Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Oktober 22, 2013

Solehku Sayang, Solehku Malang


 
"Dasar anak haram, haram jaddah...pantesan kamu jadi anak nakal!” begitu umpat teman-teman Soleh saat sedang marah dengannya.
Soleh yang tidak terima dirinya dihina seperti itu langsung emosi. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian di antara mereka. Soleh yang saat itu baru berumur 12 tahun dan memiliki tubuh paling kecil sering kalah tanding saat berkelahi. Ujung-ujungnya nangis lalu keluar rumah sambil membanting pintu.
”Astaghfirullah!” aku mengelus dada mendengar suara pintu dibanting sangat keras.
Bisa-bisa gak nyampe sebulan pintu rusak.
Perkelahian seperti itu hampir selalu terjadi setiap hari. Soleh sering memulai pertengkaran dan dia pula yang akhirnya nangis. Hampir sport jantung rasanya menghadapi tingkahnya. Namun, bagaimana pun dia adalah anak yang berhak mendapat kasih sayang selayaknya anak-anak lain. Bahkan, bisa jadi dia membutuhkan kasih sayang dan perhatian lebih dibanding anak-anak lain yang manis dan penurut. Pada anak-anak manis, orang akan mudah jatuh hati dan menyayanginya, tapi bagi anak seperti Soleh mungkin hanya sedikit yang mau peduli dan memperhatikannya. Karena itulah saya memberikan perhatian lebih pada anak ini. Imbasnya, anak-anak jalanan lain binaan saya seperti merasa cemburu.
Pernah suatu ketika pengurus lain menegur saya karena terlalu perhatian kepada Soleh, apalagi hingga membuat Soleh seolah memiliki perasaan lain kepada saya. Soleh pernah membuat surat yang ditujukan untuk saya. Dia memperlihatkan surat itu kepada hampir semua pengurus anjal cowok. Surat itu disimpan rapi dalam sebuah amplop tertutup. Setiap ingin memperlihatkan isi surat itu kepada pengurus cowok, amplop yang sudah dilem itu dia buka. Otomatis dia harus mengganti amplop hingga beberapa kali karena rusak oleh sobekannya.
”Teh, hati-hati bersikap sama Soleh. Jangan terlalu perhatian.” kata salah satu pengurus anjal cowok.
”Memangnya kenapa? Perasaan saya menyikapinya biasa-biasa saja.” jawab saya enteng.
”Iya, Teteh sih biasa-biasa saja, tapi dia menyikapinya dengan luar biasa.”
Entah apa isi suratnya itu. Konon ceritanya berisi tentang keinginannya untuk menganggap saya sebagai kakaknya. Bukankah itu wajar? Seorang yang jauh lebih muda menganggap yang lebih tua sebagai kakaknya. Entahlah.
Pada hari lain, Soleh diledek oleh salah satu pengurus anjal cowok.
”Eh, Teh Indah kan pacar Aa.” Kata pengurus itu sekadar ingin tahu reaksi Soleh.
Solah langsung menendang dan memukul dia. Untung dia bisa refleks menghindari tendangannya. Entah apa yang ada dalam hatinya, cemburukah?
Soleh, anjal yang satu ini memang sangat agresif, kalau tidak dibilang nakal. Sifatnya temperamental, gampang merasa sedih dan nangis, apalagi kalau lagi curhat. Dia juga gampang marah, pemberang dan seolah di hatinya menyimpan dendam yang terpendam, entah pada siapa. Ada satu pertanyaan yang mengganjal di benakku. Benarkah kalau kelahirannya tidak diharapkan oleh orang tuanya? Benarkah dia anak yang lahir di luar nikah? Lalu, siapa orang tua yang selama ini mengasuhnya?
***
Siang itu, seperti biasa aku mulai mencari alamat rumah anak-anak jalanan binaan kami. Hari ini giliran rumah Soleh. Rumahnya berada di belakang sebuah sungai besar. Rumahnya panggung berdinding gedeg bambu berukuran 6 x 9 m. Ada sekitar enam rumah lain yang sejenis, tempatnya terpisah beberapa meter dari rumah-rumah gedung yang lain. Seperti sebuah komunitas girli alias pinggir kali.
Saya disambut oleh perempuan paruh baya yang tampak lebih tua dari usia sebenarnya, seolah menanggung beban hidup yang begitu berat. Aku menyalaminya, ”Saya pengurus yayasan tampat Soleh biasa menginap di panti kami,” aku memperkenalkan diri kepada ibunya Soleh.
Rumah itu tampak sepi, hanya ibu dan seorang anak perempuan berusia 5 tahunan. Aku pun menyatakan maksud kedatanganku untuk mencari data-data tentang Soleh. Bu Ijah, sebuat saja begitu, mulai bercerita tentang diri Soleh.
”Sebenarnya Soleh itu bukan anak kandung saya, Teh.”
Aku sempat kaget mendengar pernyataannya.
Suami saya yang membawa Soleh ke rumah sama ibu kandungnya.” kata Bu Ijah memulai cerita.
Dengan senyum kecil dan wajah tersipu dia meneruskan ceritanya, ”Saya sempat mau marah karena cemburu, kirain suami saya punya wanita simpanan dan sudah menghamili perempuan itu. Setelah suami saya menjelaskan semua kisahnya, saya jadi kasihan sama perempuan itu.”
Kisah kehidupan Soleh pun mulai mengalir dari lisan Bu Ijah dengan lancar.
Bapak angkat Soleh saat itu masih menjadi penarik becak di depan RS. Hasan Sadikin. Malam hari saat penumpang sepi, datang perempuan muda masih mengenakan baju seragam SMA. Dia menggendong barang, entah apa. Darah di rok abu-abunya kelihatan telah menghitam hampir merata di bagian pantatnya. Perempuan itu mendatengi Pak Salim, suami Bu Ijah, sambil menyerahkan barang yang ada di gendongannya. Ternyata bayi yang masih berlumuran darah segar, sangat kecil seukuran lengan tangan orang dewasa. Rupanya bayi itu lahir sebelum waktunya atau prematur. Perempuan muda yang terpaksa menjadi ibu ini meminta Pak Salim agar mau memelihara anaknya. Dia berjanji tidak akan menuntut bayaran asal mau merawat anaknya. Pak Salim pun jatuh kasihan dan menerima bayi itu. Melihat kondisi perempuan muda di depannya yang tampak lemah dan pucat, dia mengajaknya untuk ke rumahnya, siapa tahu dia butuh bantuan. Setelah sampai di rumah, perempuan muda itu pingsan karena kehilangan banyak darah. Pak Salim sampai harus mengundang bidan untuk mengobatinya di rumah. Karena kondisinya butuh penanganan medis lebih lanjut, mereka membawa perempuan itu ke rumah sakit. Dia sampai kritis dan membutuhkan transfusi darah. Sedangkan bayi Soleh harus dirawat di inkubator.
Cerita Bu Ijah pun terus mengalir, tentang ibu kandung Soleh yang hamil di luar nikah dan ditinggal pacarnya tanpa tanggung jawab sampai akhirnya Soleh dipelihara dan dianggap anak kandungnya sendiri. Mereka bahkan harus menanggung semua biaya pengobatan Soleh dan ibunya selama di rumah sakit. Pasahal kondisi ekonomi mereka sangat kekurangan. Mereka sampai harus berhutang kesana ke mari untuk menutupinya. Meski bukan anak kandung, Pak Salim sangat menyayangi Soleh. Namun, kondisi ekonomi memaksa mereka membiarkan Soleh hidup di jalanan.
***
Saya tahu, tidak mudah menjadi pengurus sekaligus pendamping anak-anak jalanan di panti ini. Biasanya, yayasan atau perseorangan mengurus anak jalanan (anjal) dilakukan langsung di jalanan (pendampingan) atau di rumah singgah sebagai tahap pembelajaran bagi mereka untuk lebih menyintai tinggal di rumah. Sedangkan membuat panti bagi anjal bisa jadi sebuah alternatif penanganan yang baru dirintis di Indonesia, satu-satunya ya di panti tempat aku mengurus anjal ini. Saya yang sebelumnya tidak pernah secara intens mengurus anjal ini─baik dengan cara pendampingan di jalanan maupun di rumah singgah─jelas merasa sedikit kewalahan. Apalagi langsung dengan sistim ”panti” yang mengharuskan mereka tinggal di rumah setiap hari, satu hal yang jauh berbeda dengan kehidupan jalanan yang selama ini mereka jalani. Untungnya kebanyakan dari mereka pernah ditangani oleh yayasan lain, baik dengan pendampingan maupun di rumah singgah sehingga sudah sedikit familiar dengan tinggal di rumah.
Tugas menangani anak jalanan sepertinya memang merupakan pekerjaan rumah yang tidak akan pernah selesai. Apalagi pascakrismon beberapa tahun lalu, ditambah lagi dengan dunia politik yang makin semrawut, jumlah anak jalanan akan semakin bertambah. Jadi, yang saya lakukan mungkin ibarat titik di atas kertas kosong. Kecil dan tidak berarti. Namun, minimalnya bisa mengurangi jumlah ataupun efek negatif dari kehadiran anak jalanan. Walaupun hanya sedikit. Kisah Soleh hanya satu dari sekian duka anak jalanan. Saya sering teringat dengan anak-anak jalanan binaaku dulu saat mendengar alunan nasyid Alif Kecil-nya SNADA

Ya Allah...tunjukkan jalan-Mu pada si Alif  kecil.
Agar ia dapat menahan  cobaan dan rintangan
Yang datang menghadang
Ya Allah..curahkan kasih pada si Alif kecil
Agar ia terbebas dari tirani
Menuju cahaya Ilahi

Sepuluh tahun sudah berlalu. Entah seperti apa kehidupan Soleh kini. Terbayang wajah kecilnya sepuluh tahun lalu; wajah bulat berhidung pesek, berambut hitam kemerahan karena terik dan berkulit gelap, tapi tetap tampak manis dengan senyum kepolosannya. Saat seperti itu dia tampak tidak beda dengan anak-anak lain, polos dan lugu. Aku seolah tidak percaya kalau dia menyimpan kisah kehidupan yang begitu tragis. @

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untaian kata darimu selalu kunantikan.