Dulu, sebelum menikah, saya selalu berdoa kepada Allah Swt., “Ya Allah, pertemukan hamba dengan seorang suami yang taat kepada-Mu agar ketaatan hamba kepadanya bermuara kepada-Mu. Buatlah dia memiliki wibawa di mata hamba agar mudah bagi hamba untuk menaatinya.”
Kenapa saya berdoa seperti itu? Karena bagaimana pun tugas utama seorang istri adalah menaati suami. Seperti sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadits berikut ini.
"Seandainya aku boleh
menyuruh seseorang agar sujud kepada orang lain, niscaya aku akan menyuruh
seorang istri agar sujud kepada suaminya." (HR At Tirmidzi, sanadnya sahih)
Lalu, mengapa saya meminta kepada
Allah Swt. seorang suami yang memiliki wibawa di mataku? Karena seorang suami
yang berwibawa akan membuat seorang istri mudah untuk tunduk menaatinya.
Mendengar kata “wibawa” mungkin yang
terbayang dalam benak kita adalah seorang yang tinggi besar seperti SBY, atau berpendidikan
tinggi dengan titel serenceng, atau orang yang memiliki harta berlimpah dan
keturunan keluarga terpandang, atau orang yang memiliki pekerjaan bagus dengan
gaji selangit, atau seorang pejabat yang berpengaruh dan memiliki kedudukan
tinggi di masyarakat, atau seorang yang memiliki tubuh berotot dan kuat seperti
Ade Ray, atau bahkan seorang pemberang seperti preman sehingga orang lain
tunduk takut kepadanya.
Membahas masalah “wibawa suami” sering
berbanding terbalik dengan bahasan “Suami Takut Istri”. Tidak sedikit artikel
yang membahas masalah “Suami Takut Istri” yang mengaitkan dengan tidak adanya
wibawa suami. Saya tidak ingin berteori tentang apa yang membuat seorang suami
menjadi takut dengan istrinya sendiri sehingga tidak memiliki wibawa di hadapan
istrinya. Saya hanya ingin sharing
tentang bagaimana wibawa seorang pria (baca: suamiku) di mataku. Bukan untuk
menguliti dirinya, tapi semoga tulisan ini akan membuka cara pandang kita
tentang “wibawa suami” yang sebenarnya.
Hal apa saja yang membuat seseorang
tampak berwibawa?
- Harta dan kedudukan?
Apakah kekayaan dan
kedudukan yang membuat suamiku tampak berwibawa di mataku? Realitasnya, dia
lahir dari keluarga biasa yang secara ekonomi boleh dibilang masih di bawah
keluarga saya. Pekerjaan dan penghasilan bulanannya sekadar cukup untuk
kebutuhan keluarga dan pendidikan anak. Namun, dia menjadi berwibawa di mataku
karena dia seorang yang bertanggung jawab dan memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana
seharusnya menafkahi keluarganya. Dia sangat all out memberikan waktu, tenaga, dan materi yang dia miliki untuk
keluarganya. Dia tidak pernah gengsi memberikan tangannya untuk membantuku
mencuci baju dan menyetrikanya dengan suka rela tanpa diminta. Dia juga tidak
gengsi pergi ke dapur membuatkan mie instant untuk kami makan sepiring berdua.
(Satu pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap menurunkan derajat kaum
pria). Namun, bagiku ini bentuk rasa sayang dan perhatian suamiku kepada saya
sebagai istrinya. Pemberian materi kepada keluarga memang penting, tetapi
pemberian waktu dan kasih sayang untuk keluarga jauh lebih penting. Terima
kasih untuk suamiku yang telah memberikan semua yang kau miliki dan mampu kau
lakukan untuk keluarga kita.
Satu hal yang saya
suka darinya, dia tidak pernah tampak minder di hadapan keluargaku meski secara
ekonomi keluargaku boleh dibilang lebih mapan. (Pede itu penting, bro. Itulah
yang dimiliki suamiku. Pede abis dan sedikit nekat itu pula “modal”-nya saat
menikahiku). Minder hanya akan membuat “wibawa” seseorang hilang.
- Berpendidikan tinggi dengan titel serenceng?
Karena kondisi
ekonomi, suami saya hanya sempat menyelesaikan pendidikan terakhirnya di
tingkat SMA. Meski saya bolah dibilang berpendidikan lebih tinggi hingga
sarjana, tetapi kami tetap bisa nyambung dalam berkomunikasi. Bukankah inti
dari komunikasi adalah “bisa nyambung” dengan lawan bicara? Meski kita
berbicara dengan seorang doktor sekalipun, tetapi kalau kita tidak bisa
“nyambung” dan paham dengan apa yang dia bicarakan─dan dia juga tidak paham
dengan apa yang kita bicarakan─itu berarti komunikasi tidak berjalan efektif. Meski
tidak berpendidikan tinggi, tetapi suamiku seorang yang sangat cinta ilmu, mau
terus belajar dan memperbaiki diri. Dia juga hobi membaca. Koleksi bukunya bisa
jadi lebih banyak dari koleksiku. Kami bisa sharing
apa pun sesuai tema yang kami inginkan. Meski bukan lulusan pesantren, tetapi
dia sangat giat belajar agama di berbagai majelis taklim (dan mengamalkannya).
Bagiku, ini cukup membuatnya tampak berwibawa di mataku karena menurutku orang
seperti dialah “pembelajar sejati”. Seorang sarjana sekalipun belum tentu bisa
disebut “pembelajar sejati” bila proses belajarnya berhenti hanya sampai ketika
dia mendapatkan selembar ijazah kesarjanaan. Apalagi bila ilmu yang didapat
selama ini tidak diamalkan.
- Kekuatan fisik?
Orang sering
menyetarakan wibawa dengan kondisi fisik seseorang; tinggi besar seperti SBY
mungkin, atau sekuat Ade Ray, atau segarang preman. Realitasnya, suami saya
hanya pria biasa yang berperawakan sedang meski tetap lebih besar dan tinggi
dibanding saya (maklum saya kan imut. hehehe). Konon ceritanya waktu kecil dia
malah sering sakit-sakitan. Dia tidak pernah tampil garang dan pemarah di
hadapanku hingga membuatku tunduk dalam ketakutan. Dia juga tidak pernah
menyuruhku dengan tegas dan otoriter. Bahkan, kadang rengekan dan kemanjaannya
malah mudah membuatku luluh untuk menurutinya.
Tidak sedikit pria
yang menggunakan ototnya untuk menguasai perempuan (baca: istrinya). Bila
istrinya tidak taat dia gunakan tangannya untuk menampar dan menyakiti istrinya
sendiri secara fisik. Padahal, istri seharusnya dilindungi dan disayangi.
Mungkin itulah cara yang dianggap efektif untuk membuat istrinya tunduk patuh
kepadanya. Kekuatan fisik mungkin ampuh membuat seorang istri tunduk kepada
suaminya, tetapi “ketundukan” yang menakutkan. Padahal, yang dibutuhkan seorang
suami sebenarnya adalah “ketaatan yang penuh ketakziman” dari istrinya.
Ketaatan seperti ini pula yang seharusnya diberikan oleh istri, bukan
“ketundukan yang membuatnya terkungkung dalam rasa takut”.
Seorang suami yang
memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya akan membuat istri pun
tergerak hati untuk memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. Pemimpin yang
penuh kasih sayang akan membuat orang yang dipimpinnya memberikan ketaatan
kepadanya dengan sukarela penuh ketakziman. Bagaimanapun, seorang istri
memiliki hak untuk dipimpin oleh suami dengan penuh kasih sayang seperti yang
Rasulullah saw. ajarkan.
Rasulullah
saw. pernah ditanya tentang apa hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami? Lalu,
beliau menjawab, "Kamu memberi makan kepadanya, jika kamu makan. Dan kamu
memberi pakaian untuknya, jika kamu memakai pakaian. Dan janganlah kamu memukul
wajah, menjelek-jelekkannya, dan jangan pula kamu mendiamkannya kecuali di
dalam rumah." (HR. Ahmad dan Abu Daud)
- Kekuatan psikis?
Bila tugas utama seorang
istri adalah “taat” kepada suami sesuai hadits yang telah saya sebutkan
sebelumnya, maka tugas utama seorang suami adalah menjadi “imam” atau “leader” bagi keluarganya. Seseorang
yang memiliki jiwa “leader”
(pemimpin) secara psikis akan memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain untuk
mengikuti perintahnya tanpa membuat orang tersebut merasa disuruh. Kekuatan
mempengaruhi ini bisa jadi dipengaruhi oleh “wibawa” atau “kharisma” yang
dimiliki seseorang.
Seorang pria (baca:
suami) boleh saja lemah secara fisik, cacat atau lumpuh sekalipun seperti Ahmed
Yassin (pemimpin Palestina), tetapi dia tidak boleh lemah secara psikis. Dia
boleh miskin materi tapi tidak boleh miskin hati. Dia boleh tidak punya
kedudukan berarti di mata manusia, tetapi tidak boleh menjadi hina di mata
Allah Swt.
Bila poin-poin
sebelumnya tidak berlaku bagi saya, tetapi untuk yang terakhir ini sangat
berpengeruh bagi saya tentang kesan seorang yang berwibawa. Suamiku memang
tidak sekaliber Ahmed Yassin dalam memimpin umat, tetapi dia mampu memimpin hatiku
dalam ketaatan kepada-Nya, bisa menjadi imam shalat yang baik, siap menegurku
ketika lalai dalam ibadah sesuai yang disyariatkan Rasulullah saw. Bagiku, ini
cukup membuatku untuk “menaatinya”. Ketaatan yang membuatku semakin
menyayanginya, bukan ketaatan yang mengungkungku dalam ketakutan. Ketaatan yang
semoga bermuara pada ketaatan kepada Allah Swt.
Tidak peduli apa kata orang lain
tentang suamiku, yang penting bagiku dia tetap seorang suami yang penuh wibawa
di mataku. Saya bersyukur Allah Swt. telah mengabulkan doa hamba-Nya yang lemah
ini.
Tidak ada manusia sempurna di dunia
ini, begitupun suamiku. Namun, kekurangannya justru membuatku sadar dan
bersyukur karena berarti aku menikahi manusia biasa, bukan malaikat. Kalau dia mampu
menerima kekuranganku yang jauh lebih banyak daripada kekurangannya, kenapa
saya tidak mampu menerima kekurangannya yang mungkin hanya sepele?
Kalau saya menulis materi ini bukan berarti telah sempurna ketaatanku kepada suami. Saya sadar bahwa saya masih harus berusaha keras untuk menjadi istri yang taat kepada suami dalam ketaatan kepada-Nya sambil terus berdoa, “Ya Allah, bimbing hamba agar mampu menaati suami dalam koridor ketaatan kepada-Mu.”
Tulisan ini sekadar sharing. Semoga mampu menggugah para istri atau calon istri untuk
semakin menguatkan “ketaatan” kepada suami dalam syariat-Nya. Bila mungkin
memiliki suami yang tampak belum “berwibawa”, mintalah kepada Allah Swt. agar
dia dibimbing oleh Allah menjadi suami yang memudahkan Anda untuk menaatinya
dalam syari’at-Nya, atau ditunjukkan “wibawa”-nya kepada Anda sehingga
memudahkan Anda untuk menaatinya.
Bagi
para suami atau calon suami, semoga tulisan ini
memotivasi Anda untuk menjadi “imam” yang sebenarnya bagi istri dan anak-anak.
Apa pun kondisi istri Anda, apakah dia lebih dari Anda secara materi,
pendidikan, status sosial, dan sebagainya, kendali tetaplah di tangan Anda
sebagai “leader”. Bimbinglah istri
dalam ketaatan kepada-Nya. Bila mendapati istri Anda belum taat, janganlah terburu-buru
menyalahkan istri Anda, tetapi introspeksilah, apakah Anda termasuk suami yang
“patut” untuk ditaati?Jadikan Anda seorang yang taat kepada Allah Swt. sehingga
pantas untuk ditaati oleh istri Anda dan dia pun akan menaati Anda karena-Nya. @
Setuju teh ^_^
BalasHapusFPuwi: makasih komen n persetujuannya.....
BalasHapuswibawa...:
BalasHapusWiii...bawa mobil
Wiii...bawa uang banyak
Wiii...bawa HP baru...
Ya pada intinya kewibawaan itu punya definisi masing2 untuk tiap orang (istri), boleh jadi seorang lelaki nampak begitu biasa bila dibandingkan dgn lelaki lain, tp bisa jadi dia adalah seorang lelaki ganteng nan berwibawa di mata sang istri. Intinya lagi, syukurilah dia, dialah pendamping terbaik dari Allah untuk kita, jikapun bl menemukan kebaikan padanya, bersabarlah, bolehjadi itu ladang dakwah buat kita. wallahualam. sukses selalu ceu!
BUat Pak Puwi & Pak Ahmad, semoga kalian mjd suami yg begitu berwibawa di mata istri kalian sehingga memudahkan jalan ketaatan istri kepada suaminya, bukan sebatas untuk mengikuti hadits atau asyariah Allah Swt. saja, tetapi karena pribadi kalian yg berpengaruh. Amiiin.
BalasHapusSukses juga buat kalian berdua.
sesuatu yang lahir dari hati akan sampai pula ke hati. ucapan sebatas mulut hanya singgah sekejap di telinga.
BalasHapuspun, tulisan dengan bahasa hati insya allah sampai pula ke hati pembaca. dan sayangnya aku termasuk salah satu pembaca itu.
bagus mbak...tp penggunaan kata "saya" dan "ku" yang tidak konsisten terasa mengganggu!!!
BalasHapus