Sebelum menikah, Nisa, sebut saja begitu, sering menjadi
“terminal curhat” beberapa teman dekatnya tentang berbagai masalah yang menimpa
mereka baik yang sudah menikah maupun sesama lajang. Bahkan ada yang mengalami
permasalahan rumah tangga begitu berat hingga diselingkuhi suami beberapa kali.
Takpernah terbayang dalam benak Nisa, kalau dia pun harus mengalami masalah
serupa dalam rumah tangganya.
Tiga tahun usia pernikahannya, orang bilang ini adalah
masa-masa rawan mulai munculnya riak-riak kecil dalam rumah tangga. Namun, yang
dihadapi Nisa bukanlah riak kecil, tapi masalah yang maha dahsyat hingga hampir
meruntuhkan mahligai rumah tangganya. Nisa menikah dengan Agung, seorang duda
beranak dua yang ditinggal mati istrinya. Saat itu anak pertama suaminya masih
duduk di kelas 1 SMP sedangkan anak kedua sekolah di TK. Tahun pertama dan
kedua Nisa fokus mengurus kedua anak tirinya hingga rela keluar dari
pekerjaannya sebagai editor sebuah penerbit. Seminggu sekali Nisa dan suami
mengunjungi anak pertamanya yang tinggal di pesantren. Seiring berjalannya
waktu, Alhamdulillah Nisa bisa mulai dekat dengan anak pertamanya hingga dia bisa
kembali ceria sepeninggal ibu kandungnya. Suaminya kemudian memberikan tugas
baru kepada Nisa untuk melakukan pendekatan dengan anak keduanya yang tinggal
bersama kakak kandungnya (ipar Nisa) di kota J. Sejak ditinggal mati istrinya, Agung tidak
bisa merawat anak keduanya sendiri karena dia harus bekerja dari pagi hingga
petang. Karenanya dia menitipkan anaknya ini kepada kakaknya .
Nisa pun menunaikan tugas baru sebagai ibu bagi anak kedua
dan harus rela meninggalkan suaminya di kota B menuju kota J, tempat anak
keduanya tinggal. Meski butuh pendekatan ekstra dan kesabaran penuh akhirnya
anak keduanya pun bisa dekat dengannya. Bahkan anak keduanya ini seolah tidak
bisa bobo malam kalau tidak dininabobokan dulu oleh Nisa. Akhirnya, Nisa dan
Agung memutuskan untuk membawa anak keduanya ini ke kota tempat tinggal mereka
agar lebih fokus mengurusnya. Namun, pertentangan datang dari kakak dan orang tua Agung di kota J. Mereka tidak setuju anak yang dulu dititipkan kepada
mereka diambil begitu saja karena mereka sudah terlanjur sayang. Nisa tidak
banyak bicara soal ketidaksetujuan mereka atau menentang mereka dengan kata-kata.
Dengan sepenuh hati dan kesabaran Nisa tetap mengurus anak keduanya di kota J
hingga kakak iparnya melihat kesungguhannya dalam mengurus anak
tirinya ini. Mereka pun akhirnya mengikhlaskan keponakannya ini untuk dibawa ke
kota B.
Keluarga kecil mereka akhirnya kembali utuh tinggal di rumah
mereka sendiri. Anak kedua yang sekolah di SDIT Alhamdulillah bisa menjadi
juara menghafal Al Qur’an pada levelnya di sekolah atas bimbingan Nisa. Sebuah
kebahagiaan tersendiri bagi Nisa bisa membimbing anak tirinya untuk mencintai Al
Qur’an dan menghafalkannya padahal ibu-ibu lain yang notabene seorang ibu
kandung banyak yang merasa sulit membimbing anaknya menghafal Al Qur’an. Setahun
kemudian anak pertama mereka lulus dari pesantren dan memilih meneruskan
sekolah di dekat rumah sehingga mereka benar-benar tinggal dalam satu atap
sebagai keluarga yang utuh, ada Ayah-Ibu dan kedua anak mereka. Hubungan Nisa
dan kedua anaknya pun semakin dekat. Mereka sudah menganggap Nisa seperti ibu
kandungnya sendiri, Nisa pun menyayangi mereka seperti anak kandung sendiri.
Ketika Prahara Datang
Tidak ada sebuah rumah tangga yang dijalani tanpa ujian dari
Allah Swt. Saat keluarga kecil ini seolah menikmati kebahagiaan seutuhnya
selayaknya keluarga lain, ujian itu datang. Menginjak usia pernikahan ketiga,
tiba-tiba Agung, suami Nisa membawa kabar yang mengoyak hatinya. Dengan
berderai air mata bahkan dengan menahan sakit perut yang dideritanya sehari
sebelumnya, Agung mengakui kalau dirinya sedang jatuh cinta dengan teman
kerjanya di kantor cabang. Mereka menjalin komunikasi melalui email dan
telepon. Agung pernah ditugaskan untuk mengisi training di kantor cabang tempat
kerja perempuan itu, sebut saja namanya Laras. Awalnya Laras hanya kagum dengan
Agung yang dalam pandangannya adalah seorang yang bijaksana dan suka menasehati.
Kebetulan saat itu Laras sedang mengalami masalah dengan pacarnya. Dia
dikhianati pacarnya padahal hubungan mereka sudah sangat dekat bahkan sudah
memiliki tabungan bersama untuk rumah tangga mereka kelak. Meski tidak
diceritakan secara detail oleh Agung karena hal-hal privasi yang tidak mungkin
dibuka, Nisa bisa menebak kalau hubungan Laras dengan pacarnya sudah sangat
jauh.
Dalam dilema, Laras yang selama ini tertutup dan tidak
memiliki teman dekat yang bisa dipercaya menumpahkan curahan hatinya kepada
Agung, suami Nisa, melalui email. Lama kelamaan curhat Laras disambung melalui
telepon kantor. Selama dua bulanan komunikasi mereka terjalin intensif hingga
Agung yang sebelumnya tidak pernah menerima curhatan dari perempuan lain
kecuali istrinya merasa kasihan dan bersimpati dengan permasalahan yang menimpa
Laras. Laras sering menangis di telepon yang katanya hanya bisa tertumpah saat
curhat dengan Agung. Keluarga Laras bahkan tidak tahu permasalahan Laras yang
sebenarnya. Agung tidak tega mendengar perempuan menangis sedangkan istrinya
sendiri nyaris tidak pernah menangis di depannya. Salahnya, emosi Agung ikut
terlibat dalam menyikapi curhatan Laras hingga dia sampai merasa tidak rela
orang seperti Laras yang dalam pandangannya adalah perempuan baik-baik harus
hidup dengan laki-laki “bejat” seperti pacarnya. Dari rasa simpati, kasihan,
akhirnya muncul rasa sayang di hati Agung kepada Laras. Satu rasa yang tidak
seharusnya hadir karena tidak direkat dalam ikatan suci pernikahan apalagi
Agung sudah memiliki istri dan anak-anak. Perasaan Agung ternyata tidak
bertepuk sebelah tangan, Laras pun menyayanginya selayaknya sayangnya seorang
kekasih. Laras bahkan sudah sangat benci dengan pacarnya itu meski di depan
keluarganya dia masih tetap bersikap baik dengan pacarnya.
Selama ini Agung berprinsip tidak mau pacaran. Ketika
mencintai seorang wanita maka hanya ada dua pilihan baginya, menikahi perempuan
itu atau memutuskan “rasa” itu sama sekali. Tidak rela melihat Laras menderita
jika harus hidup dengan laki-laki yang tidak menghargai wanita seperti pacar
Laras membuat Agung merasa tergerak menjadi “pahlawan penyelamat” untuk
menikahi Laras. Melalui sms, Agung pun melamar Laras. Laras yang merasa sedang
dalam dilema yang sangat berat merasa bebannya bertambah dengan lamaran itu
karena sadar tidak mudah menikah dengan pria yang sudah beristri. Padahal
menurut pengakuan Agung mereka sudah membicarakan rencana hubungan hingga ke pernikahan dan berapa banyak anak yang akan mereka memiliki kelak.
Namun, kondisi psikis Laras yang memang sedang labil membuatnya semakin
tertekan hingga tidak membalas sms Agung bahkan tidak mau menerima telepon
darinya hingga dua harian.
Saat kondisi genting seperti itulah Agung memberanikan diri
menceritakan semua perasaan hatinya yang “terlarang” itu kepada Nisa istrinya. Reaksi
Nisa saat itu “datar” saja seolah tidak ada rasa sakit hati atau cemburu.
Entahlah, mungkin yang ada dalam pikiran Nisa adalah bagaimana membantu
suaminya sembuh dari sakit perutnya. Sejak dua hari digempur permasalahan
yang menyiksa batinnya, Agung memang didera sakit perut hingga membuatnya sulit
makan dan istirahat. Ketika pulang dari kantor wajahnya kuyu dan tampak sangat
lelah. Namun, Nisa tahu kalau lelah yang dialami suaminya pasti bukan lelah
fisik. Kalau sekadar lelah fisik biasanya Agung akan meminta Nisa memijiti
kakinya. Sebentar kemudian lelahnya pun hilang. Namun, lelah yang ditampilkan
wajah suaminya saat itu sangat tidak biasa. Nisa mencoba bertanya kenapa, apa
karena masalah pekerjaan? Atau ada masalah dengan rekan kerja? Tapi Agung masih
diam. Baru pada hari kedua saat sakit perutnya sudah mulai membaik Agung
menceritakan semuanya kepada Nisa.
Nisa hanya bilang kalau dia tetap sayang sama Agung sebagai
suaminya dan juga anak-anak. Hanya saja Nisa menyayangkan kenapa suaminya mudah
menerima curhat dari perempuan yang bukan muhrim. Padahal, komunikasi intensif
antara dua manusia lawan jenis via email
dan saling bertelepon ria bisa menumbuhkan rasa suka dan sayang walaupun tidak
bertemu langsung. Hal ini dialami sendiri oleh Nisa. Sebelum menikah Nisa juga
pernah menjalin komunikasi dengan seorang pria di luar negeri. Saking
intensifnya komunikasi sempat memunculkan rasa saling suka padahal mereka belum
pernah bertemu muka. Namun, mereka tidak berjodoh hingga tidak sampai menikah.
Dari sana Nisa sadar kalau “curhat” antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim lebih banyak menimbulkan efek negatif. Maka sejak menikah Nisa berkomitmen dalam diri untuk tidak akan menerima curhatan dari laki-laki mana pun selain suaminya. Padahal
dulu sebelum menikah Nisa sering menerima curhatan dari teman-teman cowoknya. Namun,
tidak disangka ternyata justru suaminya malah menerima curhatan dari wanita
lain.
“Mama tidak menghalangi Ayah untuk menikah lagi kalau memang
itu yang terbaik untuk rumah tangga kita. Mama tetap sayang sama Ayah dan
anak-anak. Tapi Mama ingin keputusan itu didasarkan atas hasil istikharah,
bukan emosi sesaat. Libatkan Allah dalam masalah kita. Nanti malam kita
sama-sama istikharah memohon keputusan terbaik dari Allah.” Kata Nisa datar
sambil menyandarkan kepalanya di dada suaminya.
Suaminya langsung memeluk Nisa erat. Seolah berterima kasih
karena tidak marah atau sakit hati dengan perasaan “terlarang”-nya kepada
perempuan lain itu.
Nisa tampak tegar menerima curhatan suaminya yang sedang
jatuh cinta dengan perempuan lain seolah dia sedang menghadapi/menerima
curhatan orang lain, seolah yang sedang diselingkuhi itu bukanlah dirinya. Apalagi
Nisa memang sudah sering menerima curhatan dari teman-temannya. Entah apa yang
ada dalam benak Nisa hingga mampu bersikap datar tanpa emosi apalagi marah dan
menyalahkan suaminya. Mungkin karena dia sudah kenyang dengan ujian pahitnya
kehidupan pada masa lalu sebelum menikah sehingga ketika menerima kepahitan
hidup sekali lagi hatinya seolah “datar” saja. Yang ada dalam benaknya saat itu
hanya bagaimana membantu suaminya sembuh dari sakit fisik dan beban mental yang
maha berat bagi suaminya ini.
Usai mengungkapkan semua isi hatinya, Agung menyeka air
matanya. Aneh, seharusnyaNisa yang nangis, bukan Agung.
“Ma, Ayah mau tidur dulu!” kata Agung menyudahi pembicaraan
saat itu.
Nisa pun memberi kesempatan kepada suaminya untuk beristirahat.
Tidak berapa lama suaminya pun terlelap dalam tidur seolah semua kepenatan
hatinya hilang. Kini, gantian Nisa yang tidak bisa tidur.
Hingga malam larut Nisa masih sulit memejamkan mata. Hatinya
dipenuhi kegundahan luar biasa. Akhirnya Nisa bangun untuk mengambil air wudhu dan
mengenakan mukena. Dia tunaikan shalat istikharah mengadukan semua kegundahan
hatinya kepada Sang Pencipta dirinya, yaitu Allah Swt.
Usai shalat, dengan masih mengenakan mukena, dia dekati
suaminya dan mencium pipinya, “Ayah nggak solat tahajud?” Suaminya malah
melingkarkan tangan Nisa ke dalam pelukannya. Nisa pun memeluk suaminya,
diciumnya sekali lagi, dielusnya rambut suaminya penuh kasih sayang.
“Jam berapa, Ma? Biasanya Ayah shalat jam tiga pagi.” kata
suaminya sambil mengambil HP untuk melihat jam.
Saat itu tepat pukul 03.00 dini hari. Suaminya lalu bangun
dan mengambil air wudhu. Mereka berdua shalat tahajud. Mungkin ini tahajud
pertama mereka yang dilakukan secara berjamaah. Nisa mengakui akhir-akhir ini jarang
sekali tahajud. Dia mengakui kondisi batinnya sedang futur, ibadah sunah mulai
jarang dilakukan. Mungkin karena itulah Allah mengujinya dengan masalah seperti
ini agar dia kembali bersujud kepada-Nya.
Usai shalat, Agung dan Nisa ngobrol berdua. Nisa memulai
pembicaraan dengan mencoba berempati kenapa sampai lahir “rasa yang tidak
seharusnya” di hati suaminya kepada perempuan lain. Semua berawal dari
“curhat”. Nisa sadar bahwa perselingkuhan hati bisa menimpa siapa saja, hatta
seorang ustad. Nisa menceritakan kepada Agung tentang kasus seorang ustad di Bdg,
kota tempat kerja Nisa dulu sebelum menikah. Di sana ada seorang ustad yang
memiliki banyak jamaah pengajian. Dia juga punya yayasan yang mengurusi masalah
umat, salah satunya menampung masalah konsultasi rumah tangga. Namun, salahnya
ustad tersebut menghadapi sendiri klien muslimah, tidak diserahkan kepada konsultan muslimah juga. Suatu ketika ada salah satu
muslimah yang datang untuk berkonsultasi kepadanya. Entah bagaimana awalnya, akhirnya konsultasi antara ustad dan klien muslimah ini malah menimbulkan rasa saling jatuh cinta di antara mereka. Karena tidak mau
terjerumus dalam dosa mereka pun menikah padahal sang ustad sudah memiliki anak
dan istri. Banyak jamaahnya yang menghujat ustad tersebut. Mungkin karena tidak
tahan dengan tekanan sana-sini belum lagi konon muslimah itu pun bermasalah
sehingga sang ustad akhirnya menceraikan istri keduanya ini.
Semua berawal dari “curhat”. Yah, seorang ustad yang dibentengi ilmu agama kuat pun bisa terjerumus apalagi suaminya yang bukan siapa-siapa, bukan seorang ustad dan bukan lulusan pesantren. Untungnya Agung segera sadar dengan perasaannya yang salah dan segera mengakuinya di hadapan Nisa, istrinya. Menurut pengakuan Agung, “rasa terlarang” itu baru muncul seminggu sebelum dia mengakuinya di hadapan Nisa. Namun, meski belum lama tapi obrolan antara Agung-Laras sudah sampai pada rencana ke jenjang pernikahan (meski harus poligami).
Semua berawal dari “curhat”. Yah, seorang ustad yang dibentengi ilmu agama kuat pun bisa terjerumus apalagi suaminya yang bukan siapa-siapa, bukan seorang ustad dan bukan lulusan pesantren. Untungnya Agung segera sadar dengan perasaannya yang salah dan segera mengakuinya di hadapan Nisa, istrinya. Menurut pengakuan Agung, “rasa terlarang” itu baru muncul seminggu sebelum dia mengakuinya di hadapan Nisa. Namun, meski belum lama tapi obrolan antara Agung-Laras sudah sampai pada rencana ke jenjang pernikahan (meski harus poligami).
Orang yang sedang jatuh cinta kadang logika berfikirnya
tidak berjalan sempurna, lebih didominasi oleh emosionalnya. Karenanya Nisa
mencoba membantu suaminya untuk membuka logikanya.
“Mama paham kenapa Ayah ingin menolong Laras dengan
menikahinya. Karena Ayah tidak rela orang sebaik Laras menikah dengan laki-laki
bejat seperti pacarnya itu kan? Tapi pertanyaannya, apakah setelah Ayah
menikahinya maka semua masalah Laras pasti selesai? Atau malah bertambah?
Bagaimanapun, menjalani pernikahan poligami itu tidak mudah. Terutama bagi
perempuan. Dia butuh keluasan hati, ketegaran jiwa, kekuatan mental, kesabaran,
dan sebagainya. Menghadapi masalahnya yang sekarang saja Laras sebegitu
stresnya, apalagi nanti ketika dia dibawa ke dalam pernikahan poligami, apa
nggak semakin stres dia? Menolong kan tidak harus dengan menikahinya, Ayah.”
Kata Nisa menggambarkan resiko ke depan.
“Kalau Ayah memang butuh untuk menikah lagi, Mama sarankan
tidak menikah dengan perempuan seperti Laras. Dia sendiri sedang galau dengan
dilema masalahnya, apalagi jiwanya masih sangat labil. Kalau mau menikah lagi
carilah perempuan yang paham dengan pernikahan dalam Islam, terutama tentang
poligami dengan segala permasalahan di dalamnya. Bagaimanapun istri Ayah nanti
adalah calon ibu bagi anak-anak Ayah, maka carilah perempuan yang benar-benar mampu
mengemban peran ibu ini dengan baik. Apalagi dengan pernikahan poligami yang
memang tidak mudah menjalaninya. Mama butuh wanita yang bisa menjadi patner
buat Mama, bukan malah menjadi musuh.” kata Nisa menambahkan.
Agung hanya tersenyum dan memeluk Nisa erat.
“Kalau gitu Mama saja yang nyariin istri buat Ayah.
Syaratnya sederhana saja, asal dia bisa menghargai Mama. “ kata Agung tampak
sedikit sumringah.
“Memang Mama ikhlas kalau Ayah menikah lagi?” tanya Agung
penasaran.
“Ya…ikhlas nggak ikhlas Mama harus terima kalau memang
takdir Allah Swt. mengharuskan kita menjalani kehidupan poligami. Kalau Mama
nggak terima sama saja Mama nggak mau nerima takdir Allah.” Jawab Nisa.
Bukan berarti Nisa ikhlas sepenuhnya menjalani hidup
berpoligami, tapi dia sedang menyiapkan mentalnya untuk siap menghadapi
kemungkinan itu. Bagaimanapun tidak ada orang yang tahu takdir hidupnya ke
depan. Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan mental kita untuk siap
menghadapi semua takdir Allah, pahit maupun manis.
Dalam masa-masa ujian berat itu, Nisa meminta Agung untuk
tidak saling berkomunikasi dulu dengan Laras karena khawatir akan semakin
mengotori hati. Bagaimanapun perasaan yang terlanjur lahir di hati mereka
adalah salah di mata Allah. Maka tidak ada jalan lain kecuali menghindarinya
sampai ada keputusan terbaik dari Allah akan nasib hati mereka, apakah akan
berlanjut hingga jenjang pernikahan atau harus berakhir. Nisa mengambil
inisiatif menjadi mediasi komunikasi antara mereka bertiga; dia, Agung, dan
Laras.
Agung sadar dalam kondisi seperti itu dia tidak mungkin lagi
bebas berkomunikasi dengan Laras. Namun, Agung tidak mau kalau masalah ini akan
semakin membuat Laras terpuruk apalagi sampai bunuh diri. Kalau sampai itu
terjadi tentu Agung akan manjadi orang yang paling merasa bersalah kepada
Laras. Sepertinya kekhawatiran Agung sangat berlebihan, mungkin karena besarnya
rasa sayang Agung kepada Laras. Sebagai perempuan Nisa yakin Laras mampu
menghadapi masalahnya dan tidak akan bertindak senekad itu. Toh Allah tidak
akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Namun, itulah cinta hingga
seorang pecinta tidak akan rela melihat orang yang dicintainya menderita.
Keesokan harinya Nisa menelepon Laras. Sebisa mungkin Nisa berusaha
berbicara dengan nada datar tanpa marah sedikit pun. Nisa bilang kalau Agung
sudah menceritakan semua tentang perasaan sayangnya kepada Laras. Nisa malah
meminta maaf atas nama suaminya yang sudah lancang melamar Laras meski untuk
tahun 2015. Padahal Agung tahu Laras sedang menghadapi dilema masalah yang
berat. Agung hanya tidak mau semakin terjerumus dalam dosa (seperti orang pacaran)
sehingga mengajak Laras menuju jalan yang halal di mata Allah, yaitu nikah
meski harus berpoligami. Nisa memaklumi kalau Laras yang saat itu sedang
menghadapi masalah butuh seorang teman curhat seperti suaminya. Suaminyalah
yang salah karena membiarkan dirinya menerima curhatan dari perempuan yang
bukan muhrim. Laras juga meminta maaf kalau masalahnya menjadi seperti ini. Dia
mengaku kaget dengan lamaran Agung kepadanya padahal dia sedang menghadapi
masalah berat. Khawatir keputusannya hanya sebatas pelarian dari masalahnya
padahal dia masih muda dan memiliki masa depan yang panjang. Laras juga memohon
kepada Nisa untuk menyampaikan maafnya kepada Agung. Nisa menyanggupi.
Obrolan di telepon itu serasa belum menuntaskan masalah yang
ada. Nisa pun mengirimkan email kepada Laras. Dalam email sepanjang tiga
halaman, Nisa sedikit mengulas dan menegaskan obrolan di telepon bahwa dia
sudah memaafkan Agung dan Laras betapapun dia sudah dikhianati. Namun, Nisa
meminta mereka tidak saling berkomunikasi dulu sambil istikharah memohon jalan
terbaik dari Allah. Nisa juga menulis kilas balik kehidupannya pada masa lalu
ketika Allah mengujinya dengan beban berat. Saat itu dia tidak memiliki sahabat
yang bisa dijadikan tempat curhat kecuali buku harian dan mengadu kepada Allah
lewat doa dan shalat. Tanpa bantuan teman atau orang lain, memang butuh waktu
lama untuk bangkit, hampir dua tahun Nisa terus menangis setiap malam. Namun,
ketika mampu keluar dari belenggu kapahitan Nisa mendapatkan semangat hidup
yang permanen. Ibarat bangunan pondasinya sudah terpancang kuat sehingga ketika
menghadapi goncangan lain pada masa depan bangunan itu tetap mampu berdiri
kokoh.
Nisa berharap sharing-nya
ini bisa membuka mata hati Laras bahwa di dunia ini bukan hanya dia yang
menghadapi kepahitan dalam hidup. Selama masih ada Allah di hati kita akan
tetap mampu melihat indahnya kehidupan di tengah kepahitan. Dengan demikian
Laras akan tetap tegar dan mampu bersemangat dalam hidup ada atau tanpa Agung
suaminya.
Email itu terkirim tanpa balasan dari Laras. Entah terbaca
atau tidak oleh Laras. Agung sempat khawatir tidak ada reaksi balasan dari
Laras. Agung pun mengusulkan untuk mengirimkan beberapa buku kepada Laras atas
nama Nisa agar lebih bisa menetralkan kondisi saat itu. Agung meminta Nisa memberikan note
yang sekiranya bisa menyemangati Laras. Kalau semua dilakukan atas nama Agung khawatir akan
semakin memupuk perasaan “sayang” di antara mereka, sebuah perasaan yang tidak
seharusnya hadir karena tidak terjalin
dalam ikatan suci pernikahan.
Selama ini Nisa sudah membuka keran persahabatan untuk Laras
demi menetralisir masalah mereka. Padahal ini sangat berat bagi Nisa. Bagaimana
dia harus menjadi sahabat bagi wanita idaman lain suaminya? Dari sisi
kewanitaan dia menolak, tapi dari sisi kemanusiaan Nisa merasa tidak memiliki
pilihan lain kecuali menyanggupinya. Dia tahu banget bagaimana rasanya
menjalani kepahitan hidup tanpa ada orang yang bisa dijadikan tempat curhat. Itu
sebabnya dia rela membuat tulisan sepanjang tiga halaman demi menyemangati
Laras. Namun, semakin hari perhatian dan kekhawatiran Agung kepada Laras tampak
begitu besar hingga membuat Nisa cemburu.
“Sebegitu besarkah
rasa cinta suamiku kepada Laras? Apakah melebihi cintanya kepadaku?” begitu
batin Nisa.
Saat Agung sibuk memikirkan bagaimana menolong dan
membangkitkan semangat hidup Laras, tanpa dia sadari pada saat yang sama dia
sedang “menancapkan luka” di hati Nisa, istrinya. Agung menjadi sosok “malaikat
penolong” bagi Laras tapi “menorehkan luka” bagi Nisa. Meski perih, tapi
pengalaman kepahitan hidup pada masa lalu membuat Nisa tidak mudah menumpahkan
tangis. Selama beberapa hari dia mengabaikan rasa sakit hatinya karena fokus
mengurus suaminya yang sakit lalu berusaha menuntaskan permasalahan dengan
Laras. Lama kelamaan tubuhnya tidak mampu lagi menyangga perihnya. Tubuhnya terasa
lemas lunglai, tenaganya seperti habis diperas usai membawa beban berton-ton
banyaknya. Tidak ada daya untuk melakukan apa pun, bahkan untuk shalat dhuha
pagi itu. Mukenanya masih meliliti tubuhnya tapi tidak ada tenaga untuk berdiri
menunaikan hajatnya. Akhirnya Nisa tiduran di kasur. Menahan sesak di dada,
Nisa pun menuliskan pesan singkat ke HP suaminya.
“Sejak ujian berat menimpa rumah tangga kita, rasa sayang
Mama ke Ayah tidak berkurang. Tapi jujur, rasa percaya Mama ke Ayah sudah
berkurang. Kalau dulu Mama percaya 100%, sekarang entah tinggal berapa persen.
Terserah Ayah mau mengembalikan kepercayaan Mama atau akan menghancurkannya.”
Rasa cemburu, khawatir, sakit hati, dan sebagainya
berkecamuk dalam dada Nisa. Pikiran-pikiran negatif tentang suaminya sering
menghantui benaknya dan sulit dienyahkan. Dia sulit mengambil rasa percaya
untuk suaminya. “Beginikah rasanya
dikhianati cinta? Aku sadar kalau aku bukan istri yang sempurna bagi suamiku,
tapi apakah karena ketidaksempurnaanku ini suamiku berhak mengkhianati
cintaku?” jerit batin Nisa.
Kepala Nisa terasa sangat berat hingga takkuasa menahan
kantuk. Nisa pun langsung tertidur setelah meng-sms suaminya. Beberapa kali
suaminya menelepon dari kantornya tapi Nisa tidak mengangkatnya. Tubuhnya masih
sangat lemas, tulang-tulang tubuhnya seperti ditumbuk hingga takmampu mengangkat
telepon.
Tidak disangka, empat jam kemudian suami Nisa pulang ke rumah. Padahal
perjalanan dari kantor ke rumah lumayan lama, dua jam. Waktu menerima sms dari
Nisa, Agung baru sampai di kantor. Begitu Nisa tidak membalas sms dan tidak mau
mengangkat telepon darinya, Agung langsung memutuskan untuk pulang. Agung
sempat mampir dulu ke masjid pinggir jalan untuk shalat jumat. Nisa yang sudah
tertidur selama empat jam sudah mulai menemukan kekuatan tubuhnya. Dia bangun
dan menemui suaminya. Agung sempat menanyakan kepadanya kenapa tidak mengangkat
telepon darinya. “Nggak tahu, tubuh Mama rasanya lemas sekali.” Hanya itu jawaban
dari Nisa.
Selama ini sebenarnya Nisa sudah terbentur cemburu dengan
almarhumah istri Agung yang seolah masih terus kokoh tersemat di hati Agung.
Agung sering menceritakan saat-saat kebersamaan dengan almarhumah istrinya.
Tentang bagaimana dia mengajari istrinya mengaji alif-ba-ta, mengajari shalat,
dan ilmu agama lain. Almarhumah boleh dibilang “awam” dengan Islam meski
terlahir dari keluarga muslim. Semua itu seolah menjadi masa-masa terindah
dalam hidup Agung. Sementara dengan Nisa hal itu tidak pernah dilakukan karena
Nisa lebih mapan dari sisi ilmu agama, apalagi dia lulusan pesantren. Lalu,
sekarang harus dibenturkan lagi dengan kecemburuan baru oleh hadirnya Laras
yang kalau dilihat dari ilmu agama juga masih butuh bimbingan. Mungkin Agung
berharap bisa kembali menikmati masa-masa membimbing ilmu agama kepada istri
dengan menikahi Laras, satu hal yang tidak dia dapatkan ketika hidup bersama
Nisa. Yah, ironis memang. Seharusnya, ketika memiliki istri yang berkecukupan
dari sisi ilmu agama membuat suami lebih giat lagi menuntut ilmu agama sehingga
bisa bahu-membahu bersama istri untuk memperbaiki ibadah, keimanan, dan
ketauhidan di dalam keluarga, baik antara suami-istri maupun anak-anak. Bukan
malah berpikir untuk mencari istri yang notabene ilmu agamanya berada di bawah
dia.
Setiap manusia baik
laki-laki maupun perempuan pasti ingin memiliki posisi istimewa di hati orang
yang dicintainya. Begitu pula dengan
Nisa. Dia pun ingin menjadi istimewa di hati suaminya. Namun, sepertinya itu
sulit bagi Nisa. Dia merasa seolah terjepit antara perempuan di masa lalu
suaminya dan perempuan yang ingin dikejar suaminya pada masa depan. Nisa seolah
hanya pijakan sementara untuk mengisi kelabilan kondisi Agung sepeninggal
istrinya. Setelah kondisinya kembali stabil.… entahlah… mungkin perempuan lain
yang akan mengisinya. Kondisi ini sering membuat penat hatinya hingga kadang
ingin lari dari rumah suaminya. Dia ingin beritikaf berhari-hari di masjid agar
dapat berdialog berdua dengan Allah Swt. tanpa dibebani tugas-tugas rutin. Di
sana dia bisa fokus untuk beribadah dan mengadukan segala kepenatan hatinya
tanpa dilihat orang lain. Hanya berdua dengan Allah Swt. Namun, ketika teringat
dengan anak-anak keinginan itu langsung ditepisnya. Siapa yang akan meninabobokan anak keduanya? Siapa yang akan menyediakan
makanan untuk anak-anak? Siapa yang akan menyambut anak keduanya di rumah
ketika pulang sekolah? Siapa yang akan menemani anak-anak sebelum ayahnya
pulang?
Sebelum menikah Nisa tidak mau pacaran dan sengaja
mengosongkan hatinya untuk memberikan tempat itu kepada seorang pria yang
benar-benar sah menjadi suaminya kelak. Akhirnya Agung datang menjadi sosok
suami baginya. Nisa pun bertekad hanya akan memberikan cintanya 100% kepada
suaminya ini, sosok yang dinikahi atas nama Allah. Apalagi Agung adalah tipe
suami yang diinginkannya, baik, shalih, cerdas, tidak gengsi untuk membantu
pekerjaan rumah dari mulai mencuci baju hingga mencuci piring tanpa diminta.
Saking cintanya kepada suami, Nisa bahkan pernah merasa seolah tidak ada yang
lebih berharga di dunia ini kecuali suaminya.
Namun, mungkin Allah yang Maha Pencemburu tidak rela kalau hamba-Nya
terlalu mencintai makhluk-Nya dibanding Dia. Karena itu Allah memberikan ujian
perselingkuhan hati suaminya. Satu hal yang lebih menyakitkan bahwa selama ini
Nisa sangat menjaga pergaulan dan dirinya agar tidak disentuh oleh laki-laki
mana pun kecuali suaminya. Namun, pria yang dicintainya 100%
ini ternyata lebih memilih mencintai wanita yang rela dirinya dijamah oleh
laki-laki lain yang belum halal baginya. Seolah dirinya tidak lebih berharga
dari perempuan seperti itu.
Selama proses istikharah, meski perih, Nisa tidak pernah
menumpahkan setetes air matanya sekali pun di hadapan suaminya. Dia hanya
menumpahkan semua kegundahan hatinya kepada Allah lewat sujud-sujud dalam
shalat di sudut kamarnya. Di hadapan Penciptanya Nisa lebih mudah menumpahkan
tangis dan kepedihan hatinya.
“Ya Allah, jadikan hamba istri terbaik bagi suami hamba,”
pinta Nisa dalam doanya kepada Allah Swt.
Keesokan harinya Agung memberi kabar kalau hubungannya
dengan Laras sudah berakhir. Laras sudah kembali ke pacarnya dan mereka akan
lamaran akhir tahun ini. Legakah hati Nisa? Belum sepenuhnya. Laras memang
sudah memutuskan untuk kembali ke pacarnya tapi entahlah dengan hati Agung.
Apakah dia mampu mengenyahkan rasa sayangnya kepada Laras atau tidak? Yang
pasti keputusan Laras ini mengecewakan Agung dan membuatnya sangat terpukul.
“Ayah sendiri nggak habis pikir kenapa bisa terpedaya oleh
anak yang usianya jauh di bawah Ayah. Seolah dia anggap apa Ayah ini? Hanya
pelariannya saat dia terpuruk dengan pacarnya? Begitu dia sudah mampu memaafkan
pacarnya dia pun kembali kepadanya.” Perih Agung mengadu di hadapan Nisa.
“Hm…” Nisa hanya menarik nafas antara lega dan prihatin.
Lega akhirnya pikiran suaminya terbuka kalau Laras bukan
yang terbaik untuknya. Prihatin melihat suaminya yang terluka sedemikian hebat
hingga membuatnya terkuras hati, pikiran, bahkan tenaganya hanya memikirkan
Laras.
Nisa sadar ujian ini hadir karena Allah ingin mengingatkan
dirinya yang telah lalai kepada-Nya, telah salah mengarahkan perasaan cintanya.
Dalam keheningan, Nisa mengadu kepada Allah Swt.
“Ya Allah, ampuni hamba yang telah salah mengarahkan rasa
cinta ini. Seharusnya hanya kepada Engkaulah hamba serahkan semua cinta ini. Bukan
kepada makhluk-Mu sekalipun dia halal untuk hamba cintai. Engkaulah Zat yang
tidak akan mengecewakan hamba-hamba-Mu yang berserah diri dan menyerahkan
cintanya kepada-Mu. Sementara cinta kepada yang lain hanya akan menyematkan
luka pada akhirnya. Ampuni hamba, ya Allah.”
***
Kisah nyata ini saya paparkan atas izin Nisa dan Agung
dengan harapan semoga bisa menjadi ibrah bagi pembaca semua agar lebih
berhati-hati menjaga “hati pasangan” kita. Jangan sampai hatinya terluka karena
pengkhianatan cinta kita. Sekali pasangan kita merasa dikhianati selamanya luka
itu akan terus tertanam di hatinya. Kalaupun pasangan kita mampu memaafkan,
luka itu akan terus menganga. Seperti paku yang kau tancapkan di dinding,
kalaupun kau cabut pakunya pasti bekas tusukannya akan tetap tampak melukai
dinding.
Karenanya, berhati-hatilah, jangan sampai membuka pintu yang
akan menjerumuskan kita pada ruang perselingkuhan. Salah satunya saling curhat
antara dua insan berlainan jenis yang bukan muhrim. Jangan sampai kita rela mati-matian mengejar “cinta yang belum pasti”
dengan mengabaikan cinta yang pasti sudah menjadi milik kita. Bisa-bisa
kita akan kehilangan keduanya. Naudzubillahi
min dzalik. @
:)
BalasHapusSolehah banget ya, Nisa. Super sekali!!! Salut n kagum sama Nisa. Tp kenapa ya kok bisa-bisanya Agung berkata: “Kalau gitu Mama saja yang nyariin istri buat Ayah. Syaratnya sederhana saja, asal dia bisa menghargai Mama. “ apa dia gak mikirin perasaan istrinya ketika berkata begitu? Istrinya tdk marah atas penghianatan hati yg dilakukannya saja itu sudah luar biasa, tdk semua perempuan bisa bersikap bgtu, tp knpa dia seolah gak menyadari ke luarbiasaan istrinya, malah menambah luka hati dengan perkataan trsbt.
BalasHapusDoa buat Agung & Nisa, semoga tidak terulang lagi kejadian seperti ini. Smga kejadian trsbt bisa menjadi pelajaran buat mereka, terutama agung. Semoga Agung bisa mengingat kebaikan2 Nisa yg rela mengurus kedua anaknya dengan tulus, yg rella mengorbankan karirnya demi bisa full merawat & membimbing anak suaminya yg ia anggap & sayangi seperti anak sendiri.
Ya begitulah kehidupan...realitasnya tidak selalu sesuai dg logika berfikir kita. Makasih udah mau baca tulisan Teteh ya....makasih doanya buat mereka.
Hapusada beberapa hal yang terlihat dan mudah untuk dinilai, bagaimana dengan sesuatu yang tak terlihat tetapi imbasnya (hantaman kekuatannya) nyata?
BalasHapusSesuatu yg tak terlihat memang sulit dinilai, hanya Allah yang tahu dan Dia Penilai yg sebenar-benarnya sementara penilaian manusia sering banyak salahnya. Wallahu'alam.
HapusBegitulah Kehidupan Rumah tangga, sy pun mengalaminya, usia perkawinan kami sekarang menginjak 12 tahun, cerita nya sangat mirip dengan Rumah tangga kami, tapi saat itu , suami sy Tidak meminta izin untuk menikahinya, tapi sepertinya dia ingin sembunyi untuk menikahi gadis pencurhat itu, tapi akhirnya masalah itu sy ingin selesaikan melibatkan orang tua saya dan keluarga besarnya, karena andaipun suami sy menikahi nya Orang tua kami harus mengetahui itu, juga kakak-kakaknya dan saudara nya semua, karena bila nanti mereka menikah, bila mempunyai keturunan maka Nasabnya akan tersambung kepda keluarga besar suami sy, tp ...ternyata suami sy malah marah dan berteriak sambil membanting Handphone nya, bahkan sambil berteriak dan menunjuk wajah saya dan orang tua saya, dia bicara "Suami sy tidak akan menikahi wanita itu kapanpun, "..mungkin itu menutupi malunya karena di hadapan keluarga besarnya, suami sy dianggap lelaki baik dan penuh tanggung jawab.......kejadian di tahun 2011, dan di tahun 2014....SMS dari Perempuan curhat itu adal lagi pada Pkl 23.45 (jam 11.45 malam) ...ternyata yang membaca Putri kami, Isinya Curhat itu, " Perempuan pencurhat itu baru menikah 1 tahun, tapi dia tidak bahagia karena suaminya tidak memberikan perhatian, malah bahkan perempuan yang bersuami itu lebih senang kepada suami sy, dan perempuan curhat itu menjelekkan suami nya sendiri, Astaghfirullah..........", sy tdk mengerti, perempuan itu berhijab sm spt sy, dan perepuan itu pun pernah umroh serta di Kantornya pun sikap dan sifat nya pendiam .......Astagfirullah, sy tau tempat kerja dan rumahnya, tp buat apa ???? suami sy bukan milik sepernuhnya saya, dia berhak juga mendapatkan kebahagian versi dia, bahkan sy menganjurkan untuk menikahi perempuan curhat itu, dan mahar nya pun dari sya, tp suami sy malah menolaknya, dia Bicara " Perempuan itu buat tempat senang curhat aja, daripada jenuh di kantor dan mumet dengan pekerjaan, ada SMS dari dia kan lumayan...' ..Astaghfirullah
BalasHapusKalau suami Anda tdk berminat menikahi prm itu seharusnya dia bisa dg tegas menolak curhatan prmpuan itu. Klo terus berlnjut maka bkn tdk mungkn godaan setan akan terus merangsek masuk hingga menumbngkn iman. Doakan slalu suami Anda agar terus dibimbing Allah dlm jalan yg lurus, yaitu jaln yg diridhai Allah.
HapusTerima kasih utk komentar n sharenya. Di luar sana mngkn banyak rumah tangga lain yg mengalami hal sama. Smoga tulisan ini dpt mnj pncerahn bagi mrk. Amin.
bagus, inspiratif teh. Eh, postingan 2014 nya mana?
BalasHapusMakasih Pak dah mau mampir ke blog saya. Iya nih....sibuk ma kerjaan rumah tangga jadi jarang ngeblog.
HapusMakasih Pak Ahmad dah mau nengok blogku. Iya nih....dah jadi emak2 mah sibuk ma kerjaan dapur sampe gak smpt nulis blog.
HapusBagus bgt inspiratif sekali... saya selalu marah kepada calon suami saya karna banyak teman perempuan2 yg curhat kepadanya.. tidak tanggung2 sehari bisa brkali2 berjam2 telpon.. mengajakna ketemuan berdua dipantai dgn alasan curhat telpon tengah malam... apa kah saya salah jk saya merasa marah kepada perempuan itu? Walaupun saya dan dia masih sebatas sudah lamaran? Saya harus bagaimana mbk?
BalasHapusWah itu sih kelewatan namanya mbak...klo sampe curhat di pantai. Katakan secara tegas kalau Anda tidak berkenan dg curhat2an dr tmn2 wanitanya. Tentu ada batasan curhat seorang tmn dg kegiatan berteman sewajarnya. Ada baiknya sarankan saja curhat ke psikolog yg memang profesional menangani masalah. Daripada curht kpd calon suami Anda yg blm tntu bisa mberikn solusi trbaik. Mberikan prhatian & mjd pendengar yg baik mungkin, tp blm tentu bisa mberikn solusi trbaik. Salah2 mmg prm itu sebenernya hanya butuh prhatian dr cowok Anda, bkn solusi masalh.
BalasHapusDlm Islam jelas berdua2 dg lawan jenis trmasuk berkholwat yg dilarang agama. Gak usah jauh2 bicara soal larangan agama deh. Coba tanya balik ke dia apa dia rela klo ada tmn cowok Anda yg curhat kpd Anda hingga berjam2 & menyita waktu kebersamaan dg calon suami? Apa dia rela klo Anda memilih curhat kpd laki2 lain krn dia trlalu sibuk menerima curhat dr prm lain? Klo dia mau jujur pasti jawabannya TIDAK RELA.
So, doakan smoga calon suami Anda adlh lelaki yg mencintai Anda krn Allah krn org spt itu akan takut menyia2kn wanita yg dinikahinya krn Allah. Jgn sampe calon suami Anda ingin mnjd hebat di mata para prm yg suka curhat kpdnya tp tdk mau mnjd hebat di mata wanita yg dikasihi n bakal mndampingi hidupnya dunia akhirat, yaitu Anda.
Saya laki-laki seorang suami yang insyaa Allah setia dengan istri saya.....Saat ini Allah sedang menguji saya dengan memberikan cinta kepada perempuan lain selain istri saya, kisah diatas persis seperti yang terjadi pada saya. Awalnya curhat dari teman kerja saya, seorang janda cerai (non muslim) yang suaminya suka selingkuh. Perempuan itu curhat mengenai anak-anaknya dan kehidupannya dulu yang pahit. Saya awalnya bersimpati atas hidupnya yang susah tapi lama-kelamaan timbul rasa cinta dihati saya mungkin juga dengan perempuan itu. Kami sering jalan-jalan dan makan bersama cuma itu tidak lebih. Tapi hati saya merasa mengkhianati istri saya yang tidak tahu akan hal ini. Entah bagaimana Allah membukakan jalan bagi saya, perempuan itu benci sama saya, padahal kami sedang akrab sekali, yang tadinya sangat dekat jadi menjauh dengan alasan saya memanfaatkan dirinya yang berstatus janda. Saya mulanya heran karena dia yang mulai curhat ke saya tetapi saya yang dituduh memanfaatkan. Akhirnya saya sadar ini jalan Allah untuk kami tidak terlalu dekat tapi saya sudah terlanjur mencintainya. Sangat sulit menghilangkan rasa itu tapi saya juga tidak mau membiarkan rasa cinta itu menjadi liar. Satu sisi saya ingin menjalin hubungan dengan perempuan itu dan berharap dia menjadi muslimah, tapi satu sisi yang tidak mau mengkhianati cinta saya kepada istri saya, karena istri saya bagi saya begitu sempurna, dia itu cerdas, cantik, sholehah, ilmu agamanya pun tinggi, ketakwaannnya gak usah ditanya.
BalasHapusCerita diatas membuka dan menyadarkan saya bahwa Allah masih sayang sama saya sehingga ‘cuma’ ditegur dan tidak terjerumus lebih jauh. Saya yakin Allah juga yang menuntun saya ke blog ini agar dapat pelajaran yang berharga. Saya akan coba menghilangkan rasa cinta saya ke teman saya sedikit demi sedikit hingga hilang sama sekali. Walaupun kelihatannya sulit tapi saya yakin Allah tidak akan membiarkan hambaNYA terus bergelimang dosa…..Terima kasih Allah terima kasih mba Indah.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus