Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Oktober 22, 2013

Kulihat Pesona Bidadari di Wajahnya


Bidadari yang kusebut ini bukan seorang dengan wajah jelita, berkulit putih, berambut hitam panjang terurai. Hatinya yang penuh kelembutan, ramah, sederhana, memiliki kepedulian besar terhadap sesama meski kondisi ekonominya sendiri serba kekurangan membuat pesonanya begitu indah di mataku. Saya menyebut dirinya “Siti Hajar Modern”, seperti yang pernah saya tulis dalam buku Extraordinary Wives: Kisah para Istri Biasa yang Berhati Luar Biasa.


Siti Hajar, seperti kita ketahui dari sejarah adalah seorang budak berkulit hitam. Ketika menikah dengan Nabi Ibrahim as. dan memiliki anak malah ditinggalkan oleh suaminya di sebuah tempat yang tandus tanpa makanan dan minuman. Dia harus bisa survive bersama anaknya yang ketika dewasa menjadi seorang nabi Allah.

Tidak jauh berbeda dengan Kusminah, wanita yang kusebut “Siti Hajar Modern” dan berhati bidadari ini, merantau ke Bandung dan menjadi pembantu rumah tangga. Bersyukur, majikan tempatnya bekerja memberinya kesempatan untuk mengaji di sebuah pesantren yang dekat dengan rumah majikannya. Dari sanalah ilmu agamanya terus bertambah hingga akhirnya dia mengenakan jilbab dan rajin beribadah.
Suatu hari, pemimpin pesantren tempat biasa dia mengaji mengumumkan kepada jamaahnya bahwa ada seorang ikhwan yang siap menikah meski kondisi fisiknya memiliki keterbatasan. Sejak kecil dia menderita polio yang menyebabkannya tidak bisa berjalan normal kecuali merangkak. Kedua tangannya pun tidak bisa digerakkan secara sempurna sehingga nyaris tidak bisa melakukan aktifitas berarti. Dia tidak pernah mengenal bangku sekolah, selain karena kondisi fisik juga karena kondisi ekonomi yang serba kekurangan. Maklum, dia hanya tinggal bersama ibu kandung yang pekerjaannya serabutan. Kini, usia ibunya semakin senja dan sakit-sakitan. Karena itu, Ato, begitu nama ikhwan tersebut, mencari istri agar ada mengurusnya kelak jika ibunya meninggal dunia.

Kusminah pun tergerak hatinya untuk mengajukan diri sebagai istri Ato. Dia tahu risikonya, bahwa ketika menikahi Ato maka dia harus siap menghidupi dirinya sendiri, bahkan menghidupi suami dan anak-anaknya kelak. Namun, dia yakin Allah akan memberikan rizkinya secara adil kepada semua hamba-Nya, termasuk pada keluarganya kelak jika menikahi Ato. Dengan tekad kuat, dia mendatangi istri pemimpin pesantren tersebut dan menyatakan siap menikahi Ato.

Singkat cerita, pernikahan Ato-Kusminah pun berlangsung di rumah pemimpin pesantren tersebut. Semua biaya pernikahan ditanggung oleh pemimpin pesantren. Sebuah pernikahan yang mengharu biru. Hampir semua yang hadir dalam walimah pernikahan mereka menangis haru. Setahun kemudian, anak lelaki pertama mereka lahir melengkapi kebahagiaan mereka. beberapa bulan setelahnya, ibu mertuanya meninggal dunia.

Subhanallah. Mendengar kisah hidup dan perjuangan Ato dan Kusminah saja cukup menguras air mata. Seperti Siji Hajar, Kusminah pun harus hidup dalam keterbatasan ekonomi ketika menikah, bahkan harus siap mencari ma’isyah sendiri. Dia harus menjadi istri, menjadi ibu bagi anaknya, sekaligus memegang peran ayah sebagai pencari nafkah keluarga. Namun, ada keistimewaan lain dari sosok Kusminah ini. Meski mereka berada dalam kondisi ekonomi serba kekurangan, dia tidak pernah lupa menyisihkan hartanya untuk beramal, bahkan dia masih sempat memperhatikan tetangga-tetangganya yang kekurangan. Seperti saat lebaran Idul Adha beberapa tahun lalu, dia sibuk mencari daging kurban dari beberapa tempat penyembelihan kurban. Begitu sudah terkumpul banyak, ternyata tidak dimakan sendiri bersama keluarga, tetapi dia berkeliling ke tetangga-tetangganya mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang belum mendapat bagian daging kurban lalu membagikan daging yang didapatnya.

“Saya kan belum bisa berkurban sendiri. Jadi berkurbannya dengan cara seperti ini.” Ucapnya singkat. Sebuah alasan sederhana, tetapi mengena.

Dengan keterbatasan ekonomi dan ilmu agama yang dimiliki, dia berusaha beramal semampunya. Hidup dalam kondisi ekonomi serba kekurangan memang sudah lekat dengan hidupnya sejak kecil. Lahir dari keluarga yang boleh dibilang miskin membuatnya harus siap menikmati pendidikan hingga sekolah dasar. Ketika merantau dan bekerja di Bandung, uang hasil kerjanya pun tidak dia nikmati sendiri, tapi untuk menyekolahkan adik-adiknya di kampung. Sepertinya, hidup baginya adalah untuk berbagi dengan orang lain. Tidak pernah lekang keinginannya untuk berbagi dengan orang lain. Seperti ketika dia mendapatkan banyak uang bantuan dari santri-santri pesantren tempat dia biasa ngaji. Ceritanya, dia yang waktu itu akan mudik pulang kampung berpamitan kepada seluruh santri yang sedang melakukan kajian rutin di pesantren. Lalu, kiyainya memberi kesempatan ladang amal kepada seluruh santri untuk memberi bekal bagi dia sekelurga untuk mudik. Terkumpullah uang beberapa juta dari para santri. Uang itu sangat cukup untuk pulang-balik mudik ke kampungnya, bahkan lebih banyak. Ketika saya tanya untuk apa sisa uangnya, dia bilang untuk membeli vakum cleaner di masjid dekat rumahnya.

“Soalnya di masjid dekat rumah belum punya vakum cleaner,” kata dia beralasan. “Sisanya baru buat tabungan sekolah anak saya dan makan sehari-hari,” tambahnya.

Subhanallah. Sekali lagi saya berdecak kagum dengan dirinya. Keputusannya untuk siap menikahi Ato, pria dengan kondisi fisik serba terbatas ini saja sungguh suatu keputusan berani. Hanya perempuan bermental baja yang sanggup melakukannya. Apalagi dengan kemampuannya untuk berbagi dalam kondisi serba kekurangan. Penghasilan warung  kecil di rumahnya tidaklah seberapa. Mungkin hanya cukup untuk makan sehari-hari. Namun, ketika dia mendapat bantuan dana lebih malah dia gunakan untuk amal, bukan untuk kebutuhan diri dan keluarganya sendiri.

Ketika saya tanya apa yang dia cari dalam pernikahan seperti yang dia jalani, dia menjawab singkat, “Saya cuma ingin menjadi bidadari syurga.” Subhanallah. Takmampu aku menggambarkan bagaimana kekagumanku sekali lagi untuknya. Yah, dia pantas menjadi bidadari meski berkulit hitam seperti Siti Hajar. Kecil, lincah, dan murah senyum. Itulah gambaran diri Kusminah. Namun, dalam dirinya kutemukan sosok berhati bidadari. Hati yang selalu siap berbagi, memberi tanpa pernah berharap kembali. Seperti mentari yang menyinari dunia ini. Dia bisa jadi masuk dalam kategori “dhuafa” dan layak mendapatkan santunan, tetapi hatinya sama sekali bukan termasuk golongan ini. Hatinya bisa jadi “lebih kaya” dari orang yang memiliki banyak harta. (Indah)@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untaian kata darimu selalu kunantikan.