Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Juni 14, 2011

Keseimbangan Hidup





“Salut ngeliat Si A, getol banget nyari duitnya. Salut dengan kerja kerasnya yang pantang mengeluh. Setiap hari kerja di kantor, hari Minggu masih dagang baju bareng istrinya.” Cerita suamiku tentang rekan kerja sekaligus tetangga kami di kompleks.

Orang yang kami sebutkan ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Bekasi. Meski sebagai karyawan staff biasa, tetapi gajinya masih lebih baik daripada karyawan bagian produksi yang otomatis tenaganya diperas sedemikian rupa meski dengan penghasilan pas-pasan. Sementara istrinya, setelah di-PHK dari perusahaan yang sama dengan suaminya, mengelola usaha fasion di rumah. Setiap hari Minggu mereka menjual baju-bajunya di sebuah pasar kaget di kompleks perumahan kami. Di perumahan kami memang ada pasar kaget yang digelar setiap hari Minggu karena banyaknya orang yang jalan-jalan atau olah raga di hari libur tersebut. Sebulan sekali mereka membawa dagangannya ke sebuah pesantren di Karawang yang menggelar pengajian umum di sana. Biasanya mereka berangkat siang hari setelah berjualan di pasar kaget. Setiap Sabtu-Minggu konon ceritanya mereka menggelar dagangannya ke beberapa tempat. Usahanya ini terus berkembang meski sempat turun-naik. Kini mereka mulai membuka toko busana muslim.

“Kita ikutan jualan aja, Mas, di pasar kaget.” Kataku iseng berkomentar.

“Ngapain ngoyo-ngoyo nyari duit. Mending buat pacaran. Sabtu-Minggu kan waktu buat keluarga, bukan buat kerja.” Jawab suami.

Hari libur suamiku memang hanya Sabtu-Minggu. Setiap hari dia berangkat kerja mulai pukul 07.00 (seharusnya pukul 06.00 sih), biasanya sampai di kantor pukul 09.00. Jarak perjalanan Bekasi (rumah kami) ke Ancol (kantor suami) memang cukup jauh. Bisa dua jam perjalanan. Dia pulang kantor pukul 17.00., biasanya sampai rumah saat adzan Isya atau setelahnya. Dengan mengendarai motor, dia lebih bebas berhenti untuk jamaah shalat Maghrib  dan Isya di masjid yang dilewati. Otomatis waktu kebersamaan kami hanya malam hari. Itu sebabnya Sabtu-Minggu bener-bener diopmalkan buat keluarga. Sabtu biasanya kami pakai buat jalan-jalan berdua, nonton film di bioskop, ikut kajian, dan sebagainya. Setiap hari Minggu kami mengunjungi anak kami yang bersekolah di pesantren di daerah Karawang, sekitar satu jam perjalanan dari rumah kami.

Bukan kami tidak butuh banyak uang untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Kami ingin bisa segera melunasi cicilan rumah dan motor, bayar tagihan rutin bulanan, ingin punya dana buat renovasi rumah, pengen punya tabungan yang cukup buat pendidikan anak (kami ingin menyekolahkan  anak di tempat terbaik), kami juga pengen punya tabungan haji. Namun, waktu kebersamaan dengan keluarga, menemani anak, juga menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.


“Usia kanak-kanak kan hanya sebentar. Itu berarti masa bermain-main dengan mereka juga tidak lama, paling-paling hanya sampai sekolah dasar. Setelah itu mereka sudah punya dunia sendiri yang kadang tidak terlalu membutuhkan orang tua di sampingnya. Masak sih kita mau melewatkan masa-masa itu begitu saja hanya karena sibuk nyari uang. Masak untuk bermain dengan anak nunggu sampai punya banyak uang dan terpenuhi segala kebutuhan materi keluarga. Saat ingin bermain-main dengan anak-anak, tahu-tahu mereka sudah besar dan tidak mau bermain seperti anak kecil lagi. Saat itu kita sudah tidak bisa menimang mereka lagi.” Kata suami berdiskusi tentang prioritas kebutuhan saat ini.

Saya sangat setuju dengan prinsip suami. Hal ini pula yang membuat saya semakin kagum kepadanya. Bagi kami, anak adalah harta yang tidak ternilai harganya dan harus menjadi prioritas. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan materinya, tetapi juga kebutuhan psikologisnya. Mereka harus benar-benar bisa merasakan kehadiran kedua orang tuanya di hatinya, harus benar-benar merasakan perhatian dan kasih sayang kami.

“Keluarga itu prioritas. Kalau waktu habis buat nyari duit, kapan bermesraan sama istri? Masak mau bermesraan dengan istri aja nunggu nanti kalau sudah tua. Sudah jadi aki-aki dan nini-nini baru mesra-mesraan. Mana nikmatnya?” kata suami lagi.

Bagaimana pun kami sudah sangat bersyukur dengan kondisi kami. Meski banyak cicilan yang harus dipenuhi, tapi kami masih bisa makan layak, bisa punya rumah meski kondisinya sudah minta direnovasi di sana-sini, punya motor untuk memudahkan mobilitas kami, dan bisa menyekolahkan anak di tempat yang layak meski biayanya tidak sedikit. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahmân)

Tanpa mengurangi hormat kami kepada orang-orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja membanting tulang memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, kami salut dengan mereka. Namun, tidak sedikit orang yang kemudian lupa untuk memenuhi kebutuhan psikologis mereka. Sibuk mengejar “kesuksesan” dalam ukuran materi, tetapi kemudian sering mengabaikan kebutuhan lain, seperti kebersamaan dengan keluarga, kebutuhan untuk menuntut ilmu agama (mengikuti kajian), dan sebagainya.

Idealnya, kita bisa seimbang menikmati dan menjalani hidup. Saya jadi teringat dengan kisah yang banyak ditulis di internet tentang seorang nelayan dengan pengusaha. Cerita ini banyak ditulis dalam berbagai versi. Saya akan merangkum dengan versi saya.


Senja di pinggir sebuah pantai saat itu tampak begitu indah. Semburat merah jingga mentari di ujung pantai melukiskan keindahannya. Semilir angin lembut khas pantai menyentuh kulit seseorang yang sedang santai berlibur di pantai itu. Dia seorang pengusaha yang dibilang “sukses” di kotanya. “Bersantai” seperti itu baginya merupakan suatu hal yang “mewah” dan jarang didapatkan. Maklum, waktunya selama ini banyak dihabiskan untuk bekerja keras karena dia yakin bahwa kekayaan dan kesuksesan hanya dapat diperoleh dengan bekerja keras. Tiada hari tanpa bekerja.
Dia menyapu pandangannya ke seluruh penjuru pantai untuk menikmati keindahannya. Dia kemudian melihat seorang nelayan yang sedang duduk santai di atas kapal nelayan sambil menikmati pemandangan pantai. Terusik dengan kesantaian orang tersebut, pengusaha ini pun mendekatinya.
“Pak, mengapa bapak tidak melaut?” sapa pengusaha kepada nelayan itu.

“Saya sudah melaut semalam dan saya perlu beristirahat,” jawab nelayan singkat.

“Kalau bapak melaut lagi, Bapak akan menghasilkan banyak ikan sehingga Bapak bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah perahu. Dengan perahu itu. Bapak tidak perlu lagi menyetorkan sebagian keuntungan Bapak kepada pemilik perahu.”

“Lalu?” kata nelayan menyela.

“Bapak bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk membeli perahu kedua, perahu ketiga, perahu keempat, perahu kelima, dan seterusnya.”

“Lalu?”

“Jika perahu Bapak sudah banyak. Bapak bisa menyewakannya kepada nelayan lain sehingga Bapak tidak perlu lagi melaut.”

“Lalu?”

“Bapak bisa hidup tenang dan bersantai.”

Nelayan itu tersenyum dan berkata, “Menurut bapak, apa yang sedang saya lakukan sekarang?”

Nasihat pengusaha itu baik. Namun, apa yang dilakukan nelayan itu justru mengajarkan kita satu hal, HIDUP HARUS SEIMBANG.
Semoga kisah ini memberikan pencerahan bagi kita akan pentingnya keseimbangan hidup. Jangan sampai kita sibuk (yang biasanya untuk mengumpulkan pundi-pundi materi), tetapi kehilangan kenikmatan dan kebahagiaan yang seharusnya bisa dinikmati kapan pun, tidak harus menunggu kaya dan dibilang “sukses” oleh orang lain yang biasanya ukurannya hanya sebatas materi.

Terima kasih untuk suamiku yang mengajarkan aku untuk menikmati keseimbangan hidup. U are d’best. Aku bangga padamu. @

Senin, Juni 13, 2011

Nge-Blog dapat Jodoh



Beberapa teman memintaku untuk menulis proses perkenalanku dengan seorang pria hingga dia menjadi suamiku. Mungkin karena dianggap aneh, “Kenalan via BLOG kok bisa sampai nikah?” Biasanya orang berkenalan via jejaring sosial, seperti Facebook atau yang lainnya, atau chatting via YM, dll. Tapi kami berkenalan dan menjadi semakin dekat justru melalui penelusuran tulisan-tulisan kami di blog kami masing-masing. Belum lagi proses perkenalan kami hingga ke nikah hanya membutuhkan waktu satu bulan. Aneh atau tidak, tapi itulah realitasnya.

Mungkin karena prosesnya yang begitu cepat itulah membuat saya sendiri kadang masih nggak percaya kalau saya sudah menikah. Akhir tahun 2010 masih lajang, tahun baru 2011 sudah berstatus sebagai istri.

Setelah beberapa kali membuat tulisan ini dengan beberapa kali edit ulang, akhirnya tulisan ini kelar juga. Bisa jadi inilah tulisanku yang terlama prosesnya. Butuh waktu berbulan-bulan. Prolog beberapa kali diganti karena merasa nggak sreg.

Iseng Nge-Blog

Tulisan-tulisan lamaku yang pernah dimuat sebuah media Islami di Bandung ketika saya menjadi wartawati di sana teronggok di folder kamarku. Mau diapain? Dibuat kliping? Hanya bisa dinikmati diri sendiri. Sejak pensiun sebagai wartawati, penaku seakan tumpul. Sesekali saya menulis buku, tetapi tidak cukup. Banyak yang ingin dituangkan melalui tulisan dengan tema bebas tanpa dibayangi tuntutan laku/tidak secara komersil dan bakal dibaca banyak orang atau tidak. Biasanya saya menulis di buku harian (sejak SMP hingga perguruan tinggi), tetapi kini rasanya sudah tidak relevan lagi. Sampai akhirnya saya menemukan cara jitu dan efektif menuangkan pemikiran, yaitu melalui blog. Sejak tahun 2009 saya memulai debut penulisan melalui blog. Tidak pernah terpikir apakah nanti tulisanku bakal dibaca orang atau tidak. Asal saya punya tempat untuk menuangkan pikiran dan perasaan, cukuplah.

Satu-dua sahabat off line yang sama-sama mengelola blog saling mengunjungi dan mengomentari tulisan kami masing-masing. Respons dari orang lain inilah yang membuat saya semakin semangat menulis sampai akhirnya banyak juga pembaca on line yang sama sekali tidak saya kenal sebelumnya. Ketika ada sabahat on line yang mengaku merasakan manfaat dari tulisan-tulisanku, semangat menulis pun kian membubung tinggi meski sama sekali tidak mendapatkan rupiah apalagi dolar dari kegiatan menulis ini. Saya sudah cukup senang karena tulisan saya dibaca orang dan bermanfaat.

Meskipun tidak terlalu aktif, tetapi saya usahakan untuk memosting tulisan minimal satu bulan satu tulisan. Kadang saya mengambil dari tulisan-tulisan lamaku yang pernah dimuat di media massa tempatku bekerja dulu.

Sekali Bertemu untuk Menikah

Akhir tahun 2010, tepatnya awal Desember, ada seorang pembaca yang sangat aktif mengomentari tulisan-tulisanku. Bukan hanya postingan baru, postingan lawas pun dikomentarinya. Bahkan, hampir semua tulisanku di blog dia komentari. Ini orang gila bener. Tulisan-tulisanku di blog dibaca semua kali, yah? Batinku. Padahal tulisanku di blog ini sudah lumayan banyak, lebih dari 60 tulisan. Penasaran. Siapa sebenarnya dia? Kok mau-maunya menghabiskan waktu buat membaca hampir semua tulisanku di blog.

Tidak lama berselang, ada email masuk ke inbox-ku. Rupanya dari komentator teraktif di blog-ku. Tidak langsung mengajak kenalan, tetapi meminta kesediaanku untuk berdiskusi soal tulisan-tulisan. Mengulas tentang tulisan, siapa takut? Siapa tahu saya akan mendapat masukan tentang tulisan-tulisan di blog-ku.

Rupanya dia hobi nulis juga. Aku baca juga blog miliknya “Catatan Salwangga”. Tulisan-tulisannya lumayan enak dibaca. Tema keseharian yang cukup segar. Banyak mengulas tentang pengalaman sehari-harinya bersama anak-anak dan istrinya. Hmm, seorang ayah yang baik dan suami yang cukup bertangggung jawab. Itu kesanku dari membaca tulisan-tulisannya di blog. Selain itu, kayaknya nih orang lumayan kocak juga. Batinku. Ternyata, mempelajari kepribadian seseorang bisa melalui penelusuran pemikiran dan perasaan yang ditulis seseorang. Mungkin itu juga yang dia pelajari dari tulisan-tulisanku di blog pribadiku.

Selain saling menikmati tulisan di blog dan berdiskusi melalui email, kami pun berkomunikasi via chatting YM. Alhamdulillah, kemunikasi kami lancar. Salah satu tulisan hasil chatting-an kami bisa dibaca pada tulisan berjudul “Adaku Bersama Adamu, Adamu Bersama Adaku”.

Dari bicara soal tulisan, obrolan kami kemudian berlanjut hingga curhat masalah pribadi. Nuansa kepedihan tampak begitu lekat di benaknya. Rupanya dia baru kehilangan istrinya yang meninggal karena sakit dua bulan sebelumnya, yaitu Oktober 2010. Sebagai sahabat (meski belum lama kenal), saya mencoba untuk men-support dia semampuku. Tidak puas hanya berkomunikasi via dunia maya, seminggu kemudian dia mengajak bertemu. Entah mengapa saya mau saja diajak bertemu muka, padahal sebelum-sebelumnya saya lumayan selektif untuk masuk lebih jauh dalam kehidupan orang yang baru dikenal, apalagi dengan makhluk bernama cowok.

Kami terpisah di dua kota, Bandung dan Bekasi. Pulang kerja dia langsung meluncur ke Bandung. Karena memakai kereta malam dan sampai di Bandung di atas pukul 23.00 wib., kami baru bisa bertemu keesokan paginya di penginapan dekat stasiun.

Sederhana dan apa adanya. Itulah kesan yang aku tangkap dari caranya berpenampilan. Kami ngobrol-ngobrol sambil sarapan pagi di warung dekat stasiun Bandung. Meski masih terasa canggung dan kaku pada awal pertemuan kami, tetapi saya merasa nyaman saja bersamanya.

Usai sarapan kami pergi ke sentra buku murah di Palasari Bandung, kebetulan ada buku yang sedang dia cari. Dia berhasil mengantongi buku yang dicari, saya pun dapat hadiah buku darinya. Kami melepas lelah dan haus di warung penjual es kelapa muda. Hm…mak nyus. Sedingin dan selega hati ini. Kami kembali ke stasiun untuk mengantarnya pulang ke Bekasi. Ada waktu lebih dari satu jam kami menunggu pemberangkatan kereta ke Jakarta. Kami mengisi waktu dengan berbincang-bincang di outlet makanan dekat loket penjualan karcis.

Tidak terasa azan dzuhur berkumandang. Kami mencari masjid terdekat. Usai shalat kami kembali ngobrol-ngobrol di outlet makanan tempat kami berbincang sebelumnya. Obrolan saat itu sudah mulai cair dan bisa tertawa lepas. Bahkan, saya merasa seolah sedang bertemu dengan sahabat lama yang terpisah sekian tahun. Kami seolah sudah saling mengenal begitu dalam meski kenyataannya baru sekali bertemu.

Cuek, gokil, dan usil. Itulah kesan saya selanjutnya tentang sosok pria yang duduk di depanku ini. Tanpa sepengetahun saya dia mengambil gambar saya dengan kamera HP-nya saat sedang ngobrol bersamanya. Begitu tahu ada kamera yang sedang on saya langsung merebut HP-nya. Rupanya dia sudah menyuting saya sejak pertama bertemu saat sarapan tadi pagi. Tampak di sana segala gerak-gerikku tadi pagi yang masih malu-malu sambil terus menikmati soto. Ah, dasar tukang usil.

Belum lagi kecuekannya. Semua makananku yang nggak habis dia santap sampai tidak bersisa. Dia laper apa doyan? (Belakangan baru dia ngaku kalau saat itu dia kekenyangan benget). Padahal saya hanya makan soto sedikit. Maklum, saya jarang sarapan berat pagi hari. Jadi kalau dihidangkankan makanan berat hanya muat dikit. Itu berarti sama artinya dia makan dua porsi. Hehehe…siapa suruh ngabisin makananku?....

“Tahu nggak doa apa yang Mas panjatkan waktu shalat dzuhur tadi?” dia memulai perbincangan usai shalat dzuhur.

“Ya nggak tahulah. Emang doa apa?” saya tanya balik.

“Ntar ajalah Mas kasih tahu.”

Idih…pake rahasia-rahasiaan segala. Atau dia malu kali yah? Batinku.

Begitu kereta ke Jakarta datang saya mengantarnya sampai pintu masuk. Sendiri lagi. Saya pun siap-siap naik angkot untuk kembali ke rumah. Dalam perjalanan HP-ku berbunyi. Rupanya sms dari dia. Sms yang lumayan panjang dengan tiga kali kirim.
“Ya Fattahu, jika pertemuan ini mengundang berkah-Mu, bukakanlah hati kami untuk saling menerima satu sama lain. Namun, jika hanya akan mengundang keburukan di antara kami, hanya kuasa-Mu juga yang berlaku atas kami. Beri petunjuk-Mu untuk kami, ya Allah. Sesungguhnya, kemuliaan hanya datang dari Engkau. Segala kebaikan hanya dari Engkau. Segala kenikmatan hanya dari Engkau.
“Ya Latif, Duhai Zat Yang Mahalembut. Lembutkan hati kami agar dapat merasakan petunjuk-Mu. Aku mencoba membuka hatiku dengan mengharap ridha-Mu, ya Ilahi Rabbi. Amin.”

Rupanya itu doa yang dia panjatkan bakda shalat dzuhur tadi.

Sms yang cukup membuatku terkesan. Saya yakin dia tipe orang yang sangat mengutamakan agamanya sehingga segala sesuatu dia kembalikan kepada Allah Ilahi Rabbi. Ini salah satu yang saya suka dari dia.

“Bismillah. Ya Allah, jika Indah baik untukku dan agamaku, bukakanlah hatiku untuknya. Jika aku baik untuk Indah, bukalah hatinya untukku. Amiiin.” Smsnya kembali bersarang di HP-ku keesokan harinya.

“Kalau mau jujur, semua tipe pria yang aku inginkan ada dalam diri Mas. Bahkan lebih.” Jawab sms-ku.

“Apa nggak terlalu cepat mengambil simpulan seperti itu?” dia seolah mengorek keraguan.

“Memang kita baru sekali bertemu, tapi saya merasa kemarin seperti pertemuan dua sahabat lama yang baru dipertemukan kembali.” Aku menepis keraguannya yang rupanya diiyakan olehnya. Dia pun merasakan hal yang sama. Yah, bagai dua sahabat lama yang baru bertemu.

“Segala puji hanya untuk-Mu, ya Allah. Engkau yang mempertemukan kami. Engkau yang membuka hati kami. Kami pasrah apa pun takdir-Mu, ya Rahim.” Sms-nya menutup obrolan kami hari itu.

Dua hati telah berpadu. Kami telah saling menerima. Hati telah terisi dengan cinta meski pertemuan itu boleh dibilang sangat singkat. Tiada terpikir di benak kami untuk berpacaran karena keharaman pacaran dalam Islam. Seminggu setelah pertemuan pertama kami, saya pulang kampung untuk liburan. Liburan ini sudah saya rencanakan jauh-jauh hari sebelum pertemuanku dengannya untuk menghabiskan cuti tahunan yang belum saya ambil. Selama perjalanan pulang dia terus meng-sms, menanyakan perkembangan perjalananku, sudah sampai mana, gimana perjalanannya, dan seterusnya. Dia menyatakan keseriusannya untuk melamarku. Bahkan siap datang ke rumah minggu depan untuk melamarku, kalau diizinkan.
Namun,
Pintu itu belum mampu aku buka sepenuhnya.
Masih ada sisa trauma kegalalan masa lalu yang “menganga”
Ada hati yang harus aku jaga “ketenangannya”
Bila hati ini yang terluka tidak mengapa
Tapi “hati ibu” kuingin tetap “sehalus sutra”
Namun, luka ini menjadi lukanya jua….
Hingga sulit kumemisahkannya.
Andai….
Ah….

Dia memberiku kesempatan untuk membicarakan hubungan kami ke orang tuaku sebelum kembali ke Bandung. Namun, 2-3 hari di rumah, masih belum mampu kubuka mulutku, serasa kelu. Sementara dia terus mendesakku untuk membicarakannya. Resah dan gelisah sempat melanda hatinya dalam menanti jawaban ini, hal yang sama juga melanda hatiku. Akhirnya, kesempatan itu datang juga. Saat saya, ibu, dan kakak pertamaku duduk-duduk santai di depan rumah, saya pun memulai pembicaraan tentang kedekatanku dengan seorang pria. Saya bilang kalau kami serius untuk menikah meski tetap harus siap seandainya di tengah jalan akan gagal. Saya tidak mau kegagalanku akan menyakiti hati ibu. Yah, bagaimana pun jodoh di tangan Allah Swt. Hanya Dia yang tahu bagaimana nasib hubungan kami. Saya pun bercerita tentang profil pria yang saat ini sedang dekat denganku. Alhamdulillah, ibu dan kakakku memberi nilai positif pada dirinya hingga pintu itu bisa sedikit terbuka.

Memaksimalkan Ikhtiar dan Doa

Pernikahan, meski sudah kami niati dengan sungguh-sungguh karena Allah semata, tetapi kami tetap pasrah dengan ketentuan Allah Swt. Kami hanya berusaha. Doa dan ikhtiar sudah saya lakukan. Kalau toh ikhtiar ini gagal juga seperti kegagalan saya pada masa lalu, saya pun pasrah.
Bila semua diniatkan ibadah karena Allah Swt., insya Allah akan terasa ringan meskipun harus menerima kegagalan. Berdoa tetap menjadi ibadah yang berpahala meski belum dikabulkan segera. Ikhtiar pun akan tetap bernilai ibadah meskipun belum tentu mencapai hasil yang didamba. Bahkan, kegagalan yang dihadapi dengan kesabaran dan kepasrahan kepada-Nya akan menjadi ibadah bernilai tinggi sebagai nilai plus (bonus) atas doa dan ikhtiar yang sudah dilakukan secara maksimal.
Intinya. Menikah itu ibadah. Bila ikhtiar menuju nikah dilalui sesuai syariah dibarengi dengan doa yang khusyuk, meskipun kegagalan yang akan diterima nantinya, maka itu pun tetap bernilai ibadah. Jadi, gagal atau tidak tetap bernilai ibadah. Itulah indahnya Islam.

Bahkan, seandainya Allah tidak mempertemukan jodohku di dunia pun saya ikhlas. Saya hanya mencoba menjalani kehidupan sesuai takdir-Nya. Saya yakin Allah pasti telah membuat skenario terindah bagi kehidupanku. Bisa jadi awalnya terasa pahit, tapi saya yakin apa pun dan bagaimana pun yang Allah berikan kepada saya merupakan hal terbaik dari Allah Swt.

Sesuai rencana, tanggal 25 Desember 2010, usai menghadiri pernikahan teman sekantor, saya langsung meluncur ke stasiun kereta Bandung menuju Bekasi. Saya janji untuk ikut mengambil raport anaknya Mas Pomo yang duduk di kelas 1 MTs (setingkat SMP). Alhamdulillah, anak perempuannya yang manis ini tidak berkeberatan menerima kehadiranku sebagai ibu tirinya. Dia ingin mengisi liburan semesternya di Jogja bareng dengan adik laki-lakinya yang masih sekolah TK. Mas Pomo terpaksa menitipkan anak laki-lakinya yang berumur 4 tahun di rumah budenya di Jogja karena sejak ibunya meninggal tidak ada yang mengurusnya, sementara dia harus bekerja hingga malam. Begitu sampai di Jogja, tempat yang pertama kami tuju adalah rumah kakaknya. Kami sampai di Jogja pagi, saat anak lelakinya masih tertidur pulas.

Melepas kangen dengan anak, bermain-main, jalan-jalan, sampai akhirnya kami menuju rumah orang tuanya untuk meminta doa restu. Alhamdulillah, meski pada awalnya orang tuanya sedikit kurang setuju dengan pernikahan yang terlalu cepat sementara istrinya belum lama meninggal, tetapi akhirnya mereka merestui. Adat Jawa melarang seseorang menikah dalam tahun yang sama dengan kematian keluarganya, apalagi istri atau pasangan hidup. Namun, Islam tidak melarang hal ini. Alasan inilah yang kami utarakan kepada orang tuanya dan mereka pun bisa menerima.

Belum sehari di Jogja, sore harinya saya dan calon suami kembali melakukan perjalanan ke Banyumas. Sesuai rencana awal, keesokan paginya saya melakukan persiapan untuk melakukan akad nikah. Ibu mengundang seorang ustadz di kampung dan dua orang saksi dari tetangga kami. Aku dinikahkan oleh kakak laki-lakiku karena bapakku sedang sakit. Sebuah pernikahan yang sangat sederhana, hanya dihadiri beberapa keluarga dekat. Mungkin terasa aneh. Tanpa ada proses lamaran seperti budaya Indonesia pada umumnya, kami datang ke rumah dan langsung menikah.

Sore harinya kami berpamitan dengan keluarga di Banyumas untuk kembali ke Bandung. Kali ini kami melakukan perjalanan berdua sudah sebagai suami-istri. Sekitar pukul 24.00 kami sampai di rumah kakakku di Bandung, tempat sehari-hari saya menginap dan tinggal selama di Bandung. Keesokan harinya saya mengantar suami (cie….udah jadi suami sekarang) menuju stasiun Bandung. Dia sudah izin dua hari dari kantornya, hari itu dia harus ngantor lagi walaupun pasti telat sampai di sana. Maklum, perjalanan Bandung-Jakarta sekitar tiga jam. Setelah melalui roadshow perjalanan menuju “nikah” yang cukup melelahkan, tapi pasti tetap hepi, kami harus hidup terpisah kembali antara Bandung-Bekasi karena kesibukan kami masing-masing. Yah, kayak orang pacaran aja meski kami sudah menjadi suami istri.

Karena pernikahan ini baru “secara agama” saja atau orang biasa menyebutnya “nikah siri”, tentu kami belum bisa bebas mengakui status kami kepada banyak orang, termasuk teman-teman kantor kami. Baru pada tanggal 13 Februari 2011 kami melangsungkan pernikahan secara lagal dan tercatat di KUA. Alhamudlillah, akhirnya kami benar-banar menjadi suami istri yang diakui agama dan negara.


Puisi cinta itu telah menabuh gendangnya
Serulingnya pun merdu terdengar
Menambah indah suasana dua hati yang telah berpadu

Saya pun bersyukur, akhirnya belahan jiwaku bisa juga saya temui di kehidupan dunia ini. Doa kami selalu agar bisa menjadi keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Dua anak dari suami dari pernikahan sebelumnya semakin menambah lengkap kebahagiaan kami. Saya berharap bisa menjadi ibu terbaik bagi mereka berdua dan menjadi istri terbaik pula bagi suamiku. Amiiin.

Mungkin, bagi orang lain menikah adalah hal biasa dan pasti bisa dijalani, tetapi bagi saya menikah adalah hal luar biasa. Ibaratnya seperti memasuki ruang VVIP atau kelas Eksekutif. Satu hal yang bagi saya seperti tidak mungkin, bahkan sempat terpikir untuk tidak menjalaninya. Namun, ternyata Allah Swt. punya rencana indah untukku. Inilah yang selalu saya yakini, bahwa Allah Swt. punya skenario hidup terindah untukku. Dia mempertemukan jodohku dengan cara yang tidak terpikirkan olehku dan dengan proses yang begitu cepat meskipun saya harus menunggu moment ini begitu lama, ketika usiaku 30 tahunan.

Cinta, kadang begitu sulit diraih, serasa jauh…..
Bagai mengejar layang-layang lepas.
Namun, ketika datang takkan ada yang mampu menolak…
Kita tidak pernah tahu kapan cinta sejati datang menghampiri diri
Yang harus kita lakukan adalah siap menerima kapan pun hadirnya cinta sejati
Terima kasih untuk cinta sejatiku… (suamiku)
Kau berani mengambil risiko untuk menikahiku
Pada saat pria lain tidak memiliki keberanian mengambil risiko yang sama.