Kutatap wajah cintaku, kuberikan dia senyuman lalu kukecup keningnya.
“Mama kok tetap bisa tersenyum walaupun lagi nggak
punya uang?” tanya suamiku, cintaku.
“Trus mo ngapain? Marah? Ngapain juga marah-marah,
ngabisin energi. Rugi amat, udah nggak punya uang, marah-marah lagi. Mending
tetap senyum,” jawabku enteng yang langsung disambut dengan pelukan oleh suami.
Setiap rumah tangga pasti pernah mengalami
masa-masa sulit seperti yang sedang kami alami sekarang. Uang belanja menipis,
tinggal Rp10.000. Pada saat yang sama, bensin motor suami juga sudah minta
diisi, air mineral galon di rumah habis. Baru dua hari lagi kami kemungkinan
mendapatkan suntikan dana tambahan. Dua bulan ini boleh dibilang kami harus
menguras dana yang kami miliki untuk kebutuhan anak-anak. Untuk daftar ulang
sekolah anak saja menghabiskan sekitar 2 jutaan, begitupun untuk acara liburan
mereka. Maklum, kami mengajak anak-anak liburan di dua tempat, di Banyumas
(kampung halamanku) dan di Jogja (kampung halaman suami). Untuk transportasi
dari Bekasi ke kampung saja sudah cukup menguras dana, apalagi buat kebutuhan
selama liburan di sana. Asal anak-anak senang kami pun turut senang karena bagi
kami kebahagiaan anak-anak adalah prioritas. Masa kecil mereka tidak akan
terulang, sedangkan kami baru bisa berkumpul bersama-sama hanya pada saat
liburan. Jadi, berapa pun biayanya liburan bersama ini harus tetap kami jalani.
Namun, risikonya ya seperti sekarang ini. Kami harus mengirit pengeluaran
belanja setelahnya.
***
“Liat rumah berantakan kayak kapal pecah kok gak
marah?” kata suamiku pada awal-awal pernikahan kami.
“Ngapain ngomel dan marah-marah. Kalo rumah
berantakan ya tinggal dibersihin. Emang kalo ngomel-ngomel rumah bisa jadi
bersih dan rapi?” jawabku sambil memberesi rumah.
“Bagus,” kata suami menyunggingkan senyum.
Pada awal menikah, kami memang masih tinggal
berjauhan, saya di Bandung sedangkan suami di Bekasi. Saat weekend, kadang suami yang ke kosan saya di Bandung atau saya yang
ke Bekasi. Jadi, otomatis saya belum bisa sepenuhnya mengurus rumah suami saya ini.
Sedangkan suami, karena kesibukan kerja kantor juga tidak terlalu telaten untuk
bersih-bersih rumah. Walhasil, begitu saya ke Bekasi sering mendapat sambutan
kondisi rumah yang super kotor.
Mungkin, perempuan identik dengan “cerewet dan
suka ngomel” kali, yah? Makanya suamiku aneh ngeliat istrinya ini malah nyante
menyikapi kondisi rumah tangga kami yang bagi sebagian wanita dapat menaikkan
sedikit emosinya.
Yah, saya hanya nggak mau dibuat pusing saja sama
keadaan. Kalo soal materi, alhamdulillah
saya sudah terbiasa hidup sederhana. Meskipun keluarga kami tidak terlalu
kesulitan dari sisi ekonomi, tapi sedari kecil ibu saya sudah mengajarkan hidup
sederhana kepada anak-anaknya. Jadi, saya tidak terlalu kaget atau stres
menghadapi kondisi seperti ini. Tinggal bersabar sedikit apa salahnya. Masa sih,
Allah akan menelantarkan hamba-Nya tanpa diberi makan? Di luar sana pasti
banyak orang yang lebih sulit kondisinya dari kami.
Mungkin ada istri yang suka marah dengan suaminya ketika
uang belanjanya kurang atau habis sebelum waktu gajian tiba. Menurut saya,
marah dalam kondisi seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kita akan
rugi sendiri dan hanya buang-buang energi. Bagi suami, hanya akan membuatnya
stres sehingga sulit berpikir jernih. Intinya, marah dan ngomel sama sekali
tidak memberikan dampak positif untuk memperbaiki keadaan. Daripada ngomel dan
marah-marah, saya lebih suka mengingat perjuangan suami dalam mencari nafkah.
Dia sudah menguras tenaga dan pikirannya di kantor demi menafkahi kami, istri dan
anak-anaknya. Apalagi rumah kami jauh dari tempat kerjanya. Dia harus menempuh
sekitar dua jam perjalanan untuk sampai ke kantornya. Pulang-pergi berarti
memakan waktu empat jam setiap hari. Peluh dan lelah tidak dia pedulikan asal
bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apa jadinya kalau saya sebagai
istrinya malah marah-marah saat uang belanja kami habis sebelum waktunya?
Padahal dia sudah menyerahkan semua uang gajinya kepada saya.
Sabar dan berpikir jernih, insya Allah ada jalan
keluar yang mungkin tidak kita sangka-sangka datangnya. Saya yakin dengan hal
itu. Seperti kondisi kami kemarin, meski akhirnya kami harus menjual barang
yang mungkin tidak terpakai lagi di rumah, setidaknya bisa kami gunakan untuk
menyambung hidup. Daripada barang itu teronggok mengotori dan menyempitkan
ruangan, dijual ternyata malah lebih bermanfaat.
Salam penuh takzim buat para istri dan calon istri yang
sedang berjuang untuk memberikan kebahagiaan bagi keluarga. Apa pun yang
terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita, semoga kita tetap tidak kehilangan senyum
termanis kita untuk keluarga. Percayalah, “ngomel” dan “marah-marah”─yang
membuat perempuan dicap “cerewet”─tidak akan menyelesaikan masalah. Sepahit apa
pun hidup yang kita alami, itulah cara kehidupan menyentuh kita. Saat manisnya
hidup menyapa kita, berarti kehidupan sedang “mengelus” kita. Bila kepahitan
yang menyapa maka berarti kehidupan sedang “mencubit” kita.
Kebahagiaan/kesengsaraan hadir bukan bergantung pada “elusan” atau “cubitan”
kehidupan, tetapi bergantung dari bagaimana cara kita menyikapinya. “Elusan
kehidupan” akan terasa menyakitkan bila ada bisul di tubuh kita. Sebaliknya, “cubitan
kehidupan” bisa jadi lebih terasa nikmat bila kita menyikapinya dengan penuh
kearifan, kita anggap itulah cara kehidupan “mencandai” kita. Ayo, kita
“candai” lagi kehidupan ini agar terasa lebih berwarna!
Tanpa mengomel dan marah-marah,
insya Allah anak-anak tetap bisa diajak menjadi baik.
Tanpa mengomel dan marah-marah,
insya Allah kita tetap bisa menyampaikan keinginan kita dengan baik kepada
suami.
Tanpa mengomel dan marah-marah,
insya Allah kita tetap bisa memperbaiki keadaan rumah tangga kita.
Tanpa mengomel dan marah-marah,
insya Allah kita akan tampil menjadi ibu yang lebih bijaksana.
Tanpa mengomel dan marah-marah,
insya Allah kita bisa menjadi istri yang lebih disayang suami.
Bagi para suami yang memiliki istri
yang kadung “cerewet”, bersabarlah. Ada baiknya kita mengambil hikmah dari
kisah Khalifah Umar bin Khathab r.a.
Dikisahkan, suatu hari ada
seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin
Khathab r.a. Dia ingin mengadu pada khalifah karena tidak tahan dengan
kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu
tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel dan marah-marah.
Cerewetnya melebihi istrinya. Akan tetapi, tidak sepatah kata pun terdengar
keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja sambil terus mendengarkan istrinya
yang sedang gundah. Akhirnya, lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melaporkan
istrinya kepada Umar.
Apa
yang membuat seorang Umar bin Khathab yang disegani kawan maupun lawan berdiam
diri saat istrinya ngomel? Mengapa dia hanya mendengarkan, padahal di luar sana
dia selalu tegas kepada siapa pun?
Saat
Umar diam mendengarkan keluhan istrinya, ternyata dia sedang mencoba berempati
kepada istrinya, “Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban
rumah tangga di pundaknya,” ungkapnya.
Menurut
Umar, seorang istri telah berperan besar dalam lima hal: (1) istri telah
berusaha membentengi suami dari api neraka (saat godaan syahwat menghampiri), (2)
memelihara harta suami saat suami tidak berada di rumah, (3) menjaga penampilan
suami, (4) mengasuh anak-anak, dan (5) menyediakan hidangan untuk keluarganya.
Untuk
segala kemurahan hati sang istri itulah Umar rela mendengarkan keluh kesah buah
lelah istrinya. Umar lebih memilih untuk mengingat kebaikan-kebaikan istrinya
daripada mencela kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya,
barulah dia menasihati dengan cara yang baik, kadang malah dengan bercanda
sehingga terhindar dari caci maki yang tidak terpuji.
Semoga
dengan meneladani sikap Umar bin Khathab ini, para suami bisa lebih bersabar
menghadapi kecerewetan istri dan melihat sisi lain kelebihan istrinya. Dengan
demikian, rumah tangga akan dilingkupi kedamaian dan tenteram. Apa jadinya
kalau istri yang bertabiat cerewet dihadapi dengan emosional pula? Bisa terjadi
perang dunia ketiga deh dalam rumah tangga kita.@
Indah sekali untaian kata-kata yang dituliskan...
BalasHapusSemoga sy dapat menjadi isteri yang diidamkan suami..
Amiin
Anonim: Insya Allah, kalo kita berusaha akan tercapai keinginan kita. amiiin.
BalasHapusmarah atau ngomel bukan sesuatu yang dilarang. marah adalah energi. jangan dipendam. tak perlu ditahan-tahan. bahaya jika tertumpuk apalagi tertimbun. bikin sesek dada.
BalasHapusbagusnya disalurkan. caranya? ini yang perlu dilatih. seiring usia bertambah "seharusnya" penyaluran semakin bijak. biarkan segala sesuatu berkembang sesuai masanya.
suka duka, asam garam dan manisnya berumah tangga pastilah disisipi dengan perselisihan dan pertengkaran kecil... kecerewetan ibu atawa istri atau kemarahan suami atau ayah, adalah bentuk kepedulian dan sayang juga.
BalasHapusSalam,
enda kuku....................keren.
BalasHapusPak Tio, akhirnya nongol n komen juga di blog-ku. makasih yah.....
BalasHapus