Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Jumat, Oktober 29, 2010

Mengenang Merapi, Terkenang Sahabat Seperjuangan

 
 
Merapi, memberi kesan banyak bagiku karena begitu banyak kejadian yang membuatku “membahasnya”.
Pertama, saat SMA, ketika Merapi “marah” dan mengeluarkan asap wedus gembel-nya pada tahun 1994 sehingga menelan lebih dari 60-an korban, guru sosiologiku memberi tugas kepada murid-murid kelas sosial untuk membuat kliping tentang perubahan sosial-psikologis orang-orang korban Merapi dan menganalisisnya menjadi sebuah makalah. Kalau sekadar membuat kliping, meski harus bekerja keras kesana ke mari untuk mencari datanya, tetapi masih bisa kami jangkau. Akan tetapi, menganalisis, duh….kayak orang kuliahan saja. Namun, demi tugas kami jalani semua tugas dengan baik.
Hasilnya, saya jadi semakin tahu bagaimana dahsyatnya bencana Merapi ini dan bagaimana pengaruhnya bagi para korban. Beberapa legenda tentang Merapi pun saya dapatkan dari hasil menyusun kliping ini.
Peristiwa Kedua, ketika saya mendaki Merapi sekitar tahun 1993, setahun sebelum Merapi mengeluarkan wedus gembelnya, menjadi saat-saat paling mengesankan dalam sejarah pendakian gunung bagi saya. Saya yang waktu itu tergabung dalam kelompok pecinta alam MAN Yogyakarta I mendaki bersama sekitar 20-an anggota pecinta alam lain. Menjelang petang kami masih di kaki gunung Merapi, perbekalan sudah mulai menipis dan tenaga mulai  terkuras. Ada dua opsi yang harus kami ambil, turun kembali ke bawah atau meneruskan hingga ke puncak gunung. Dua ketua rombongan kami berselisih pendapat tentang hal ini. Berfikir risiko yang harus kami jalani, baik ke puncak maupun turun gunung, dua-duanya sama-sama berisiko menguras tenaga dan perbekalan. Hanya saja, kalau turun kami sudah tahu medannya, sedangkan kalau terus naik kami sama sekali belum tahu medan dan risikonya.
Akhirnya, salah satu dari ketua rombongan memutuskan untuk menetap semalam di tempat tersebut dengan kondisi apa adanya, tanpa membuat tenda. Kami hanya berteduh di bawah pohon secara bergerombol. Ketika malam tiba, hujan deras mengguyur kaki gunung Merapi yang otomatis mengguyur tubuh kami. Hanya dipayungi ponco kami mencoba menahan dingin hawa gunung Merapi. Satu ponco dipakai berdua dengan seorang teman, selain karena ponconya memang terbatas, juga agar bisa saling menghangatkan, tentunya tidak boleh berdua dengan lawan jenis, yah….(itu sangat dilarang).
Untuk menghangatkan badan dan sedikit memberi penerangan, saya menyalakan lilin yang memang sudah saya persiapkan. Namun, karena kabut waktu itu begitu tebal, sinar lilin itu tidak bisa menampakkan sinarnya meski sudah menyala. Ketika saya teteskan lelehan lilin itu ke tangan, sama sekali tidak terasakan panas atau hangatnya karena saking dinginnya. Yah, entah berapa derajat suhunya, yang pasti sangat…sangat….sangat….dingin. saya belum pernah merasakan dingin sedingin waktu itu. Subhanallah. Hampir semua anggota pecinta alam yang mendaki Merapi saat itu tidak bisa tidur karena tergigit dingin yang teramat sangat.
Ketika sinar mentari sedikit demi sedikit menyembul di sela-sela pepohonan, hujan dan kabut pun telah lama berlalu, kami yang terkulai dalam duduk tertunduk mulai menengadahkan kepala menyambut sinar pagi. Satu per satu berdiri lalu melakukan peregangan tubuh. Kami menjalankan shalat subuh dalam kondisi tubuh yang basah. Lalu, kami pun melanjutkan perjalanan untuk turun gunung karena kami tidak yakin akan mampu meneruskan ke puncaknya. Lelah dan penat kami rasakan, tetapi sekaligus bahagia karena bisa merasakan “belaian” hawa Merapi plus keindahan pemandangan yang terhampar di sana. Sampai kini, mengenang Merapi membuat saya seolah kembali merasakan dinginnya Merapi yang menyuntik sumsum tulang.
          Peristiwa ketiga, saat saya bertugas meliput korban gempa Jogja tahun 2004. Waktu itu saya masih menjadi wartawan di Tabloid MQ. Saya berenam berangkat dari Bandung mengendarai mobil kantor. Karena rute perjalanan melewati Purwokerto, kami pun mampir ke rumah saya di sana. Sampai di rumah sekitar pukul tiga dini hari. Setelah makan-makan, membersihkan diri, dan shalat subuh, kami berangkat kembali meneruskan perjalanan yang tinggal empat jam lagi. Ibu saya membekali makanan lumayan banyak karena khawatir tidak menemukan penjual makanan di Jogja nanti.
          Sesampainya di Jogja kami disambut oleh Winarno, koresponden Tabloid MQ di Jogja. Begitu bertemu, Winarno memberikan sebongkah ceritanya tentang keluarga besarnya di Bantul yang menjadi korban gempa Jogja.
          Rumah Winarno sebenarnya ada di Magelang, di bawah kaki gunung Merapi. Ketika isu-isu Merapi akan meletus, Winarno pun mengungsikan anak dan istrinya ke Bantul, ke rumah saudaranya. Tentu karena ingin mereka aman dari “amuk” Merapi. Namun, bencana memang tidak bisa ditolak ketika harus datang menerpa. Merapi saat itu ternyata “aman-aman saja”. Justru Bantul yang ditimpa bencana berupa gempa yang lumayan dahsyat, hampir melumpuhkan sebagian besar Jogja.
          Lalu, bagaimana dengan nasib anak-istri Winarno? Saat gempa datang, istri Winarno sedang berada di rumah saudaranya di Bantul. Dia refleks jongkok di dekat meja yang bersebelahan dengan lemari pakaian. Gempa menggoyang lemari pakaian itu hingga roboh mengenai sisi atas meja tersebut, hanya menyisakan ruang di tempat istri Winarno terduduk. Posisinya mengingatkan kita pada anak yang sedang “nyumput” untuk main petak umpet. Alhamdulillah dia selamat dari gempa yang begitu dahsyat tanpa luka sedikit pun.
Setelah gempa reda, istri Winarno langsung ke luar rumah karena teringat dengan anaknya yang sedang bermain di luar. Beberapa saat menyapu pemandangan ke sekitar mencari-mencari anaknya, akhirnya tampak anaknya sedang berdiri berpegangan pohon belimbing di samping rumah. Padahal, rumah di samping kanan roboh ke arah kiri dan rumah di arah kiri roboh ke kanan, sehingga posisi anak itu tempat berdiri di tengah-tengah reruntuhan rumah yang roboh. Hanya tersisa ruang untuk anak itu berdiri di dekat pohon belimbing itu. Dengan penuh rasa syukur, istri Winarno pun memeluk anaknya yang juga selamat dari gempa.
          Winarno sendiri waktu itu sedang berada di rumahnya di Megelang. Begitu tahu berita tentang gempa di Jogja dia langsung ke Bantul, tempat istri dan anak semata wayangnya dititipkan. Betapa kagetnya dia melihat begitu banyak korban gempa sementara tidak ada tim relawan yang menolong. Setelah mengetahui anak dan istrinya sehat-sehat saja, dia langsung berinisiatif menolong para tetangganya. Kampung saudaranya ini terbilang mengalami rusak yang paling parah. Dia harus kehilangan lebih dari belasan saudara yang meninggal. Rumah-rumah porak-poranda.
Dia mengantarkan para korban ke rumah sakit semampunya. Dia sampai harus beberapa kali membeli bensin, sementara harga bensin mendadak naik karena persediaan minim dan bahkan jarang yang berjualan. Untuk makan para korban, dia mengoordinir orang-orang di kampungnya (di Magelang) untuk membuat rames lalu dibawa ke tempat-tempat pengungsian para korban gempa. Selama beberapa hari dia keliling Jogja untuk mencari daerah-daerah korban gempa yang mungkin belum tersentuh bantuan. Dia sampai lupa mandi, lupa makan, terus bergerak menolong para korban dengan menjalin kerja sama dengan para relawan dari berbagai lembaga. Dia juga sering diminta menyiarkan kondisi terkini para korban melalui radio-radio yang mengontaknya via handphone. Subhanallah, sebuah perjuangan tanpa kenal lelah dan tanpa bayaran. Bisa jadi inilah bentuk rasa syukurnya karena keluarganya telah diselamatkan Allah dari bencana.
          “Mas Win, udah makan belum?” tanya saya setelah dia selesai menceritakan semua kisahnya.
          “Belum, nggak sempat. Nggak ada warung makan yang buka. Kalau ada juga harganya mahal. Kalau makan jatah makan para korban nggak enak, kasihan mereka.” jawab Mas Win.
          “Ya udah mas, makan nih bekel kita,” kata saya sambil menyodorkan rantang berisi makanan seadanya.
          “Wah, kebetulan, nih.” Kata Mas Win tampak bersemangat.
          Mas Win tampak begitu lahap makan meski hanya dengan lauk ayam goreng dan kering tempe, seperti sudah berhari-hari tidak bertemu nasi sehingga mengalami kelaparan yang teramat sangat. Subhanallah.
Perjuanganmu sahabat, membuatku merasa malu karena belum berbuat apa-apa untuk umat. Semoga jasa-jasamu tercatat sebagai amal ibadah yang memberatkan timbanganmu menuju syurga kelak. Amin.
Merapi, saya banyak belajar darimu. @

Kamis, Oktober 28, 2010

Hikmah Manusia Hidup

 
          Dalam suatu pengajian, Rasulullah saw. menyampaikan ceramahnya mengenai hikmah manusia hidup. Ada sepuluh hal yang patut menjadi perhatian seseorang, baik di Bumi maupun di langit.
          Belum dianggap mukmin sejati selagi dia belum menyambung tali silaturahmi. Begitu pula belum dianggap silaturahmi sebalum dia menjadi muslim, dan belum dianggap muslim sebelum orang lain merasa aman dari gangguan tangan serta lidahnya.
          Belum dipandang muslim sebelum ‘alim (berilmu). Bukan seorang yang ‘alim jika dia tidak mengamalkan ilmunya. Juga belum dianggap mengamalkan ilmu sebelum dia menjadi zuhud (tidak cinta dunia). Belum menjadi zuhud sebelum mewakili sifat wara’ (penuh kehati-hatian dalam upaya taat kepada Allah). Belum menjadi wara’ sebelum dia tawadhu (rendah hati). Belum bisa menjadi tawadhu dia sehingga dia mengenal betul siapa dirinya. Belum akan mampu mengenal betul siapa dirinya sebelum dia mampu mengontrol setiap perkataannya.
          Selanjutnya Rasulullah saw. mengingatkan bahwa ada sepuluh golongan dari umatnya yang sebenarnya kafir, tetapi merasa dirinya muslim, yaitu (1) pembunuh tanpa hak, (2) tukang sihir, (3) orang yang menjual kehormatan istrinya untuk kepentingan dirinya, (4) orang yang enggan membayar zakat, (5) pecandu menuman keras, (6) orang yang sudah mampu berhaji, tetapi tidak melaksanakannya, (7) penyebar fitnah, (8) orang yang menyelundupkan senjata kepada musuh, (9) orang yang bersenggama lewat dubur, dan (10) orang yang mengawini muhrimnya sendiri.

(Sumber: Buletin “Nuansa”, 1998)


Rabu, Oktober 27, 2010

Kemandirian Perempuan

“Manusia dilahirkan telanjang dan mati telanjang. Baju-baju ini hanyalah suatu pretense, sekadar pembungkus dalam upaya menutupi sifat asli.” 


Rasanya sulit bagi soerang perempuan memadukan kecantikan dengan kepandaian karena sejak kecil seorang gadis dibesarkan dengan keyakinan bahwa dirinya hanyalah sesosok tubuh, tidak lebih dari itu. Jadi, untuk selanjutnya pikirannya hanyalah bagaimana mengurus tubuhnya itu dan dia tidak menyadari bahwa dia pun memiliki kemampuan otak yang harus dijaga dan terus didorong agar berkembang. Mengapa demikian? Karena kaum laki-lakilah yang memegang kendali dan kedudukan penting dalam kehidupan tidak menginginkan kaum perempuan tumbuh menjadi pribadi lain kecuali sebagai “hewan” yang cantik dan tolol, tetapi dapat memenuhi keinginan mereka bila mereka menghendaki perempuan sebagai makhluk sesama atau mitra sejajar. Mereka menghendaki perempuan sebagai orang yang melayani mereka.

Setidaknya, ada tiga “titik lemah” yang disoroti para laki-laki dalam upaya menguasai perempuan, yaitu.
1) Keinginan perempuan untuk dilindungi laki-laki.
2) Kecemburuan laki-laki terhadap perempuan.
3) Laki-laki berkilah bahwa dia takut sesuatu terjadi terhadap istri atau pasangannya. Padahal, sesunguhnya dia takut untuk dirinya sendiri; menyatakan ingin melindungi wanita dengan maksud untuk memilikinya lalu membatasinya dengan cara memasang tembok di sekelilingnya.

“Rupanya laki-laki telah menarik simpulan bahwa pekerjaankulah (sebagai seorang dokter, red) yang memberi kekuatan kepadaku sehingga dia tidak dapat menguasai diriku. Dia berpendapat bahwa uang yang kuperoleh setiap bulan sebagai penghasilan, sedikit-banyaknya adalah suatu alasan untuk menegakkan kepala. Dia tidak menyadari bahwa kekuatanku bukan karena aku memiliki penghasilan sendiri, tetapi karena aku tidak dikejar oleh kebutuhan psikologis terhadap dirinya sebagaimana dia merasakannya terhadapku. Aku tidak memiliki perasaan seperti itu terhadap ibuku, ayahku, atau siapa pun karena aku memang tidak bergantung kepada siapa pun. Sebaliknya, dia sebelumnya sangat tergantung kepada ibunya, kemudian mengganti kedudukannya itu dengan diriku. Dia telah terbiasa melihat dirinya sebagai orang yang kuat di jalanan dan menyadari bahwa dia adalah pihak yang lemah di dalam rumahnya sendiri.”  

(Dikutip dari novel “Memoar Seorang Dokter Perempuan” karya Nawel el-Saadawi)  


Tentang Penulis  

Nawal el Saadawi adalah seorang feminis, penulis, aktivis, dokter, dan psikiater. Dia telah menulis banyak buku tentang masalah perempuan dalam Islam. Wanita kelahiran Kafr Tahla, Mesir, 27 Oktober 1931 ini adalah anak seorang pejabat pemerintah di Departemen Pendidikan yang telah berjuang melawan kekuasaan Raja dan Inggris dalam revolusi tahun 1919. Akibatnya, ayahnya diasingkan ke sebuah kota kecil di Delta Nil. Sikap keras cenderung radikal ini menurun kepada Saadawi, apalagi tempaan hidup yang diterima Saadawi cukup keras. Ketika kedua orang tuanya meninggal saat dia berusia 25 tahun, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dia harus menanggung beban tunggal menghidupi keluarga besarnya ini.

Saadawi lulus sebagai dokter pada tahun 1955 dari Universitas Kairo. Saat melakukan praktek medis dia mengamati fisik dan psikologis masalah perempuan dan menghubungkan mereka dengan praktek-praktek budaya penindasan, baik penindasan patriarkal, penindasan strata sosial, dan penindasan imperialis. Dia juga mengamati kesulitan dan kesenjangan yang dihadapi oleh perempuan pedesaan. Dia bahkan mencoba untuk melindungi salah satu pasiennya dari kekerasan dalam rumah tangga. Semua pengalamannya di dunia medis ini memberi pengaruh besar dalam tulisan-tulisannya.

Dia pernah menjabat sebagai Direktur Kesehatan Masyarakat. Di tempat inilah dia bertemu dengan suami ketiga, Sheriff Hetata, seorang dokter dan penulis yang pernah menjadi tahanan politik selama 13 tahun. Mereka menikah pada tahun 1964 dan memiliki seorang putra dan putri.

Tahun 1972 dia menerbitkan Al Mar'a wa Al Jins (Perempuan dan Seks) yang mengupas tentang subjek yang sangat tabu dunia perempuan dan seksualitas serta subyek sensitif politik dan agama. Karya non-fiksi pertamanya ini juga concern menghadapi berbagai agresi yang dilakukan terhadap tubuh perempuan, termasuk sunat perempuan yang menjadi fokus dasar feminisme gelombang kedua. Apalagi Saadawi pernah mengalami trauma saat harus disunat pada usia enam tahun karena mengikuti adat. Publikasi buku ini menimbulkan kemarahan dari otoritas politik dan teologis, bahkan Departemen Kesehatan tempatnya bekerja ditekan untuk memberhentikannya. Di bawah tekanan yang sama, dia juga kehilangan jabatannya sebagai Kepala Editor di sebuah jurnal kesehatan dan sebagai Asisten Sekretaris Jenderal di Asosiasi Medis di Mesir.

Namun, Saadawi tetap berkarya. Dari tahun 1973 − 1976 dia bekerja pada lembaga penelitian masalah perempuan dan neurosis di Universitas Ain Syams Fakultas Kedokteran. Tahun 1979 − 1980 dia menjadi Penasihat Program Perempuan PBB di Afrika.

Pemikiran-pemikirannya dipandang kontroversial dan berbahaya oleh pemerintah Mesir sehingga Presiden Anwar Sadat memenjarakan dirinya pada bulan September 1981 bersama dengan penentang lain untuk Perjanjian Perdamaian Yerusalem dan Timur Tengah. Inilah proses panjang perjuangannya yang akhirnya berujung di penjara. Dia dibebaskan setelah meninggalnya Anwar Sadat tahun 1982.

Walaupun tubuh terpenjara dalam jeruji besi, tetapi pemikirannya terus berkembang. Saadawi terus menulis di penjara menggunakan pensil alis pendek hitam dan gulungan kecil kertas toilet tua dan compang-camping." Akhirnya, lahirlah bukunya yang berjudul Memoar dari Penjara Perempuan yang dirilis tahun 1982 dan terbit 1983. Dalam penutup memoarnya dia menulis tentang sifat korup dari pemerintah negaranya, bahaya penerbitan di bawah kondisi otoriter tersebut dan tekad untuk terus menulis kebenaran.  

“Ketika aku keluar dari penjara ada dua jalan yang bisa kuambil. Aku bisa saja menjadi salah satu ‘budak’ pemerintah yang berkuasa sehingga memperoleh keamanan, kesejahteraan, penghargaan negara dan lebel ‘penulis besar’, aku bisa melihat foto saya terpampang di koran dan di televisi. Atau aku bisa terus berada di jalur yang sulit, salah satu yang telah membawaku ke penjara ... Bahaya telah menjadi bagian dari hidupku sejak aku mengambil pena dan menulis. Tidak ada yang lebih berbahaya daripada kebenaran di dunia. Tidak ada yang lebih berbahaya dalam dunia keilmuan selain pemilik pengetahuan dianggap ‘berdosa’ sejak Adam dan Hawa ... Tidak ada kekuasaan di dunia yang bisa mencabut tulisan-tulisanku dariku.”  

Saadawi membentuk Solidaritas Perempuan Arab Association setelah keluar dari penjara (1982). AWSA adalah sebuah organisasi internasional yang didedikasikan untuk "mengangkat sekat pikiran" wanita Arab dan merupakan organisasi feminis independen di Mesir yang memiliki 500 anggota lokal dan lebih dari 2.000 secara internasional. Asosiasi menyelenggarakan konferensi internasional dan seminar, menerbitkan majalah dengan memulai program untuk meningkatkan pendapatan bagi perempuan di daerah pedesaan. AWSA dilarang pada tahun 1991 setelah mengkritik keterlibatan AS dalam Perang Teluk. Menurutnya, seharusnya konflik tersebut diselesaikan di antara orang Arab.

Meski dia telah bebas dari penjara, Saadawi hidup dalam ancaman oleh mereka yang menentang pekerjaannya, terutama fundamentalis Islam. Penjaga bersenjata ditempatkan di luar rumahnya di Giza selama beberapa tahun. Tahun 1988, Saadawi terpaksa melarikan diri dari Mesir dan menerima tawaran untuk mengajar di Departemen Bahasa Duke University's Asia dan Afrika di North Carolina serta University of Washington di Seattle. Dia pernah mengajar di sejumlah perguruan tinggi bergengsi dan universitas termasuk Universitas Kairo, Harvard, Yale, Columbia, Sorbonne, Georgetown, Florida State University, dan University of California, Berkeley. Pada tahun 1996, dia pindah kembali ke Mesir.  

Karya-Karya Nawel El-Saadawi

Tulisan pertamanya berupa cerita pendek berjudul I Learned Love (1957) dan Memoar Seorang Dokter Perempuan (1958). Hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku Perempuan dan Neurosis di Mesir (1976) yang mendalami 20 studi kasus dunia perempuan dalam penjara dan rumah sakit. Penelitian ini juga terinspirasi oleh novel Perempuan di Titik Nol yang didasarkan pada hukuman mati perempuan yang dinyatakan bersalah membunuh suaminya.

Pada tahun 1977, dia menerbitkan karyanya yang paling terkenal, The Hidden Face of Eve, yang meliputi sejumlah topik berkaitan dengan wanita Arab, seperti agresi terhadap anak perempuan dan mutilasi alat kelamin perempuan, prostitusi, hubungan seksual, perkawinan dan perceraian dan fundamentalisme Islam. Karya lainnya God Dies by the Nile, The Circling Song , Pencarian, Kejatuhan Imam, dan Perempuan di Titik Nol. Total karyanya ada sekitar 35 buah dan sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa dunia.

“Masa-masa tersulit telah dilaluinya. Kini tidak ada yang mampu membuatnya takut. ‘Di usia 70 tahun, Sadaawi yang beruban masih tetap seorang petarung,’ kata sebuah koran. Dia kini bukan lagi bertarung untuk harga dirinya dan hak-hak wanita, dia bertarung untuk sesuatu yang kadang dikritiknya keras-keras.” Demikian tulis Qaris Tajudin dari Koran Tempo, Rabu, 30 Mei 2001. @

Senin, Oktober 25, 2010

Meraih Hidup Bahagia



Tujuan hidup manusia yang utama adalah bagaimana caranya untuk dapat mencapai kebahagiaan, baik jasmani maupun rohaninya. Kepuasan/kenikmatan hidup akan teracapai bila sudah terpenuhi keinginannya. Akan tetapi, keinginan itu harus dibatasi karena semakin sedikit keiginan semakin bahagia pula hidup kita.

Salah satu cara mencapai kebahagiaan adalah dengan kebajikan (berbuat baik) karena dengan berbuat baik manusia akan mendapat kedudukan yang utama, baik di dunia maupun di akhirat. Selama manusia ada di dunia, dia bertugas untuk hidup “selaras dengan dunia”. Kehiduapan manusia juga dipimpin oleh akal, berarti “keselarasan hidup” adalah “keselarasan akal dengan dunia”. Karena dunia selaras dengan baik maka yang disebut “keselarasan” adalah “akal yang benar”. Bila demikian adanya maka tercapailah apa yang disebut bahagia.

Banyak orang tidak sadar darimana asalnya kebahagiaan itu sehingga dengan seenaknya mereka menggunakan nikmat berupa “bahagia” itu dengan jalan yang sesat.

Dalam agama, puncak bahagia adalah mengenal Rabb, baik makrifat kepada-Nya, taat kepada-Nya, dan sabar atas ujian-Nya.

Tidaklah bernama bahagia jika hati dan khayal hanya berhubungan dengan dunia saja. Janganlah terlalu diperintah oleh khayal, angan-angan, fantasi, karena itulah yang “mengecoh” kita dari “bahagia yang sebenarnya” tujuan hidup. Dia ada dalam tanga kita, tetapi kita cari yang ada dalam tangan orang lain karena yang di tangan orang lain kelihatan lebih indah.

Segala sesuatu di ala mini, baik-buruknya bukanlah “zat” itu, tetapi pada penghargaan keherndak kita atasnya menurut tinggi rendahnya akal kita. Karena itulah manusia harus senantiasa membersihkan akal budi agar dapat mencapai “kebahagiaan sejati”.

(Sumber: Majalah Rindang)

Selasa, Oktober 19, 2010

Bayang-Bayang Mimpi



Siang mulai melemah menjemput petang. Aku memasuki sebuah perkampungan miskin yang sepertinya sedang terjadi kebakaran. Api hampir melalap sebagian besar rumah-rumah penduduk yang mayoritas berdindingkan bambu berlantai tanah.

Tanpa pikir panjang aku langsung memasuki rumah salah satu penduduk yang ternyata milik seorang janda beranak tiga. Aku membuka dapur rumahnya. Tampak seorang ibu sedang berada di depan tungku pawon, sepertinya tubuhnya terluka. Namun, ketiga anaknya pun butuh pertolongan. Sulit rasanya aku menolong semuanya dalam waktu bersamaan meski semuanya butuh bantuan segera. Aku mencoba menjangkau korban yang paling dekat denganku. Seorang bayi tampak tergeletak di amben dapur tersebut. Tanpa pikir panjang aku langsung menggendongnya dan membawanya ke luar rumah. Sekujur tubuhnya melepuh akibat terbakar api.

Begitu aku keluar rumah, aku dikagetkan dengan kehadiran seorang pria yang tiba-tiba berada di depanku, pas di depan pintu dapur rumah tersebut. Dia pasti bukan orang kampung ini. Batinku. Penampilannya sangat bersih dan rapi, sangat berbeda dengan penampilan orang-orang di kampung tersebut. Dia mengenakan baju koko putih bersih yang dipadu celana panjang warna hitam. Kulitnya pun bersih. Rambutnya yang sedikit ikal memanjang hingga ujung bawah leher ditutup kopeyah warna hitam, seperti kopeyah khas Indonesia. Wajahnya itu...belum pernah saya lihat sebelumnya. Bukan hanya tampan, tetapi juga bersih dan bercahaya, sangat bercahaya hingga membuatku sedikit silau melihatnya. Siapa dia? Batinku penasaran.

“Maaf, Anda siapa, yah?” tanyaku kepada orang tersebut.

Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku malah memberikan info lain.

“Aku kelas dua Mualimin Jogja?” jawabnya tegas.

Aku ingat kalau di Jogja memang ada Madrasah Aliyah (setingkat SMA) Mualimin yang semua muridnya laki-laki dan diasramakan.

Berarti dia lebih muda dariku. Batinku karena waktu itu aku sudah kuliah.

“Kamu mau kemana?” Tanya laki-laki itu kepadaku.

“Aku harus mengungsi menyelamatkan diri bersama orang-orang kampung ini,” jawabku sambil menggendong bayi yang aku tolong.

“Ini bekal buatmu di jalan. Mengungsi pasti banyak menghadapi masalah dan membutuhkan banyak bekal,” kata dia sambil menyerahkan tiga bungkus keresek hitam sangat besar yang biasanya dipakai untuk mengantongi sampah. Entah apa isinya aku nggak tahu. Dia pun tidak memberitahukannya.

“Tapi, gimana saya membawanya? Saya kan harus menggendong bayi ini,” kataku sambil memperlihtakan bayi yang ada dalam gendonganku.

Sekilas dia melihat ke arah bayi itu.

“Kalau begitu kita jalan bareng aja,” katanya sambil membopong tiga keresek besar tersebut.

Kami pun berjalan beriringan bersama orang-orang sekampung tersebut meninggalkan kampung yang hampir menjadi lautan api. Kami melewati jalanan berbatu dan persawahan hingga sampai ke sebuah kampung. Sepertinya aku kenal dengan kampung ini. Batinku. Yah, ini kampung halamanku. Oh...

Tiba-tiba aku terbangun. Ternyata aku cuma mimpi.

Mimpi itu telah lama berlalu, lebih dari sepuluh tahun lalu, tetapi mengapa ingatan pada mimpi itu sepertinya masih terus melekat di benakku? Ingatan akan bayi yang kulitnya melepuh. Oh... seandainya itu nyata, mungkin aku tidak akan pernah tega/sanggup menggendong bayi dengan kondisi demikian.

Satu lagi, ingatan akan lelaki berwajah cerah itu. Kata-katanya.. seperti nyata, tetapi realitasnya tidak pernah ada. Semua hanya bunga tidur, tetapi mengapa mimpi itu masih terus bergelayut manja di benakku? Ah... apa ada makna tertentu dari mimpiku? Tapi, apa maknanya? Ah... aku bukan ahli tafsir mimpi.

“Ini bekal buatmu di jalan. Mengungsi pasti akan banyak menghadapi masalah dan membutuhkan banyak bekal.”

Kata-kata itu masih terus terngiang. Apa mungkin ini berarti perjalanan hidupku memang akan menghadapi banyak ujian dan tantangan dan aku harus membekali diri ini dengan kekuatan penuh (Bekal—yang entah apa itu).

Ya Allah, seandainya Engkau memang berkehendak menguji hamba, maka kuatkan diri ini untuk mampu menghadapinya ya Allah...semoga ujian demi ujian di kehidupan hamba mampu membawa hamba untuk dekat kepada-Mu. Amiiin.

Ya Allah, sesungguhnya aku ini lemah, maka kuatkanlah aku dan aku ini hina maka muliakanlah aku dan aku fakir maka kayakanlah aku, wahai Dzat Yang Maha Pengasih.@