Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Senin, Desember 13, 2010

Kaktus Jalanan





Dari para anak jalanan (anjal) inilah aku belajar tentang ketegaran hidup. Aku menganalogikan anjal ini sebagai kaktus. Pohon kaktus tidak membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya. Bahkan ia bisa hidup di lahan tandus, di atas pasir.


Salim, salah satu anak jalanan (anjal) binaanku sewaktu saya menjadi pengurus anjal adalah anak yang paling temperamental di antara anak-anak jalanan lain. Pertengkaran hampir setiap hari terjadi di antara anjal ini. Salim paling sering berkonflik dengan teman-temannya. Saling pukul dan menendang menjadi pemandangan harian bagiku. Salim yang bertubuh kecil dan paling muda di antara anjal lain, sering kalah tarung. Kalau sudah begitu dia pasti nangis lalu kabur dari rumah singgah dengan membanting pintu sekeras-kerasnya.

Teman-teman Salim sering memanggilnya “anak haram”. Meski aku sudah berulang kali memberi pengertian pada teman-teman Salim agar jangan memanggilnya demikian, tetapi tetap saja mereka melakukan itu. Menurut cerita ibu angkat Salim, Salim lahir di luar nikah. Saat melahirkan Salim, ibunya bahkan masih mengenakan seragam abu-abu putih khas anak SMA. Dia lari dari rumah ke Bandung karena malu dengan keadaan dirinya yang hamil tanpa suami dan tidak diketahui oleh keluarganya. Bayi merah yang lahir prematur sebesar lengan tangan orang dewasa ini diserahkan kepada seorang tukang becak yang mangkal di depan rumah sakit. Tukang becak inilah yang menjadi ayah angkat Salim sampai sekarang.

Kondisi ibunya Salim saat itu sangat mengenaskan, kehabisan banyak darah. Dia melahirkan tanpa dibantu dukun beranak atau tim medis lain. Di rok abu-abunya terlihat jelas darah bekas melahirkan yang masih menggumpal di sana. Lalu, orang tua angkat Salim membawa ibu muda itu ke rumah sakit untuk dirawat. Berat badan Salim yang kurang dari 2,5 kg membuatnya harus dirawat di inkubator. Semua biaya ditanggung oleh orang tua angkat Salim meski harus berutang ke sana kemari karena kondisi ekonomi mereka yang kekurangan.

Karena masalah ekonomi, orang tua Salim akhirnya mengais rezeki dari jalanan. Ibunya terlihat sering mengemis di alun-alun Bandung sedangkan bapaknya menjadi pemulung. Merekalah yang mengenalkan Salim pada dunia jalanan sejak dia bayi.

Kondisi Salim yang demikian membuatku merasa perlu memberikan perhatian ekstra dibanding kepada anak-anak jalanan lain binaanku. Ini sempat membuat anak-anak lain merasa iri dan mengatakan Salim sebagai anak kesayanganku. Naun, aku tidak peduli. Aku pikir, kalau anak-anak jalanan lain yang cenderung lebih baik tentu akan banyak orang lain yang mau menyayangi dan memberi perhatian pada mereka. Namun, pada Salim, kenakalannya yang luar biasa membuatnya dijauhi teman-temannya sesama anjal. Orang lain yang bukan anjal pun akan menjauhinya. Padahal aku yakin, setiap orang, sekasar apa pun dirinya pasti tetap membutuhkan kasih sayang dan perhatian, apalagi bagi anak kecil seumur Salim. Waktu itu umurnya baru sekitar sepuluh tahun.

Suatu hari aku mendapat kabar dari salah satu santri putra di pesantren tempatku menuntut ilmu kalau Salim ingin mengirimiku surat. Surat itu sudah dibungkus di dalam amplop putih. Dia menunjukkan surat itu kepada hampir setiap santri putra yang datang menemuinya. Salim selalu membuka surat yang sudah dilem itu kepada para santri untuk dibaca. Akhirnya dia harus berkali-kali membeli amplop. Tentu saja tingkahnya ini mengundang gelak tawa di kalangan santri putra. Di antara mereka bahkan ada yang ngeledek, “Salim! Teh Indah kan pacar Aa Hanif,” kata Hanif, salah satu santri di pesantren. Tanpa diduga, Salim marah dan langsung meninju perut Hanif dan menendang kakinya. Spontan Hanif menghindar. Untung Hanif sigap sehingga terhindar dari tendangannya.

 Aku tertawa geli mendengar cerita itu. “Emang apa isi suratnya?” tanyaku pada Ihsan, santri yang membawa cerita ini padaku.

“Isinya sih sederhana, cuma ingin menganggep Teh Indah sebagai kakaknya,” Ihsan menambahkan.

“Teh, ati-ati bersikap sama Salim. Meski dia anak kecil, tetapi pikirannya udah dewasa,” kata Ihsan kemudian.

Aku kembali ketawa, “Ah, aku biasa-biasa aja, kok. Itu kan karena Salim memang butuh perhatian. Maklum, anak seumur dia kan lagi haus kasih saying,” kataku spontan.

“Iya, Teh Indah sih biasa-biasa aja, tapi Salim nanggapinnya luar biasa,” seloroh Ihsan sambil ketawa.

Sampai sekarang, aku tidak pernah melihat langsung surat Salim yang tadinya ingin diberikan kepadaku. Mungkin keburu rusak karena berkali-kali disobek amplopnya, atau dia malu memberikan surat itu karena diledek sama anak-anak santri putra di pesantren. Kisah tragis Salim inilah yang menginspirasiku untuk membuat sebuah cerpen berjudul Salimku Sayang, Salimku Malang yang dimuat di Annida tahun 2004.

Dari para anjal inilah aku belajar tentang ketegaran hidup. Aku menganalogikan anjal ini sebagai kaktus. Pohon kaktus tidak membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya. Bahkan ia bisa hidup di lahan tandus, di atas pasir. Duri-duri kecilnya yang berwarna-warni mampu menambah keindahan tanaman hias ini, tetapi orang yang ingin menyentuhnya tentu harus berhati-hati, salain karena durinya dapat melukai, juga ada beberapa kaktus yang bisa mengeluarkan racun.


Anjal lahir dan besar di lingkungan yang keras, layaknya lahan yang tandus. Namun, hebatnya mereka tetap mampu survive, meski tanpa kasih sayang, ekonomi yang pas-pasan, dan minus secara religi. Padahal kasih sayang ibarat air kehidupan. Kekuatan dan ketangguhan mereka menjalani hidup membuat mereka nampak polos, lucu, dan menggemaskan, meski berteman dengan getirnya kehidupan. Mereka suka usil, sedikit nakal hingga membuat orang kadang harus berhati-hati ketika ingin mendekati mereka. Meski tidak semua anjal seperti itu.


Dalam realitas kehidupan, tidak sedikit anak-anak rumahan (memiliki rumah dan orang tua) yang harus menjalani hidup tanpa kasih sayang orang tua mereka. Bisa jadi karena kesibukan orang tua mencari nafkah atau adanya pergeseran tata nilai hidup yang lebih meterialis hingga akhirnya mereka merasakan kehidupan seperti anak-anak di panti asuhan. Andaikata mereka punya kekuatan sekuat pohon kaktus yang tetap mampu bertahan hidup meski di lahan tandus, mungkin tidak akan muncul anak-anak muda yang doyan narkoba. Fenomena kenakalan remaja bisa jadi lahir akibat broken home atau kurang perhatian orang tua karena kesibukan karier. Maka, bila Anda hidup di lahan tandus, jadilah pohon kaktus. ***




1 komentar:

  1. aku berkaca pada diriku, lantas berkata "maka nikmat tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

    tulisan yang dalem sekaligus menyentuh hati. sal suka tulisan ini. membuat aku semakin berfikir, "sudahkan aku siapkan anak-anakku untuk tidak sekedar menjadi 'kaktus'?"

    aku tahu, kedua tanganku tak cukup lembut membelai mereka.

    aku tahu, tatapanku tak cukup teduh menyirami hati mereka.

    aku tahu, segala apa yang ada dalam tubuhku sangat terbatas untuk membimbing mereka.

    tapi, aku hanya bisa berusaha untuk kemudian berdoa. do'a inilah yang menjadi tumpuanku akan hasil akhir yang akan mereka terima.

    "maka, nikmat tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.