Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Agustus 04, 2009

Kalau Ingin Berubah, kenapa Menunggu Setelah Menikah?


“Saya ingin berpakaian kayak mbak Indah, pakai jubah dan jilbab lebar, tapi nanti setelah menikah. Kalau sekarang saya belum bisa. Saya kan masih suka pacaran,” Demikian curhat seorang sahabatku. Dia memang sudah berjilbab, tapi pakaiannya umum (bukan jubah dengan jilbab lebar).

Menurut saya, pakaian bukanlah ukuran keimanan seseorang. Seorang yang sehari-harinya berjubah dengan jilbab lebar, bukan jaminan bahwa dirinya bakal lebih dulu masuk syurga dibanding muslimah lain yang mungkin cara berjilbabnya masuk kategori biasa (kadang tomboy dengan celana panjangnya, atau sedikit feminan dengan kulotnya, sekali-kali memakai rok dengan jilbab standart).

Tapi image yang kadung muncul, muslimah dengan pakaian jubah dan jilbab lebar seolah kehidupan religinya lebih terjaga, begitupun pergaulannya. Menjadi muslimah kaafah lahir dan batin memang harapan semua muslimah. Semoga jilbab memang benar-benar mampu menjaga kehidupan sosial dan religi pemakainya. Amin.
***

Pertanyaan pendek dari sahabatku itu sempat menjadi perenungan tersendiri bagiku. Saya jadi teringat dengan curhatan sahabatku yang sudah menikah.

“Setelah menikah, saya baru menyadari kenapa Allah memberikan pahala setengah agama bagi orang yang menikah. Ternyata, tantangan beribadah setelah menikah itu besar sekali, apalagi setelah punya anak. Waktuku nyaris habis untuk mengurus anak. Mau tahajud bawaannya males banget, bahkan waktu istirahat pun nyaris tidak ada. Apalagi mengisi waktu untuk tadarus Al Quran. Duh….males banget.”

Ternyata, butuh perjuangan besar untuk istiqamah dalam menjalankan ibadah vertikal kepada Allah setelah menikah. Padahal Allah akan memberikan pahala besar pada satu ibadah yang tantangan/rintangannya besar pula. Semakin besar tantangan, semakin besar pula pahalanya. Mungkin karena itulah Allah memberikan pahala setengah dien bagi orang yang menikah?

Sahabatku ini, boleh dibilang ibadahnya lebih rajin daripada saya. Tapi ternyata sempat terjangkit penyakit futur dalam beribadah, padahal suaminya bukan seorang yang acuh dalam soal agama. Bukan sekali-duakali suaminya mengingatkan dia agar rajin tahajud, bertadarus Al Quran dan ibadah sunnah lain. Tapi, ternyata serangan “malas” masih dominan menghinggapi dirinya.

Saya ngebayangin, gimana saya yah…yang ibadahnya tidak lebih rajin daripada dia. Apa setelah menikah saya pun akan mengalami “futur” yang sama? Atau bahkan lebih parah? Na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah selalu membimbingku agar selalu dekat dengan-Nya. Amin.
***

Setiap wanita pasti berharap mendapatkan suami yang shalih dan dapat membimbing keimanannya. Idealnya seperti itu. Tapi, realita yang banyak dihadapi oleh muslimah tidaklah demikian. Bersyukurlah bagi muslimah yang mendapatkan suami yang bisa menjadi imam di kaluarganya dan benar-banar tahu agama sehingga dapat mendukung penuh istrinya untuk berpenampilan lebih syar’i dengan jubah dan jilbab lebar. Tapi bagaimana kalau suaminya tidak mendukung ke arah sana? Mugkin saja suaminya ingin melihat istrinya berpenampilan lebih modis meski tetap berjilbab. Atau kalau toh suaminya seorang yang ‘alim, ternyata dia lebih sibuk dengan kegiatan dakwahnya sehingga tidak sempat membimbing istrinya secara lebih intensif. Itu berarti dia harus mampu membimbing dirinya sendiri agar dapat tetap mendukung dakwah suaminya.

Satu lagi pertanyaan besar, siapa yang bisa menjamin umur manusia? Tidak semua manusia yang lahir ke dunia ini meninggal setelah dia menggenapkan dien-nya dengan menikah. Bagaimana kalau Allah menjemput ajal kita sebelum menikah, padahal kita belum sempat mengubah/memperbaiki ibadah kita?

Jadi, kalau ingin mengubah diri, kenapa harus menunggu setelah menikah? Siapa tahu, justru setelah kita mampu memperbaiki diri sesuai aturan Allah, jodoh justru datang menghampiri diri kita. Amin.

Yakinlah, bahwa ada pembimbing sejati yang selalu setia membimbing kita, yaitu Allah Swt. Kepada-Nyalah kita meminta bimbingan dan pengampunan. Kepada-Nyalah kita berserah dengan hidup dan kehidupan kita. Kalau toh kita mendapat bimbingan dari manusia, hakikatnya Allahlah yang menggerakkan hatinya untuk mampu membimbing kita. @

2 komentar:

  1. Artikel yang menarik nih B.Indah...
    Terimakasih dan mampir juga ya Ke Blog saya..

    BalasHapus
  2. makasih ya dah komen. saya dah kunjungin blogmu.

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.