Kearifan cinta akan hadir;
Saat dicintai tidak membuat seseorang sombong dan
berbangga diri,
lupa akan kekurangan dan ketidaksempurnaan kita sebagai
manusia.
Saat tidak dicintai tidak membuat seseorang frustasi,
lalu tidak bisa melihat kelebihan dan potensi dirinya lagi.
Saat cinta merasuk dalam diri,
Seseorang tetap mampu mengendalikan cintanya, mampu
menjauhkan diri dari dosa dan kemaksiatan.
Saat cinta berbenturan dengan kepentingan orang tua,
Seseorang tetap mampu mengompromikan dan menghormati orang
tuanya,
Saat cinta terbelit permasalahan dengan orang lain,
Seseorang tetap mampu menghormati orang yang bermasalah.
Cinta itu resah, tetapi membahagiakan. Kearifan cinta akan
kita dapatkan bila kita memiliki niat baik untuk sebuah cinta. Terkadang
manusia terlalu egois untuk mengakui sebuah rasa cinta. Entah karena takut
tidak terbalas cintanya atau karena memandang diri terlalu tinggi atau terlalu
rendah. Lakukan cinta untuk cinta itu sendiri. Tidak usah resah untuk cinta
yang tidak terbalas, tetapi resahkanlah bila di hati kita tidak ada rasa cinta.
Bagaimanapun, dicintai dan mencintai adalah kebutuhan psikis manusia yang harus
dipenuhi. Namun, ada hal yang lebih penting, yaitu kearifan. Dibalasnya cinta
tidak harus menjadi tujuan, tetapi jadikanlah cinta sebagai jalan untuk
mendewasakan diri kita, jalan untuk melatih kearifan diri.
Cinta bukan ambisi untuk sebuah kebanggaan. Cinta akan tampak
kasar bila sudah dibumbui dengan ambisi, keegoisan, dan kabanggaan. Sebaliknya,
cinta akan nampak lembut bila dihadirkan untuk meraih kebahagiaan, bukan untuk
mengejar kebanggaan karena cinta sejati akan membuat seseorang lebih peka
dengan perasaan orang yang dikasihinya.
Memang sangat tipis perbedaan antara kebahagiaan dan
kebanggaan, bagai dua sisi mata uang. Kebanggaan kadang cenderung mengarah pada
keinginan untuk ditampakkan di hadapan orang lain, tetapi kebahagiaan hanya
bisa dirasakan di hati (orang lain tidak selamanya harus tahu). Maka dari itu,
berhati-hatilah memainkan keduanya. Alih-alih ingin mengejar kebanggaan
ternyata harus mengorbankan kebahagiaan.
Dalam soal cinta, harga diri seseorang bukan diukur dari
dicintai atau tidak dirinya, bukan diukur oleh seberapa banyak orang yang
mencintai, mengagumi, dan mengidolakannya, tetapi dari bagaimana dia dapat
memperlakukan cinta secara arif. Pada akhirnya, Allah-lah penilai kemuliaan
diri seseorang. Seseorang yang dikagumi dan dicintai banyak orang belum tentu
mulia di hadapan Allah bila cara yang ditempuh keluar dari rel syariat. Sebaliknya,
seseorang yang mungkin hina di hadapan manusia, bisa jadi begitu mulia di
hadapan Allah. Wallahu’alam.
Seorang perempuan, dengan kecantikan, kepintaran,
kemanjaan dan rayuannya mungkin bisa menaklukkan banyak pria. Begitupun seorang
pria, dengan ketampanan, otak yang brilian, keperkasaan, kekayaan dan
rayuannya, mungkin dapat menaklukkan banyak wanita. Akan tetapi, bila kita mau
menelusuri sisi hati orang-orang yang tertaklukkan, semakin banyak yang
berhasil ditaklukkan berarti banyak pula hati yang kecewa karena toh pada
akhirnya hanya satu yang harus dipilihnya. Lalu, tegakah melukai sisi hati yang
tersiksa? Di situlah kearifan seorang pecinta dituntut realisasinya.
Kelebihan dan potensi diri tersebut tentu bukan untuk
ditampakkan di hadapan semua orang dengan kesombongan. Seorang yang arif akan
mampu meleburkan diri dengan kelebihan dan kekurangannya secara adil, yaitu hanya
di hadapan orang-orang yang memang layak mendapatkan kelebihan dirinya
(pasangan hidupnya). Maka tumbuh suburkanlah cinta untuk sesama karena inilah
jalan untuk dapat berbuat sesuatu bagi banyak orang dan jalan untuk mengikis
egoisme pribadi. Namun, kendalikan cinta terhadap lawan jenis (cinta biologis)
dan takutlah pada cinta yang menjerumuskan.
Dalam kegelisahan cinta, berdoalah, “Ya Allah, bahagiakan
orang-orang yang pernah mencintaiku meskipun aku tidak pernah bisa
mencintainya. Jangan siksa dia dengan perasaan cintanya. Bahagiakan pula
orang-orang yang pernah aku cintai meskipun dia tidak pernah mencintaiku karena
bagaimanapun dia telah mengenalkanku akan arti menjadi dewasa. Bahagiakan pula
orang yang aku cintai dan mencintaiku. Satukan kami dalam rumah tangga yang sakinah
mawadah wa rahmah.” ***
Banyumas, 2001.
Banyumas, 2001.