“Ada yang curhat minta solusi masalah, tapi begitu dikasih
tahu solusinya malah ‘keukueh’ dengan
pendapatnya. Ya udah, terserah kamu sajalah. Itu masalah ya masalahmu. Kamu
yang menikmati, kamu yang menjalani, kamu juga yang punya solusinya. Tapi kalau
tahu gitu gak usah curhat ke aku, buat apa? Nggak ada gunanya.” Begitu tulis
sebuah status dari sahabat lama saya di Facebook. (Dengan redaksi yang sedikit
diubah)
Kekesalan seperti itu mungkin bukan hanya dialami sahabat lama saya ini,
beberapa orang yang lain mungkin juga pernah mengalaminya, termasuk saya. Hanya
saja saya tidak sampai merasa kesal dan marah sih. Namun, setelah saya membaca
buku tentang konseling, mindset
berfikir saya berubah 180 derajat. Konseling merupakan sistem dan proses
bantuan untuk mengentaskan masalah yang terbangun dalam suatu hubungan tatap
muka antara dua orang individu (klien
yang menghadapi masalah dengan konselor yang memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan).
Kerangka kerja konseling perorangan dilandasi oleh beberapa prinsip dasar,
antara lain bahwa klien adalah individu
yang memiliki kemampuan untuk memilih
tujuan, membuat keputusan, dan secara umum mampu menerima tanggung jawab
dari tingkah lakunya. Intinya, klien
bukanlah boneka atau robot yang bisa kita setir semau kita. Hal ini selaras
dengan salah satu asas konseling, yaitu “Asas Keputusan Diambil oleh Klien
Sendiri”.
Dalam banyak teori konseling, PRINSIP DASAR inilah yang selama ini
menjadi “titik poin” pengubahan mindset
berfikir saya. Hal inilah yang selama ini tidak saya ketahui, saya cenderung
memaksakan kehendak saya kepada teman curhat saya seolah sayalah orang yang
paling tahu solusi masalah sahabat saya itu. Merasa dia yang butuh saya (dengan
datang mencurahkan isi hatinya kepada saya), saya pun seolah berhak mengatur
kehidupannya. Kalau ternyata dia tidak menjalankan masukan solusi dari saya,
rasa “kesal” pun merayapi hati ini. “Sudah
capek-capek mendengarkan curhatnya dan memberikan solusi dari masalahnya malah
nggak dijalankan.” Begitu gerutu dalam hati saya.
Sejak saya belajar konseling meski hanya dari membaca buku, cara saya
menyikapi teman curhat pun berubah. Saya tidak lagi memaksakan “solusi terbaik
menurut saya” (yang belum tentu terbaik untuk sahabat saya itu), tetapi
membantunya memahami titik permasalahannya sendiri lalu memberinya beberapa
alternatif pilihan solusi dengan berbagai risikonya. Solusi A akan menghadirkan
risiko seperti ini dan ini, solusi B menghadirkan risiko seperti ini, dan
seterusnya. Lalu, saya memberikan kebebasan kepada sahabat saya untuk memilih
solusi terbaik menurutnya dan yang paling mudah dijalankan olehnya. Namun,
sebagai sahabat saya harus memotivasinya kalau dia pasti bisa mengambil
keputusan terbaik untuk dirinya karena hanya dialah yang paling tahu solusi
terbaik untuk dirinya sendiri. Saya juga harus men-support dirinya kalau dia mampu keluar dari masalah yang
membelitnya. Bukankah Allah Swt. sudah berjanji bahwa Dia tidak akan memberikan
ujian kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba-Nya? Itu berarti Allah
Swt. sudah memberikan software kepada
setiap hamba-Nya untuk mampu menghadapi masalahnya sendiri. Orang lain hanya
bersifat sebagai partner, teman sharing karena
bagaimana pun sebagai makhluk sosial kita memang tidak bisa lepas dari orang
lain. Selalu ada tarik-menarik rasa saling membutuhkan antara satu orang dengan
yang lainnya. Salah satunya melalui curahan hati (curhat).
Ada satu catatan peting lain bahwa tidak selamanya teman curhat kita
itu sebenarnya membutuhkan masukan solusi dari kita. Ada kalanya dia hanya
butuh teman sharing untuk menumpahkan
emosi jiwanya saja. Ada yang bilang, dengan kita mencurahkan isi hati (emosi
jiwa) kita kepada orang lain maka separuh dari masalah kita sudah mulai
teratasi. Setidaknya hati kita sedikit lega karena unek-unek yang mengganjal di
hati sudah keluar. Hanya saja kita harus selektif mencari teman curhat. Kita
pasti akan merasa nyaman kalau orang yang kita curhati bisa menyimpan masalah
kita cukup di hatinya, tidak dibeberkan kepada orang lain. Jadi, prinsip
kerahasiaan ini yang harus kita jaga apabila kita menerima curhatan orang lain
sekalipun kita bukanlah seorang konselor. Membuat sahabat kita nyaman dan
bahagia dengan kehadiran kita dalam kehidupannya bukankah itu berpahala? Salah
satunya dengan membuatnya nyaman saat melakukan curhat dengan kita dan mampu
menjaga kerahasiaan masalahnya dari orang lain (hanya kita yang tahu).
Mengapa Saya Harus Belajar
Konseling?
Saya bukanlah mahasiswa jurusan psikologi atau orang yang bekerja dalam
bidang yang berkaitan dengan dunia psikologi. Lalu, mengapa saya harus
repot-repot belajar konseling? Sebuah proses panjang bila akhirnya saya
tertarik mempelajari konseling dan masalah-masalah psikologi. Sejak SMA saya
sudah mulai sering membaca buku-buku psikologi umum, terutama yang berkaitan
dengan dunia remaja. Awalnya hanya untuk mencari solusi dari masalah yang
menghimpit diri saya sendiri. Maklum, sejak SMP saya boleh dibilang termasuk
anak yang pendiam dan introvert, sangat tertutup. Ketika menghadapi masalah,
saya cenderung diam dan menyimpannya dalam hati, bahkan kepada kedua orang tua
saya sendiri. Saya biasanya menumpahkan unek-unek melalui buku harian
(kebiasaan ini alhamdulillah malah menjadi jalan bagi saya memasuki dunia
tulis-menulis). Dengan cara ini setidaknya cukup membuat hati saya lega.
Sedangkan untuk mencari solusinya saya mencari dari buku-buku bacaan psikologi
remaja. Dari sanalah saya mulai keranjingan membaca buku-buku psikologi. Saya
bahkan jadi tidak terlalu tertarik dengan buku-buku pelajaran sekolah, itu
sebabnya prestasi akademik saya dari dulu biasa-biasa saja.
Saya merasakan betapa tidak mudah mencari orang yang bisa dipercaya
sebagai teman curhat. Itu sebabnya saya mencoba membuka diri kepada
sahabat-sahabat saya yang sekiranya sedang dihimpit masalah. Dari satu teman
yang suka curhat, akhirnya bertambah pula teman lain hingga akhirnya saya
sering menerima curhatan mereka. Kadang saya berfikir, “Mereka kok begitu
mudahnya mencurahkan isi hatinya sedangkan saya serasa sulit terbuka kepada
orang lain?” Kadang saya bahkan berfikir, “Buat apa curhat sama orang lain, toh
mereka juga curhatnya sama saya.” Apalagi saya juga pernah dikecewakan seorang
teman yang tidak amanah menyimpan masalah saya. Dia malah menceritakan masalah
saya kepada orang lain. Sampai akhirnya saya menemukan tempat curhat yang
paling aman, yaitu kepada Allah Swt. melalui doa-doa usai shalat. Insya Allah
jauh lebih aman karena Dialah yang memberi kita masalah sehingga kepada-Nya
pula kita meminta solusi dari masalah kita. Saya pun tidak takut masalah saya
bakal dibeberkan kepada orang lain.
Namun, kepada orang lain terutama sahabat saya, saya tetap memberi
peluang mereka menumpahkan unek-uneknya kepada saya. Saya hanya berfikir,
“Betapa tidak enaknya menghadapi masalah sendirian di dunia ini. Akan lebih
baik bila kita bisa menemukan teman berbagi dalam hidup agar kita tidak merasa
sendiri dalam menghadapi pahit-getirnya kehidupan ini. Saya pernah merasakan
betapa pahitnya sendirian menghadapi pahitnya masalah kehidupan, saya tidak
ingin orang lain pun merasakan hal yang sama.” Itu sebabnya saya membuka diri
kepada orang lain untuk menjadi tempat curhatnya.
Menjadi tempat curhat satu-dua orang mungkin biasa. Apalagi bila
profesi kita memang seorang konselor atau psikolog, menerima klien banyak
sekalipun tidak masalah, bahkan akan semakin menguji profesionalitas dalam
bidang yang digelutinya. Namun, apabila kita bukan seseorang yang mengambil
bidang tersebut lalu banyak menerima curhat dari orang lain, tentu akan membuat
penat kepala kita, apalagi bila tidak ditunjang dengan ilmu dan tingkat
emosionalitas yang memadai. Saya sering sekali menerima curhatan bahkan dari
orang yang baru saya kenal. Pernah suatu ketika saat masih kuliah, saya pulang
kampung di Banyumas. Dalam perjalanan kembali ke Bandung dengan mengendarai bis,
saya sebangku dengan seorang pria yang mungkin usianya lima tahun lebih tua
dari saya saat itu. Penampilannya sedikit cuek dengan postur tinggi besar,
pantas jadi seorang preman. Rambutnya gondrong dengan kuncir di belakang. Tidak
berapa lama duduk, entah bermula dari mana tiba-tiba dia curhat masalahnya
tentang sahabat karibnya yang selalu naksir cewek yang sedang ditaksirnya. Lama
bercerita dia mungkin baru sadar, “Saya kok enak saja ya curhat sama Teteh?
Padahal kita belum kenal sebelumnya,” katanya. Saya tidak menjawab dan hanya
tersenyum. Ya, mana saya tahu jawabannya
kan dia sendiri yang memulai curhatnya. Dia turun lebih dulu dari saya.
Anehnya, sampai dia turun dari bis saya tidak tahu siapa namanya dan dia juga
tidak tahu nama saya karena kami memang tidak sempat berkenalan. Namun, saya
tahu apa masalahnya. Anah bukan?
Ketika saya menjadi santri di Pesantren Daarut Tauhid (DT) Bandung, saya
sering menerima curhat dari para jamaah yang iktikaf di masjid pesantren
tersebut meski kami tidak saling kenal sebelumnya. Bahkan ada yang baru sekali
bertemu tapi dia langsung enak saja curhat sama saya. Ada teman santri yang
biasa curhat sama saya lalu menjadi dekat dengan jamaah yang biasa hadir di DT
dan sering curhat sama saya juga.
“Kamu kenal Teh Indah?” tanya jamaah tersebut.
“Ya kenal, saya malah biasa curhat sama Teh Indah,” jawab santri
tersebut.
“Oh sama, saya juga sering curhat kok sama Teh Indah,” kata jamaah itu
lagi.
Sejak saat itu mereka seolah jadi sehati dan saling kenal lebih dekat.
Aneh memang, tapi nyata.
Intensitas menerima curhat semakin bertambah ketika saya bertugas
menjadi pengurus santri selama sembilan bulanan. Hampir setiap hari ada saja
santri bimbingan yang curhat dengan masalah-masalah yang beragam dan
berat-berat. Kadang di kepala ini sampai terasa penuh. “Mau ditaruh di kepala
bagian mana lagi, nih?” keluhku dalam hati. Namun, meski kadang terasa penat
saya masih tetap menerima curhat mereka. Tidak sampai hati rasanya kalau
menolak mereka. Di sinilah saya merasa butuh ilmu khusus tentang menangani
curhatan, salah satunya dengan belajar konseling. Saya sampai harus meminjam buku
konseling sama teman yang kuliah di jurusan Bimbingan dan Konseling. Meski
hanya belajar dasar-dasarnya saja, lumayanlah.
Sejak belajar konseling, saya tidak pernah memaksakan solusi tertentu
kepada teman curhat saya. Kadang saya bahkan hanya mendengarkan curhatan mereka
tanpa memberi solusi tertentu karena saya lihat dia sebenarnya sudah tahu
solusinya. Dia hanya butuh teman sharing
untuk menumpahkan unek-uneknya. “Saya yakin, kamu pasti bisa mengatasi semua
ini. Saya turut mendoakan,” hanya itu support
yang saya berikan.
“Saya curhat sama Teh AB dan dia ngasih solusi seperti ini, tapi saya kok kurang sreg dengan solusi yang dia tawarkan, yah. Saya jadi nggak
enak, kalau nggak ngejalanin sarannya takut dia marah,” curhat salah satu teman
saya. Rupanya dia sebelumnya juga curhat masalah yang sama dengan teman lain.
“Teteh merasa nyaman mana, dengan menjalankan masukan solusi dari Teh
AB yang katanya “harus begini dan begini” atau diberi kebebasan memilih seperti
cara saya dengan hanya memberikan alternatif solusi A dengan risiko ini dan itu
atau solusi B dengan risiko lain?” tanya saya balik kepada sahabat saya
tersebut.
“Ya enakan cara Teh Indah,” jawab sahabat saya.
“Kenapa saya tidak mau memaksakan Teteh untuk menjalankan solusi
tertentu menurut saya? Karena hanya Teteh sendiri yang tahu solusi terbaik
masalah Teteh. Orang lain seperti saya hanya mencoba membantu memetakan masalah
Teteh dan mencarikan alternatif solusinya, selanjutnya Teteh sendiri yang harus
mengambil keputusan. Teteh kan bukan robot milik saya yang bisa saya setir sesuai
keinginan saya. Teteh adalah jiwa bebas yang bisa menentukan mana yang terbaik
menurut Teteh,” terang saya panjang lebar.
Ternyata “memaksakan” orang lain menjalankan solusi tertentu menurut
kita meski itu terbaik (menurut kita) malah membuat orang lain tertekan. Mungkin kita tidak sengaja
memaksanya, tetapi dengan kita “merasa dongkol” ketika dia tidak menjalankan
masukan solusi dari kita akan membuat teman curhat kita “merasa dipaksa”.
Semoga Allah Swt. membimbing kita untuk lebih bijak menyikapi masalah di
kehidupan ini, termasuk dalam menyikapi masalah orang lain. Amin.
Akhirnya Curhat Jadi Obat
Ini efek samping dari seringnya menerima curhat. Hal ini saya rasakan
setelah saya menggeluti dunia penulisan, terutama setelah menjadi wartawati di
sebuah media Islami di Bandung. Saya baru merasakan manfaat curhat
teman-temanku dulu karena saya banyak mendapatkan ide tulisan dari curhat-curhat
mereka, termasuk tulisan ini juga bagian dari inspirasi curhat teman-teman. Satu
hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dulu saya kadang merasakan curhatan
teman sebagai beban yang bikin penat kepala, sekarang malah menghadirkan banyak
hikmah. Namun, ada efek samping lain. Sejak saya dikenal sebagai penulis malah
jarang teman-teman yang mau curhat sama saya. “Takut ditulis ah, kalau curhat
sama Teh Indah,” begitu alasan mereka. Ada-ada saja. Meski ada juga yang malah
minta curhatannya ditulis. Hm…itu semua terserah saya, lah yau…..mau saya tulis
atau tidak curhatan mereka tergantung mood
di hati. @
saya malah punya temen, yang sebelum curhat dia bilang dulu, "gw cuma pengen cerita gw didengerin, bukan tanya solusi"
BalasHapushehehe....
Etikush: yah memang masalah manusia unik, seunik manusia itu sendiri. kita tidak bisa menyikapi mereka dg satu sikap karena mrk memang berbeda-beda, ada yg butuh solusi, ada hanya ingin didengarkan, dan sebagainya. kalau kita memberi bahkan memaksakan sebuah solusi kepada orang yang tidak membutuhkan, itu mubazir namanya. di sinilah kita dituntut untuk pandai2 menilai apa kebutuhan mreka yg sebenarnya.
BalasHapusdefault factory setting -dfs- setiap orang berbeda-beda. walau wujudnya -hardware- sama isi kepala -software- apalagi hati -operating system- tentu berlainan.
BalasHapusdengan modal dfs ini, manusia bisa berkembang sesuai selera. cuma, kalau terlalu melenceng bisa rusak soft-ware. semakin lama melenceng bisa rusak operating system. buntut-buntutnya hardware jebol, gak bisa di benerin lagi. kalaupun bisa mesti upgrade.
fungsi konselor -saya lebih setuju jika dikatakan- adalah enzim katalase untuk kembali berkiblat pada dfs. sifat enzim ini lebih cenderung selalu mengikuti alur proses tetapi tidak mempengaruhi hasil akhir.
bingung baca komentar ini?
Saya juga sering curhat ke Teh Indah. Hehe...
BalasHapusMakasih selalu bersedia menjadi tempat curhatku, Teh^_^
YANG KESAL ADALAH KETIKA HANYA DUKA SAJA YANG MEREKA CURHATKAN...SEDANGKAN KALO BAHAGIA MEREKA TIDAK INGAT ...KADANG SUKA BERPIKIR KALO AKU HANYA DIJADIKAN KANTONG SAMPAH AJA :(
BalasHapusBukannya sudah sering disindir dalam bukunya Yusuf Mansur tuh, Sebagai manuasia jika kita punya masalah yang pertama kita temui harusnya bukan manusia karena Semua hal dalam hidup ini berasal dr Allah dan akan kembali kepadaNya. Jadi sudah sepantasnya kita sebagai muslim hanya menggantungkan setiap permasalahan kepada Allah SWT karena menceritakan masalah ke orang lain yg kita tidak tahu malah akan menjadi masalah baru dikemudian hari bisa aja aib kita nanti dibuka ketika kita sedang bertengkar kepada teman yg dulu pernah kita Curhati :p. Klo ada masalah langsung aja ambil wudhu Gelar sajadah lalu Sholat dan Berdoa. Insya Allah Selesai... Wassalam.
BalasHapus