Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Agustus 16, 2011

Indahnya Hidup tanpa Mengomel



Kutatap wajah cintaku, kuberikan dia senyuman lalu kukecup keningnya.

“Mama kok tetap bisa tersenyum walaupun lagi nggak punya uang?” tanya suamiku, cintaku.

“Trus mo ngapain? Marah? Ngapain juga marah-marah, ngabisin energi. Rugi amat, udah nggak punya uang, marah-marah lagi. Mending tetap senyum,” jawabku enteng yang langsung disambut dengan pelukan oleh suami.

Setiap rumah tangga pasti pernah mengalami masa-masa sulit seperti yang sedang kami alami sekarang. Uang belanja menipis, tinggal Rp10.000. Pada saat yang sama, bensin motor suami juga sudah minta diisi, air mineral galon di rumah habis. Baru dua hari lagi kami kemungkinan mendapatkan suntikan dana tambahan. Dua bulan ini boleh dibilang kami harus menguras dana yang kami miliki untuk kebutuhan anak-anak. Untuk daftar ulang sekolah anak saja menghabiskan sekitar 2 jutaan, begitupun untuk acara liburan mereka. Maklum, kami mengajak anak-anak liburan di dua tempat, di Banyumas (kampung halamanku) dan di Jogja (kampung halaman suami). Untuk transportasi dari Bekasi ke kampung saja sudah cukup menguras dana, apalagi buat kebutuhan selama liburan di sana. Asal anak-anak senang kami pun turut senang karena bagi kami kebahagiaan anak-anak adalah prioritas. Masa kecil mereka tidak akan terulang, sedangkan kami baru bisa berkumpul bersama-sama hanya pada saat liburan. Jadi, berapa pun biayanya liburan bersama ini harus tetap kami jalani. Namun, risikonya ya seperti sekarang ini. Kami harus mengirit pengeluaran belanja setelahnya.
***

“Liat rumah berantakan kayak kapal pecah kok gak marah?” kata suamiku pada awal-awal pernikahan kami.

“Ngapain ngomel dan marah-marah. Kalo rumah berantakan ya tinggal dibersihin. Emang kalo ngomel-ngomel rumah bisa jadi bersih dan rapi?” jawabku sambil memberesi rumah.

“Bagus,” kata suami menyunggingkan senyum.

Pada awal menikah, kami memang masih tinggal berjauhan, saya di Bandung sedangkan suami di Bekasi. Saat weekend, kadang suami yang ke kosan saya di Bandung atau saya yang ke Bekasi. Jadi, otomatis saya belum bisa sepenuhnya mengurus rumah suami saya ini. Sedangkan suami, karena kesibukan kerja kantor juga tidak terlalu telaten untuk bersih-bersih rumah. Walhasil, begitu saya ke Bekasi sering mendapat sambutan kondisi rumah yang super kotor.

Mungkin, perempuan identik dengan “cerewet dan suka ngomel” kali, yah? Makanya suamiku aneh ngeliat istrinya ini malah nyante menyikapi kondisi rumah tangga kami yang bagi sebagian wanita dapat menaikkan sedikit emosinya.

Yah, saya hanya nggak mau dibuat pusing saja sama keadaan. Kalo soal materi, alhamdulillah saya sudah terbiasa hidup sederhana. Meskipun keluarga kami tidak terlalu kesulitan dari sisi ekonomi, tapi sedari kecil ibu saya sudah mengajarkan hidup sederhana kepada anak-anaknya. Jadi, saya tidak terlalu kaget atau stres menghadapi kondisi seperti ini. Tinggal bersabar sedikit apa salahnya. Masa sih, Allah akan menelantarkan hamba-Nya tanpa diberi makan? Di luar sana pasti banyak orang yang lebih sulit kondisinya dari kami.

Mungkin ada istri yang suka marah dengan suaminya ketika uang belanjanya kurang atau habis sebelum waktu gajian tiba. Menurut saya, marah dalam kondisi seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kita akan rugi sendiri dan hanya buang-buang energi. Bagi suami, hanya akan membuatnya stres sehingga sulit berpikir jernih. Intinya, marah dan ngomel sama sekali tidak memberikan dampak positif untuk memperbaiki keadaan. Daripada ngomel dan marah-marah, saya lebih suka mengingat perjuangan suami dalam mencari nafkah. Dia sudah menguras tenaga dan pikirannya di kantor demi menafkahi kami, istri dan anak-anaknya. Apalagi rumah kami jauh dari tempat kerjanya. Dia harus menempuh sekitar dua jam perjalanan untuk sampai ke kantornya. Pulang-pergi berarti memakan waktu empat jam setiap hari. Peluh dan lelah tidak dia pedulikan asal bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apa jadinya kalau saya sebagai istrinya malah marah-marah saat uang belanja kami habis sebelum waktunya? Padahal dia sudah menyerahkan semua uang gajinya kepada saya.

Sabar dan berpikir jernih, insya Allah ada jalan keluar yang mungkin tidak kita sangka-sangka datangnya. Saya yakin dengan hal itu. Seperti kondisi kami kemarin, meski akhirnya kami harus menjual barang yang mungkin tidak terpakai lagi di rumah, setidaknya bisa kami gunakan untuk menyambung hidup. Daripada barang itu teronggok mengotori dan menyempitkan ruangan, dijual ternyata malah lebih bermanfaat.

Salam penuh takzim buat para istri dan calon istri yang sedang berjuang untuk memberikan kebahagiaan bagi keluarga. Apa pun yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita, semoga kita tetap tidak kehilangan senyum termanis kita untuk keluarga. Percayalah, “ngomel” dan “marah-marah”─yang membuat perempuan dicap “cerewet”─tidak akan menyelesaikan masalah. Sepahit apa pun hidup yang kita alami, itulah cara kehidupan menyentuh kita. Saat manisnya hidup menyapa kita, berarti kehidupan sedang “mengelus” kita. Bila kepahitan yang menyapa maka berarti kehidupan sedang “mencubit” kita. Kebahagiaan/kesengsaraan hadir bukan bergantung pada “elusan” atau “cubitan” kehidupan, tetapi bergantung dari bagaimana cara kita menyikapinya. “Elusan kehidupan” akan terasa menyakitkan bila ada bisul di tubuh kita. Sebaliknya, “cubitan kehidupan” bisa jadi lebih terasa nikmat bila kita menyikapinya dengan penuh kearifan, kita anggap itulah cara kehidupan “mencandai” kita. Ayo, kita “candai” lagi kehidupan ini agar terasa lebih berwarna!

Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah anak-anak tetap bisa diajak menjadi baik.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita tetap bisa menyampaikan keinginan kita dengan baik kepada suami.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita tetap bisa memperbaiki keadaan rumah tangga kita.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita akan tampil menjadi ibu yang lebih bijaksana.
Tanpa mengomel dan marah-marah, insya Allah kita bisa menjadi istri yang lebih disayang suami.

Bagi para suami yang memiliki istri yang kadung “cerewet”, bersabarlah. Ada baiknya kita mengambil hikmah dari kisah Khalifah Umar bin Khathab r.a.

Dikisahkan, suatu hari ada seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khathab r.a. Dia ingin mengadu pada khalifah karena tidak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel dan marah-marah. Cerewetnya melebihi istrinya. Akan tetapi, tidak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja sambil terus mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya, lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melaporkan istrinya kepada Umar.
          Apa yang membuat seorang Umar bin Khathab yang disegani kawan maupun lawan berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa dia hanya mendengarkan, padahal di luar sana dia selalu tegas kepada siapa pun?
          Saat Umar diam mendengarkan keluhan istrinya, ternyata dia sedang mencoba berempati kepada istrinya, “Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya,” ungkapnya.
          Menurut Umar, seorang istri telah berperan besar dalam lima hal: (1) istri telah berusaha membentengi suami dari api neraka (saat godaan syahwat menghampiri), (2) memelihara harta suami saat suami tidak berada di rumah, (3) menjaga penampilan suami, (4) mengasuh anak-anak, dan (5) menyediakan hidangan untuk keluarganya.
          Untuk segala kemurahan hati sang istri itulah Umar rela mendengarkan keluh kesah buah lelah istrinya. Umar lebih memilih untuk mengingat kebaikan-kebaikan istrinya daripada mencela kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah dia menasihati dengan cara yang baik, kadang malah dengan bercanda sehingga terhindar dari caci maki yang tidak terpuji. 

Semoga dengan meneladani sikap Umar bin Khathab ini, para suami bisa lebih bersabar menghadapi kecerewetan istri dan melihat sisi lain kelebihan istrinya. Dengan demikian, rumah tangga akan dilingkupi kedamaian dan tenteram. Apa jadinya kalau istri yang bertabiat cerewet dihadapi dengan emosional pula? Bisa terjadi perang dunia ketiga deh dalam rumah tangga kita.@

Rabu, Agustus 10, 2011

Menakar Kewibawaan Suami



Dulu, sebelum menikah, saya selalu berdoa kepada Allah Swt., “Ya Allah, pertemukan hamba dengan seorang suami yang taat kepada-Mu agar ketaatan hamba kepadanya bermuara kepada-Mu. Buatlah dia memiliki wibawa di mata hamba agar mudah bagi hamba untuk menaatinya.”

Kenapa saya berdoa seperti itu? Karena bagaimana pun tugas utama seorang istri adalah menaati suami. Seperti sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadits berikut ini.
"Seandainya aku boleh menyuruh seseorang agar sujud kepada orang lain, niscaya aku akan menyuruh seorang istri agar sujud kepada suaminya." (HR At Tirmidzi, sanadnya sahih)

Lalu, mengapa saya meminta kepada Allah Swt. seorang suami yang memiliki wibawa di mataku? Karena seorang suami yang berwibawa akan membuat seorang istri mudah untuk tunduk menaatinya.

Mendengar kata “wibawa” mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah seorang yang tinggi besar seperti SBY, atau berpendidikan tinggi dengan titel serenceng, atau orang yang memiliki harta berlimpah dan keturunan keluarga terpandang, atau orang yang memiliki pekerjaan bagus dengan gaji selangit, atau seorang pejabat yang berpengaruh dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat, atau seorang yang memiliki tubuh berotot dan kuat seperti Ade Ray, atau bahkan seorang pemberang seperti preman sehingga orang lain tunduk takut kepadanya.

Membahas masalah “wibawa suami” sering berbanding terbalik dengan bahasan “Suami Takut Istri”. Tidak sedikit artikel yang membahas masalah “Suami Takut Istri” yang mengaitkan dengan tidak adanya wibawa suami. Saya tidak ingin berteori tentang apa yang membuat seorang suami menjadi takut dengan istrinya sendiri sehingga tidak memiliki wibawa di hadapan istrinya. Saya hanya ingin sharing tentang bagaimana wibawa seorang pria (baca: suamiku) di mataku. Bukan untuk menguliti dirinya, tapi semoga tulisan ini akan membuka cara pandang kita tentang “wibawa suami” yang sebenarnya.

Hal apa saja yang membuat seseorang tampak berwibawa?
  • Harta dan kedudukan?
Apakah kekayaan dan kedudukan yang membuat suamiku tampak berwibawa di mataku? Realitasnya, dia lahir dari keluarga biasa yang secara ekonomi boleh dibilang masih di bawah keluarga saya. Pekerjaan dan penghasilan bulanannya sekadar cukup untuk kebutuhan keluarga dan pendidikan anak. Namun, dia menjadi berwibawa di mataku karena dia seorang yang bertanggung jawab dan memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana seharusnya menafkahi keluarganya. Dia sangat all out memberikan waktu, tenaga, dan materi yang dia miliki untuk keluarganya. Dia tidak pernah gengsi memberikan tangannya untuk membantuku mencuci baju dan menyetrikanya dengan suka rela tanpa diminta. Dia juga tidak gengsi pergi ke dapur membuatkan mie instant untuk kami makan sepiring berdua. (Satu pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap menurunkan derajat kaum pria). Namun, bagiku ini bentuk rasa sayang dan perhatian suamiku kepada saya sebagai istrinya. Pemberian materi kepada keluarga memang penting, tetapi pemberian waktu dan kasih sayang untuk keluarga jauh lebih penting. Terima kasih untuk suamiku yang telah memberikan semua yang kau miliki dan mampu kau lakukan untuk keluarga kita.

Satu hal yang saya suka darinya, dia tidak pernah tampak minder di hadapan keluargaku meski secara ekonomi keluargaku boleh dibilang lebih mapan. (Pede itu penting, bro. Itulah yang dimiliki suamiku. Pede abis dan sedikit nekat itu pula “modal”-nya saat menikahiku). Minder hanya akan membuat “wibawa” seseorang hilang.

  • Berpendidikan tinggi dengan titel serenceng?
Karena kondisi ekonomi, suami saya hanya sempat menyelesaikan pendidikan terakhirnya di tingkat SMA. Meski saya bolah dibilang berpendidikan lebih tinggi hingga sarjana, tetapi kami tetap bisa nyambung dalam berkomunikasi. Bukankah inti dari komunikasi adalah “bisa nyambung” dengan lawan bicara? Meski kita berbicara dengan seorang doktor sekalipun, tetapi kalau kita tidak bisa “nyambung” dan paham dengan apa yang dia bicarakan─dan dia juga tidak paham dengan apa yang kita bicarakan─itu berarti komunikasi tidak berjalan efektif. Meski tidak berpendidikan tinggi, tetapi suamiku seorang yang sangat cinta ilmu, mau terus belajar dan memperbaiki diri. Dia juga hobi membaca. Koleksi bukunya bisa jadi lebih banyak dari koleksiku. Kami bisa sharing apa pun sesuai tema yang kami inginkan. Meski bukan lulusan pesantren, tetapi dia sangat giat belajar agama di berbagai majelis taklim (dan mengamalkannya). Bagiku, ini cukup membuatnya tampak berwibawa di mataku karena menurutku orang seperti dialah “pembelajar sejati”. Seorang sarjana sekalipun belum tentu bisa disebut “pembelajar sejati” bila proses belajarnya berhenti hanya sampai ketika dia mendapatkan selembar ijazah kesarjanaan. Apalagi bila ilmu yang didapat selama ini tidak diamalkan. 

  • Kekuatan fisik?
Orang sering menyetarakan wibawa dengan kondisi fisik seseorang; tinggi besar seperti SBY mungkin, atau sekuat Ade Ray, atau segarang preman. Realitasnya, suami saya hanya pria biasa yang berperawakan sedang meski tetap lebih besar dan tinggi dibanding saya (maklum saya kan imut. hehehe). Konon ceritanya waktu kecil dia malah sering sakit-sakitan. Dia tidak pernah tampil garang dan pemarah di hadapanku hingga membuatku tunduk dalam ketakutan. Dia juga tidak pernah menyuruhku dengan tegas dan otoriter. Bahkan, kadang rengekan dan kemanjaannya malah mudah membuatku luluh untuk menurutinya.

Tidak sedikit pria yang menggunakan ototnya untuk menguasai perempuan (baca: istrinya). Bila istrinya tidak taat dia gunakan tangannya untuk menampar dan menyakiti istrinya sendiri secara fisik. Padahal, istri seharusnya dilindungi dan disayangi. Mungkin itulah cara yang dianggap efektif untuk membuat istrinya tunduk patuh kepadanya. Kekuatan fisik mungkin ampuh membuat seorang istri tunduk kepada suaminya, tetapi “ketundukan” yang menakutkan. Padahal, yang dibutuhkan seorang suami sebenarnya adalah “ketaatan yang penuh ketakziman” dari istrinya. Ketaatan seperti ini pula yang seharusnya diberikan oleh istri, bukan “ketundukan yang membuatnya terkungkung dalam rasa takut”.

Seorang suami yang memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya akan membuat istri pun tergerak hati untuk memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. Pemimpin yang penuh kasih sayang akan membuat orang yang dipimpinnya memberikan ketaatan kepadanya dengan sukarela penuh ketakziman. Bagaimanapun, seorang istri memiliki hak untuk dipimpin oleh suami dengan penuh kasih sayang seperti yang Rasulullah saw. ajarkan.

Rasulullah saw. pernah ditanya tentang apa hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami? Lalu, beliau menjawab, "Kamu memberi makan kepadanya, jika kamu makan. Dan kamu memberi pakaian untuknya, jika kamu memakai pakaian. Dan janganlah kamu memukul wajah, menjelek-jelekkannya, dan jangan pula kamu mendiamkannya kecuali di dalam rumah." (HR. Ahmad dan Abu Daud)

  • Kekuatan psikis?
Bila tugas utama seorang istri adalah “taat” kepada suami sesuai hadits yang telah saya sebutkan sebelumnya, maka tugas utama seorang suami adalah menjadi “imam” atau “leader” bagi keluarganya. Seseorang yang memiliki jiwa “leader” (pemimpin) secara psikis akan memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti perintahnya tanpa membuat orang tersebut merasa disuruh. Kekuatan mempengaruhi ini bisa jadi dipengaruhi oleh “wibawa” atau “kharisma” yang dimiliki seseorang.

Seorang pria (baca: suami) boleh saja lemah secara fisik, cacat atau lumpuh sekalipun seperti Ahmed Yassin (pemimpin Palestina), tetapi dia tidak boleh lemah secara psikis. Dia boleh miskin materi tapi tidak boleh miskin hati. Dia boleh tidak punya kedudukan berarti di mata manusia, tetapi tidak boleh menjadi hina di mata Allah Swt.

Bila poin-poin sebelumnya tidak berlaku bagi saya, tetapi untuk yang terakhir ini sangat berpengeruh bagi saya tentang kesan seorang yang berwibawa. Suamiku memang tidak sekaliber Ahmed Yassin dalam memimpin umat, tetapi dia mampu memimpin hatiku dalam ketaatan kepada-Nya, bisa menjadi imam shalat yang baik, siap menegurku ketika lalai dalam ibadah sesuai yang disyariatkan Rasulullah saw. Bagiku, ini cukup membuatku untuk “menaatinya”. Ketaatan yang membuatku semakin menyayanginya, bukan ketaatan yang mengungkungku dalam ketakutan. Ketaatan yang semoga bermuara pada ketaatan kepada Allah Swt.

Tidak peduli apa kata orang lain tentang suamiku, yang penting bagiku dia tetap seorang suami yang penuh wibawa di mataku. Saya bersyukur Allah Swt. telah mengabulkan doa hamba-Nya yang lemah ini.

Tidak ada manusia sempurna di dunia ini, begitupun suamiku. Namun, kekurangannya justru membuatku sadar dan bersyukur karena berarti aku menikahi manusia biasa, bukan malaikat. Kalau dia mampu menerima kekuranganku yang jauh lebih banyak daripada kekurangannya, kenapa saya tidak mampu menerima kekurangannya yang mungkin hanya sepele?

Kalau saya menulis materi ini bukan berarti telah sempurna ketaatanku kepada suami. Saya sadar bahwa saya masih harus berusaha keras untuk menjadi istri yang taat kepada suami dalam ketaatan kepada-Nya sambil terus berdoa, “Ya Allah, bimbing hamba agar mampu menaati suami dalam koridor ketaatan kepada-Mu.”

Tulisan ini sekadar sharing. Semoga mampu menggugah para istri atau calon istri untuk semakin menguatkan “ketaatan” kepada suami dalam syariat-Nya. Bila mungkin memiliki suami yang tampak belum “berwibawa”, mintalah kepada Allah Swt. agar dia dibimbing oleh Allah menjadi suami yang memudahkan Anda untuk menaatinya dalam syari’at-Nya, atau ditunjukkan “wibawa”-nya kepada Anda sehingga memudahkan Anda untuk menaatinya.

Bagi para suami atau calon suami, semoga tulisan ini memotivasi Anda untuk menjadi “imam” yang sebenarnya bagi istri dan anak-anak. Apa pun kondisi istri Anda, apakah dia lebih dari Anda secara materi, pendidikan, status sosial, dan sebagainya, kendali tetaplah di tangan Anda sebagai “leader”. Bimbinglah istri dalam ketaatan kepada-Nya. Bila mendapati istri Anda belum taat, janganlah terburu-buru menyalahkan istri Anda, tetapi introspeksilah, apakah Anda termasuk suami yang “patut” untuk ditaati?Jadikan Anda seorang yang taat kepada Allah Swt. sehingga pantas untuk ditaati oleh istri Anda dan dia pun akan menaati Anda karena-Nya. @


Kamis, Agustus 04, 2011

Menentukan Prioritas Rumah Tangga



Setiap orang yang membangun rumah tangga─kalau bisa─pasti ingin memiliki kehidupan sempurna; memiliki pasangan hidup yang saling mencintai dan setia, anak-anak manis yang pintar dan saleh dengan pendidikan tinggi, berkecukupan secara materi (memiliki rumah megah, mobil mewah, dan uang setampah). Dari sisi pribadi bisa terus meningkatkan pendidikan dan karier dengan kedudukan atau status sosial tinggi di masyarakat.

Namun, realitasnya kehidupan tidaklah sesempurna itu. Bila semua itu tidak mungkin diraih secara bersamaan, mana yang harus diprioritaskan? (1) Mengejar pemenuhan materi rumah tangga terlebih dahulu sehingga bisa segera memiliki rumah bagus sesuai harapan, memiliki mobil yang nyaman sebagai sarana mobilitas, serta tabungan yang cukup untuk hari tua, (2) Mengembangkan karier setinggi mungkin, termasuk membekali diri dengan terus meningkatkan strata pendidikan, (3) Memiliki anak-anak yang pintar dan saleh dengan menyekolahkan di sekolah terbaik meski dengan biaya yang tidak sedikit (tentu kasih sayang dan pendidikan orang tua tetap diprioritaskan), (4) atau prioritas lain.

Semuanya sah-sah saja kita lakukan. Namun, perlu diingat bahwa akan ada risiko lain yang kadang harus ditanggung bila mengejar salah satu prioritas tersebut. Saya tidak akan menyalahkan siapa pun dengan apa pun prioritas seseorang dalam membangun rumah tangganya. Saya hanya akan mengajak berfikir bersama kira-kira risiko apa yang akan kita tanggung bila mengambil satu prioritas tersebut, atau mungkin prioritas yang lain.

Prioritas pertama, Mengejar pemenuhan materi rumah tangga terlebih dahulu sehingga bisa segera memiliki rumah bagus sesuai harapan, memiliki mobil yang bagus dan nyaman sebagai sarana mobilitas, serta tabungan yang cukup untuk hari tua. Kebutuhan inilah yang menjadi prioritas utama pada banyak rumah tangga, apalagi keluarga baru. Bukankah sedari SD dulu kita diajarkan tentang prioritas kebutuhan manusia? Ada kebutuhan primer, sekunder, dan tertier. Kebutuhan primer (seperti yang selama ini kita kenal) adalah sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan sandang dan pangan sejak sebelum menikah pun biasanya sudah terpenuhi. Karenanya, saat menikah, kebutuhan lain yang sering menjadi prioritas adalah “rumah sebagai tempat berteduh”. Bisa ngontrak rumah, tinggal di mertua indah, dan bila materi mencukupi bisa langsung mengambil kredit rumah atau bahkan membeli secara cash.

Pada awalnya, rumah memang merupakan kebutuhan pokok karena bagaimana pun kita harus memiliki tempat berteduh yang layak. Namun, dalam perkembangannya, memiliki rumah sering diiringi dengan kebutuhan akan prestice atau kebanggaan. Kalau ada teman, saudara, atau keluarga yang berkunjung ke rumah kita, bangga rasanya bila mereka terkagum-kagum dengan desain rumah dan keunikan furniture rumah yang kita miliki. Tidak cukup hanya dengan memiliki rumah, kebanggaan lain yang sering menjadi pemikat prestice seseorang adalah memiliki mobil mewah sehingga kalau kita pergi kemana-mana akan ada orang yang berdecak kagum dengan kendaraan kita. (Padahal, apakah kebanggaan seperti ini yang sebenarya kita cari dalam hidup?) 

Memang, sah-sah saja kita memiliki semua itu asal halal. Saya hanya ingin memberikan satu ilustrasi kisah yang semoga bisa membuka kesadaran kita akan prioritas kebutuhan rumah tangga yang sebenarnya. Semoga kita tidak salah dalam memilih prioritas dalam rumah tangga kita. Kesalahan menentukan prioritas bisa jadi akan menghilangkan tujuan menikah yang sebenarnya, yaitu untuk mendapatkan "kebahagiaan". Jangan sampai kita mengejar prioritas yang hanya sebatas "prestice", tetapi kebahagiaan yang sesungguhnya kita butuhkan malah melayang jauh dari jangkauan kita. Na'udzubillahi min dzalik.



Fahri dan Rifa (sebut saja begitu), pasangan suami-istri yang baru beberapa bulan menikah ini memiliki impian untuk punya rumah dengan desain tertentu dan dirasa unik. Setelah melakukan kalkulasi kebutuhan dana untuk pembangunan rumah itu, tersebutlah angka yang tidak sedikit. Demi memenuhi “nominal angka” tersebut, kedua pasangan ini berpikir keras bagaimana cara untuk segera mendapatkan sejumlah uang yang mereka anggarkan demi mewujudkan rumah impian mereka. Akhirnya diambillah keputusan mereka untuk bahu-membahu mencari alternatif sumber-sumber ekonomi tambahan. Fahri sebagai suami, selain bekerja kantoran sebagaimana biasa, juga mencoba membuka peluang usaha rekanan dengan temannya. Sementara Rifa melamar kerja ke beberapa perusahaan dan akhirnya diterima sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar di kotanya dengan gaji lumayan.

Sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, waktu terus berjalan dan mereka masih mengejar mimpi untuk membangun rumah impian mereka. Rupiah demi rupiah pun terkumpul hingga mereka bisa membeli tanah yang dirasa strategis untuk membangun rumah tersebut. Sampai akhirnya mereka bisa mulai membangun rumah. Tidak langsung sempurna sesuai keinginan mereka, tetapi setidaknya rumah itu sudah bisa ditempati sambil terus melakukan pembangunannya. Mereka pun tidak sabar ingin segera menyelesaikan rumah impian mereka. Karenanya, mereka terus memacu diri lebih keras dalam mengumpulkan rupiah hingg tanpa sadar ada sesuatu yang hilang dalam rumah tangga mereka, yaitu kebersamaan dan perhatian antarpasangan.

Fahri mulai merasakan perhatian Rifa kepadanya sudah berkurang, tidak ada lagi kopi dan sarapan pagi buatan istri tercintanya, tidak ada lagi ciuman tangan istri saat menyambutnya pulang dari kantor. Pagi-pagi sekali Rifa sudah pergi ke kantor hingga urusan masak dan menyiapkan makanan beralih ke tangan pembantu. Saat pulang kerja, istrinya kadang belum pulang ke rumah karena ada lembur di kantor, atau ada di rumah tapi sudah lelap dalam tidurnya.

Rifa pun ternyata merasakan hal yang sama. Keromantisan Fahri seperti hilang entah ke mana. Tidak ada lagi candaan suaminya ketika menjelang tidur, tidak ada lagi ciuman hangat suami yang selama ini selalu dirindukannya. Suasana panas selalu melingkupi hati mereka ketika berada di rumah. Masalah kecil saja bisa memantik kemarahan dan pertengkaran.

Rifa justru merasakan kenyamanan ketika mendapatkan perhatian dari bosnya. Pria yang juga sudah menikah ini seolah memberikan perhatian dan kasih sayang lebih daripada Fahri, suaminya. Akhirnya, jalinan kasih terlarang itu pun terbina di antara mereka. Tanpa sepengetahuan Rifa, Fahri pun ternyata punya "hubungan gelap” dengan rekan kerjanya di kantor. Sinta, wanita single yang terkenal seksi di kantornya ini begitu mengagumi kinerja Fahri yang rajin dan ulet. Di matanya, Fahri adalah lelaki impiannya selama ini. Dia bahkan tidak malu-malu untuk menyatakan kekagumannya ini kepada Fahri. Sebagai pria yang tidak lagi mendapat penghargaan apalagi sanjungan dari istri merasa begitu melambung ketika mendapat sanjungan dan perhatian dari wanita lain.

Berbilang bulan, “hubungan gelap” masing-masing pasangan ini pun terus berlanjut hingga membuat mereka terperosok begitu jauh. Mereka tidak lagi menganggap pasangan sahnya─sebagai suami-istrimenjadi pasangan yang menyenangkan lagi. Rumah sudah menjadi seperti neraka bagi mereka ketika pertengkaran demi pertengkaran terus membakar rumah mereka. Atau bisa menjadi seperti kuburan bila mereka sedang melakukan perang dingin. Rumah impian mereka “belum jadi sempurna” seperti yang mereka inginkan, mungkin tinggal sedikit melakukan renovasi tambahan lagi. Namun, ironisnya rumah tangga mereka malah hancur sebelum mereka bisa menikmati rumah impian itu. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak mengalami hal demikian.


Prioritas kedua, mengembangkan karier setinggi mungkin, termasuk membekali diri dengan terus meningkatkan strata pendidikan. Banyak alasan mengapa seseorang harus mengembangkan karier termasuk meningkatkan pendidikannnya. Alasan utama biasanya untuk mandapatkan penghasilan lebih demi memenuhi kebutuhan hidup sehingga perlu meningkatkan strata kariernya, bisa juga untuk mengejar prestice. Begitu pun dalam meningkatkan strata pendidikan, biasanya karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan karyawannya memiliki strata pendidikan tertentu. Meski ada juga yang murni karena ingin menuntut ilmu.

Banyak yang memulai bekerja dengan bekal ijazah SMA, dengan lamanya waktu bekerja, posisinya pun sedikit demi sedikit meningkat hingga perusahaan menuntutnya untuk memiliki ijazah sarjana atau minimal D3, bagi yang S1 dituntut memiliki ijazah S2, dan seterusnya. Pada saat yang sama kebutuhan rumah tangga, terutama pendidikan anak, terus meningkat. Dia seolah dihadapkan dengan pilihan untuk memilih meningkatkan strata pendidikannnya sendiri sehingga dapat memuluskan peningkatan kariernya (termasuk meningkatkan gajinya), tetapi di sisi lain dia harus berbagi atau mengurangi jatah dana pendidikan anaknya.

Dengan dana yang ada, dia harus membiayai kuliahnya dan juga pendidikan anaknya. Kalau dia memakai dana itu sepenuhnya untuk pendidikan anak, dia bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang bagus (yang notabene berbiaya mahal). Namun, bila harus berbagi untuk membiayai juga kuliahnya, otomatis dia hanya bisa menyekolahkan anak di sekolah seadanya, bila perlu di sekolah negeri yang gratis. Bila ditunjang dengan pendidikan orang tua di rumah yang memadai, tentu tidak masalah, anaknya bisa tetap berprestasi meski dia bersekolah di sekolah biasa. Namun, bila anak bisa bersekolah di sekolah yang banyak memberikan keunggulan dibanding sekolah umum, biasanya potensi anak pun akan lebih terasah. Apalagi sekarang banyak sekolah yang menawarkan pengembangan potensi anak bukan hanya sisi kognisi atau intelektualnya semata, tapi juga sisi religi, leadership, dan lain-lain. Namun, harganya tentu berbeda jauh dengan sekolah umum.


Saya punya kisah nyata seorang sahabat seputar masalah karier ini. Sebut saja namanya Zahra. Dia bekerja di sebuah perusahaan makanan dengan modal ijazah SMA. Pada awalnya dia bekerja sebagai Cleaning Service. Kinerjanya yang rajin mulai dilirik atasannya sehingga dia menjanjikan untuk menaikkan posisi kerja yang otomatis akan menaikkan pula gajinya. Namun, dengan syarat dia harus memiliki ijazah D3. Tergiur dengan posisi yang menjanjikan dan keinginan untuk menaikkan taraf hidup dan pendidikan, dia pun mengambil kuliah program D3. Berbagi waktu dengan pekerjaan kantor, kuliah, dan mengurus anak, membuat kuliahnya sedikit tersendat hingga baru bisa menyelesaikan kuliah empat tahun kemudian.
Pada saat yang sama, di perusahaan tempatnya bekerja terjadi restrukturisasi karyawan. Bosnya yang dulu pernah menjanjikan sebuah posisi yang lebih baik malah terkena PHK. Jadi, meski saat itu dia sudah mengantongi ijazah D3, tetapi tetap tidak bernilai apa-apa di perusahaannya. Dia bisa naik posisi, tapi harus dipindahkan ke perusahaan cabang yang lebih jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya, dia malah memilih keluar dari pekerjaan. Dengan ijazah D3 yang dimiliki akhirnya dia bisa diterima sebagai pengajar di sebuah SMK di kotanya. Namun, gajinya masih jauh dari yang diharapkan. Akhirnya, dia hanya bertahan satu semester lalu kembali keluar. Kini, dia malah nyaman menjadi ibu rumah tangga. Usahanya untuk meningkatkan taraf pendidikan memang tidak sia-sia karena dia mendapatkan ilmu dari sana. Namun, bila tujuannya untuk meningkatkan posisi dalam kariernya, realitasnya itu malah jauh dari genggamannya. Sementara, dia sudah kehilangan banyak waktu yang seharusnya dipergunakan untuk mendidik anak-anaknya.

Prioritas ketiga, memiliki anak-anak yang pintar dan saleh dengan menyekolahkan di sekolah terbaik meski dengan biaya yang tidak sedikit. Bila dana yang kita miliki cukup atau bahkan berlebih mungkin tidak menjadi masalah. Namun, bagaimana bila dana yang dimiliki sebenarnya terbatas?

Saya pernah melihat sebuah keluarga sederhana, tetapi menurut saya sangat terpelajar. Suaminya seorang guru PNS dengan gaji tergolong biasa. Maklum, ijazahnya hanya SPG. Sementara istrinya seorang ibu rumah tangga biasa tanpa memiliki penghasilan tambahan lain. Namun, mereka ternyata mampu menyekolahkan kelima anaknya hingga menjadi sarjana. Bila mereka memiliki penghasilan besar, tentu memiliki lima anak yang bertitel sarjana merupakan hal mudah. Namun, dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas mereka tetap mampu menyekolahkan kelima anaknya hingga perguruan tinggi adalah hal yang luar biasa. Tentu saja ada risiko yang harus mereka tanggung. Hingga kelima anaknya menjadi sarjana, rumah mereka masih sangat sederhana, hanya rumah berdinding kayu dan lantai berkalang tanah. Subhanallah. Anak-anak mereka pasti bangga memiliki orang tua seperti mereka yang rela hidup sederhana demi memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.

Prioritas ketiga inilah yang sekarang sedang dibangun dalam rumah tangga kami. Saya menikah dengan seorang duda beranak dua. Rumahnya sangat sederhana, tipe 21 dengan cicilan masih beberapa tahun lagi. Namun, beberapa bagian rumah sudah minta direnovasi. Saya saja sampai harap-harap cemas kalau hujan tiba karena ada bagian rumah kami yang bocor. Namun, saya tetap bangga dengan suamiku, terutama dengan caranya mendidik anak-anak. Demi menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik sesuai kemampuan, dia rela menunda pembangunan rumahnya ini. Padahal, rekan-rekan kerja seangkatannya yang gajinya kurang lebih sama sudah memiliki rumah bagus.

Bukan hanya itu, dia juga rela mengesampingkan kesempatan peningkatan karier di kantornya demi fokus memberikan sarana pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Dengan ijazah SMA yang dimilikinya memang agak sulit untuk mencapai posisi di atas staf. Bila ingin mencapai jenjang karier lebih tinggi dia harus memiliki ijazah S1. Namun, pada saat yang sama anak pertamanya membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit. Maklum, dia memilih menyekolahkan anaknya di SDIT yang biayanya tidak sedikit. Uang masuknya saja waktu itu sudah mencapai 4,5 juta.

“Biarin Mas begini saja asal anak-anak bisa sekolah di tempat terbaik. Kini masanya untuk perbaikan pendidikan mereka, bukan pendidikan Mas. Yang penting Mas masih bisa membiayai mereka.” begitu jawaban suamiku kalau ditanya tentang alasannya.

Namun, pengorbanannya menurut saya tidaklah sia-sia. Kini, anak pertama kami itu sudah duduk di kelas II MTs (setingkat SMP) dengan prestasi yang bisa dibanggakan. (Semoga ini bukan untuk tujuan riya' atau sum'ah, tapi sharing saja) Sedari SD rangkingnya tidak kurang dari 3, bahkan pernah 2x rangking 1. Semester kemarin dia juga rangking pertama. Alhamdulillah. Meski kini anak kami jauh dari kami karena tinggal di pesantren, tetapi kami masih terus memantau perkembangannya dengan mengunjunginya seminggu sekali. Alhamdulillah, kini dia sudah memiliki hafalan Al Qur’an 5 juz. Semoga dia bisa istiqamah menjadi hafidzah. Amiin.

Kini tinggal membimbing anak kedua kami yang masih sekolah di TKIT. Kalau kakaknya mulai serius menghafal Al Qur’an sejak SMP, kami berharap anak kedua bisa menjadi penghafal Al Qur’an lebih dini, yakni sejak sekolah dasar. Bagi kami, anak-anak inilah prioritas utama dalam rumah tangga kami. Saya akan dengan sukarela menyimpan ijazah sarjana saya demi fokus mendidik mereka. Allah…bimbing hamba menjadi ibu terbaik bagi anak-anak kami, anak-anak yang akan menjadi generasi penentu masa depan bangsa.

Setiap rumah tangga pasti memiliki prioritas tujuan yang berbeda-beda. Namun, satu hal yang perlu diingat, masa depan bangsa bisa jadi berawal dari prioritas setiap rumah tangga ini. Apakah prioritasnya sebatas pemenuhan ekonomi (sukses materi), prestice diri (sukses diri pribadi), atau menyukseskan anak-anak untuk membangun generasi bangsa ke depan yang salih, tangguh, dan berkepribadian utuh?

Semoga tulisan kecil ini memberikan sumbangsih besar bagi bangsa ini. Amiin.