Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Senin, Agustus 10, 2009

Ketika Suami Jadi “Sapi Perahan” Istri


Meski acaranya agak larut malam, kadang saya masih menyempatkan untuk nonton tayangan TV “Masihkah Kau Mencintakui?” yang dipandu Helmy Yahya dan Dian Nitami. Banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari masalah-masalah yang dimunculkan di sana. Seperti tayangan pada minggu lalu, ada sesosok wanita cantik usia 30-an yang belum genap sepuluh tahun menikah. Sebut saja namanya Sinta. Meski sebagian wajahnya ditutup topeng, tapi rona kecantikannya tetap terpancar dari wajahnya. Bukan hanya cantik, postur tubuhnya pun ideal, tinggi langsing dan berkulit putih. Sangat pantas untuk menjadi seorang foto model. Saya yakin, setiap orang, apalagi pria, pasti akan berdecak kagum melihat kecantikannya.

Namun, kecantikannya ini ternyata memiliki biaya mahal. Gaji suaminya sebagai direktur di sebuah perusahaan swasta di Jakarta sebenarnya cukup besar, 25 juta/bulan. Semua uang gajinya ini diserahkan kepada istrinya. Tapi ternyata Sinta masih saja merasa kurang hingga suaminya terlilit banyak hutang, baik ke kantor maupun kepada rekan kerjanya. Kondisi ini membuat suaminya kurang dipercaya lagi oleh rekan-rekan kerjanya. Masih beruntung dia tidak sampai melakukan korupsi di kantornya demi memenuhi keinginan-keinginan istrinya yang dirasa semakin menggila.

Kondisi ini membuat suami Sinta mulai membatasi suplay keuangan untuk istrinya. Ternyata, hal ini membuat Sinta tidak terima dan protes karena menganggap suaminya sudah berubah, dia jadi pelit dan tidak sayang lagi padanya. Selama ini suaminya memang mandah menuruti saja apa keinginan istrinya. Selain karena kondisi keuangan waktu itu masih longgar, dia juga tidak mau ribut dengan istrinya. Tapi ketika kebutuhan keluarga semakin meningkat, terutama sejak lahir kedua anak mereka, suaminya merasa perlu membatasi alokasi kebutuhan pribadi istrinya yang cenderung hanya mengejar barang-barang brandid, barang-barang berkelas dan bermerk. Apalagi Sinta memang hobi banget mengoleksi perhiasan, terutama berlian. Dengan dalih investasi, Sinta seolah takpernah merasa puas untuk menambah koleksi perhiasannya.

Tipe perempuan matre seperti Sinta, biasanya selalu dihantui perasaan iri kepada orang di sekitarnya yang dianggap memiliki harta lebih darinya. Seperti perasaan iri Sinta kepada tetangganya yang juga anak buah suaminya di kantor. Meski kedudukan suaminya di kantor lebih tinggi dari tetangganya ini, tapi kehidupan ekonomi mereka tampak lebih mewah dibanding keluarganya. Benar kata pepatah, rumput tetangga tampak lebih hijau daripada rumput di kebun sendiri. Usut punya usut, ternyata tetangganya ini, selain kerja sekantor dengan suaminya, dia juga punya restoran warisan orangtuanya. Maka wajar kalau perekonomian meraka tampak lebih mewah.
***

Masalah seperti ini, mungkin bukan hal baru bagi masyarakat modern seperti sekarang. Label “matre” yang terlanjur melekat dengan diri wanita bukanlah lahir tanpa alasan. Sampai ada yang bilang, “Para koruptor memang kabanyakan pelakunya adalah kaum pria, tapi penyebabnya adalah wanita.” Sebuah ironi yang mengharukan.

Melihat sosok perempuan matre dan besar rasa irinya seperti Sinta ini, pasti membuat kita merasa gemas dan kesal. “Kok ada ya, wanita seperti ini?” Tapi ternyata, entah disadari atau tidak, penyakit seperti ini banyak menghinggapi diri kita, hanya kadarnya saja yang berbeda-beda. Bukan hanya wanita, kaum pria zaman sekarang pun tidak sedikit yang matre. Na’uzubillahi min zalik.

Suami Sabar Tapi Kurang Bijaksana

Saya salut dengan suaminya Sinta yang sudah begitu sabar mendampingi wanita yang “banyak keinginannya” ini selama bertahun-tahun. Meski dia cukup sabar, tapi dia kurang bijaksana. Seharusnya dia bisa mendidik istrinya agar mampu menahan nafsu duniawinya. Takselamanya roda akan terus di atas. Suami seharusnya menyiapkan mental istrinya karena bisa jadi keadaan suatu saat akan berubah. Mungkin perusahaan bangkrut, atau mungkin suami lebih dulu tutup usia meski masih muda. (Siapa yang tahu?)

Bila istri sudah terlatih untuk menghadapi masalah yang terpelik dan terpahit dalam hidup, insya Allah suami akan lebih tenang jika suatu saat meninggalkan dunia yang fana ini. Apalagi konsep harta dalam Islam mengajarkan kalau di dalam harta yang kita miliki, ada hak orang lain, antara lain fakir miskin. Kesadaran berzakat dan bershadaqah inilah yang harus menjadi fondasi kita dalam membelanjakan dan mengelola harta titipan Allah.

Jangan Mau Selamanya Jadi “Sapi Perahan” Istri

Yah … saya hanya merasa kasihan kepada suami-suami yang sudah bekerja keras, banting tulang, memeras keringat demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tapi ketika uang itu sampai di tangan istrinya, sang istri dengan seenaknya menghabiskan uang hasil kerja kerasnya. Meski dia bisa berdalih, “Ini kan, demi suami jua! Kalau saya jadi cantik, buat siapa? Kan, buat suami! Saya beli perhiasan kan buat investasi, berarti buat keluarga juga, dong!”…dan seabreg alasan lain. Padahal di dasar hatinya yang paling dalam, kalau dia mau mengakui, semua hanya untuk prestice, untuk kebanggaan dirinya semata.

Ibila dia berdalih untuk membahagiakan suami, nyatanya suaminya tidak bahagia dengan semua itu. Kecantikan yang dia miliki banyak mengundang decak kagum kaum pria di luar sana, tapi suaminya sendiri seolah merasa “tercekik”. Betapa tidak, untuk mempercantik penampilan istrinya, energinya telah dikuras nyaris habis. Suaminya takubahnya seperti “sapi perahan” yang harus memenuhi kebutuhan sehari-harinya lalu dengan seenaknya dihabiskan dalam waktu singkat oleh istrinya. Na’uzubillahi min zalik.

Wahai kaum perempuan, sadarilah, bahwa harta yang ada di tangan kita adalah titipan yang harus kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Maka belanjakanlah sesuai aturan Allah. (jangan berlebih-lebihan).

Wahai kaum pria, didiklah istrimu menjadi istri shalihah, yang mampu menjaga harta dan kehormatannya, baik di depan maupun di belakang suaminya. Maka, insya Allah kebahagiaan, sakinah mawaddah warahmah akan mewujud di rumah tangga kita. Amin. @

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untaian kata darimu selalu kunantikan.