Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Rabu, Agustus 10, 2011

Menakar Kewibawaan Suami



Dulu, sebelum menikah, saya selalu berdoa kepada Allah Swt., “Ya Allah, pertemukan hamba dengan seorang suami yang taat kepada-Mu agar ketaatan hamba kepadanya bermuara kepada-Mu. Buatlah dia memiliki wibawa di mata hamba agar mudah bagi hamba untuk menaatinya.”

Kenapa saya berdoa seperti itu? Karena bagaimana pun tugas utama seorang istri adalah menaati suami. Seperti sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadits berikut ini.
"Seandainya aku boleh menyuruh seseorang agar sujud kepada orang lain, niscaya aku akan menyuruh seorang istri agar sujud kepada suaminya." (HR At Tirmidzi, sanadnya sahih)

Lalu, mengapa saya meminta kepada Allah Swt. seorang suami yang memiliki wibawa di mataku? Karena seorang suami yang berwibawa akan membuat seorang istri mudah untuk tunduk menaatinya.

Mendengar kata “wibawa” mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah seorang yang tinggi besar seperti SBY, atau berpendidikan tinggi dengan titel serenceng, atau orang yang memiliki harta berlimpah dan keturunan keluarga terpandang, atau orang yang memiliki pekerjaan bagus dengan gaji selangit, atau seorang pejabat yang berpengaruh dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat, atau seorang yang memiliki tubuh berotot dan kuat seperti Ade Ray, atau bahkan seorang pemberang seperti preman sehingga orang lain tunduk takut kepadanya.

Membahas masalah “wibawa suami” sering berbanding terbalik dengan bahasan “Suami Takut Istri”. Tidak sedikit artikel yang membahas masalah “Suami Takut Istri” yang mengaitkan dengan tidak adanya wibawa suami. Saya tidak ingin berteori tentang apa yang membuat seorang suami menjadi takut dengan istrinya sendiri sehingga tidak memiliki wibawa di hadapan istrinya. Saya hanya ingin sharing tentang bagaimana wibawa seorang pria (baca: suamiku) di mataku. Bukan untuk menguliti dirinya, tapi semoga tulisan ini akan membuka cara pandang kita tentang “wibawa suami” yang sebenarnya.

Hal apa saja yang membuat seseorang tampak berwibawa?
  • Harta dan kedudukan?
Apakah kekayaan dan kedudukan yang membuat suamiku tampak berwibawa di mataku? Realitasnya, dia lahir dari keluarga biasa yang secara ekonomi boleh dibilang masih di bawah keluarga saya. Pekerjaan dan penghasilan bulanannya sekadar cukup untuk kebutuhan keluarga dan pendidikan anak. Namun, dia menjadi berwibawa di mataku karena dia seorang yang bertanggung jawab dan memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana seharusnya menafkahi keluarganya. Dia sangat all out memberikan waktu, tenaga, dan materi yang dia miliki untuk keluarganya. Dia tidak pernah gengsi memberikan tangannya untuk membantuku mencuci baju dan menyetrikanya dengan suka rela tanpa diminta. Dia juga tidak gengsi pergi ke dapur membuatkan mie instant untuk kami makan sepiring berdua. (Satu pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap menurunkan derajat kaum pria). Namun, bagiku ini bentuk rasa sayang dan perhatian suamiku kepada saya sebagai istrinya. Pemberian materi kepada keluarga memang penting, tetapi pemberian waktu dan kasih sayang untuk keluarga jauh lebih penting. Terima kasih untuk suamiku yang telah memberikan semua yang kau miliki dan mampu kau lakukan untuk keluarga kita.

Satu hal yang saya suka darinya, dia tidak pernah tampak minder di hadapan keluargaku meski secara ekonomi keluargaku boleh dibilang lebih mapan. (Pede itu penting, bro. Itulah yang dimiliki suamiku. Pede abis dan sedikit nekat itu pula “modal”-nya saat menikahiku). Minder hanya akan membuat “wibawa” seseorang hilang.

  • Berpendidikan tinggi dengan titel serenceng?
Karena kondisi ekonomi, suami saya hanya sempat menyelesaikan pendidikan terakhirnya di tingkat SMA. Meski saya bolah dibilang berpendidikan lebih tinggi hingga sarjana, tetapi kami tetap bisa nyambung dalam berkomunikasi. Bukankah inti dari komunikasi adalah “bisa nyambung” dengan lawan bicara? Meski kita berbicara dengan seorang doktor sekalipun, tetapi kalau kita tidak bisa “nyambung” dan paham dengan apa yang dia bicarakan─dan dia juga tidak paham dengan apa yang kita bicarakan─itu berarti komunikasi tidak berjalan efektif. Meski tidak berpendidikan tinggi, tetapi suamiku seorang yang sangat cinta ilmu, mau terus belajar dan memperbaiki diri. Dia juga hobi membaca. Koleksi bukunya bisa jadi lebih banyak dari koleksiku. Kami bisa sharing apa pun sesuai tema yang kami inginkan. Meski bukan lulusan pesantren, tetapi dia sangat giat belajar agama di berbagai majelis taklim (dan mengamalkannya). Bagiku, ini cukup membuatnya tampak berwibawa di mataku karena menurutku orang seperti dialah “pembelajar sejati”. Seorang sarjana sekalipun belum tentu bisa disebut “pembelajar sejati” bila proses belajarnya berhenti hanya sampai ketika dia mendapatkan selembar ijazah kesarjanaan. Apalagi bila ilmu yang didapat selama ini tidak diamalkan. 

  • Kekuatan fisik?
Orang sering menyetarakan wibawa dengan kondisi fisik seseorang; tinggi besar seperti SBY mungkin, atau sekuat Ade Ray, atau segarang preman. Realitasnya, suami saya hanya pria biasa yang berperawakan sedang meski tetap lebih besar dan tinggi dibanding saya (maklum saya kan imut. hehehe). Konon ceritanya waktu kecil dia malah sering sakit-sakitan. Dia tidak pernah tampil garang dan pemarah di hadapanku hingga membuatku tunduk dalam ketakutan. Dia juga tidak pernah menyuruhku dengan tegas dan otoriter. Bahkan, kadang rengekan dan kemanjaannya malah mudah membuatku luluh untuk menurutinya.

Tidak sedikit pria yang menggunakan ototnya untuk menguasai perempuan (baca: istrinya). Bila istrinya tidak taat dia gunakan tangannya untuk menampar dan menyakiti istrinya sendiri secara fisik. Padahal, istri seharusnya dilindungi dan disayangi. Mungkin itulah cara yang dianggap efektif untuk membuat istrinya tunduk patuh kepadanya. Kekuatan fisik mungkin ampuh membuat seorang istri tunduk kepada suaminya, tetapi “ketundukan” yang menakutkan. Padahal, yang dibutuhkan seorang suami sebenarnya adalah “ketaatan yang penuh ketakziman” dari istrinya. Ketaatan seperti ini pula yang seharusnya diberikan oleh istri, bukan “ketundukan yang membuatnya terkungkung dalam rasa takut”.

Seorang suami yang memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya akan membuat istri pun tergerak hati untuk memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. Pemimpin yang penuh kasih sayang akan membuat orang yang dipimpinnya memberikan ketaatan kepadanya dengan sukarela penuh ketakziman. Bagaimanapun, seorang istri memiliki hak untuk dipimpin oleh suami dengan penuh kasih sayang seperti yang Rasulullah saw. ajarkan.

Rasulullah saw. pernah ditanya tentang apa hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami? Lalu, beliau menjawab, "Kamu memberi makan kepadanya, jika kamu makan. Dan kamu memberi pakaian untuknya, jika kamu memakai pakaian. Dan janganlah kamu memukul wajah, menjelek-jelekkannya, dan jangan pula kamu mendiamkannya kecuali di dalam rumah." (HR. Ahmad dan Abu Daud)

  • Kekuatan psikis?
Bila tugas utama seorang istri adalah “taat” kepada suami sesuai hadits yang telah saya sebutkan sebelumnya, maka tugas utama seorang suami adalah menjadi “imam” atau “leader” bagi keluarganya. Seseorang yang memiliki jiwa “leader” (pemimpin) secara psikis akan memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti perintahnya tanpa membuat orang tersebut merasa disuruh. Kekuatan mempengaruhi ini bisa jadi dipengaruhi oleh “wibawa” atau “kharisma” yang dimiliki seseorang.

Seorang pria (baca: suami) boleh saja lemah secara fisik, cacat atau lumpuh sekalipun seperti Ahmed Yassin (pemimpin Palestina), tetapi dia tidak boleh lemah secara psikis. Dia boleh miskin materi tapi tidak boleh miskin hati. Dia boleh tidak punya kedudukan berarti di mata manusia, tetapi tidak boleh menjadi hina di mata Allah Swt.

Bila poin-poin sebelumnya tidak berlaku bagi saya, tetapi untuk yang terakhir ini sangat berpengeruh bagi saya tentang kesan seorang yang berwibawa. Suamiku memang tidak sekaliber Ahmed Yassin dalam memimpin umat, tetapi dia mampu memimpin hatiku dalam ketaatan kepada-Nya, bisa menjadi imam shalat yang baik, siap menegurku ketika lalai dalam ibadah sesuai yang disyariatkan Rasulullah saw. Bagiku, ini cukup membuatku untuk “menaatinya”. Ketaatan yang membuatku semakin menyayanginya, bukan ketaatan yang mengungkungku dalam ketakutan. Ketaatan yang semoga bermuara pada ketaatan kepada Allah Swt.

Tidak peduli apa kata orang lain tentang suamiku, yang penting bagiku dia tetap seorang suami yang penuh wibawa di mataku. Saya bersyukur Allah Swt. telah mengabulkan doa hamba-Nya yang lemah ini.

Tidak ada manusia sempurna di dunia ini, begitupun suamiku. Namun, kekurangannya justru membuatku sadar dan bersyukur karena berarti aku menikahi manusia biasa, bukan malaikat. Kalau dia mampu menerima kekuranganku yang jauh lebih banyak daripada kekurangannya, kenapa saya tidak mampu menerima kekurangannya yang mungkin hanya sepele?

Kalau saya menulis materi ini bukan berarti telah sempurna ketaatanku kepada suami. Saya sadar bahwa saya masih harus berusaha keras untuk menjadi istri yang taat kepada suami dalam ketaatan kepada-Nya sambil terus berdoa, “Ya Allah, bimbing hamba agar mampu menaati suami dalam koridor ketaatan kepada-Mu.”

Tulisan ini sekadar sharing. Semoga mampu menggugah para istri atau calon istri untuk semakin menguatkan “ketaatan” kepada suami dalam syariat-Nya. Bila mungkin memiliki suami yang tampak belum “berwibawa”, mintalah kepada Allah Swt. agar dia dibimbing oleh Allah menjadi suami yang memudahkan Anda untuk menaatinya dalam syari’at-Nya, atau ditunjukkan “wibawa”-nya kepada Anda sehingga memudahkan Anda untuk menaatinya.

Bagi para suami atau calon suami, semoga tulisan ini memotivasi Anda untuk menjadi “imam” yang sebenarnya bagi istri dan anak-anak. Apa pun kondisi istri Anda, apakah dia lebih dari Anda secara materi, pendidikan, status sosial, dan sebagainya, kendali tetaplah di tangan Anda sebagai “leader”. Bimbinglah istri dalam ketaatan kepada-Nya. Bila mendapati istri Anda belum taat, janganlah terburu-buru menyalahkan istri Anda, tetapi introspeksilah, apakah Anda termasuk suami yang “patut” untuk ditaati?Jadikan Anda seorang yang taat kepada Allah Swt. sehingga pantas untuk ditaati oleh istri Anda dan dia pun akan menaati Anda karena-Nya. @


6 komentar:

  1. FPuwi: makasih komen n persetujuannya.....

    BalasHapus
  2. wibawa...:
    Wiii...bawa mobil
    Wiii...bawa uang banyak
    Wiii...bawa HP baru...
    Ya pada intinya kewibawaan itu punya definisi masing2 untuk tiap orang (istri), boleh jadi seorang lelaki nampak begitu biasa bila dibandingkan dgn lelaki lain, tp bisa jadi dia adalah seorang lelaki ganteng nan berwibawa di mata sang istri. Intinya lagi, syukurilah dia, dialah pendamping terbaik dari Allah untuk kita, jikapun bl menemukan kebaikan padanya, bersabarlah, bolehjadi itu ladang dakwah buat kita. wallahualam. sukses selalu ceu!

    BalasHapus
  3. BUat Pak Puwi & Pak Ahmad, semoga kalian mjd suami yg begitu berwibawa di mata istri kalian sehingga memudahkan jalan ketaatan istri kepada suaminya, bukan sebatas untuk mengikuti hadits atau asyariah Allah Swt. saja, tetapi karena pribadi kalian yg berpengaruh. Amiiin.

    Sukses juga buat kalian berdua.

    BalasHapus
  4. Anonim1:24 PM

    sesuatu yang lahir dari hati akan sampai pula ke hati. ucapan sebatas mulut hanya singgah sekejap di telinga.

    pun, tulisan dengan bahasa hati insya allah sampai pula ke hati pembaca. dan sayangnya aku termasuk salah satu pembaca itu.

    BalasHapus
  5. Anonim6:33 PM

    bagus mbak...tp penggunaan kata "saya" dan "ku" yang tidak konsisten terasa mengganggu!!!

    BalasHapus

Untaian kata darimu selalu kunantikan.