mas, di pasar kaget.” Kataku iseng berkomentar.

“Ngapain ngoyo-ngoyo nyari duit. Mending buat pacaran. Sabtu-Minggu kan waktu buat keluarga, bukan buat kerja.” Jawab suami.

Hari libur suamiku memang hanya Sabtu-Minggu. Setiap hari dia berangkat kerja mulai pukul 07.00 (seharusnya pukul 06.00 sih), biasanya sampai di kantor pukul 09.00. Jarak perjalanan Bekasi (rumah kami) ke Ancol (kantor suami) memang cukup jauh. Bisa dua jam perjalanan. Dia pulang kantor pukul 17.00., biasanya sampai rumah saat adzan Isya atau setelahnya. Dengan mengendarai motor, dia lebih bebas berhenti untuk jamaah shalat Maghrib  dan Isya di masjid yang dilewati. Otomatis waktu kebersamaan kami hanya malam hari. Itu sebabnya Sabtu-Minggu bener-bener diopmalkan buat keluarga. Sabtu biasanya kami pakai buat jalan-jalan berdua, nonton film di bioskop, ikut kajian, dan sebagainya. Setiap hari Minggu kami mengunjungi anak kami yang bersekolah di pesantren di daerah Karawang, sekitar satu jam perjalanan dari rumah kami.

Bukan kami tidak butuh banyak uang untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Kami ingin bisa segera melunasi cicilan rumah dan motor, bayar tagihan rutin bulanan, ingin punya dana buat renovasi rumah, pengen punya tabungan yang cukup buat pendidikan anak (kami ingin menyekolahkan  anak di tempat terbaik), kami juga pengen punya tabungan haji. Namun, waktu kebersamaan dengan keluarga, menemani anak, juga menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.


“Usia kanak-kanak kan hanya sebentar. Itu berarti masa bermain-main dengan mereka juga tidak lama, paling-paling hanya sampai sekolah dasar. Setelah itu mereka sudah punya dunia sendiri yang kadang tidak terlalu membutuhkan orang tua di sampingnya. Masak sih kita mau melewatkan masa-masa itu begitu saja hanya karena sibuk nyari uang. Masak untuk bermain dengan anak nunggu sampai punya banyak uang dan terpenuhi segala kebutuhan materi keluarga. Saat ingin bermain-main dengan anak-anak, tahu-tahu mereka sudah besar dan tidak mau bermain seperti anak kecil lagi. Saat itu kita sudah tidak bisa menimang mereka lagi.” Kata suami berdiskusi tentang prioritas kebutuhan saat ini.

Saya sangat setuju dengan prinsip suami. Hal ini pula yang membuat saya semakin kagum kepadanya. Bagi kami, anak adalah harta yang tidak ternilai harganya dan harus menjadi prioritas. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan materinya, tetapi juga kebutuhan psikologisnya. Mereka harus benar-benar bisa merasakan kehadiran kedua orang tuanya di hatinya, harus benar-benar merasakan perhatian dan kasih sayang kami.

“Keluarga itu prioritas. Kalau waktu habis buat nyari duit, kapan bermesraan sama istri? Masak mau bermesraan dengan istri aja nunggu nanti kalau sudah tua. Sudah jadi aki-aki dan nini-nini baru mesra-mesraan. Mana nikmatnya?” kata suami lagi.

Bagaimana pun kami sudah sangat bersyukur dengan kondisi kami. Meski banyak cicilan yang harus dipenuhi, tapi kami masih bisa makan layak, bisa punya rumah meski kondisinya sudah minta direnovasi di sana-sini, punya motor untuk memudahkan mobilitas kami, dan bisa menyekolahkan anak di tempat yang layak meski biayanya tidak sedikit. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahmân)

Tanpa mengurangi hormat kami kepada orang-orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja membanting tulang memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, kami salut dengan mereka. Namun, tidak sedikit orang yang kemudian lupa untuk memenuhi kebutuhan psikologis mereka. Sibuk mengejar “kesuksesan” dalam ukuran materi, tetapi kemudian sering mengabaikan kebutuhan lain, seperti kebersamaan dengan keluarga, kebutuhan untuk menuntut ilmu agama (mengikuti kajian), dan sebagainya.

Idealnya, kita bisa seimbang menikmati dan menjalani hidup. Saya jadi teringat dengan kisah yang banyak ditulis di internet tentang seorang nelayan dengan pengusaha. Cerita ini banyak ditulis dalam berbagai versi. Saya akan merangkum dengan versi saya.


Senja di pinggir sebuah pantai saat itu tampak begitu indah. Semburat merah jingga mentari di ujung pantai melukiskan keindahannya. Semilir angin lembut khas pantai menyentuh kulit seseorang yang sedang santai berlibur di pantai itu. Dia seorang pengusaha yang dibilang “sukses” di kotanya. “Bersantai” seperti itu baginya merupakan suatu hal yang “mewah” dan jarang didapatkan. Maklum, waktunya selama ini banyak dihabiskan untuk bekerja keras karena dia yakin bahwa kekayaan dan kesuksesan hanya dapat diperoleh dengan bekerja keras. Tiada hari tanpa bekerja.
Dia menyapu pandangannya ke seluruh penjuru pantai untuk menikmati keindahannya. Dia kemudian melihat seorang nelayan yang sedang duduk santai di atas kapal nelayan sambil menikmati pemandangan pantai. Terusik dengan kesantaian orang tersebut, pengusaha ini pun mendekatinya.
“Pak, mengapa bapak tidak melaut?” sapa pengusaha kepada nelayan itu.

“Saya sudah melaut semalam dan saya perlu beristirahat,” jawab nelayan singkat.

“Kalau bapak melaut lagi, Bapak akan menghasilkan banyak ikan sehingga Bapak bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah perahu. Dengan perahu itu. Bapak tidak perlu lagi menyetorkan sebagian keuntungan Bapak kepada pemilik perahu.”

“Lalu?” kata nelayan menyela.

“Bapak bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk membeli perahu kedua, perahu ketiga, perahu keempat, perahu kelima, dan seterusnya.”

“Lalu?”

“Jika perahu Bapak sudah banyak. Bapak bisa menyewakannya kepada nelayan lain sehingga Bapak tidak perlu lagi melaut.”

“Lalu?”

“Bapak bisa hidup tenang dan bersantai.”

Nelayan itu tersenyum dan berkata, “Menurut bapak, apa yang sedang saya lakukan sekarang?”

Nasihat pengusaha itu baik. Namun, apa yang dilakukan nelayan itu justru mengajarkan kita satu hal, HIDUP HARUS SEIMBANG.
Semoga kisah ini memberikan pencerahan bagi kita akan pentingnya keseimbangan hidup. Jangan sampai kita sibuk (yang biasanya untuk mengumpulkan pundi-pundi materi), tetapi kehilangan kenikmatan dan kebahagiaan yang seharusnya bisa dinikmati kapan pun, tidak harus menunggu kaya dan dibilang “sukses” oleh orang lain yang biasanya ukurannya hanya sebatas materi.

Terima kasih untuk suamiku yang mengajarkan aku untuk menikmati keseimbangan hidup. U are d’best. Aku bangga padamu. @

1 komentar:

  1. trima kasih atas postingannya bu...sangat bagus salam kenal..

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.