Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Senin, November 23, 2009

Srikandi Pejuang Cinta




Penampilannya memang tomboy meski tetap berjilbab, celana jins dan kaos menjadi pakaian favoritnya setiap hari. Walaupun demikian, dia tetap muslimah yang taat. Setiap selesai shalat, dzikir dan doa khusyuk hampir tidak pernah ditinggalkannya. Kadang dia malah tampak lebih khusyuk dari doa-doaku. Jujur, setelah shalat kadang saya membaca dzikir sambil jalan, terutama kalau sedang dikejar banyak pekerjaan. Na’udzubillahi min dzalik. Ternyata saya masih kalah dengan kesibukan duniawi.

Agama baginya bukanlah sebuah doktrin seperti seorang santri yang tunduk manut dengan kiyainya. Akan tetapi, agama adalah sebuah kebenaran yang harus bisa dibuktikan. Itu sebabnya dia lebih suka gaya dakwah seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) atau Quraish Shihab. Mereka menyentuh hati umat muslim dengan pemikiran-pemikirannya. Dia bahkan menjadi penggemar berat Emha Ainun Najib (Cak Nun). Seorang yang dengan gaya pemikiran tersendiri (cuek dan cenderung bebas) tapi tetap mampu memahamkan kepada umat akan arti ma’rifatullah. Itu sebabnya dia dikenal dengan sebutan Kiyai Mbeling. Rugi berat baginya kalau sampai terlewat tidak mengikuti Kenduri Cintanya Cak Nun yang digelar di TIM Jakarta setiap bulan.

Tulisan ini bukan untuk menguliti tingkat religiusitas sahabat saya yang satu ini, tapi saya justru tertarik dengan kisah cintanya. Uraian tadi hanya prolog, untuk memberi gambaran lebih dalam karakter tokoh yang saya ceritakan ini.

Sebagai manusia normal, Aini, sahabatku yang satu ini juga pernah merasakan cinta kepada seorang pria. Yah, tentu saja bukan hanya seorang pria. Ada beberapa pria malah. Tapi, ada satu pria yang benar-banar nyantol di hatinya dan begitu sulit dienyahkan dari hati dan pikirannya. Dia kakak tingkatnya di kampus dan terkenal sebagai seniman. Wiro Sablon, begitu nama bekennya di kampus. Maklum, dia memang ahli sablon di kampusnya.

Aini pernah mencoba menyatakan perasaannya untuk Wiro lewat perantara sahabat dekat Aini. Tapi apa jawaban Wiro, “Masak sih, Aini naksir gue? Gue kan oon.” Kilahnya takpercaya. Meski sahabat Aini mencoba meyakinkan kalau Aini benar-benar naksir dia, tapi dia tetap takbergeming. Mungkin dia nggak pede.

Sebagai sesama wartawati (dulu, untung sekarang nggak jadi wartawati lagi), saya bisa merasakan kegundahan hati Aini. Saya sendiri nggak tahu stigma apa yang melekat pada diri wartawati sehingga dalam soal cinta seorang wartawati seolah dijauhi pria. Apa kesan seorang wartawati yang smart, lugas dalam berfikir, agresif (terutama ketika mengejar berita), berani dan mandiri yang membuat pria takut berdampingan hidup dengan wartawati? Apa pria takut bakal kalah wibawa bila menikah dengan wanita yang tampak pintar dan berani? Bukan berani menantang kaum pria sebenarnya, tapi berani menguak kebenaran dari sebuah berita yang akan ditulisnya. Berani menghadapi nara sumber dari berbagai kalangan, baik orang terkenal seperti selebriti atau bahkan para politikus dan pejabat. Bagaimanapun, keberanian inilah yang mutlak dimiliki seorang wartawan. Kalau soal kemampuan menulis itu bisa belajar sambil jalan atau learning by doing. Tapi, kalau seorang wartawan tidak memiliki keberanian, tamatlah riwayatnya.

Entahlah, apa Wiro juga dihinggapi pemikiran demikian tentang kesan seorang Aini sehingga tampak minder bila harus berpacaran atau bahkan menikah dengan Aini hanya karena dia seorang wartawati kampus. Setelah lulus pun dia menjadi wartawan di sebuah media Islami di Jakarta.

“Aini, dia nggak tahu aja kalau sebenarnya kita oon juga.” Candaku kepada Aini saat dia curhat tentang Wiro.
“Iya, bener, Mbak.” Kata Aini sambil tertawa. Kami pun tertawa lepas, bersama kami membuang penat di hati masing-masing. Mungkin, sebenarnya masalahku nggak jauh beda dengan Aini.

Sebagai wartawan, tentu senang kalau mendapatkan rekan kerja yang pintar dan memiliki banyak ide untuk materi liputan. Apalagi kalau rekan kerja kita sepemikiran dan enak diajak sharing soal pekerjaan. Tapi, untuk mendapatkan pasangan hidup tentu standarnya berbeda dengan mencari rekan kerja. Mencari pasangan hidup berkaitan erat dengan perasaan sehingga sangat subjektif. Kadang yang dibutuhkan hanya seseorang yang membuat kita nyaman berada di sampingnya, seseorang yang mampu memahami liak-liuk hati kita. Untuk itu kita tidak mesti menikah dengan pria yang ber-IPK di atas 3,5 dan berlabel coumlaude. Kita tidak butuh pria yang pandai berdebat di dalam rumah kita sendiri. Masa, di kantor pikiran kita sudah terforsir untuk debat tentang satu hal, di rumah pun masih debat juga dengan suami. Capek, deh… Bukan berarti pula mencari pria bodoh atau yang mau dibodohi, sih. Tapi, setidaknya seseorang yang bisa diajak untuk saling mamahami pemikiran kita masing-masing. Dia bisa memahami pemikiran kita dan terbuka untuk mau dipahami.

Seperti halnya Aini yang akhirnya tertambat pada pria seniman. Cintanya pada Wiro telah memenuhi relung hatinya begitu dalam sehingga tidak ada lagi tempat untuk pria lain. Sulit dipisahkan seperti darah yang mengalir dalam tubuh, dipisahkan berarti mati. “Kalau saya nggak bisa nikah dengan Wiro, lebih baik saya menjalani hidup sebagai sufi seperti Rabiah al Adawiyah.” Begitu tekadnya.

Saya sempat kaget dengan niat sahabatku yang satu ini. Saya jadi teringat dengan kata-katanya dulu waktu masih sering bertemu dengannya, “Saya paling tidak setuju kalau ketaatan beragama dikaitkan dengan ancaman neraka dan iming-iming surga. Kayak anak kecil. Bukankah ketaatan itu soal cinta hamba kepada Rabb-nya?”

Wah… Rabiah al Adawiyah banget. Selaras dengan ungkapan Rabiah yang sangat fenomenal, “Jika aku beribadah kepada-Mu karena aku takut akan neraka-Mu, maka bakarlah neraka-Mu. Jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharapkan surga-Mu, maka bakarlah surge-Mu. Tapi, jika aku beribadah kepada-Mu karena cintaku yang tulus kepada-Mu, maka jangan halangi aku untuk bertemu dengan kekasih hatiku kelak.”

Sufiyah yang fenomenal dalam sejarah ini memang pernah menjadi menu obrolan kami berdua, tapi saya tidak menyangka kalau dia bahkan ingin mengikuti jejaknya. Ketika Aini mengungkapkan keinginanya ini kepada ibunya, beliau tidak merestui keinginan anak gadisnya ini untuk malajang seumur hidup dan menjadi seorang sufi. Beliau tetap ingin anaknya menikah selayaknya perempuan lain yang menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya.

“Habis mau bagaimana lagi, rasanya aku taksanggup kalau harus menikah dengan pria lain,” bagitu alasan Aini.

Aini memang pernah mencoba menyelami pemikiran dan kehidupan seorang seniman dengan menikmati banyak pameran lukisan atau pentas seni lain. Setidaknya dia mencoba untuk memakai bahasa seorang seniman. Tapi, akhirnya Aini pun pasrah. Sampai kemudian, ketika kerinduan kepada Wiro tiba-tiba menyeruak, Aini terinspirasi untuk datang bersilaturahmi ke rumah Wiro. “Kalau toh saya tidak bertemu Wiro, setidaknya saya bisa mengenal keluarganya. Saya ingin menjalin hubungan baik dengan keluarganya meski mungkin saya tidak bisa menikah dengan Wiro.” Batin Aini. Dengan berbekal alamat dari buku wisuda kampusnya, dia pun menemukan rumah Wiro.

Begitu sampai di rumah Wiro dan mengenalkan diri sebagai Aini, orang yang menerimanya di rumah itu langsung nyeletuk, “Oh, ini yang namanya Aini.” Rupanya nama Aini sudah sangat familiar di keluarga Wiro lewat cerita-cerita Wiro kepada mereka, hanya saja mereka belum pernah bertemu langsung dengan orangnya. Wiro cukup kaget dengan kehadiran Aini di rumahnya. Kedatangannya inilah rupanya yang membuat Wiro merasa yakin kalau Aini memang benar-benar suka sama dia. Wiro pun akhirnya memiliki keberanian untuk menyatakan perasaannya kepada Aini. Tentu saja Aini menerima cinta Wiro yang memang sudah sangat diharapkannya dari dulu.

Beberapa bulan setelah itu mereka pun bertunangan. Paska tunangan, ada aturan taktertulis yang berlaku antara mereka. Wiro ingin Aini tampil lebih feminin. Aini pun mulai rajin menambah koleksi rok di lemari pakaiannya. Sedang Aini menginginkan Wiro lebih religi.

“Dia sekarang lagi rajin menghafal juz ‘amma buat disetor ke saya, mbak.” Cerita Aini tentang perkembangan hubungannya dengan Wiro.

Yah, bagaimana pun seorang suami adalah imam bagi keluarganya. Minimalnya dia harus bisa menjadi imam shalat. Kebayang kan, kalau setiap menjadi imam bacaan suratnya Al Ikhlas lagi, Al Ikhlas lagi. Hehehe.

Taklama setelah bertunangan, mereka pun menikah. Wah…happy ending, deh. Selamat buat Aini dan Arif, semoga menjadi keluarga samara. Maaf kalau saya tidak bisa menghadiri pernikahan kalian. Tapi, doa tulus untuk kebahagiaan kalian tetap saya panjatkan meski dari jauh. Anggaplah tulisan ini sebagai kado atas pernikahan kalian meski sudah lama berlalu.

Aini, sebenarnya Wiro hanyalah pria biasa, tidak jauh berbeda dengan pria-pria lain. Tapi, cintamu kepadanya yang begitu luar biasa telah membuatnya menjadi sesosok pria yang luar biasa juga. Salut untukmu, sahabatku.

Kapan yah, saya bisa sepertimu? Yang mampu mengikhlaskan cinta hingga di titik nol, sampai kemudian Allah mengembalikan cinta utuh untukmu dalam pernikahan suci, lalu menikah dengan orang yang benar-benar kau cintai.@

Selasa, November 17, 2009

Mencari Jodoh Secara Terang-Terangan Lagi Jadi Trend



Beberapa tahun lalu, mencari jodoh lewat iklan biro jodoh di media massa masih dianggap tabu. Orang merasa gengsi kalau namanya secara jelas terpampang di iklan jodoh yang menuliskan kalau dia sedang mencari pendamping hidup. “Kayak nggak laku aja!” begitu komentarnya kalau seandainya dia ditawarin mengiklankan diri di sana. Biasanya, orang mengiklankan diri di media massa menjadi alternatif terakhir kalau segala cara sudah ditempuh namun masih mentok juga. Itu pun dalam format serba terbatas, tidak mencantumkan nama jelas, hanya inisial bahkan kadang kode nomor saja. Walhasil, imej bahwa orang yang mau mengiklankan diri di media adalah orang yang taklaku. Duh….kasihan amat.

Atau mungkin saja media tersebut tidak memberikan ruang bagi para kliennya saling mengenal lebih jauh sehingga iklan itu terkesan mati, sudah ditampilkan lalu selesai. Syukur-syukur kalau ada yang merespon, kalau nggak ada ya sudahlah, tamat riwayatnya.

Ada sebuah media Islami di negeri ini yang kemudian membuat biro jodoh lewat media mereka, harapannya ini benar-benar menjadi media untuk melancarkan proses menuju gerbang pernikahan suci. Bukankah satu pahala besar kalau kita bisa menjadi jalan kebaikan orang lain, apalagi dalam ibadah menikah? Niat mulia inilah yang mendasari media tersebut untuk serius mengemas biro jodoh mereka dibanding media umum. Bukan hanya diiklankan atau diberitahukan kepada khalayak pembaca tentang beberapa klien yang serius sedang mencari calon pasangan hidup, tapi juga ada pembinaan, pertemuan rutin bersama, hingga proses ta’aruf antar pasangan. Beberapa klien berhasil menemukan jodohnya di ajang ini, tapi lebih banyak lagi yang tidak. Yah, itu kan hanya sarana, soal jodoh Allah juga yang menentukan.

Namun, seiring berjalannya sang waktu, saat era internet mulai merajai dunia media massa, media cetak mulai ditinggalkan. Otomatis biro jodoh ini pun kurang diminati pembaca. Sampai saat itu imej buruk tentang “iklan jodoh” masih melekat di hati masyarakat hingga muncul acara di TV swasta “Take Him Out dan Take Me Out”. Acara ini konon menyedot penonton cukup besar. Pro dan kontra mengenai acara ini mulai berdatangan dari berbagai kalangan. Kelompok yang kontra terutama datang dari kalangan umat Islam yang menganggap acara seperti ini kurang Islami. Maklum, konon kabarnya acara ini mengadopsi dari Barat yang jelas-jelas tidak memakai aturan Islam. “Mencari jodoh kok dikomersilkan, Acaranya kurang mendidik, Prosesnya jauh dari Islami” dan seabreg komentar lain dari kalangan yang kontra.

Secara pribadi, saya pun kurang sreg dengan acara ini. Menurut saya, orientasi para pesertanya terlalu materialistis dan fisikly. Tidak ada standardisasi yang cukup dari segi akhlak dan religiusitas. (cie….sok religi nih ye…..) Tapi, saya tidak akan membahas soal pro dan kontra orang-orang terhadap acara seperti ini. Saya mencoba membaca dari sisi lain, bahwa lepas dari pro dan kontranya, nyatanya acara ini telah mengubah pola pandang orang pada umumnya tentang biro jodoh atau iklan jodoh. Acara seperti ini takubahnya seperti biro jodoh, hanya dikemas sedemikian apik sehingga menarik orang untuk masuk di dalamnya menjadi peserta, atau menimal menikmati tontonannya. Apalagi para pesertanya cukup berkualitas, setidaknya dari segi fisik dan materi. Mereka cantik-cantik dan ganteng-ganteng dengan penghasilan yang boleh dibilang cukup mapan (meski ada beberapa yang kurang, tapi itu relatif). Setidaknya, dari dua segi itulah modal besar mereka untuk layak dipilih oleh para jomblowan dan jomblowati yang mengikuti acara itu. (soal jomblo asli atau tidak, atau mungkin sedang rehat sejenak dengan kekasihnya, saya tidak tahu kebenaranya).

Beberapa peserta mungkin bisa mendapatkan cinta sejatinya lewat acara ini hinga kemudian menikah, ada juga yang kemudian putus, dan lebih buruk lagi ada yang tidak mau memilih sama sekali. Usut punya usut, ternyata dia hanya ingin menguji eksistensi dirinya. “Seberapa lakukah aku di mata lawan jenisku?” mungkin pertanyaan itulah yang mengisi batok kepalanya. Hm…

Mereka memiliki penampilan yang menawan, berpendidikan tinggi, berpenghasilan lumayan, lalu mengapa jomblo? Terlalu pemilihkah? Atau terlalu sibuk mengejar karir sehingga nggak sempat mencari pasangan? Atau pernah trauma dengan mantan kekasih? Terlepas apa alasannya, yang pasti ternyata banyak makhluk-makhluk jomblo yang mendambakan pasangan hidup meski potensi diri mereka sangat layak untuk dipilih. Ajang seperti ini telah mempertemukan teman-teman senasib yang mengaku kelompok Jojoba (jomblo-bomlo bahagia), Jotaren (Jomblo tapi keren), Jonas (Jomblo narsis), dan gank-gank jomblo lain. Mereka takmalu lagi mengaku diri jomblo dan takmalu pula untuk mengikuti biro jodoh sebagai ajang mencari pasangan hidup. (memang sih, jomblo bukan sebuah aib yang harus disembunyikan).

Menjadi peserta biro jodoh ala entertainment di TV malah menjadi ajang mengekspose eksistensi diri mereka, bahkan ajang narsis diri. Semakin banyak lawan jenis yang memilih dirinya, dia akan merasa diri semakin eksis. Sebaliknya, bila takada yang memilih dirinya satu pun, maka derajatnya pun seolah turun hingga ke dasar bumi. Duh….kacian deh, lo…..

Semakin maraknya sambutan penonton TV dengan acara seperti ini membuat TV lain seolah berlomba membuat acara sejenis. Lalu, muncul Tek-tek Out yang murni entertainment dan hiburan. Pesertanya para artis terkenal yang sudah disetting sedemikian rupa sekadar menghibur pemirsa. Kebanyakan mereka sudah pada menikah, seperti Mpok Ati, Daus, dan artis-artis lama yang sudah jarang tampil di TV.

Ada juga acara yang memang serius untuk mendapatkan pendamping hidup, tapi yang ini khusus bagi para single parent. CIT-CAT (Cari IBu Tiri-Cari Ayah Tiri). Wah wah wah…duda-janda pun takmau ketinggalan rupanya. Baru-baru ini juga muncul acara sejenis Take Him Out dan Take Me Out, yaitu Cari-cari Jodoh. Semakin marak saja acara biro jodoh di TV kita. Mungkin sekarang memang sedang trend orang mencari jodoh, mumpung belum kiamat, kali. Apalagi muncul rumor yang beredar kalau kiamat akan terjadi tahun 2012. Mungkin akan terjadi pernikahan missal besar-besaran di tahun depan.

Sekarang, para jomblowan dan jomblowati sudah takperlu risau, di luar sana masih banyak makhluk-makhluk senasib. Saatnya sekarang menjemput jodoh di tempat dan waktu yang tepat. Kalau toh belum ketemu juga, ada lagunya Wali dan She buat menghibur kita. Kalau belum terhibur juga, saya tuliskan satu kisah yang semoga dapat menghibur.

Judulnya STMJ forever.

Ketika masih kuliah, disebut STMJ (Semester Tujuh Masih Jomblo)
Masuk semester akhir disebut STMJ juga (Semester Terakhir Masih Jomblo)
Sudah lulus masih disebut STMJ (Sudah Tamat Masih Jomblo)
Ketika mendapat pekerjaan masih juga disebut STMJ (Sudah Tugas Masih Jomblo)
Begitupun ketika usia senja, masih menjadi STMJ (Sudah Tua Masih Jomblo)
Dan, ketika meninggal, malaikat juiga bilang “Nih orang STMJ (Soleh sih, Tapi Masih Jomblo)
Ketika dia dibangkitkan dari kubur dan memasuki surga, di depan pintu surga tertulis “STMJ (Surga Teruntuk Manusia Jomblo)”. Hehehe……

Buat para jomblowan dan jomblowati, semoga segera keluar dari zona ini dan mendapatkan pasangan hidup terbaik menurut Allah. Amin. @

Jumat, November 13, 2009

Suami Mengeksploitasi Istri



Beberapa minggu lalu saya pernah menulis tentang suami yang menjadi “sapi perahan” istri. Kali ini saya menulis masalah sebaliknya, seorang suami yang “mengeksploitasi” istrinya sendiri demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kasusnya masih saya ambil dari episode “Masihkah Kau Mencintaiku?” yang ditayangkan di sebuah TV swasta. Dari beberapa episode yang pernah saya tonton, episode kali ini boleh dibilang paling heboh, bikin kesal dan gemas semua penonton.

Sofie dan Hendri sudah menikah selama 13 tahun. Awal menikah, kondisi perekonomian mereka boleh dibilang serba kurang. Lama kelamaan mereka dapat membangun bisnis hingga memiliki penghasilan yang lebih dari cukup. Saat kondisi ekonomi mereka mulai terangkat, Sofie justru menuntut cerai kepada suaminya karena merasa sudah tidak tahan lagi dijadikan alat untuk melancarkan bisnis suaminya. Sebelum menikah, dia pernah bekerja sebagai Public Relation (PR) di sebuah perusahaan swasta, rupanya kemampuannya inilah yang dimanfaatkan oleh suaminya untuk menjamu para kliennya. Hendri membangun sebuah perusahaan proyek yang sering harus berjuang keras untuk mendapatkan tender. Demi melancarkan usaha mendapatkan tender inilah, Hendri memanfaatkan kecantikan, keramahan dan kecerdasan istrinya di bidang PR. Hampir sebagian besar klien yang dijamu dan diservis oleh istrinya merasa puas dan akhirnya memberikan tender tersebut untuk Hendri.

Sebagai seorang yang beriman, hati kecil Sofie berontak. Kalau hanya menjamu biasa, makan-makan dan ngobrol-ngobrol, mungkin Sofie masih bisa menerima. Tapi, Sofie bahkan kadang harus melayani mereka “di kasur” hingga dia pernah mengidap penyakit kelamin. Namun, bila dia menolak permintaan suaminya untuk menjamu kliennya, Hendri akan marah dan memukulnya. Hendri bahkan pernah mengancam akan menjadikan anak perempuan mereka yang baru berumur 12 tahun untuk menggantikannya kalau dia tidak mau membantu menjamu kliennya. Sebagai seorang ibu, tentu saja berang mendengar anaknya akan dijadikan umpan untuk pria-pria hidung belang. Akhirnya, dia mandah mengalah daripada harus melihat anaknya yang menjadi korban.

Kisah Sofie menambah daftar korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT). Sofie telah mengalami KdRT dalam dua kasus sekaligus, pertama dieksploitasi secara ekonomi oleh suaminya, kedua kekerasan fisik dan psikis yang membuat Sofie merasakan kesedihan yang berkepanjangan.

Satu hal yang mengherankan, suaminya sama sekali tidak tampak merasa bersalah atas kelakuannya ini. “Sebagai suami, sebagai kepala keluarga, wajar dong kalau saya meminta bantuan istri untuk melancarkan bisnis saya. Kan memang sudah menjadi kewajiban istri untuk tunduk dan taat dengan perintah suami.” Tandasnya tanpa malu-malu.

Dua penasihat perkawinan yang dihadirkan di situ sampai geram, bahkan Mbak Rae, menyebut Hendri sebagai “Wong edan”.

Dengan memakai kaca mata mana pun--baik adat, budaya, lingkungan sosial, psikologi, apalagi agama--menyuruh istri sendiri untuk melayani pria lain demi membantu perekonomian keluarga, jelas tidak dibenarkan. Tapi, Hendri bahkan membiarkan istrinya pergi dengan pria lain atas sepengetahuannya bahkan atas permintaannya. Hendri tidak pernah panik walaupun istrinya pulang larut malam, bahkan kadang hingga dini hari.

Jelas, tata nilai yang dipakai oleh Hendri sangat bertentangan dengan norma kebenaran yang dianut masyarakat secara umum, terlebih lagi norma agama. Dalam Islam, seorang perempuan bila hendak bepergaian jauh atau hingga larut malam, harus didampingi mahram atau suaminya. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian menempuh perjalanan satu hari melainkan bersamanya seorang muhrimnya.” (Hadits Riwayat Muttaffaqun ‘alaihi)

Satu kesesatan berfikir Hendri yang membuat istrinya terjerumus melakukan perbuatan dosa besar, dia telah menggunakan kekuasaannya sebagai kepala rumah tangga tapi dalam hal kemaksiatan. Padahal, Islam jelas melarang seorang istri menuruti perintah suaminya dalam kemaksiatan. Seorang suami seharusnya menjadi imam yang membawa keluarganya pada kebahagiaan dunia akhirat. Seperti tertera dalam Q.S. At Tahrim, 66: 6. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Allah memberi ganjaran yang keras bagi suami yang menjerumuskan keluarganya dalam dosa dan kesesatan. Sebuah hadits menyebutkan, “Tiga golongan yang Allah haramkan masuk surga, yaitu peminum minuman keras, orang yang durhaka kepada ibu-bapaknya, dan orang yang berbuat dayyuts yang menanamkan perbuatan dosa kepada keluarganya.” (H.R. Nasa’i)

Belajar dari Kemurahan Hari Umar bin Khattab

Selain mengeksploitasi ekonomi terhadap istri dan menjerumuskannya dalam kemaksiatan, Hendri juga telah melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya. Dia sering memukuli Sofie saat istrinya itu menolak menemui kliennya. Padahal, Islam sangat melarang untuk menyakiti wanita.

Ustadz Subki Al Bughury yang dihadirkan dalam acara itu menjelaskan bagaimana Islam memandang kekerasan dalam rumah tangga ini. Beliau menceritakan kisah Khalifah Umar bin Khattab ra. yang terkenal memiliki fisik yang sangat kuat, berperawakan tinggi besar dan tegap, pemberani, terutama saat berperang sehingga disegani oleh kawan maupun lawan. Umar bahkan dijuluki Abu Hafshin (Bapaknya Singa) karena keberaniannya ini.

Suatu hari ada seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khattab. Dia ingin mengadu pada khalifah karena taktahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istrinya. Tapi, tidak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja sambil terus mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya, lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melaporkan istrinya kepada Umar.

Apa yang membuat seorang Umar bin Khattab yang disegani kawan maupun lawan berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa dia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, dia selalu tegas kepada siapa pun?

Saat Umar diam mendengarkan keluhan istrinya, ternyata dia sedang mencoba berempati kepada istrinya, “Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya.” ungkapnya.

Setidaknya, seorang istri telah berperan besar dalam empat hal, istri telah berusaha membentengi suami dari api neraka (saat godaan syahwat menghampiri), memelihara harta suami saat suami tidak berada di rumah, menjaga penampilan suami, mengasuh anak-anak, dan menyediakan hidangan untuk keluarganya.

Untuk segala kemurahan hati sang istri itulah, Umar rela mendengarkan keluh kesah buah lelah istrinya. Umar lebih memililih untuk mengingat kebaikan-kebaikan istrinya daripada mencela kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah dia menasehati dengan cara yang baik, kadang malah dengan bercanda sehingga terhindar dari caci maki yang takterpuji.

Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilaku Umar ini? Dia tidak hanya berhasil memimpin negara, tapi juga menjadi imam idaman bagi keluarganya. Dia tampak garang dan tegas di luar rumah, tapi begitu perhatian dan lembut kepada istrinya.

Meski kewajiban seorang istri adalah taat kepada suami, tapi suami tidak boleh memanfaatkan haknya ini demi kepuasan pribadi yang tidak berdasar pada hukum syar’i. Bagaimanapun, segala perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Rasulullah saw. mengingatkan akan hal ini, "Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya dan dia akan diminta pertanggungan jawab tentang kepemimpinannya." (Muttafaq Alaih). Wallahu’alam bish shawab.

Selasa, November 10, 2009

Belajar dari Pasangan Dian Nitami dan Anjasmara




“Masihkah Kau Mencintaku?” yang ditayangkan di sebuah TV swasta di bulan puasa kemarin pernah menayangkan tentang seorang suami yang merasa terzalimi oleh istrinya karena istrinya terlalu sibuk di luar rumah. Sebagai seorang istri, Rosi yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan bergengsi di Jakarta, waktu luangnya lebih suka dihabiskan untuk kongkow dengan teman-temannya, entah untuk shoping di mall, pergi ke salon, atau arisan. Sementara pekerjaan rumah nyaris tidak pernah disentuhnya. Kalau rumah berantakan, mau nggak mau suaminya yang harus turun tangan, dari mulai menyapu, mengepel lantai, mencuci pakaian dan piring, bahkan mengurus anak-anaknya.

Mereka memang memiliki pembantu, tapi sering gonta-ganti karena nyaris semua pembantu nggak ada yang betah bekerja lama di rumah mereka. Maklum, Rosi yang tergolong manja ini gayanya persis bos yang galak dan suka main perintah. Masalah menjadi semakin runyam ketika pembantu mereka harus mudik pulang kampung untuk berlebaran. Sudah hampir empat tahun mereka menikah, masalah seperti ini terus mengusik dan merongrong kabahagiaan mereka. Suaminya pun mulai tidak tahan lagi sehingga berniat menceraikan istrinya. Tentu saja Rosi tidak mau dicerai dan kehilangan suami yang selama ini sudah begitu sabar mendampinginya. Tapi, keputusan sang suami untuk menceraikan istrinya rupanya sudah bulat.

Pada awalnya, istrinya tidak mau disalahkan dengan kebiasaannya yang seolah lalai dari tugasnya sebagai seorang istri. Jangankan beres-beres rumah, letak sapu dan lap pel di rumah saja dia tidak tahu. Dia malah menyalahkan suaminya kenapa dia mau mengerjakan semua pekerjaan rumah kalau dia sebenarnya keberatan melakukan semua itu. “Kenapa tidak jujur saja?” tanyanya dengan emosi tinggi. Bukan hanya itu, dia juga menyalahkan suaminya yang terlalu terburu-buru mengajaknya nikah padahal dulu dia sebenarnya belum siap menikah.

Keluarga Rosi, terutama ibunya tetap membela anak perempuannya. “Dari awal kan kamu tahu kalau Rosi itu anak manja dan tidak biasa mengerjakan pekerjaan rumah,” kata mamanya Rosi kepada Rafi, suami Rosi.

Rupanya di keluarga mamanya Rosi pun hampir sama kondisinya, ayahnya Rosi lebih rajin mengerjakan pekerjaan rumah dibanding ibunya. Hanya saja ayahnya Rosi tidak pernah protes. Mungkin karena itulah Rosi tidak merasa bersalah meski dia tidak melayani suami dan mengurus rumah tangganya dengan baik. Toh kondisi mama-papanya sama dengan dirinya.

Mereka menikah karena saling cinta, soal keterampilan mengurus rumah tidak menjadi pertimbangan besar buat mereka. Rosi merasa nyaman karena toh calon suaminya waktu itu siap menerima apa adanya dirinya meski dia tahu kalau dirinya manja dan tidak terampil mengerjakan pekerjaan rumah. Rafi pada awalnya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu karena dia berharap bahwa dengan berjalannya sang waktu akan menyadarkan istrinya akan kewajibannya sebagai seorang istri. Namun, ketika waktu terus berjalan dan anak-anak mereka lahir meramaikam rumah, sepertinya Rosi masih terus sibuk dengan dirinya sendiri. Dia terus sibuk mengejar karir dan mengikuti pergaulan metropolis pada umumnya.

Rafi yang juga bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta, setiap pulang kerja kadang masih harus beres-beres rumah, memandikan dan menyuapi anak mereka. Sedang istrinya sibuk arisan bersama teman-temannya. Setahun dua tahun Rafi masih mencoba bersabar, tapi memasuki usia empat tahun perkawinan mereka, rupanya Rafi sudah tidak tahan lagi. Orang tua Rafi tentu tidak mengharapkan perceraian karena sudah ada anak di keluarga mereka.

Akhirnya, hanya ada satu pilihan kalau Rosi tidak mau dicerai oleh suaminya, yaitu Rosi harus mau mengubah sikap dan lebih peduli lagi terhadap keluarganya. Ternyata Rosi menyanggupinya. Yah, cinta yang masih tersemat di dasar hati Rosi membuatnya memiliki kekuatan untuk mengubah diri demi kebahagiaan pasangannya.
***

Gaya hidup manusia zaman sekarang yang cenderung meterialistis dan ingin serba instan, membuat sebagian kaum perempuan menjadi malas dengan pekerjaan-pekerjaan domestik. Pekerjaan seperti ini dianggap pekerjaan pembantu, dia akan merasa rendah kalau mengerjaan pekerjaan yang juga dianggapnya rendah. Padahal mereka butuh akan kebersihan, kesehatan, dan makanan sehat. Lalu, bagaimana rumah akan bersih dan sehat kalau penghuninya malas membersihkan rumah? Bagaimana bisa mendapatkan makanan sehat kalau yang dikonsumsi selalu yang serba instan karena malas memasak?

Belajar dari Dian Nitami

Di akhir acara, Dian Nitami, host acara “Masihkah Kau Mencintaku?”, mencoba sharing kepada Rosi tentang pengalamannya ketika baru membina rumah tangga.

“Awal menikah, saya akui kalau saya tidak terampil mengurus pekerjaan rumah. Selama ini saya hanya tahu soal fasion dan make-up. Setahun pertama, saya masih dibiarkan menjadi bak ratu di rumah sendiri. Tidak pernah mengerjakan pekerjaan dapur, beberes rumah, dan sebagainya. Tapi, di tahun kedua, Anjas, suami saya mengajak saya untuk tinggal di sebuah apartemen tanpa pembantu. Dia kemudian mengajari saya bagaimana mengerjakan pekerjaan rumah, dari mulai menyapu, ngepel, masak, mencuci baju dan piring,” begitu papar Dian memulai kisahnya.

“Saya tahu hasil pekerjaan saya kurang bagus, tapi Anjas selalu bilang kalau pekerjaan saya bagus, bersih. Betapapun saya sadar kalau hasil setrikaan saya kurang rapi, tapi Anjas selalu bilang rapi. Betapapun saya sadar kalau masakan saya tidak enak, Anjas selalu bilang enak. Sebagai istri tentu saya terharu, betapa sebagai seorang suami dia begitu menghargai proses belajar istrinya.” papar Dian kepada ribuan penonton TV saat itu.

Saya sangat respek dengan usaha Anjas dalam mendidik istrinya agar paham akan kewajibannya sebagai seorang istri sekaligus membuatnya terampil mengerjakan pekerjaan rumah. Saya bahkan tidak menyangka kalau Seorang Anjas ternyata bisa begitu Islami dalam mendidik istrinya. Sementara di luar sana, mungkin tidak sedikit pria yang bahkan tidak pernah menghargai pelayanan istrinya. Masakannya selalu dibilang nggak enak, meski tetap dihabiskan juga. Pekerjaan rumah selalu dibilang tidak bersih dan tidak rapi, tapi dengan seenaknya mengotori rumah.

Rasulullah Saw. adalah seorang suami yang sangat menghargai istrinya. Beliau tidak pernah mencela makanan, baik masakan orang lain, apalagi hasil masakan istrinya. Ketika beliau tidak berkenan dengan suatu makanan, beliau diam dan tidak meneruskan makan. Beliau juga seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya. Kasih sayang Rasul ini diungkapkan dalam sebuah hadits, ”Fathimah ra. adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkanku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku.” (Ibnul Abdil Barr dalam Al-Istii’aab)

Suatu hari Fathimah mengeluh kepada Rasul tentang tangannya yang sakit dan kapalan gara-gara setiap hari harus menumbuk gandum dengan batu dan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang seolah tiada henti. Meski begitu besar rasa sayang kepada putrinya, Rasulullah tidak langsung memberinya seorang pembantu seperti yang diharapkan Fatimah. Rasul malah menasehati putrinya, Fathimah: "Kalau Allah berkehendak, hai Fathimah, niscaya batu penggiling itu akan bergerak dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus keburukan-keburukanmu serta mengangkat derajatmu.

Hai Fathimah, mana saja seorang istri yang membuatkan tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, Allah mencatat baginya kebaikan dari setiap butir biji yang tergiling dan menghapus keburukannya serta meninggikan derajatnya.

Hai Fathimah, mana saja istri yang berkeringat di sisi alat penggilingannya karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, Allah akan memisahkan atas dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.

Hai Fathimah, mana saja seorang istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci baju mereka, Allah akan mencatat baginya pahala seperti pahalanya orang yang memberikan makan kepada seribu orang yang sedang kelaparan dan seperti pahalanya orang yang memberikan pakaian kepada seribu orang yang sedang telanjang.

Hai Fathimah, mana saja istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar, dirinya akan terbebas dari dosa-dosanya bagaikan bayi yang baru dilahirkan ibunya. Dia keluar dari dunia (yakni mati) tanpa membawa dosa, dia menjumpai kuburnya sebagai taman surga, Allah memberinya pahala seperti pahala seribu orang yang naik haji dan berumrah dengan seribu malaikat memohonkan ampun untuknya sampai hari kiamat".

Hai Fathimah, mana saja seorang istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam disertai hati baik, niat yang ikhlas dan benar, Allah akan mengampuni semua dosa-dosanya. Pada hari kiamat kelak dirinya akan diberi pakaian berwarna hijau dan dicatatkan untuknya pada setiap rambut yang ada di tubuhya dengan seribu kebajikan dan Allah memberi pahala untuknya sebanyak orang yang pergi haji dan umrah".

Hai Fathimah, mana saja seorang istri yang tersenyum manis di muka suaminya, kecuali Allah akan memerhatikannya dengan penuh rahmat.

Hai Fathimah, tetapi yang lebih utama dari itu semua adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak akan mendoakan dirimu". "Bukankah engkau mengerti, hai Fathimah, bahwa keridhaan suami itu menjadikan sebagian dari keridhaan Allah dan kebencian suami merupakan bagian dari kebencian Allah.” (HR Abu Hurairah ra.)

Subhanallah, begitu besar ladang pahala yang Allah berikan kepada seorang istri yang benar-benar mau berbakti kepada suami dan keluarganya. Dari sana pulalah pintu surga akan terbuka untuknya.

Di sinilah letak keadilan Allah, ada pembagian pekerjaan yang jelas antara suami-istri agar mereka sama-sama memiliki kesempatan untuk meraih pahala dalam pernikahan. Suami mendapat pahala dengan mencari nafkah untuk anak-istri, sedang istri mendapat kesempatan pahala dengan mengurus pekerjaan domestik, termasuk mengurus kebutuhan anak dan suami, mendidik dan membesarkan anak-anaknya. @