Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Agustus 16, 2011

Indahnya Hidup tanpa Mengomel



Kutatap wajah cintaku, kuberikan dia senyuman lalu kukecup keningnya.

“Mama kok tetap bisa tersenyum walaupun lagi nggak punya uang?” tanya suamiku, cintaku.

“Trus mo ngapain? Marah? Ngapain juga marah-marah, ngabisin energi. Rugi amat, udah nggak punya uang, marah-marah lagi. Mending tetap senyum,” jawabku enteng yang langsung disambut dengan pelukan oleh suami.

Setiap rumah tangga pasti pernah mengalami masa-masa sulit seperti yang sedang kami alami sekarang. Uang belanja menipis, tinggal Rp10.000. Pada saat yang sama, bensin motor suami juga sudah minta diisi, air mineral galon di rumah habis. Baru dua hari lagi kami kemungkinan mendapatkan suntikan dana tambahan. Dua bulan ini boleh dibilang kami harus menguras dana yang kami miliki untuk kebutuhan anak-anak. Untuk daftar ulang sekolah anak saja menghabiskan sekitar 2 jutaan, begitupun untuk acara liburan mereka. Maklum, kami mengajak anak-anak liburan di dua tempat, di Banyumas (kampung halamanku) dan di Jogja (kampung halaman suami). Untuk transportasi dari Bekasi ke kampung saja sudah cukup menguras dana, apalagi buat kebutuhan selama liburan di sana. Asal anak-anak senang kami pun turut senang karena bagi kami kebahagiaan anak-anak adalah prioritas. Masa kecil mereka tidak akan terulang, sedangkan kami baru bisa berkumpul bersama-sama hanya pada saat liburan. Jadi, berapa pun biayanya liburan bersama ini harus tetap kami jalani. Namun, risikonya ya seperti sekarang ini. Kami harus mengirit pengeluaran belanja setelahnya.
***

“Liat rumah berantakan kayak kapal pecah kok gak marah?” kata suamiku pada awal-awal pernikahan kami.

“Ngapain ngomel dan marah-marah. Kalo rumah berantakan ya tinggal dibersihin. Emang kalo ngomel-ngomel rumah bisa jadi bersih dan rapi?” jawabku sambil memberesi rumah.

“Bagus,” kata suami menyunggingkan senyum.

Pada awal menikah, kami memang masih tinggal berjauhan, saya di Bandung sedangkan suami di Bekasi. Saat weekend, kadang suami yang ke kosan saya di Bandung atau saya yang ke Bekasi. Jadi, otomatis saya belum bisa sepenuhnya mengurus rumah suami saya ini. Sedangkan suami, karena kesibukan kerja kantor juga tidak terlalu telaten untuk bersih-bersih rumah. Walhasil, begitu saya ke Bekasi sering mendapat sambutan kondisi rumah yang super kotor.

Mungkin, perempuan identik dengan “cerewet dan suka ngomel” kali, yah? Makanya suamiku aneh ngeliat istrinya ini malah nyante menyikapi kondisi rumah tangga kami yang bagi sebagian wanita dapat menaikkan sedikit emosinya.

Yah, saya hanya nggak mau dibuat pusing saja sama keadaan. Kalo soal materi, alhamdulillah saya sudah terbiasa hidup sederhana. Meskipun keluarga kami tidak terlalu kesulitan dari sisi ekonomi, tapi sedari kecil ibu saya sudah mengajarkan hidup sederhana kepada anak-anaknya. Jadi, saya tidak terlalu kaget atau stres menghadapi kondisi seperti ini. Tinggal bersabar sedikit apa salahnya. Masa sih, Allah akan menelantarkan hamba-Nya tanpa diberi makan? Di luar sana pasti banyak orang yang lebih sulit kondisinya dari kami.

Mungkin ada istri yang suka marah dengan suaminya ketika uang belanjanya kurang atau habis sebelum waktu gajian tiba. Menurut saya, marah dalam kondisi seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kita akan rugi sendiri dan hanya buang-buang energi. Bagi suami, hanya akan membuatnya stres sehingga sulit berpikir jernih. Intinya, marah dan ngomel sama sekali tidak memberikan dampak positif untuk memperbaiki keadaan. Daripada ngomel dan marah-marah, saya lebih suka mengingat perjuangan suami dalam mencari nafkah. Dia sudah menguras tenaga dan pikirannya di kantor demi menafkahi kami, istri dan anak-anaknya. Apalagi rumah kami jauh dari tempat kerjanya. Dia harus menempuh sekitar dua jam perjalanan untuk sampai ke kantornya. Pulang-pergi berarti memakan waktu empat jam setiap hari. Peluh dan lelah tidak dia pedulikan asal bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apa jadinya kalau saya sebagai istrinya malah marah-marah saat uang belanja kami habis sebelum waktunya? Padahal dia sudah menyerahkan semua uang gajinya kepada saya.

Sabar dan berpikir jernih, insya Allah ada jalan keluar yang mungkin tidak kita sangka-sangka datangnya. Saya yakin dengan hal itu. Seperti kondisi kami kemarin, meski akhirnya kami harus menjual barang yang mungkin tidak terpakai lagi di rumah, setidaknya bisa kami gunakan untuk menyambung hidup. Daripada barang itu teronggok mengotori dan menyempitkan ruangan, dijual ternyata malah lebih bermanfaat.

Salam penuh takzim buat para istri dan calon istri yang sedang berjuang untuk memberikan kebahagiaan bagi keluarga. Apa pun yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita, semoga kita tetap tidak kehilangan senyum termanis kita untuk keluarga. Percayalah, “ngomel” dan “marah-marah”─yang membuat perempuan dicap “cerewet”─tidak akan menyelesaikan masalah. Sepahit apa pun hidup yang kita alami, itulah cara kehidupan menyentuh kita. Saat manisnya hidup menyapa kita, berarti kehidupan sedang “mengelus” kita. Bila kepahitan yang menyapa maka berarti kehidupan sedang “mencubit” kita. Kebahagiaan/kesengsaraan hadir bukan bergantung pada “elusan” atau “cubitan” kehidupan, tetapi bergantung dari bagaimana cara kita menyikapinya. “Elusan kehidupan” akan terasa menyakitkan bila ada bisul di tubuh kita. Sebaliknya, “cubitan kehidupan” bisa jadi lebih terasa nikmat bila kita menyikapinya dengan penuh kearifan, kita anggap itulah cara kehidupan “mencandai” kita. Ayo, kita “candai” lagi kehidupan ini agar terasa lebih berwarna!

Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah anak-anak tetap bisa diajak menjadi baik.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita tetap bisa menyampaikan keinginan kita dengan baik kepada suami.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita tetap bisa memperbaiki keadaan rumah tangga kita.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita akan tampil menjadi ibu yang lebih bijaksana.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita bisa menjadi istri yang lebih disayang suami.

Bagi para suami yang memiliki istri yang kadung “cerewet”, bersabarlah. Ada baiknya kita mengambil hikmah dari kisah Khalifah Umar bin Khathab r.a.

Dikisahkan, suatu hari ada seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khathab r.a. Dia ingin mengadu pada khalifah karena tidak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel dan marah-marah. Cerewetnya melebihi istrinya. Akan tetapi, tidak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja sambil terus mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya, lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melaporkan istrinya kepada Umar.
          Apa yang membuat seorang Umar bin Khathab yang disegani kawan maupun lawan berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa dia hanya mendengarkan, padahal di luar sana dia selalu tegas kepada siapa pun?
          Saat Umar diam mendengarkan keluhan istrinya, ternyata dia sedang mencoba berempati kepada istrinya, “Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya,” ungkapnya.
          Menurut Umar, seorang istri telah berperan besar dalam lima hal: (1) istri telah berusaha membentengi suami dari api neraka (saat godaan syahwat menghampiri), (2) memelihara harta suami saat suami tidak berada di rumah, (3) menjaga penampilan suami, (4) mengasuh anak-anak, dan (5) menyediakan hidangan untuk keluarganya.
          Untuk segala kemurahan hati sang istri itulah Umar rela mendengarkan keluh kesah buah lelah istrinya. Umar lebih memilih untuk mengingat kebaikan-kebaikan istrinya daripada mencela kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah dia menasihati dengan cara yang baik, kadang malah dengan bercanda sehingga terhindar dari caci maki yang tidak terpuji. 

Semoga dengan meneladani sikap Umar bin Khathab ini, para suami bisa lebih bersabar menghadapi kecerewetan istri dan melihat sisi lain kelebihan istrinya. Dengan demikian, rumah tangga akan dilingkupi kedamaian dan tenteram. Apa jadinya kalau istri yang bertabiat cerewet dihadapi dengan emosional pula? Bisa terjadi perang dunia ketiga deh dalam rumah tangga kita.@

6 komentar:

  1. Anonim5:53 PM

    Indah sekali untaian kata-kata yang dituliskan...
    Semoga sy dapat menjadi isteri yang diidamkan suami..

    Amiin

    BalasHapus
  2. Anonim: Insya Allah, kalo kita berusaha akan tercapai keinginan kita. amiiin.

    BalasHapus
  3. Anonim12:53 PM

    marah atau ngomel bukan sesuatu yang dilarang. marah adalah energi. jangan dipendam. tak perlu ditahan-tahan. bahaya jika tertumpuk apalagi tertimbun. bikin sesek dada.

    bagusnya disalurkan. caranya? ini yang perlu dilatih. seiring usia bertambah "seharusnya" penyaluran semakin bijak. biarkan segala sesuatu berkembang sesuai masanya.

    BalasHapus
  4. suka duka, asam garam dan manisnya berumah tangga pastilah disisipi dengan perselisihan dan pertengkaran kecil... kecerewetan ibu atawa istri atau kemarahan suami atau ayah, adalah bentuk kepedulian dan sayang juga.
    Salam,

    BalasHapus
  5. enda kuku....................keren.

    BalasHapus
  6. Pak Tio, akhirnya nongol n komen juga di blog-ku. makasih yah.....

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.