Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Desember 14, 2010

Kearifan Cinta




Kearifan cinta akan hadir;
Saat dicintai tidak membuat seseorang sombong dan berbangga diri,
lupa akan kekurangan dan ketidaksempurnaan kita sebagai manusia.
Saat tidak dicintai tidak membuat seseorang frustasi,
lalu tidak bisa melihat kelebihan dan potensi dirinya lagi.
Saat cinta merasuk dalam diri,
Seseorang tetap mampu mengendalikan cintanya, mampu menjauhkan diri dari dosa dan kemaksiatan.
Saat cinta berbenturan dengan kepentingan orang tua,
Seseorang tetap mampu mengompromikan dan menghormati orang tuanya,
Saat cinta terbelit permasalahan dengan orang lain,
Seseorang tetap mampu menghormati orang yang bermasalah.

Cinta itu resah, tetapi membahagiakan. Kearifan cinta akan kita dapatkan bila kita memiliki niat baik untuk sebuah cinta. Terkadang manusia terlalu egois untuk mengakui sebuah rasa cinta. Entah karena takut tidak terbalas cintanya atau karena memandang diri terlalu tinggi atau terlalu rendah. Lakukan cinta untuk cinta itu sendiri. Tidak usah resah untuk cinta yang tidak terbalas, tetapi resahkanlah bila di hati kita tidak ada rasa cinta. Bagaimanapun, dicintai dan mencintai adalah kebutuhan psikis manusia yang harus dipenuhi. Namun, ada hal yang lebih penting, yaitu kearifan. Dibalasnya cinta tidak harus menjadi tujuan, tetapi jadikanlah cinta sebagai jalan untuk mendewasakan diri kita, jalan untuk melatih kearifan diri.

Cinta bukan ambisi untuk sebuah kebanggaan. Cinta akan tampak kasar bila sudah dibumbui dengan ambisi, keegoisan, dan kabanggaan. Sebaliknya, cinta akan nampak lembut bila dihadirkan untuk meraih kebahagiaan, bukan untuk mengejar kebanggaan karena cinta sejati akan membuat seseorang lebih peka dengan perasaan orang yang dikasihinya.

Memang sangat tipis perbedaan antara kebahagiaan dan kebanggaan, bagai dua sisi mata uang. Kebanggaan kadang cenderung mengarah pada keinginan untuk ditampakkan di hadapan orang lain, tetapi kebahagiaan hanya bisa dirasakan di hati (orang lain tidak selamanya harus tahu). Maka dari itu, berhati-hatilah memainkan keduanya. Alih-alih ingin mengejar kebanggaan ternyata harus mengorbankan kebahagiaan.

Dalam soal cinta, harga diri seseorang bukan diukur dari dicintai atau tidak dirinya, bukan diukur oleh seberapa banyak orang yang mencintai, mengagumi, dan mengidolakannya, tetapi dari bagaimana dia dapat memperlakukan cinta secara arif. Pada akhirnya, Allah-lah penilai kemuliaan diri seseorang. Seseorang yang dikagumi dan dicintai banyak orang belum tentu mulia di hadapan Allah bila cara yang ditempuh keluar dari rel syariat. Sebaliknya, seseorang yang mungkin hina di hadapan manusia, bisa jadi begitu mulia di hadapan Allah. Wallahu’alam.

Seorang perempuan, dengan kecantikan, kepintaran, kemanjaan dan rayuannya mungkin bisa menaklukkan banyak pria. Begitupun seorang pria, dengan ketampanan, otak yang brilian, keperkasaan, kekayaan dan rayuannya, mungkin dapat menaklukkan banyak wanita. Akan tetapi, bila kita mau menelusuri sisi hati orang-orang yang tertaklukkan, semakin banyak yang berhasil ditaklukkan berarti banyak pula hati yang kecewa karena toh pada akhirnya hanya satu yang harus dipilihnya. Lalu, tegakah melukai sisi hati yang tersiksa? Di situlah kearifan seorang pecinta dituntut realisasinya.

Kelebihan dan potensi diri tersebut tentu bukan untuk ditampakkan di hadapan semua orang dengan kesombongan. Seorang yang arif akan mampu meleburkan diri dengan kelebihan dan kekurangannya secara adil, yaitu hanya di hadapan orang-orang yang memang layak mendapatkan kelebihan dirinya (pasangan hidupnya). Maka tumbuh suburkanlah cinta untuk sesama karena inilah jalan untuk dapat berbuat sesuatu bagi banyak orang dan jalan untuk mengikis egoisme pribadi. Namun, kendalikan cinta terhadap lawan jenis (cinta biologis) dan takutlah pada cinta yang menjerumuskan.

Dalam kegelisahan cinta, berdoalah, “Ya Allah, bahagiakan orang-orang yang pernah mencintaiku meskipun aku tidak pernah bisa mencintainya. Jangan siksa dia dengan perasaan cintanya. Bahagiakan pula orang-orang yang pernah aku cintai meskipun dia tidak pernah mencintaiku karena bagaimanapun dia telah mengenalkanku akan arti menjadi dewasa. Bahagiakan pula orang yang aku cintai dan mencintaiku. Satukan kami dalam rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah.” ***

Banyumas, 2001. 

Senin, Desember 13, 2010

Kaktus Jalanan





Dari para anak jalanan (anjal) inilah aku belajar tentang ketegaran hidup. Aku menganalogikan anjal ini sebagai kaktus. Pohon kaktus tidak membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya. Bahkan ia bisa hidup di lahan tandus, di atas pasir.


Salim, salah satu anak jalanan (anjal) binaanku sewaktu saya menjadi pengurus anjal adalah anak yang paling temperamental di antara anak-anak jalanan lain. Pertengkaran hampir setiap hari terjadi di antara anjal ini. Salim paling sering berkonflik dengan teman-temannya. Saling pukul dan menendang menjadi pemandangan harian bagiku. Salim yang bertubuh kecil dan paling muda di antara anjal lain, sering kalah tarung. Kalau sudah begitu dia pasti nangis lalu kabur dari rumah singgah dengan membanting pintu sekeras-kerasnya.

Teman-teman Salim sering memanggilnya “anak haram”. Meski aku sudah berulang kali memberi pengertian pada teman-teman Salim agar jangan memanggilnya demikian, tetapi tetap saja mereka melakukan itu. Menurut cerita ibu angkat Salim, Salim lahir di luar nikah. Saat melahirkan Salim, ibunya bahkan masih mengenakan seragam abu-abu putih khas anak SMA. Dia lari dari rumah ke Bandung karena malu dengan keadaan dirinya yang hamil tanpa suami dan tidak diketahui oleh keluarganya. Bayi merah yang lahir prematur sebesar lengan tangan orang dewasa ini diserahkan kepada seorang tukang becak yang mangkal di depan rumah sakit. Tukang becak inilah yang menjadi ayah angkat Salim sampai sekarang.

Kondisi ibunya Salim saat itu sangat mengenaskan, kehabisan banyak darah. Dia melahirkan tanpa dibantu dukun beranak atau tim medis lain. Di rok abu-abunya terlihat jelas darah bekas melahirkan yang masih menggumpal di sana. Lalu, orang tua angkat Salim membawa ibu muda itu ke rumah sakit untuk dirawat. Berat badan Salim yang kurang dari 2,5 kg membuatnya harus dirawat di inkubator. Semua biaya ditanggung oleh orang tua angkat Salim meski harus berutang ke sana kemari karena kondisi ekonomi mereka yang kekurangan.

Karena masalah ekonomi, orang tua Salim akhirnya mengais rezeki dari jalanan. Ibunya terlihat sering mengemis di alun-alun Bandung sedangkan bapaknya menjadi pemulung. Merekalah yang mengenalkan Salim pada dunia jalanan sejak dia bayi.

Kondisi Salim yang demikian membuatku merasa perlu memberikan perhatian ekstra dibanding kepada anak-anak jalanan lain binaanku. Ini sempat membuat anak-anak lain merasa iri dan mengatakan Salim sebagai anak kesayanganku. Naun, aku tidak peduli. Aku pikir, kalau anak-anak jalanan lain yang cenderung lebih baik tentu akan banyak orang lain yang mau menyayangi dan memberi perhatian pada mereka. Namun, pada Salim, kenakalannya yang luar biasa membuatnya dijauhi teman-temannya sesama anjal. Orang lain yang bukan anjal pun akan menjauhinya. Padahal aku yakin, setiap orang, sekasar apa pun dirinya pasti tetap membutuhkan kasih sayang dan perhatian, apalagi bagi anak kecil seumur Salim. Waktu itu umurnya baru sekitar sepuluh tahun.

Suatu hari aku mendapat kabar dari salah satu santri putra di pesantren tempatku menuntut ilmu kalau Salim ingin mengirimiku surat. Surat itu sudah dibungkus di dalam amplop putih. Dia menunjukkan surat itu kepada hampir setiap santri putra yang datang menemuinya. Salim selalu membuka surat yang sudah dilem itu kepada para santri untuk dibaca. Akhirnya dia harus berkali-kali membeli amplop. Tentu saja tingkahnya ini mengundang gelak tawa di kalangan santri putra. Di antara mereka bahkan ada yang ngeledek, “Salim! Teh Indah kan pacar Aa Hanif,” kata Hanif, salah satu santri di pesantren. Tanpa diduga, Salim marah dan langsung meninju perut Hanif dan menendang kakinya. Spontan Hanif menghindar. Untung Hanif sigap sehingga terhindar dari tendangannya.

 Aku tertawa geli mendengar cerita itu. “Emang apa isi suratnya?” tanyaku pada Ihsan, santri yang membawa cerita ini padaku.

“Isinya sih sederhana, cuma ingin menganggep Teh Indah sebagai kakaknya,” Ihsan menambahkan.

“Teh, ati-ati bersikap sama Salim. Meski dia anak kecil, tetapi pikirannya udah dewasa,” kata Ihsan kemudian.

Aku kembali ketawa, “Ah, aku biasa-biasa aja, kok. Itu kan karena Salim memang butuh perhatian. Maklum, anak seumur dia kan lagi haus kasih saying,” kataku spontan.

“Iya, Teh Indah sih biasa-biasa aja, tapi Salim nanggapinnya luar biasa,” seloroh Ihsan sambil ketawa.

Sampai sekarang, aku tidak pernah melihat langsung surat Salim yang tadinya ingin diberikan kepadaku. Mungkin keburu rusak karena berkali-kali disobek amplopnya, atau dia malu memberikan surat itu karena diledek sama anak-anak santri putra di pesantren. Kisah tragis Salim inilah yang menginspirasiku untuk membuat sebuah cerpen berjudul Salimku Sayang, Salimku Malang yang dimuat di Annida tahun 2004.

Dari para anjal inilah aku belajar tentang ketegaran hidup. Aku menganalogikan anjal ini sebagai kaktus. Pohon kaktus tidak membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya. Bahkan ia bisa hidup di lahan tandus, di atas pasir. Duri-duri kecilnya yang berwarna-warni mampu menambah keindahan tanaman hias ini, tetapi orang yang ingin menyentuhnya tentu harus berhati-hati, salain karena durinya dapat melukai, juga ada beberapa kaktus yang bisa mengeluarkan racun.


Anjal lahir dan besar di lingkungan yang keras, layaknya lahan yang tandus. Namun, hebatnya mereka tetap mampu survive, meski tanpa kasih sayang, ekonomi yang pas-pasan, dan minus secara religi. Padahal kasih sayang ibarat air kehidupan. Kekuatan dan ketangguhan mereka menjalani hidup membuat mereka nampak polos, lucu, dan menggemaskan, meski berteman dengan getirnya kehidupan. Mereka suka usil, sedikit nakal hingga membuat orang kadang harus berhati-hati ketika ingin mendekati mereka. Meski tidak semua anjal seperti itu.


Dalam realitas kehidupan, tidak sedikit anak-anak rumahan (memiliki rumah dan orang tua) yang harus menjalani hidup tanpa kasih sayang orang tua mereka. Bisa jadi karena kesibukan orang tua mencari nafkah atau adanya pergeseran tata nilai hidup yang lebih meterialis hingga akhirnya mereka merasakan kehidupan seperti anak-anak di panti asuhan. Andaikata mereka punya kekuatan sekuat pohon kaktus yang tetap mampu bertahan hidup meski di lahan tandus, mungkin tidak akan muncul anak-anak muda yang doyan narkoba. Fenomena kenakalan remaja bisa jadi lahir akibat broken home atau kurang perhatian orang tua karena kesibukan karier. Maka, bila Anda hidup di lahan tandus, jadilah pohon kaktus. ***




Rabu, Desember 01, 2010

Takmau Kufur Nikmat



 
Semua manusia pasti ingin menjalani kehidupan di dunia ini dengan lurus dan lancar seperti jalan tol; kecil dimanja, muda hura-hura dan mati masuk syurga. Namun, ternyata hidup tidak semulus itu. Takbisa kupungkiri, kadang aku merasakan pahitnya kehidupan dengan ujian yang menimpaku ini. Dengan kaca mata kelewat buram, aku melihat masa depanku begitu gelap. …….kadang aku merasa takkuasa lagi menapaki hari depanku, seolah kehidupanku akan berakhir sampai di sini. Hidup segan, mati pun takmau.

Kadang sempat pula terpikir tentang kematian. Bagaimana kalau aku mati? Apa yang akan terjadi setelah kematianku? Di kuburan pasti gelap dan sepi tanpa teman. Sedang di dunia, meski harus menghadapi kenyataan pahit, tetapi setidaknya aku masih bisa ngobrol dan curhat sama teman. Yah, kematian lebih sederhana memang, tinggal bagaimana pertanggungjawaban si mati dengan Sang Khalik, tetapi berani hidup berarti harus menghadapi segala rintangan dan problematikanya. Siap menghadapi cacian dan makian, siap merasakan kepahitan, nestapa dan tangisan. Akan tetapi, akhirnya aku memilih untuk berani hidup, meski apa pun yang terjadi.

Setelah sekian tahun bergelut dengan masalahku ini, ternyata aku tetap baik-baik saja. Mungkin inilah jalan yang Allah tetapkan buatku. Skenario Allah tidak mungkin salah, Allah tidak mungkin dzalim kepada hamba-hamba-Nya. Aku mencoba flasback ke masa kecilku. Sedari kecil aku biasa dimanja oleh orang tua lalu merasa kalah dalam hidup ketika problem semakin bertambah seiring bertambahnya bilangan umurku. Menangis sudah sering aku lakukan, semantara teman curhat yang tepat belum aku temukan. Aku hanya mampu curhat lewat buku harian. Aku bersyukur masih punya Tuhan sehingga lewat tahajudlah aku tumpahkan segala kepenatan dan kepedihan hatiku.

Seiring berjalannya sang waktu, aku terus menggali hikmah dari perjalanan hidupku hingga sampai pada suatu kesadaran bahwa ternyata problematika kehidupan adalah bagian dari cara Allah men-tarbiyah diriku, mendidik diri ini menjadi pribadi yang tangguh, pantang mengeluh. Tidak aku pungkiri, dulu memang pernah sedikit menyesali mengapa aku dibesarkan oleh orang tua dengan kemanjaan sementara aku sadar kalau ternyata kemanjaan tidak pernah membantuku menyelesaikan masalah. Kini aku tidak lagi menyalahkan orang tua. Semua manusia tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi orang tuanya dan anak pun tidak bisa memesan akan dididik dengan cara seperti apa. Orang tua memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan kasih sayang dan mendidik anak-anaknya. Begitupun Allah, Dia akan men-tarbiyah hamba-Nya dengan cara-Nya. Ujian hidup bagiku adalah bagian dari cara Allah men-tarbiyah diriku sekaligus mengukur kualitas dan ketakwaanku kepada Allah Swt.

Nikmat mana lagi yang akan aku dustakan? Mengingat hal ini, kadang air mataku mengalir. Sedihku bukan lagi karena kemelut hidup, tetapi karena menghitung segala nikmat Allah Swt. yang belum mampu aku syukuri.Mungkin itulah sifat dasar manusia, ketika diberi nikmat tidak pernah berfikir, "Mengapa aku mendapatkan kenikmatan ini? Pantaskan aku mendapatkan kenikmatan ini?" Namun, ketika mendapatkan kepedihan dan ujian hidup, langsung bertanya, "Mengapa aku harus menerima semua ini? Apa dosaku sehingga aku mendapatkan semua kepedihan dan ujian hidup ini?"

Dalam keheningan aku berdoa, “Ya Allah, begitu banyak nikmat yang telah Engkau limpahkan kepada hamba yang belum mampu hamba syukuri. Bahkan hamba selama ini terlalu sibuk menyesali diri, seolah keadilan-Mu tidak berpihak kepada diri ini. Na’udzubillahi min dzalik. Padahal dibandingkan dengan kenikmatan dari-Mu, ujian yang Engkau berikan jauh lebih sedikit. Engkau baru menguji hamba dengan 1-10 ujian, padahal nikmat-Mu telah bermilyar-milyar Engkau limpahkan. Ampuni hamba ya Allah! Hamba tidak mau menjadi kufur terhadap nikmat-Mu.” Amin. @@@

Terkadang (bahkan sering) kita mengeluh untuk hal-hal yang seharusnya kita syukuri. Coba lihat gambar-gambar di bawah ini …


Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
(QS Al Baqarah, 2: 152)

hayooo....sapa yang ga doyan sayur??
Dan diberinya kamu rezeki yang baik-baik agar kamu bersyukur. (QS Al Anfal, 8 : 26)
beruntunglah kita msh bisa pake sandal atau sepatu buatan pabrik mskipun bulan merek terkenal
Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah
disyukuri. (QS Al Insan, 76 : 22)
gemuk itu sehat jeng, hehehehehe...
Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku
bersyukur atau kufur (QS An Naml, 27 : 40)

harusnya seneng dunk bisa maen terus!!!
Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-
nyebutnya (dengan bersyukur). (QS Adh Dhuha, 93: 11)
beruntungnya kita masih punya orangtua
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan,
dan hati, supaya kamu bersyukur. (QS An Nahl, 16 : 78)


Bagaimana kamu mengkufuri (tidak mensyukuri nikmat) Allah, padahal tadinya
kamu tiada, lalu kamu dihidupkan, kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan
kembali. (QS A1Baqarah, 2 : 28)

Semoga gambar-gambar tersebut bisa mengingatkan pada kita agar selalu bersyukur atas nikmat dan rahmat yang telah diberikan oleh Allah, meskipun nikmat itu sangat kecil.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
*dari berbagai sumber