Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Jumat, Juni 04, 2010

Berperilaku Sesuai Dalil atau Mendalili Perilaku





“Mengapa yah, anak-anak beberapa ulama besar di Indonesia malah nggak berjilbab?” tanyaku dalam sebuah obrolan ringan dengan beberapa teman kantor yang seruangan denganku.

Ada yang mengatakan karena mereka tidak berhasil mendakwahi keluarganya dan itulah ujian bagi mereka. Ada juga yang berpendapat kalau hal itu berkaitan dengan keyakinan mereka yang memang tidak menganggap penting jilbab, bukan karena tidak mau. Tentu saja yang tahu jawaban sebenarnya adalah mereka—anak-anak para ulama tersebut.

Pertanyaan itu sebenarnya sudah lama muncul di benakku dan cukup menganggu. Antara rasa prihatin, sedih, dan kasihan melihat fenomena ini. Padahal, dalil tentang jilbab sudah sangat jelas tertulis dalam Al Qur’an.

“ … Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu….” (QS Al Ahzab, 33: 59)

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka…” (An Nur, 24: 31)

Dua ayat ini menurut hemat saya sudah cukup menjadi dasar bagi muslimah untuk menutup auratnya dengan berjilbab.

Namun, saya terkejut begitu mendengar pernyataan salah seorang ulama Indonesia—yang konon seorang mufasir nomor wahid bukan hanya di Nusantara, tetapi di Asia—tentang jilbab. Salah seorang anaknya yang muslimah menjadi presenter terkenal di salah satu TV swasta kita, tetapi dia tidak mengenakan jilbab.

Kebetulan ulama yang mufasir ini mendapat pertanyaan dari salah seorang mujtami’ yang hadir di majlis ta’limnya tentang mengapa anak-anak perempuannya tidak mengenakan jilbab padahal jilbab wajib bagi muslimah. Beliau menjawab kalau jilbab masih dipertentangkan, ada yang mengartikan jilbab secara fisik atau jilbab/hijab dalam artian “hijab hati”.

Benarkah hukum berjilbab masih dipertentangkan (ikhtilaf)? Padahal dalilnya jelas dari nash Al Qur’an, bukan hadits. Ayatnya pun bukan termasuk “mutasyabihat” atau ayat-ayat memiliki interpretasi tersendiri dalam penerjemahannya, tetapi ini ayat yang jelas/gamblang (ayat muhkamat).

Lalu, muncul dalam benakku satu pertanyaan, “Apakah ini jawaban sebenarnya sesuai dalil atau hanya berusaha menyanggah demi melindungi perilaku keluarganya?”

Saya teringat beberapa tahun lalu saat masih kuliah. Ketika dosen membuka diskusi tentang hukum pacaran, debat dan saling serang begitu sengit terjadi di kelas membahas masalah ini. Pro dan kontra tentang hukum pacaran sama-sama kuat. Pada akhirnya dosen menyerahkan keputusan boleh/tidaknya pacaran kepada mereka. “Forum diskusi hanya sekadar untuk merangsang kalian agar kritis menghadapi masalah yang muncul di masyarakat,” begitu dosen menandaskan.

Selama diskusi saya cenderung diam mengikuti alur diskusi. Saya mengamati siapa yang pro dan kontra tentang masalah ini. Dari sana saya berkesimpulan kalau mahasiswa yang berpendapat pacaran tidak ada dalam Islam memang termasuk kuat dalam menjaga pergaulannya dan benar-benar tidak memiliki pacar. Sebaliknya, yang menyatakan kalau pacaran itu boleh dengan dalih untuk saling mengenal sebelum menikah, dalam kesehariannya memang tidak bisa lepas dari pacaran.

“Pantas saja si A getol banget mengemukakan berbagai dalih yang bakal membenarkan perilakunya. Kenyataannya emang dia pacaran,” batinku. Padahal, kalau dilihat dari alasan dan dalil yang dia kemukakan kalah kuat dibanding dalil yang menyatakan kalau pacaran tidak ada dalam Islam, yang ada adalah ta’aruf menjelang nikah.

Mungkin, begitulah kalau seseorang suka mendalili perilaku, bukan mencoba berperilaku sesuai dalil. Sangat disayangkan. Kalau toh dia tidak mampu mengamalkan ajaran Islam sesuai dalil, seharusnya bukan malah menafikan kebenaran dalil tersebut yang mungkin bisa menyesatkan yang lain. Mengapa tidak mengakui secara jujur “tentang kebenaran sebuah dalil” lalu mengakui secara jujur pula kalau belum mampu mengamalkannya? Mungkin hal ini akan sedikit mengurangi dosa. Setidaknya tidak menyesatkan orang lain untuk berperilaku menyimpang dari dalil Islam pula. Semoga kita terhindar dari perilaku demikian. Amin.

Memang tidak mudah mencoba berperilaku sesuai dalil. Saya sendiri butuh proses panjang untuk memahami Islam bukan sebatas ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana Islam bisa benar-benar menjadi bagian dari keseharian kita. Yah, selama ini saya belajar/sekolah di lembaga pendidikan agama, pesantren, dan perguruan tinggi Islam. Akan tetapi, entah mengapa di akhir semester saya merasa seolah apa yang saya pelajari selama ini sia-sia. Saya merasakan hambar ketika mendengarkan dosen mengajar—yang notabene selalu membahas soal agama. Saya tidak merasakan satu keteduhan, ketenangan meski yang dibahas adalah petunjuk ke jalan kebahagiaan, yaitu Islam.

Apa yang salah? Apa yang kurang dari metode belajar agama yang selama ini saya tekuni? Teladan? Ma’rifat? Mungkin kedua hal itulah yang saya butuhkan dari guru spiritual yang tidak saya dapatkan di kampusku.

“Ya Allah, tunjukkan aku tempat belajar dan guru yang dapat mengajarkan aku untuk dekat dengan-Mu.” pintaku dalam doaku.

Allah kemudian membawaku untuk mesantren di Darut Tauhiid Bandung setelah lulus kuliah. Orang lain mungkin sibuk nyari kerja selepas kuliah, saya masih saja sibuk belajar. Bukan S2, tetapi malah belajar agama dari “nol” lagi. Di pesantren inilah saya belajar tentang ketauhidan lebih dalam, belajar fiqih ibadah dasar—dari mulai wudhu, shalat khusyu, dan lain-lain—tetapi dengan “ruh” yang berbeda. Para pembimbing saya bukan lulusan pesantren kenamaan, malah ada yang baru 2-3 tahun lulus SMA.

Namun, saya tetap yakin kalau di sinilah saya akan mendapatkan ilmu yang saya butuhkan dan tidak didapat di bangku kuliah. Saya harus belajar tawadhu. Saya yang dulu hobi debat harus belajar mendengarkan pendapat dan masukan orang lain tanpa mendebat sedikit pun. (seperti nabi Musa yang belajar kepada Nabi Khidhir). Saya belajar dengan berbekal gelas kosong yang siap diisi apa pun dan dari siapa pun. Kalau kita belajar dengan prinsip gelas yang sudah diisi kita tidak akan dapat ilmu apa-apa karena gelas yang sudah penuh air kalau diisi air lagi akan tumpah.

Bukan hanya ilmu agama dan prinsip hidup yang semakin tercerahkan, saya pun mendapatkan ilmu-ilmu duniawi, terutama tentang entrepreneur. Perpaduan ilmu dunia dan akhirat. Subhanallah.

Suatu ketika saya datang ke kampusku karena ada satu keperluan. Di sana saya bertemu seorang teman yang sama-sama sudah lulus, tetapi dia masih tinggal di dekat kampus. Dia bekerja sebagai editor lepas. Ketika saya cerita aktivitasku di DT, dia bercerita juga dengan bangganya kalau dia pernah datang menemui Aa Gym, pimpinan Pesantren DT. Dia sempat diskusi dengan Aa Gym tentang keagamaan. Dari nada bicaranya saya menangkap seolah dia memandang rendah Aa Gym yang mungkin dalam pandangannya ilmunya lebih cetek darinya. Maklum, dia alumni pesantren sekian tahun dan terampil baca kitab. Sementara Aa Gym bukan alumni pesantren mana pun, kecuali sebagai santri kalong yang hanya sesekali datang ke pesantren untuk ngaji.

“Aa mau belajar baca kitab sama saya, tuh,” katanya bangga.

Aa Gym yang saya tahu memang tawadhu, dia siap belajar dengan siapa saja, termasuk kepada temanku itu. Bisa jadi, Aa sekadar melayani kearoganan temanku dengan sikap merendah. Harusnya temanku malu, eh malah semakin besar kepala. Nyatanya temanku itu tidak pernah datang-datang lagi ke DT untuk mengajar baca kitab kepada Aa Gym. Mungkin itulah kearoganannya, menantang diskusi dengan siapa saja yang menurutnya dianggap berilmu lebih oleh orang lain. Ketika dia merasa sudah bisa mengalahkan orang yang dianggap pintar maka puaslah hatinya. Saat masih menjadi mahasiswa dia terkenal paling vokal dalam forum diskusi. Ternyata hal itu masih terus berlanjut hingga lulus kuliah.

Hal inilah yang tidak saya suka dalam dunia akademis di kampusku. Ilmu agama seolah hanya sebagai “bahan diskusi yang pantas diperdebatkan” tanpa dimaknai sebagai sebuah jalan menuju cinta dan ridha-Nya, jalan ma’rifat menuju keselamatan dunia-akhirat. Siapa yang paling jago mendebat, bahkan masuk sisi filsafat, dialah yang dianggap hebat. Padahal, belum tentu dialah yang mulia di hadapan Allah. Bahkan, siapa tahu justru menjadi rendah di hadapan-Nya karena riya’ dan sombong dengan sedikit ilmu yang Allah berikan. Sedang hakikat pemilik ilmu yang sesungguhnya adalah Allah Swt. Mengapa kita harus sombong dengan ilmu milik-Nya?

Lebih parah lagi, kadang ketika berdiskusi seperti lupa waktu hingga waktu shalat terlewati. Padahal, yang mereka perdebatkan adalah masalah agama. Kok bisa ya, membahas masalah agama tapi lupa dengan kewajiban beragamanya? Na’udzubillahi min dzalik.

Di akhir perbincangan, dia berjanji akan ngasih salah satu buku hasil editannya. Beberapa minggu kemudian saya mampir lagi ke kampus dan bertandang ke kosannya untuk menagih buku yang dia janjikan. Karena dia cowok tentu saja kosannya khusus untuk cowok. Bentuknya seperti asrama sehingga tidak ada ruang tamu khusus. Kalau ada tamu bisa langsung ngetuk kamarnya.

Tanpa ragu saya mengetuk pintu kamarnya. Agak lama dia baru membuka pintu. Deg. “Ada cewek di kamarnya.” Batinku kaget karena tidak pernah melihat ada cowok-cewek sekamar begitu, padahal saya tahu dia belum nikah. Saya buru-buru berbicara maksudku untuk mengambil buku. Setelah dia ngasihin buku yang dijanjikannya, saya langsung pamitan setelah ngucapin terima kasih dan permintaan maaf karena telah mengganggu aktivitasnya.

Selama dalam perjalanan perasaan nggak enak menggelayuti hatiku. Gak enak karena memergoki orang dengan aktivitas yang tidak lazim, meski nggak tahu apa yang dilakukannya. Saya nggak mau su’udzan, tapi mata ini melihat ada cewek di kamarnya—meski dia mengenakan jilbab—tetapi dengan kondisi kamar terkunci, lampu dimatiin (sedikit gelap), hordeng kamar pun ditutup, tak pelak menimbulkan su’udzan bagi orang lain. Astaghfirullah hal adzim. Tapi semoga dugaanku tidak seperti yang terjadi sesungguhnya.

Dari sinilah saya seolah diingatkan, ternyata kemuliaan manusia tidak akan tertukar. Dia yang seolah merendahkan Aa Gym karena ilmu agamanya dianggap lebih cetek darinya ternyata perilakunya sendiri rendah. Buatku secara pribadi, lebih baik saya belajar agama dengan orang yang mungkin tidak bertitel, tetapi dia ma’rifat daripada belajar dengan seorang yang bertitel selangit dengan track record pendidikan maha tinggi, tetapi perilakunya tidak bisa jadi teladan. Khawatir, dia akan berusaha untuk mendalili perilaku kurang baiknya daripada berusaha berperilaku sesuai dalil. Na'udzubillahi min dzalik. Tentu saja tidak semua orang pintar seperti itu, yaitu seorang yang 'alim dan shalih.

Ya Allah, Engkaulah Yang Memuliakan (Al Mu'izz) dan Yang Maha Merendahkan (Al Mudzill).