Siti
Hajar, seperti kita ketahui dari sejarah adalah seorang budak berkulit hitam. Ketika
menikah dengan Nabi Ibrahim as. dan memiliki anak malah ditinggalkan oleh suaminya di sebuah tempat yang
tandus tanpa makanan dan minuman. Dia harus bisa survive bersama anaknya yang ketika dewasa menjadi seorang nabi
Allah.
Tidak
jauh berbeda dengan Kusminah, wanita yang kusebut “Siti Hajar Modern” dan
berhati bidadari ini, merantau ke Bandung dan menjadi pembantu rumah tangga.
Bersyukur, majikan tempatnya bekerja memberinya kesempatan untuk mengaji di
sebuah pesantren yang dekat dengan rumah majikannya. Dari sanalah ilmu agamanya
terus bertambah hingga akhirnya dia mengenakan jilbab dan rajin beribadah.
Suatu
hari, pemimpin pesantren tempat biasa dia mengaji mengumumkan kepada jamaahnya
bahwa ada seorang ikhwan yang siap menikah meski kondisi fisiknya memiliki
keterbatasan. Sejak kecil dia menderita polio yang menyebabkannya tidak bisa berjalan
normal kecuali merangkak. Kedua tangannya pun tidak bisa digerakkan secara
sempurna sehingga nyaris tidak bisa melakukan aktifitas berarti. Dia tidak
pernah mengenal bangku sekolah, selain karena kondisi fisik juga karena kondisi
ekonomi yang serba kekurangan. Maklum, dia hanya tinggal bersama ibu kandung
yang pekerjaannya serabutan. Kini, usia ibunya semakin senja dan sakit-sakitan.
Karena itu, Ato, begitu nama ikhwan tersebut, mencari istri agar ada
mengurusnya kelak jika ibunya meninggal dunia.
Kusminah
pun tergerak hatinya untuk mengajukan diri sebagai istri Ato. Dia tahu
risikonya, bahwa ketika menikahi Ato maka dia harus siap menghidupi dirinya
sendiri, bahkan menghidupi suami dan anak-anaknya kelak. Namun, dia yakin Allah
akan memberikan rizkinya secara adil kepada semua hamba-Nya, termasuk pada
keluarganya kelak jika menikahi Ato. Dengan tekad kuat, dia mendatangi istri
pemimpin pesantren tersebut dan menyatakan siap menikahi Ato.
Singkat
cerita, pernikahan Ato-Kusminah pun berlangsung di rumah pemimpin pesantren
tersebut. Semua biaya pernikahan ditanggung oleh pemimpin pesantren. Sebuah
pernikahan yang mengharu biru. Hampir semua yang hadir dalam walimah pernikahan
mereka menangis haru. Setahun kemudian, anak lelaki pertama mereka lahir melengkapi
kebahagiaan mereka. beberapa bulan setelahnya, ibu mertuanya meninggal dunia.
Subhanallah.
Mendengar kisah hidup dan perjuangan Ato dan Kusminah saja cukup menguras air
mata. Seperti Siji Hajar, Kusminah pun harus hidup dalam keterbatasan ekonomi ketika
menikah, bahkan harus siap mencari ma’isyah sendiri. Dia harus menjadi istri,
menjadi ibu bagi anaknya, sekaligus memegang peran ayah sebagai pencari nafkah
keluarga. Namun, ada keistimewaan lain dari sosok Kusminah ini. Meski mereka
berada dalam kondisi ekonomi serba kekurangan, dia tidak pernah lupa
menyisihkan hartanya untuk beramal, bahkan dia masih sempat memperhatikan
tetangga-tetangganya yang kekurangan. Seperti saat lebaran Idul Adha beberapa
tahun lalu, dia sibuk mencari daging kurban dari beberapa tempat penyembelihan
kurban. Begitu sudah terkumpul banyak, ternyata tidak dimakan sendiri bersama
keluarga, tetapi dia berkeliling ke tetangga-tetangganya mencari kalau-kalau di
antara mereka ada yang belum mendapat bagian daging kurban lalu membagikan
daging yang didapatnya.
“Saya
kan belum bisa berkurban sendiri. Jadi berkurbannya dengan cara seperti ini.”
Ucapnya singkat. Sebuah alasan sederhana, tetapi mengena.
Dengan
keterbatasan ekonomi dan ilmu agama yang dimiliki, dia berusaha beramal semampunya.
Hidup dalam kondisi ekonomi serba kekurangan memang sudah lekat dengan hidupnya
sejak kecil. Lahir dari keluarga yang boleh dibilang miskin membuatnya harus
siap menikmati pendidikan hingga sekolah dasar. Ketika merantau dan bekerja di
Bandung, uang hasil kerjanya pun tidak dia nikmati sendiri, tapi untuk
menyekolahkan adik-adiknya di kampung. Sepertinya, hidup baginya adalah untuk
berbagi dengan orang lain. Tidak pernah lekang keinginannya untuk berbagi
dengan orang lain. Seperti ketika dia mendapatkan banyak uang bantuan dari
santri-santri pesantren tempat dia biasa ngaji. Ceritanya, dia yang waktu itu
akan mudik pulang kampung berpamitan kepada seluruh santri yang sedang
melakukan kajian rutin di pesantren. Lalu, kiyainya memberi kesempatan ladang
amal kepada seluruh santri untuk memberi bekal bagi dia sekelurga untuk mudik.
Terkumpullah uang beberapa juta dari para santri. Uang itu sangat cukup untuk
pulang-balik mudik ke kampungnya, bahkan lebih banyak. Ketika saya tanya untuk
apa sisa uangnya, dia bilang untuk membeli vakum
cleaner di masjid dekat rumahnya.
“Soalnya
di masjid dekat rumah belum punya vakum
cleaner,” kata dia beralasan. “Sisanya baru buat tabungan sekolah anak saya
dan makan sehari-hari,” tambahnya.
Subhanallah.
Sekali lagi saya berdecak kagum dengan dirinya. Keputusannya untuk siap
menikahi Ato, pria dengan kondisi fisik serba terbatas ini saja sungguh suatu
keputusan berani. Hanya perempuan bermental baja yang sanggup melakukannya.
Apalagi dengan kemampuannya untuk berbagi dalam kondisi serba kekurangan.
Penghasilan warung kecil di rumahnya
tidaklah seberapa. Mungkin hanya cukup untuk makan sehari-hari. Namun, ketika
dia mendapat bantuan dana lebih malah dia gunakan untuk amal, bukan untuk
kebutuhan diri dan keluarganya sendiri.
Ketika
saya tanya apa yang dia cari dalam pernikahan seperti yang dia jalani, dia
menjawab singkat, “Saya cuma ingin
menjadi bidadari syurga.” Subhanallah.
Takmampu aku menggambarkan bagaimana kekagumanku sekali lagi untuknya. Yah, dia
pantas menjadi bidadari meski berkulit hitam seperti Siti Hajar. Kecil, lincah,
dan murah senyum. Itulah gambaran diri Kusminah. Namun, dalam dirinya kutemukan
sosok berhati bidadari. Hati yang selalu siap berbagi, memberi tanpa pernah
berharap kembali. Seperti mentari yang menyinari dunia ini. Dia bisa jadi masuk
dalam kategori “dhuafa” dan layak mendapatkan santunan, tetapi hatinya sama
sekali bukan termasuk golongan ini. Hatinya bisa jadi “lebih kaya” dari orang
yang memiliki banyak harta. (Indah)@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untaian kata darimu selalu kunantikan.