Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Selasa, Februari 02, 2010

Renungan Keluarga Bersama IBU




Entah mengapa tiba-tiba saya kengen sama ibu. Wanita yang paling mengasihiku selama ini. Wanita teristimewa sebagai “Anugrah Terindah yang Pernah Kumiliki” (meminjam judul lagunya Shela on Seven). Kami telah melewati masa-masa terindah sekaligus masa-masa pahit bersama. Dalam keindahan masa kami merasakan cinta sejuta rasa. Dalam kepahitan masa kami menikmati kesyahduan cinta yang semakin mendalam, sedalam keinginanku untuk memahami hati ibu dan sedalam keinginan ibu untuk memahami hatiku. Kami sama-sama merangkak berjalan mencari jalan untuk meraih cinta Ilahi, sebuah jalan yang kami sadari bukan jalan yang mudah, tapi harus kami tempuh.

Rasa kangenku membuat kuteringat dengan obrolan kami beberapa bulan lalu saat saya pulang kampung. Ibu yang merasa heran dengan berkurangnya beras di tong dalam jumlah yang tidak lazim, sempat bertanya kepada seluruh anggota keluarga. Akhirnya kakakku ngaku kalau dia mengambil beras dua kilo buat tetangga yang ngejual dinamo kepadanya.

“Abis kasihan, malem-malem dateng ke rumah mo jual dinamo, katanya minta ditukar sama beras. Anaknya nangis belum makan. Ya udah, saya ambilin aja beras yang ada di tong beras.”

Ibu hanya tersenyum. Saya yakin ibu nggak akan marah, mungkin ibu kaget saja karena isi tong beras berkurang begitu banyak. Kalau sekadar buat masak orang serumah nggak akan berkurang sebanyak itu dalam sehari. Dulu, ketika saya terpaksa menjual kalung pemberian ibu seberat lima gram demi membantu biaya pengobatan temanku yang terserang leukemia pun ibu nggak marah. Padahal, kalau seandainya ibu nggak terima dan menuntut saya untuk mengembalikan kalung itu, saya pun siap membayarnya. Tapi, dicicil. Hehehe…

Saya sempat merasa trenyuh dengan kisah tetanggaku yang terpaksa menjual dinamo demi membeli beras.

“Memangnya di desa kita udah susah banget gitu, Bu, nyari makan sampai buat beli beras saja harus menjual apa pun yang ada di rumah. Kalau nggak ada yang dijual lagi gimana nasib mereka?” tanyaku sama ibu.

“Ya, mungkin. Kalau hanya mengandalkan dari panen kan hanya setengah tahun sekali. Kalau mereka nggak punya sawah (baca: petani buruh) dapet padinya kan nggak seberapa. Belum tentu masih ada sampai panen berikutnya,” jawab ibu.

Ibu juga cerita kalau tetangga dekat rumahku bahkan ada yang sampai ngemis ke kampung tetangga demi untuk makan sehari-hari. Dia nggak bisa kerja tani, kerja lain pun tidak terlalu terampil. Sedang suaminya yang menjadi buruh cuci mobil di kota Solo penghasilannya tidak pasti. Dia dan anak-anaknya pernah terlunta-lunta di terminal saat mengunjungi suaminya di Solo sampai akhirnya ngamen demi mendapatkan uang untuk makan dan kembali ke kampung. Mungkin dari sanalah ide untuk mengais rejeki dengan ngamen dan ngemis menjadi berkelanjutan.

“Kemarin juga Bu Surti datang ke rumah minjem uang 50.000. Katanya buat beli beras. Dia memohon-mohon dan bilang kalau suaminya rela kerja apa saja buat bayar utang beras,” ibu membuka kembali kisah tetanggaku yang lain.

Suami Bu Surti memang sering dimintai tolong oleh ibuku buat membetulkan bagian rumah yang rusak, dari mulai membetulkan genting bocor, membuat berbagai peralatan rumah dari kayu, bahkan bersih-bersih pekarangan pun beliau mau.

“Subhanallah, bersyukur, ya Bu. Walaupun keluarga kita pernah diuji dengan kehilangan banyak harta, tapi tidak harus berhutang ke orang lain hanya demi untuk membeli beras. Kalau toh kita pernah kehilangan, setidaknya kita pernah merasa memiliki. Masih lebih beruntung dibanding orang yang tidak pernah diberi kesempatan memiliki dan harus berusaha keras mencari,” kataku mencoba flaskback ke masa-masa paling pahit dalam perjalanan keluarga kami.

Waktu itu salah satu kakak saya tertipu dalam bisnis hingga terlilit hutang lebih dari 100 juta kepada sebuah bank. Jumlah yang sangat banyak bagi keluarga kami. Memegang uang sebanyak itu pun saya belum pernah. Kakakku sempat shock, begitu pun ibuku. Beliau bahkan sempat jatuh sakit dan harus diopname di rumah sakit. Berat nian ujian itu terasa di keluarga kami. Apalagi saya tidak bisa menunggui ibuku yang sedang sakit karena sedang berada di luar kota.

Demi untuk menutup hutang kepada bank yang pasti bakal terus naik bunganya, kami menjual sebagian sawah dan pekarangan kami. Dalam kondisi seperti itu, saya meminta kepada Allah agar ibuku diberi kekuatan, ketabahan, dan kesabaran dalam menghadapi ujian ini. Saya hanya ingin ibu sehat kembali. Saya sempat merasa takut kehilangan ibuku saat kondisi keluarga genting dan penuh masalah seperti itu. Siapa yang akan menguatkan kami lagi selain ibu? Sementara bapak tidak bisa diandalkan lebih banyak karena kondisi sakit yang dialaminya sudah lebih parah dan menaun.

Tetapi, saya juga yakin kalau Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Alhamdulilah berangsur-angsur penyakit ibu sembuh, bahkan saya lihat ibu lebih kuat secara mental dari sebelumnya. Mungkin karena ibu mulai bisa menerima meski awalnya berat.

Uang dari penjualan tanah dan sawah hanya lewat saja di tangan ibu, selanjutnya langsung menjadi milik orang lain. Sebenarnya anak-anak ingin semua hutang kakakku dilunasi dengan penjualan harta yang kami miliki karena khawatir bunganya akan semakin membengkak. Tetapi, bapak-ibuku tidak setuju dengan alasan harta itu sudah dibagi untuk kami berempat, jangan hanya habis untuk satu orang. Padahal, saya dan kakak-kakak yang lain (kecuali yang terlilit hutang) tidak pernah mempermasalahkan soal harta warisan. Kami semua yakin Allah adil dalam soal rezeki. Kami juga yakin akan tetap bisa hidup meski tanpa harta warisan dari orang tua. Kami lebih mementingkan kebahagiaan keluarga, kami nggak mau keluarga jadi sedih dan tertekan hanya karena terjerat hutang yang berbunga. Toh apa yang terjadi merupakan ujian, mungkin juga musibah yang harus kami hadapi bersama. Bukan keinginan kakakku untuk merebut jatah harta milik adik-adiknya karena dia juga tidak menikmatinya.
Saya tahu, tidak mudah bagi kedua orang tuaku untuk melepas sebagian harta yang dimilikinya, harta yang dikumpulkan sedikit demi sedikit demi membahagiakan anak-anaknya. Apalagi menghadapi sindiran dan sikap sinis tetangga ketika tahu masalah keluarga kami. Maklum, di kampung kan gossip cepat menyebar.

“Cara ngedapetin hartanya nggak halal, kali, makanya hilangnya gampang,” begitu sindiran yang menyebar dari mulut ke mulut di kampung kami.

Jelas membuat telinga kami sekeluarga panas dan memerah. Tetapi, kami tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Padahal, insya Allah kedua orang tuaku tahu agama. Ibuku guru agama di sebuah SMP, jadi tahu soal zakat mal sehingga insya Allah tidak akan lalai untuk membersihkan harta kami dengan berzakat. Sumber penghasilan jelas, dari gaji kedua orang tuaku yang bekerja sebagai pegawai negeri. Sedikit demi sedikit ditabung untuk membeli sawah. Dari sawah itulah penghasilan tambahan keluarga kami mengalir setiap tahunnya hingga bisa membeli sawah berikutnya. Begitu seterusnya. Jadi, di mana salahnya?

Biarlah mulut usil itu bicara. Kami hanya bisa berpasrah kepada Allah. Meminjam kepada orang lain nggak ada yang mau ngasih karena takut susah baliknya. Orang-orang yang dulu dekat dengan kami tiba-tiba menjauh, mungkin takut ketiban sial. Bahkan, orang yang masih terbilang saudara dan memiliki hubungan darah pun turut mencibir kami. Kami pun tetap diam. Prinsip kami, jangan sampai kami balik menyakiti orang lain. BERBESAR HATILAH DAN MAKLUMI MEREKA.

Saya selalu berdoa agar keluarga kami diberi rezeki yang cukup untuk membayar hutang-hutang keluarga. Saya yakin, ibuku pun selalu berdoa yang sama, bahkan mungkin lebih banyak untuk kebahagiaan anak-anaknya. Saya juga selalu menekankan kepada kakakku yang terlilit hutang agar lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ketika manusia lain tidak bisa diandalkan untuk dimintai pertolongan, hanya kepada Allah-lah tempat kita bersadar dan meminta. Alhamdulillah, entah darimana saja asalnya, akhirnya hutang itu terlunasi. Allah tidak pernah tidur dan selalu mendengar doa-doa hamba-Nya.

Saat kondisi perekonomian kami mulai membaik, orang-orang yang dulu sempat mencibir dan menjauhi kami kembali mandekat. Tetapi, ada yang hanya bermaksud meminjam uang. Hm….dulu, saat kami sedang kesusahan tidak ada yang mau meminjamkan uang. Bahkan, didekati kami saja seperti ketakutan, takut dipinjami diut.

Bukannya kami dendam. Meski hutang memang sudah terlunasi, tetapi kondisi perekonomian kami sebenarnya masih serba terbatas. Namun, kalau yang datang seperti Bu Surti yang kami tahu memiliki ketulusan hati, ibuku luluh juga. Saat itu Bu Surti meminjam uang 500 ribu untuk biaya anaknya yang akan berangkat ke luar negeri menjadi TKI. Sudah berusaha meminjam kemana-mana tetapi gagal mendapatkannya. Ibuku memang punya uang sejumlah itu, masih nyisa untuk makan selama sebulan. Tetapi, uang itu sebenarnya untuk biaya pengobatan rutin bulanan bapakku. Bahkan, biasanya lebih dari itu. Ibuku sempat dilanda dilema, di satu sisi kasihan dengan Bu Surti yang butuh uang mendesak karena keesokan harinya anaknya akan berangkat, tetapi pengobatan bapakku juga pasti harus dibayar. Akhirnya, ibuku memilih membantu Bu Surti. Tetapi, subhanallah, kurang dari seminggu kemudian ibu mendapat uang arisan yang jumlahnya lebih dari itu. Sungguh, Allah tidak pernah tidur dan membiarkan hamba-Nya dalam penderitaan. Dia akan selalu menolong asal kita yakin dan mau menolong orang lain pula.

Apa Hikmah di Balik Ujian ini Bagi Keluargaku?

Kadang saya berpikir, apakah ujian ini semua terjadi karena doa-doaku? Sebelum kejadian itu saya selalu berdoa kepada Allah untuk membimbing keluargaku agar semakin dekat kepada Allah. Saya melihat kakak saya yang satu ini selalu sibuk dengan urusan dunia. Meski semua yang dijalaninya halal, tapi sepertinya yang ada dalam pikirannya hanya uang dan uang. Soal agama seperti dinomorduakan. Mungkin karena itulah Allah mengambil sebagian hartanya, bahkan sebagian harta keluarga kami. Ujian ini membuat kami sadar bahwa harta bukanlah segalanya dalam hidup. Harta hanya titipan yang suatu saat pasti diambil oleh pemiliknya, yaitu Allah.

“Kalau ini cara Engkau mendidik kami sekeluarga agar lebih dekat kepada-Mu, semoga semua ujian ini tidak sia-sia, ya Allah. Hamba tetap yakin, Engkau tetap memiliki skenario yang cantik untuk setiap hamba-Mu.”

Di akhir perbincangan dengan ibuku, kami sama-sama menarik napas lega. Setidaknya kami masih diberi kesempatan menghirup udara segar dan diberi rezeki yang cukup untuk makan setelah melewati masa-masa pahit. Kita boleh saja mengalami masa-masa pahit dalam hidup, tapi tidak harus merasa menderita. Kita boleh kehilangan semua harta benda asal jangan kehilangan cinta Allah.

Bersama ibu, masa-masa pahit itu mampu kami lewati dengan mengenyahkan penderitaan.

Yah, ibuku memang hanya perempuan desa yang sederhana.

Yang selalu mengajarkan kami untuk hidup sederhana.

Yang dengan kesederhanaannya mampu membuat kami menyederhanakan persoalan hidup yang rumit. @