"Dasar anak haram, haram jaddah...pantesan kamu jadi
anak nakal!” begitu umpat teman-teman Soleh saat sedang marah dengannya.
Soleh yang tidak terima dirinya dihina seperti itu
langsung emosi. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian di antara
mereka. Soleh yang saat itu baru berumur 12 tahun dan memiliki tubuh paling
kecil sering kalah tanding saat berkelahi. Ujung-ujungnya nangis lalu keluar
rumah sambil membanting pintu.
”Astaghfirullah!” aku mengelus dada mendengar suara pintu dibanting sangat
keras.
Bisa-bisa gak nyampe sebulan pintu rusak.
Perkelahian seperti itu hampir selalu terjadi setiap
hari. Soleh sering memulai pertengkaran dan dia pula yang akhirnya nangis. Hampir
sport jantung rasanya menghadapi tingkahnya. Namun, bagaimana pun dia adalah
anak yang berhak mendapat kasih sayang selayaknya anak-anak lain. Bahkan, bisa
jadi dia membutuhkan kasih sayang dan perhatian lebih dibanding anak-anak lain
yang manis dan penurut. Pada anak-anak manis, orang akan mudah jatuh hati dan
menyayanginya, tapi bagi anak seperti Soleh mungkin hanya sedikit yang mau
peduli dan memperhatikannya. Karena itulah saya memberikan perhatian lebih pada
anak ini. Imbasnya, anak-anak jalanan lain binaan saya seperti merasa cemburu.
Pernah suatu ketika pengurus lain menegur saya karena
terlalu perhatian kepada Soleh, apalagi hingga membuat Soleh seolah memiliki
perasaan lain kepada saya. Soleh pernah membuat surat yang ditujukan untuk
saya. Dia memperlihatkan surat itu kepada hampir semua pengurus anjal cowok.
Surat itu disimpan rapi dalam sebuah amplop tertutup. Setiap ingin
memperlihatkan isi surat itu kepada pengurus cowok, amplop yang sudah dilem itu
dia buka. Otomatis dia harus mengganti amplop hingga beberapa kali karena rusak
oleh sobekannya.
”Teh, hati-hati bersikap sama Soleh. Jangan terlalu
perhatian.” kata salah satu pengurus anjal cowok.
”Memangnya kenapa? Perasaan saya menyikapinya biasa-biasa
saja.” jawab saya enteng.
”Iya, Teteh sih biasa-biasa saja, tapi dia menyikapinya
dengan luar biasa.”
Entah apa isi suratnya itu. Konon ceritanya berisi
tentang keinginannya untuk menganggap saya sebagai kakaknya. Bukankah itu wajar?
Seorang yang jauh lebih muda menganggap yang lebih tua sebagai kakaknya.
Entahlah.
Pada hari lain, Soleh diledek oleh salah satu pengurus
anjal cowok.
”Eh, Teh Indah kan pacar Aa.” Kata pengurus itu sekadar
ingin tahu reaksi Soleh.
Solah langsung menendang dan memukul dia. Untung dia bisa
refleks menghindari tendangannya. Entah apa yang ada dalam hatinya, cemburukah?
Soleh, anjal yang satu ini memang sangat agresif, kalau
tidak dibilang nakal. Sifatnya temperamental, gampang merasa sedih dan nangis,
apalagi kalau lagi curhat. Dia juga gampang marah, pemberang dan seolah di
hatinya menyimpan dendam yang terpendam, entah pada siapa. Ada satu pertanyaan
yang mengganjal di benakku. Benarkah kalau kelahirannya tidak diharapkan oleh
orang tuanya? Benarkah dia anak yang lahir di luar nikah? Lalu, siapa orang tua
yang selama ini mengasuhnya?
***
Siang itu, seperti biasa aku mulai mencari alamat rumah anak-anak jalanan
binaan kami. Hari ini giliran rumah Soleh. Rumahnya berada di belakang sebuah
sungai besar. Rumahnya panggung berdinding gedeg bambu berukuran 6 x 9
m. Ada sekitar enam rumah lain yang sejenis, tempatnya terpisah beberapa meter
dari rumah-rumah gedung yang lain. Seperti sebuah komunitas girli alias pinggir
kali.
Saya disambut oleh perempuan paruh baya yang tampak lebih
tua dari usia sebenarnya, seolah menanggung beban hidup yang begitu berat. Aku
menyalaminya, ”Saya pengurus yayasan tampat Soleh biasa menginap di panti kami,”
aku memperkenalkan diri kepada ibunya Soleh.
Rumah itu tampak sepi, hanya ibu dan seorang anak
perempuan berusia 5 tahunan. Aku pun menyatakan maksud kedatanganku untuk
mencari data-data tentang Soleh. Bu Ijah, sebuat saja begitu, mulai bercerita
tentang diri Soleh.
”Sebenarnya Soleh itu bukan anak kandung saya, Teh.”
Aku sempat kaget mendengar pernyataannya.
”Suami saya yang
membawa Soleh ke rumah sama ibu kandungnya.” kata Bu Ijah memulai cerita.
Dengan senyum kecil dan wajah tersipu dia meneruskan
ceritanya, ”Saya sempat mau marah karena cemburu, kirain suami saya punya
wanita simpanan dan sudah menghamili perempuan itu. Setelah suami saya menjelaskan semua kisahnya, saya jadi kasihan sama
perempuan itu.”
Kisah kehidupan Soleh pun mulai mengalir dari lisan Bu
Ijah dengan lancar.
Bapak angkat Soleh saat itu masih menjadi penarik becak
di depan RS. Hasan Sadikin. Malam hari saat penumpang sepi, datang perempuan
muda masih mengenakan baju seragam SMA. Dia menggendong barang, entah apa. Darah di rok abu-abunya
kelihatan telah menghitam hampir merata di bagian pantatnya. Perempuan itu mendatengi
Pak Salim, suami Bu
Ijah, sambil menyerahkan barang yang ada di gendongannya. Ternyata bayi yang
masih berlumuran darah segar, sangat kecil seukuran lengan tangan orang dewasa.
Rupanya bayi itu lahir sebelum waktunya atau prematur. Perempuan muda yang
terpaksa menjadi ibu ini meminta Pak Salim agar mau memelihara anaknya. Dia berjanji
tidak akan menuntut bayaran asal mau merawat anaknya. Pak Salim pun jatuh kasihan dan menerima bayi itu.
Melihat kondisi perempuan muda di depannya yang tampak lemah dan pucat, dia
mengajaknya untuk ke rumahnya, siapa tahu dia butuh bantuan. Setelah sampai di
rumah, perempuan muda itu pingsan karena kehilangan banyak darah. Pak Salim
sampai harus mengundang bidan untuk mengobatinya di rumah. Karena kondisinya
butuh penanganan medis lebih lanjut, mereka membawa perempuan itu ke rumah
sakit. Dia sampai kritis dan membutuhkan transfusi darah. Sedangkan bayi Soleh
harus dirawat di inkubator.
Cerita Bu Ijah pun terus mengalir, tentang ibu kandung Soleh
yang hamil di luar nikah dan ditinggal pacarnya tanpa tanggung jawab sampai
akhirnya Soleh dipelihara dan dianggap anak kandungnya sendiri. Mereka bahkan
harus menanggung semua biaya pengobatan Soleh dan ibunya selama di rumah sakit.
Pasahal kondisi ekonomi mereka sangat kekurangan. Mereka sampai harus berhutang
kesana ke mari untuk menutupinya. Meski bukan anak kandung, Pak Salim sangat
menyayangi Soleh. Namun, kondisi ekonomi memaksa mereka membiarkan Soleh hidup
di jalanan.
***
Saya tahu, tidak mudah menjadi pengurus sekaligus pendamping
anak-anak jalanan di panti ini. Biasanya, yayasan atau perseorangan mengurus
anak jalanan (anjal) dilakukan langsung di jalanan (pendampingan) atau di rumah
singgah sebagai tahap pembelajaran bagi mereka untuk lebih menyintai tinggal di
rumah. Sedangkan membuat panti bagi anjal bisa jadi sebuah alternatif
penanganan yang baru dirintis di Indonesia, satu-satunya ya di panti tempat aku
mengurus anjal ini. Saya yang sebelumnya tidak pernah secara intens mengurus
anjal ini─baik dengan cara pendampingan di jalanan maupun di rumah singgah─jelas
merasa sedikit kewalahan. Apalagi langsung dengan sistim ”panti” yang
mengharuskan mereka tinggal di rumah setiap hari, satu hal yang jauh berbeda
dengan kehidupan jalanan yang selama ini mereka jalani. Untungnya kebanyakan
dari mereka pernah ditangani oleh yayasan lain, baik dengan pendampingan maupun
di rumah singgah sehingga sudah sedikit familiar dengan tinggal di rumah.
Tugas menangani anak jalanan sepertinya memang merupakan
pekerjaan rumah yang tidak akan pernah selesai. Apalagi pascakrismon beberapa
tahun lalu, ditambah lagi dengan dunia politik yang makin semrawut,
jumlah anak jalanan akan semakin bertambah. Jadi, yang saya lakukan mungkin
ibarat titik di atas kertas kosong. Kecil dan tidak berarti. Namun, minimalnya
bisa mengurangi jumlah ataupun efek negatif dari kehadiran anak jalanan. Walaupun
hanya sedikit. Kisah Soleh hanya satu dari sekian duka anak jalanan. Saya
sering teringat dengan anak-anak jalanan binaaku dulu saat mendengar alunan
nasyid Alif Kecil-nya SNADA
Ya Allah...tunjukkan jalan-Mu pada si Alif kecil.
Agar ia dapat menahan
cobaan dan rintangan
Yang datang menghadang
Ya Allah..curahkan kasih pada si Alif kecil
Agar ia terbebas dari tirani
Menuju cahaya Ilahi
Sepuluh tahun sudah berlalu. Entah seperti apa kehidupan
Soleh kini. Terbayang wajah kecilnya sepuluh tahun lalu; wajah bulat berhidung
pesek, berambut hitam kemerahan karena terik dan berkulit gelap, tapi tetap
tampak manis dengan senyum kepolosannya. Saat seperti itu dia tampak tidak beda
dengan anak-anak lain, polos dan lugu. Aku seolah tidak percaya kalau dia
menyimpan kisah kehidupan yang begitu tragis. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untaian kata darimu selalu kunantikan.